Laman

Sabtu, 06 November 2010

NABIKU BUKAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB ! (Kisah Debatnya Syaikh Asy-Syinqithi)

Ini adalah kisah perdebatan yang terjadi secara spontanitas antara Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah (dari Mauritania) –penulis kitab Tafsir Adhwa’ Al-Bayan- yang wafat pada tahun 1393 H bersama salah seorang ulama Al-Azhar yang mengajar di Ma’had Al-Ilmi di Riyadh, di hadapun Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh Mufti Kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu. Kisah ini menunjukkan kepribadian seorang ulama salafi yang cerdik, pemberani dan anti taqlid. Sekaligus menunjukkan bahwa para ulama ahlus sunnah kepentingannya adalah mencari dan membela kebenaran, meski kebenaran itu berseberangan dengan pendapat dan fatwa guru dan leluhurnya.



Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Amin bin Ahmad Asy-Syinqithi menceritakan kisah ini dalam kitabnya yang berjudul ‘Majalis Ma’a Fadhilah asy-Syaikh Muhammad al-Amin al-Jakna Asy-Syinqithi’. Penulis bercerita: Saya diberitahu oleh guru saya Syaikh Muhammad al-Amin al-Jakna asy-Syinqithi, beliau berkata:

“Ketika aku keluar dari kelas, sehabis mengajar materi tafsir, aku memasuki ruang istirahat para mudarris. Saat itu dua Syaikh; yang mulia Syaikh Muhammad bin Ibrahin bin Abdul Lathif Alu Asy-Syaikh dan saudaranya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Ibrahim sedang berada diruang istirahat tersebut, yang pertama adalah mufti Kerajaan Saudi Arabia dan yang kedua adalah DirekturUmum untuk Ma’ahid dan Kulliyaat. Ketika aku memasuki ruang istirahat para mudarris tiba-tiba seorang mudarris dari al-Azhar Mesir berkata, “Hai orang Syinqith aku dengar kamu menetapkan dalam pelajaran dikelas bahwa neraka itu abadi dan siksanya tidak akan berkesudahan?!”.

Aku jawab, “Ya.”

Dia berkata, “Bagaimana engkau rela untuk dirimu, hai orang Syinqith! Engkau mengajarkan kepada anak-anak kaum muslimin bahwa neraka itu abadi dan adzabnya tiada henti, sementara Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab keduanya menetapkan bahwa neraka itu akan padam dan dari dasarnya akan tumbuh sayur Jirjir?!!”.

Aku waktu itu masih baru saja meninggalkan suasana padang pasir Mauritania, maka aku marah jika dibuat marah, maka aku katakan, “Hai orang Mesir! Siapa yang mengabarkanmu bahwa Nabi yang diutus kepadaku dan yang wajib aku imani bernama Muhammad bin Abdul Wahhab?!! Sesungguhnya Nabi yang diutus kepadaku dan yang wajib aku imani namanya Muhammad bin Abdullah, yang dilahirkan di Makkah bukan dilahirkan di Huraimla, dikubur di Madinah bukan dikubur di Dir’iyyah, dia datang dengan membawa kitab namanya al-Qur’an, dan al-Qur’an itu aku bawa diantara dua lempengku. Dialah yang wajib diimani. Ketika aku amati ayat-ayatnya aku dapatkan bahwa seluruh ayat-ayatnya sepakat bahwa neraka itu abadi, dan adzabnya tidak akan pernah berhenti. Aku ajarkan hal itu kepada anak-anak kaum muslimin karena para wali mereka mempercayakan pengajarannya kepadaku. Kamu dengar itu wahai orang Mesir ?!!”.

Maka yang mulia Syaikh Mufti Muhammad bin Ibrahim berkata, “Apa yang kamu katakan?”

Maka yang mulia kemudian berkata, “Semoga Allah memperpanjang usiamu, darimu kami mengambil pelajaran.”

Syaikh Amin Asy-Syinqithi berkata, “Sesungguhnya saya mengatakan apa yang telah saya katakan setelah saya menelaah dalil-dalil yang digunakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menetapkan madzhab Syaikhnya.” Dan setelah Syaikh menyebut dalil-dalilnya dari al-Qur’an dan Sunnah yang datang dalam tema ini dan setelah meluruskan semua syubhat yang dikemukakan oleh pengikut pendapat kedua yang sulit disebutkan dalam kesempatan yang singkat ini, dan mungkin merujuk kembali kepada kitabnya.

Maka berkatalah Syaikh Mufti: Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Alu Asy-Syaikh, “Hai Abdul Lathif (maksudnya saudaranya sendiri yang menjadi direktur umum lembaga-lembaga pendidikan dan fakultas), rujuk kepada yang benar (al-haqq) adalah lebih baik dari pada terus menerus dalam kebathilan. Dari sekarangtetapkan bahwasanya neraka adalah abadi (kekal) dan adzabnya tiada henti, dan bahwasanya dalil-dalil yang dimaksud itu adalah jurang neraka yang dikhususkan untuk ahli maksiat dari kalangan orang-orang mukmin.”

Para pembaca yang mulia, begitulah dada para ulama begitu lapang untuk meninggalkan kesalahan dan menerima kebenaran kapan saja kebenaran itu datang kepadanya. (Majalah Mingguan Al-Furqan, edisis 468, 16 Dzul Qa’dah 1328 H, halaman 34-35)

Perlu diketahui bahwa Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak pernah menyatakan kefanaan neraka, malah yang ada dia menyatakan kekekalan beberapa makhluk seperti surga, neraka dan arsy dan lain-lain. Dan dia mengatakan bahwa ini adalah aqidah kaum salaf, para imam serta seluruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sementara Ibnul Qayyim rahimahullah membahas pendapat kekekalan atau kefanaan neraka panjang lebar dalam kitabnya ‘Hadil Arwah Ila Biladil Afrah’ 43-80. Sedangkan dalam 4 kitabnya beliau meyakini kekalnya neraka, yaitu, ‘Ar-Ruh, Manzumah al-Kafiyah ash-Shafiyah, al-Wabil as-Shayyib, Muqaddimah Zadil Ma’ad. (silahkan baca Pengantar Syaikh al-Albani untuk kitab Raf’ul Atsar Li Ibthal al-Qaul bi Fana’ an-Nar, karya Syaikh Muhammad bin Amir ash-Shan’ani).

Sementara untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kami belum bisa memberi komentar. Insya Allah di lain waktu, namun menurut syaikh Mamduh, itu hanya dinisbatkan oleh sebagian orang tanpa ada buktinya. Seandainya pun benar, maka komentar Syaikh Syinqithi atas tuduhan guru Azhari itu sudah cukup. Wallahu A’lam.

Sumber : Dinukil dari Majalah Qiblati edisi 06 tahun III bulan Maret 2008 M / Shafar-Rabi’ul Awwal 1429 H. (hal : 98).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar