Laman

Selasa, 16 November 2010

Talqin Mayit Setelah Meninggal Dunia

Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Muhtar as-Sidawi hafizhahullah

Taqdim

Kematian adalah suatu kepastian. Tidak seorang pun dapat lari darinya. Maka orang yang berbahagia adalah seorang yang mempersiapkan bekal untuk kehidupannya setelah kematian tiba.

Kita sering mendapat peristiwa kematian, baik dari kalangan kerabat, teman, atau yang lainnya. Namun adakah semua itu menggugah hati kita dan mengubah keadaan kita?! Kita memohon kepada Allah azza wa jalla ampunan dari kerasnya hati kita!!

Disini, kita tidak ingin membahas hukum-hukum tentang kematian dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentangnya. Namun, kami ingin membahas sebuah permasalahan yang cukup penting, yaitu talqin bagi orang yang sudah meninggal dunia di kuburnya. Apakah hal itu ada dalilnya? Kalau memang ada dalilnya, apakah dalilnya shohih? Bisakah hal itu dijadikan hujjah?! Hal inilah yang ingin kami bahas dalam kesempatan kali ini. [1]



Teks dan Takhrij Hadits[2]

Yang artinya:

“Apabila seorang di antara kalian meninggal dunia lalu kalian menguburkannya, maka hendaklah seorang di antara kalian berdiri dan mengatakan di sisi kepalanya: wahai fula bin fulanah!, dia akan mendengar, lalu katakanlah: Wahai fulan bin fulanah! Dia akan duduk tegak, lalu katakanlah: Wahai fulan bin fulanah! Dia akan mengatakan: Bimbinglah aku, bimbinglah aku, semoga Allah merahmatimu. Lalu katakanlah: Ingatlah apa yang engkau keluarkan dari dunia yaitu syahadat Lailaha Illallahu wa Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu dan bahwa hari kiamat pasti datang tanpa keraguan di dalamnya dan bahwa Allah akan membangkitkan orang yang di dalam kubur, setelah itu maka Malaikat Munkar dan Nakir akan mengambil tangan sebagian lainnya seraya berkata: Apa yang kita perbuat terhadap seorang yang telah ditalqin hujjahnya. Kemudian Allah menanggungnya dari kedua malaikat tersebut.”

MUNKAR. Hadits ini memiliki dua jalur:

1. Abdullah bin Muhammad al-Qurosyi dari Yahya bin Abi Katsir dari Sa’id bin Abdillah al-Audi dari Abu Umamah

Dan dari Abdullah al-Qurosyi ada dua jalur:

Pertama: Ismail bin ‘Ayyasy. Diriwayatkan oleh ath-Thobroni dalam ad-Du’a no.1214 dan Mu’jam al-Kabir no.7979, adh-Dhiya’ al-Maqdisi dalam al-Mukhtaroh, Ibrahim al-Harbi dalam Ittiba’ul Amwat, Abu Bakr al-Khollal dalam asy-Syafi’i, Ibnu Zabr dalam Washoya Ulama ‘Inda Khudhuril Maut hal.47, Ibnu Asakir dalam Tarikhnya, Ibnu Mandah dalam Kitab ar-Ruh dan ad-Dailami.

Kedua: Hammad bin Amr an-Nashibi. Diriwayatkan oleh adh-Dhiya’ dalam al-Muntaqo min Masmu’atihi bi Marwa dan Ibnu Syahin dalam Dzikrul Maut.

2. ‘Utbah bin Sakan dari Abu Zakariya dari Jabir bin Sa’id al-Azdi dari Abu Umamah.

Diriwayatkan al-Qodhi al-Khol’i dalam al-Fawa’id: 2/55

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Sanad ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin Sakan, dia dikatakan oleh ad-Daruquthni: Ditinggalkan haditsnya. Al-Haitsami mengatakan: Diriwayatkan ath-Thobroni dalam al-Kabir, dalam sanadnya ada beberapa rowi yang tidak saya kenal.” [3]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Sanadnya lemah.” Ibnu Sholah mengatakan: “Sanadnya tidak tegak.” [4] Demikian juga dilemahkan oleh al-Hafizh al-Iroqi [5]. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Tidak shohih.”[6] Ditempat lain, beliau berkata: “Hadits ini disepakati akan kelemahannya.”[7] az-Zarkasy rahimahullah berkata: “Sanadnya lemah.”[8] as-Suyuthi rahimahullah berkata: “Sanadnya lemah.”[9] ash-Shon’ani rahmahullah berkata: “Dalam kitab al-Manar dikatakan: “Sesungguhnya hadits tentang talqin tidak diragukan oleh para ulama ahli hadits tentang palsunya.” [10]

Kesimpulannya, hadits ini adalah munkar kalau bukan maudhu’. Oleh karena itu, ash-Shon’ani rahimahullah berkata: “Kesimpulan komentar para ulama ahli hadits bahwa hadits ini adalah lemah, mengamalkannya merupakan suatu kebid’ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya.”[11]

Mengkritisi Matan Hadits

Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini memiliki beberapa kejanggalan, diantaranya:

1. Tidak ada penukilan dari para sahabat dengan sanad yang shohih bahwa mereka melakukannya, padahal mereka adalah generasi yang paling semangat dalam mengamalkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Ucapannya “Ya fulan bin fulanah” menyelisihi praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat dalam memberikan nama kepada manusia dan menisbatkan mereka kepada bapak-bapak mereka, bukan kepada ibu mereka.
3. Ucapannya “karena dia mendengarnya” menyelisihi dalil-dalil syar’i yang banyak sekali. Yang benar bahwa mayit tidak mendengar kecuali apabila manusia sudah berpaling darinya dan dia mendengar suara sandal mereka untuk persiapan menjawab pertanyaan Malaikat.
4. Konsekuensi hadits ini adalah meniadakan amalan dua malaikat yang ditugaskan untuk memberi pertanyaan kepada mayit selagi si mayit sudah ditalqin! Tidak ada seorang pun berpendapat seperti ini!
5. Talqin ini menurut keyakinan mereka mencakup orang yang baik dan yang jelek!! [12]

Pendapat Ulama Tentang Talqin [13]

Ketahuilah, bahwa talqin sebelum mati itu tidak ada perselisihan ulama tentang disyariatkannya, yaitu hendaknya orang yang akan meninggal dunia ditalqin untuk mengucapkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illa Allah. Hal ini berdasarkan hadits:

“Laqqonuu maautaakum Laa Ilaha Illa Allah”

“Talqinlah orang yang akan meninggal di antara kalian[14] : Laa Ilaha Illa Allah.” [HR.Muslim: 916]

Adapun talqin setelah mayit dikuburkan, para ulama berselisih pendapat menjadi tiga pendapat:

1. Sunnah. Berdasarkan hadits diatas dan amalan sebagian ulama. Ibnu Sholah rahimahullah berkata: “Adanya talqin, itulah yang kami pilih dan kami amalkan, kami meriwayatkan suatu hadits tentangnya dari Abu Umamah, namun sanadnya tidak kuat, tetapi dikuatkan oleh beberapa penguat dan diamalkan oleh penduduk Syam.”[15]
2. Mubah (boleh). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Dalam hal ini ada tiga pendapat: Sunnah, Makruh dan Mubah, inilah pendapat yang paling adil.” [16]
3. Haram. Hal itu karena haditsnya tidak shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mengamalkannya termasuk kebid’ahan dalam agama. Ash-Shon’ani rahimahullah berkata: “Kesimpulan komentar para ulama ahli hadits bahwa hadits ini lemah dan mengamalkannya merupakan kebid’ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya.” [17]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkomentar: “Hal ini jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadits lemah bisa digunakan dalam fadhoil a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah as-Shohihah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadits lemah. Hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya karena kebanyakan orang lalai.” [18]

Beliau juga mengatakan: “Talqin setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada haditsnya yang shohih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari kampung taklif (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.” [19]

Pengganti Yang Shohih

Cukuplah bagi kita hadist shohih berikut (yang artinya):

“Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila selesai dari menguburkan mayit, beliau berdiri dan berkata: Mintalah ampunan untuk saudara kalian, dan mintalah ketetapan baginya, karena dia sekarang ditanya.” [20]

Demikianlah penjelasan ringkas tentang masalah talqin, semoga bermanfaat bagi kita semua.Wallahu A’lam.

Note:

[1] Al-Qoulul Mubin fi Dho’fi Haditsai Talqin hal.7-8 karya Syaikhuna Ali bin Hasan al-Halabi.

[2] Diringkas dari Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 599, Irwaul Gholil: 753 oleh al-Albani dan al-Qoulul Mubin hal.25-30 karya Syaikhuna Ali bin Hasan al-Halabi

[3] Majma Zawaid: 2/45

[4] Al-Majmu’: 5/304

[5] Takhrij Ihya’: 4/420

[6] Zadul Ma’ad: 1/504

[7] Tahdzib Sunan: 13/293

[8] al-Ala’i al-Mantsuroh hal.468

[9] ad-Duror al-Muntatsiroh no.468

[10] Subulus Salam: 2/113

[11] Subulus Salam: 2/161

[12] al-Qoulul Mubin fi Dho’fi Haditsai Talqin, karya Syaikhuna Ali bin Hasan al-Halabi hal.33-35

[13] Diringkas dari Bida’ul Qubur hal.376-379 oleh Syaikh Sholih bin Muqbil al-Ushaimi

[14] Maksud kalimat “Mautakum” disini adalah orang yang akan meninggal dunia karena dia masih mukallaf (orang yang dibebani) di dunia ini sehingga bisa bermanfaat dengan talqin, bukan apabila sudah meninggal dunia, karena sudah tidak bisa mengambil manfaat lagi. Perhatikanlah! (Lihat at-Ta’liqot al-Atsariyyah ‘ala Mandhumah al-Baiquniyyah, karya Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi hal.32)

[15] Mukhtashor al-Majmu’: 5/169

[16] Majmu’ Fatawa: 24/298

[17] Subulus Salam: 2/261

[18] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 2/65

[19] Silsilah Ahadits ash-Shohihah: 1/838

[20] HR.Abu Dawud: 2/70, al-Hakim: 1/370, al-Baihaqi: 4/56, Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Zuhd hal.129. al-Hakim berkata: “Sanadnya sohih”. Dan disetujui adz-Dzahabi. An-Nawawi berkata 5/292: “Sanadnya bagus.” (Lihat Ahkamul Jana’iz, al-Albani hal.198)

Sumber: Diketik ulang dari Majalah al-Furqon Edisi 5 Tahun Kesembilan, Dzulhijjah 1430H, Nov/Des 2009 hal.14-15

Dipublikasikan kembali oleh: http://alqiyamah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar