Laman

Selasa, 02 November 2010

HIZBUT TAHRIR : DARI MEREKA DAN UNTUK MEREKA (2)

حزب التحرير منهم وعليهم
HIZBUT TAHRIR : DARI MEREKA DAN UNTUK MEREKA
[BANTAHAN TERHADAP TUDUHAN ”MUJADDID” TERHADAP IMAM IBNU BAZ DAN DAKWAH SALAFIYAH – BAGIAN 2]

Oleh : Abu Salma bin Burhan at-Tirnatiy





PASAL 2

MENJAWAB KLAIM DAN TUDUHAN DUSTA AL-MUDZBADZAB

Al-”Mudzabdzab” berkata :

seperti pada kasus Ibn Baz : Seseorang pernah menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Abu Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat2 lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\XVII\Juli 2004; hal. 40-41)
Kalau demikian faktanya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ! Jika anda dan kelompok anda dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dll lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini’ !! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senatiansa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !?!
Para pembaca budiman, sebentar lagi akan saya tunjukkan siapakah yang mencampakkan sunnah nabi dan lebih mengagungkan pemahaman akalnya di dalam permasalahan yang dicontohkan oleh si jahil ini. Bahkan pembaca kelak akan mengetahui –insya Allah- bahwa HT-lah kelompok yang paling gemar mencampakkan sunnah nabi dan meninggalkan pemahaman salaf.

Di dalam menjawab tuduhan di atas, agar lebih mudah difahami, maka saya membagi pasal ini menjadi tiga sub pasal, yaitu sub pasal pertama tentang apakah pendapat sebagian sahabat adalah hujjah, sub pasal kedua tentang masalah jenggot, di dalam sub pasal ini saya sekaligus menanggapi jawaban TKAHI tentang permasalahan jenggot yang dipublikasikan di forum tanya jawab www.hayatulislam.net dan mendudukkan perkara yang sebenarnya, yaitu siapakah yang mencampakkan sunnah dan meninggalkan pemahaman salaf di dalam masalah ini. Dan yang terakhir, subpasal yang berisi tentang beberapa contoh sunnah yang dicampakkan oleh HT dan contoh penelantaran HT terhadap madzhab salaf.

******



Sub Pasal 1

Apakah Pendapat Sebagian Sahabat Adalah Hujjah??

Melihat pernyataan “Mudzabdzab” di atas, yang mengambil kesimpulan se’enak-’nya sendiri, semakin meyakinkan saya bahwa orang jahil ini benar-benar manusia yang disusupi oleh kedengkian dan kebencian, dan meninggalkan norma-norma ilmiah serta amanat kejujuran yang harus diemban oleh setiap penuntut ilmu.

Nukilan si Jahil ini terhadap ucapan al-Allamah Ibnu Bazz yang berkata : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! adalah perkataan yang lurus dan tidak mengandung kebathilan sedikitpun dari segala sisi. Bahkan ucapan beliau adalah ucapan yang haq, benar dan lurus, yang selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Hujurat : 1). Sesungguhnya yang rusak dan bengkok adalah pemahaman si “Mudzabdzab” ini, dan pemahaman orang yang zhalim yang dangkal inilah yang membawa makna lafazh Imam Ibnu Bazz keluar dari konteksnya, sebagaimana kebiasaan Hizbut Tahrir.

Al-Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam al-Madkhol ila Sunanil Kubro (hal. 35) dengan sanad yang shahih dari Imam Syafi’i, beliau berkata,

ما كان الكتاب أو السنة موجودين فالعذر على من سمعها مقطوع إلا باتباعهما, فإذا لم يكن ذلك صرنا إلى أقاويل أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم أو واحدهم

“Jika masih ada hujjah dari al-Qur’an atau as-Sunnah, maka setiap orang yang mendengarnya harus mengikutinya. Bila tidak ada (di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) maka kita beralih kepada perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau salah seorang dari mereka.(1)

Imam Syafi’i juga berkata : “Apabila telah datang dari Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam perkataan-perkataan yang berbeda, maka lihatlah kepada yang mencocoki al-Qur’an dan as-Sunnah kemudian ambillah.”(2)

Wahai “Mudzabdzab”!!! Apakah anda tidak mengatakan bagaimana lancangnya Imam Syafi’i dan anda katakan bahwa beliau rahimahullahu mencampakkan fatwa sahabat dan lebih mendahulukan al-Qur’an dan as-Sunnah??? Dimana akalmu sekarang wahai “Mudzabdzab”?!!

Ketahuilah, pendapat sahabat adalah hujjah dengan perincian sebagai berikut :
Pendapat sahabat yang tersebar di kalangan mereka dan tidak ada yang mengingkarinya, seperti riwayat tentang mengusap khufain.
Pendapat seorang sahabat, namun tidak berlawanan dengan lainnya.
Pendapat sahabat, apabila terdapat perbedaan antara pendapat satu dengan lainnya, memiliki beberapa tingkatan, yaitu :
Pendapat tersebut merupakan pendapat Khulafa’ur Rasyidin yang empat, maka pendapat mereka lebih dikedepankan.
Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur sahabat, maka pendapat mereka adalah hujjah.
Pendapat tersebut berlawanan dengan sebagian besar sahabat lainnya, maka yang dijadikan hujjah adalah pendapat jama’ah.(3)

Seluruh ulama bersepakat untuk menerima atsar para sahabat jika tidak ada faktor yang menolaknya dalam masalah tersebut, dan atsar tersebut diperkuat dengan sumber aslinya. Dan inilah yang tidak difahami oleh “Mudzabdzab”!!! Atau dia faham namun dia menyembunyikannya supaya dia dapat mengakali orang-orang bodoh!!!

Sekarang mari kita lihat yang terjadi pada zaman sahabat, bahwa sebagian sahabat ada yang belum mendengar sabda nabi supaya tuduhan si “Mudzabdzab” ini termentahkan. Akan saya turunkan beberapa contoh kejadian di masa sahabat, dimana para sahabat saling berselisih dan saling mengingkari dikarenakan ada diantara mereka yang belum mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Perhatikanlah baik-baik!!!

Pertama : Dari Muhammad bin ‘Ali, bahwasanya pernah suatu ketika diceritakan kepada ‘Ali bahwa Ibnu ‘Abbas memperbolehkan kawin Mut’ah, maka beliau berkata : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang kawin mut’ah dan makan daging keledai waktu khaibar.”(4) Demikian pula diriwayatkan oleh ath-Thoyalisi di dalam Musnad-nya (hal. 18) dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdul Aziz bin Abi Salamah, keduanya mendengar dari az-Zuhri yang mendengar dari Hasan dan Abdullah (keduanya) putera Muhammad bin al-Hanafiyah dari ibunya bahwa Ali berkata kepada Ibnu Abbas : “Lihatlah apa yang kamu fatwakan? Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang kawin mut’ah.” (Shohih)(5)

Kedua : Dari Ubaid bin ‘Umair dia berkata : ‘Aisyah mendengar bahwa Abdullah bin ‘Amr memerintahkan kaum wanita agar menguraikan rambutnya ketika mandi janabat, lantas Aisyah berkata : “Sungguh aneh Ibnu ‘Amr ini, memerintahkan kepada kaum wanita untuk menguraikan rambutnya di saat mandi, kenapa tidak sekalian saja ia memerintahkan mereka untuk mencukur rambut mereka! Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di tempat yang satu dan aku menyiram rambutku tidak lebih dari beberapa siraman saja.”(6)

Ketiga : Dari Hudzail bin Syarahbil dia berkata : “Datang seorang lelaki menghadap Abu Musa al-Asy’ari dan Salman bin Rabi’ah, kemudian orang itu bertanya kepada mereka tentang (bagian warisan) anak perempuan, anak perempuan dari anak lak-laki dan saudara perempuan ayah dan ibu? Maka keduanya menjawab : “Untuk anak perempuan bagiannya setengah, saudara perempuan ayah dan ibu mendapat setengah, dan anak perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat bagian sedikitpun. Pergilah kamu kepada Ibnu Mas’ud, dia pasti akan mengikuti (pendapat) kami.” Kemudian lelaki tersebut menghadap Ibnu Mas’ud, bertanya padanya dan menceritakan jawaban mereka keduanya, Ibnu Mas’ud menjawab : “Kalau begitu aku akan tersesat dan bukan termasuk orang yang mendapat petunjuk. Akan tetapi aku akan menghukumi dengan hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu bagi anak perempuan setengah, bagi anak perempuan dari anak laki-laki bagian yang melengkapi dua pertiga, dan sisanya (ashobah) untuk saudara perempuan ayah dan ibu.”(7)

Saya berkata : Dimana kaidah yang tinggi ini di hadapan “Mudzabdzab” yang jahil namun merasa alim ini?!! Tidak syak lagi saya mengatakan bahwa kedengkiannyalah yang menyebabkan dirinya meninggalkan keadilan dan jatuh kepada kezhaliman dan kejahatan.

Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa (juz I hal 282-284) telah menjelaskan tentang kaidah “ucapan seorang sahabat bukan sebagai hujjah”. Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat sahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa “Ucapan seorang sahabat sebagai hujjah” apabila memenuhi dua kriteria berikut ini :

Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan tersebut.
Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya.

Saya katakan : Kaidah inilah yang tidak difahami oleh “Mudzabdzab” atau mungkin dia mengetahuinya namun dia menyembunyikannya, karena menurutnya ‘tujuan menghalalkan segala cara’, sehingga menurutnya sah-sah saja menuduh Imam Ibnu Baz mencampakkan fatwa sahabat, hanya karena beliau adalah seorang salafi, sedangkan “Mudzabdzab” ini sangat benci dengan salafiyin dan ulamanya. Wallahul Musta’an.

Namun, anehnya si “Mudzabdzab” ini menutup mata atau memang benar-benar matanya telah tertutup oleh kejahilan dan kebencian, sehingga ia dengan bodohnya membangun pemahaman sakitnya terhadap ucapan Imam Ibnu Baz rahimahullahu dan mem’perkosa’ pemahamannya seenak ‘syahwat’nya sendiri. Bahkan si “Mudzabdzab” ini tanaqudl (kontradiksi) dan ta’arudl (bertentangan) dengan perkataannya di sela-sela muntahannya yang busuk, ia berkata :

Bukankah dalam hadis ini Rasul memerintahkan kpd umat Islam agar mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin, bukan diperintahkan untuk mengikuti Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali sbg individu sahabat.

Saya katakan : Benar wahai “Mudzabdzab”, karena yang patut didahulukan adalah al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ shohabat, termasuk di dalamnya sunnah para khalifah yang empat yang harus lebih dikedepankan dibandingkan pemahaman sahabat lainnya. Lalu, mengapa dirimu memalingkan maksud perkataan Imam Ibnu Baz keluar dari konteksnya yang mana perkataan beliau baik manthuq (tekstual) maupun mafhumnya (kontekstual) tidak menyelisihi suatu kaidah pun di dalam agama ini?!!

Adakah mereka -masyaikh robbaniy- yang kau tuduh itu, mereka mengklaim bahwa pendapat mereka lebih utama dari Sahabat?? Adakah mereka mengklaim bahwa mereka lebih ‘alim dari para sahabat?? Adakah kami mengklaim bahwa pemahaman akal masyaikh kami itu lebih mulia dari sahabat???

“Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta” (QS al-Mujadilah (58) : 2).

“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut (29) : 3)

******

[Bersambung Bagian 3 –Insya Alloh-]
Catatan Kaki :
1 Lihat al-Manhajus Salafi ‘indal Albani karya Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim (hal. 36), lihat pula terjemahannya “Albani dan Manhaj Salaf”, cet. I, 2003, Najla Press, hal. 39.

2 Lihat Al-Adab asy-Syafi’iy karya Ibnu Abi Hatim, hal. 235, sebagaimana di dalam Hujajul Aslaaf fi Bayaanial-Farqi baina Masa`ilil Ijtihad wa Masa`ilil Khilaaf karya Syaikh Fauzi al-Bahraini (download dari http://www.sahab.org/

3 Lihat Manhajus Salaf ’indal Albani, op.cit, hal. 37-40; lihat pula terjemahannya ”Albani dan Manhaj Salaf”, op.cit., hal. 39-41.

4 Dikeluarkan oleh Bukhori dalam Shahih-nya (VI/hal. 2003) dan Muslim dalam Shahih-nya (II/hal. 1028) dari jalan az-Zuhri, dari Hasan dan Abdullah keduanya putera Muhammad bin ‘Ali dari ayahnya.

5 Lihat Hujajul Aslaaf, op.cit., (download dari http://www.sahab.org/)

6 Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih-nya (IV/hal. 12), an-Nasa`i dalam As-Sunan al-Kubro (I/hal 203) dan Ibnu Majah di dalam Sunan-nya (I/hal. 198) dari jalan Abu Zubair dari Ubaid. Lihat Hujajul Aslaaf, op.cit.,(download dari http://www.sahab.org/)

7 Dikeluarkan oleh Bukhori (XII/hal. 17) secara ringkas, Abu Dawud dalam Sunan-nya (III/ hal. 312), an-Nasa`i dalam Sunanul Kubro (IV/hal. 70), at-Turmudzi dalam Sunan-nya (IV/hal 415), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/ hal 909) dan Ahmad dalam al-Musnad (I/hal. 389) dengan beberapa jalan dari Abu Qois dan al-Hudzail. Lihat Hujajul Aslaaf, op.cit., (download dari http://www.sahab.org/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar