Dari Alqomah, Abdullah bin Mas’ud melaknat wanita yang mentato, melakukan namsh dan merenggangkan giginya untuk mencari kecantikan dan mengubah ciptaan Allah. Ummu Ya’qub mengatakan, “Apa-apaan ini?”. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah dan hal tersebut ada dalam al Qur’an”.
Ummu Ya’qub berkata, “Demi Allah, aku telah membolak-balik mushaf tapi hal itu tidak aku jumpai”. Ibnu Mas’ud berkata, “Demi Allah, jika engkau benar-benar membacanya tentu akan kau jumpai yaitu ‘Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah’ (QS al Hasyr:7) (HR Bukhari no 5595 dan Muslim no 120).
Berdasar hadits di atas, namsh adalah perbuatan yang haram, bahkan dosa besar karena diancam dengan laknat dari Rasulullah.
Pengertian namsh
Dalam bahasa Arab, namsh adalah mencabut rambut, ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah mencabut rambut dari wajah.
Sedangkan secara istilah fiqh, makna namsh itu sama dengan maknanya secara bahasa hanya saja sebagian ulama membatasi istilah namsh hanya untuk menipiskan alis mata.
An Nawawi mengatakan, “an Namishah adalah wanita yang menghilangkan rambut dari wajahnya” (Syarh Muslim 7/241, Syamilah).
Ibnul ‘Atsir berkata, “An Namishah adalah perempuan yang mencabut rambut dari wajahnya” (an Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar 5/253, Syamilah).
Simpulannya, dalam Fiqh Sunnah lin Nisa’ hal 414 disebutkan,
“Tentang an Namsh ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah menghilangkan rambut di wajah. Ada juga yang mengatakan bahwa namsh hanyalah menghilangkan rambut alis dan menipiskannya. Sedangkan rambut bagian wajah yang lain tidaklah disebut namsh. Pendapat kedua ini dinukil merupakan pendapat Aisyah dan beliau lebih tahu dalam masalah-masalah semisal ini dibandingkan yang lain”.
Para pakar fiqh bersepakat bahwa mencabut rambut yang ada di alis mata termasuk namsh yang terlarang dalam hadits di atas.
Kerok ataukah dicabut?
Para ulama berselisih pendapat tentang menghilangkan rambut alis dengan cara dikerok dan tidak dicabut apakah termasuk namsh. Malikiah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa hal tersebut semisal dengan mencabut sehingga termasuk namsh.
Sedangkan Hanabilah berpendapat boleh jika dikerok karena yang terlarang adalah jika dengan cara dicabut.
Yang benar, dicabut ataupun dikerok hukumnya sama yaitu haram. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata,
“Namun bila hal itu dilakukan tanpa mencabutnya, misalnya dengan mencukur atau memangkasnya sebagian ulama tetap menganggapnya termasuk namsh karena itu berarti mengubah ciptaan Allah. Sehingga tidak ada bedanya antara dicabut atau dicukur dan dipangkas. Ini adalah pendapat yang paling selamat, tidak diragukan lagi” (Fatwa-Fatwa Seputar Tatarias Rambut hal 66, Darul Iman).
Bagaimana dengan selain alis?
Mayoritas pakar fiqh berpendapat bahwa mencabut bulu di wajah selain alis itu termasuk namsh yang terlarang. Sedangkan Malikiah, Abu Daud al Sijistani dan sebagian para ulama mazhab selain Malikiah berpendapat bahwa hal tersebut tidak termasuk kategori namsh yang terlarang.
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian namsh, jelaslah bahwa namsh yang terlaknat adalah khusus untuk bulu alis.
Hukum Namsh
Mayoritas ulama berpendapat bahwa namsh itu hukumnya haram. Sedangkan Imam Ahmad dan yang lainnya berpendapat hukumnya adalah makruh.
Tidaklah diragukan bahwa pendapat mayoritas ulamalah yang benar. Jadi namsh hukumnya adalah haram bahkan dosa besar. Karena perbuatan yang dilaknat oleh Allah atau rasulNya itu bernilai dosa besar.
Perempuan Berjenggot
Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan menghilangkan rambut di wajah yang ada dalam hadits di atas tidak bersifat umum. Artinya wanita yang memiliki jenggot dan kumis boleh menghilangkan rambut-rambut tersebut.
Namun Ibnu Mas’ud dan Abu Jarir ath Thabari berpendapat bahwa larangan tersebut bersifat umum. Sehingga menghilangkan bulu di wajah adalah haram apapun kondisinya.
Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita yang memiliki kumis, jenggot atau bulu di atas dagu di bawah bibir bagian bawah itu dianjurkan untuk menghilangkannya. Tapi sebagian ulama menganjurkannya dengan syarat mendapatkan izin dari suami.
Sedangkan Malikiah malah mewajibkannya karena bulu-bulu tersebut dinilai menjelekkan penampilan fisik seorang wanita. Di lain pihak, Ibnu Jarir malah mengharamkannya karena dinilai sebagai perbuatan mengubah ciptaan Allah.
Yang benar sebagaimana yang dikatakan oleh penulis Fiqh Sunnah lin Nisa’ hal 414,
“Dalam kondisi tertentu yang tidak normal terkadang seorang wanita memiliki kumis dan jenggot yang cukup lebat dalam kondisi ini dianjurkan bagi wanita tersebut untuk menghilangkan bulu-bulu tersebut. Hal ini termasuk mengembalikan fisik wanita kepada bentuk asalnya dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah”.
Di samping itu, hal itu agar tidak menyerupai laki-laki.
Antara yang bersuami dan tidak
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita yang tidak bersuami tidak diperbolehkan melakukan namsh. Sebagian ulama membolehkan yang tidak bersuami untuk melakukan namsh jika itu memang dibutuhkan semisal untuk pengobatan atau untuk menghilangkan rambut yang tidak pantas dipandang, namun ini bersyarat yaitu tidak menyebabkan ada orang yang tertipu dengan keadaannya yang sebenarnya.
Sedangkan al ‘Adawi, seorang ulama bermazhab Maliki, mengatakan bahwa larangan namsh hanya berlaku untuk perempuan yang terlarang untuk berhias yaitu wanita yang sedang dalam masa berkabung karena suaminya meninggal yaitu selama empat bulan sepuluh hari terhitung dari hari kematiannya atau perempuan yang statusnya menggantung karena suaminya belum bisa dipastikan masih hidup ataukah sudah meninggal dunia.
Untuk wanita yang bersuami, mayoritas pakar fiqh membolehkan namsh untuk mereka jika seizin suami secara tegas atau ada indikator diizinkan. Alasannya karena namsh termasuk bagian dari berdandan sedangkan wanita itu diperintahkan untuk berdandan bagi suaminya.
Sedangkan para ulama mazhab Hanbali tidak membolehkan namsh dengan cara mencabut meski dengan seizin suami. Sedangkan jika dengan cara dikerok maka dibolehkan. Namun Ibnul Jauzi, seorang ulama mazhab Hambali, membolehkan namsh untuk yang bersuami. Hal ini dikarenakan beliau berpandangan bahwa namsh itu terlarang jika mengandung unsur penipuan atau ketika hal itu menjadi simbol wanita yang tidak taat beragama.
Berbagai pendapat yang memberi rincian dalam hal ini adalah pendapat yang keliru sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Musthofa al Adawi,
“Pendapat ini (yaitu yang membolehkan namsh dengan seizin suami) adalah pendapat yang tertolak karena Nabi melaknat wanita yang melakukan namsh dan yang minta agar di-namsh dan Nabi tidak memberikan pengecualian jika dengan izin suami ataupun yang lainnya” (Jami’ Ahkam an Nisa 4/410, cet Dar al Sunnah).
Abu Malik Kamal bin al Sayyid Salim berkata,
“Namsh adalah haram baik untuk suami atau yang lainnya, dengan izin suami atau tanpa izinnya karena Nabi melaknat wanita yang melakukan namsh dan wanita yang minta dijadikan objek namsh” (Fiqh Sunnah lin Nisa hal 414).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar