Syaikul Islam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata :”Ketahuilah semoga Allah merahmati anda bahwa tauhid ialah mengesakan Allah dengan beribadah. Inilah dia agama semua Rasul Allah yang diutus untuk para hamba- Nya. Utusan paling pertama adalah adalah Nuh `alaihis-salam 1) yang diutus Allah Ta’ala kapada kaumnya ketika mereka berlaku ghuluw (berlebih-lebihan ) terhadap para ulama sholihin yaitu Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq, serta Nasr “. Makna tauhid menurut syar`i ialah mengesakan Allah dengan cara mempersembahkan segala apa yang khusus menjadi hak Allah; berupa asma`, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan peribadatan hanya kepada Allah semata, baik secara ilmu maupun secara aqidah (keyakinan).
Tauhid tidak akan menjadi sempurna kecuali jika meliputi dua hal nafi (penolakan) dan itsbat (penetapan) 2) Sebab nafi semata-mata berarti masih mengandung kemungkinan adanya penyekutuan. Pola-pola itsbat serta nafi ini didalam Al-Qur`an terdapat banyak sekali.
Sementara sejumlah ahli ilmu (ulama`) telah mendefinisikan tauhid 3) dalam beberapa pengertian, namun maknanya satu diataranya:
Al Qodhi ‘Iyadh rahimahullah dalam as-Syifa`(1/388) mengatakan:”tauhid ialah menetapkan satu zat yang tidak sama dengan zat-zat lain dan tidak lepas dari sifat-sifat”.
Al-Hafidz Qowam as Sunnah At Taimi al Ashfahani mengatakan: ”At tauhid mengikuti wazan at-taf`il; merupakan mashdar dari wahhada-yuwahhid. Arti wahhad-tullaha yakni: Aku meyakini bahwa hanya ALLAH sendiri yang ESA dalam dzat maupun sifat-sifatnya, tiada sesuatupun yang menyerupainya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimmahullah dalam majmu Fatawanya (4/150) mengatakan: ”Adapun tauhid yang karenanya para utusan Allah diutus dan kitab-kitab Allah diturunkan ialah perintah Allah kepada para hambanya agar beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan (syirik) sesuatupun dengan-Nya, sehingga selain Allah tidak memiliki sebagian kecil pun apa yang menjadi hak khusus Allah berupa peribadatan dengan segala rangkaianya. Ini jika dilihat dari segi pengamalan (amaliyah lahir maupun batin). Adapun jika dilihat dari sisi perkataan maka tauhid ialah iman terhadap suatu sifat yang Allah telah menetapkan bagi diri-Nya dan Rasulullah shallallahu alaihi wa salam telah menetapkan bagi Allah.
Syaikh Abdul Haq Al-Hasyimi rahimmahullah dalam Syarh Kitabit–Tauhid min Shahih Bukhari hal 11 mengatakan Tauhid ialah penetapan ke-Esaan Allah Ta`ala. Dan penetapan sifat-sifatnya dengan cara menafikan (meniadakan) penyerupaan (tasybih) dan ta`thil (penolakan terhadap sifat-sifatNya)”
Selanjutnya diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa tauhid itu adalah diin (agamanya) para rasul. Mereka diutus untuk membawa din ini.
Rasul Allah paling pertama adalah Nuh alihis-salam, beliau diutus untuk menyeru kaumnya agar mereka mentauhidkan Allah serta mengingatkan mereka supaya jangan menyembah kepada patung: Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nashr.
Sebab-sebab peribadatan mereka terhadap patung-patung itu ialah karena ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang–orang shalih.
Nama-nama Wadd, Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nashar, sebelumnya nama orang-orang shalih yang telah wafat, kemudian mereka dimonumenmtalkan menjadi patung-patuing. Mula-mula tidak disembah, namun ketika zaman menjadi semakin panjang, akhirnya patung-patung innipun disembah.
Karena itulah Nuh ‘alaihi salam mengajak mereka untuk kembali bertauhid kepada Allah dan mengingatkan mereka supaya jangan syirik kepada Allah Azza wa Jalla. Begitu pulalah semua rasul Allah, mereka diutus untuk mengemban prinsip ini, prinsip Tauhidullah.(Al-Anbiya`:25)
Kemudian rasul paling akhir adalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Beliau inilah yang telah membinasakan patung-patung orang shalih tersebut.
Manakala terjadi Fathul Makkah, ketika beliau masuk Ka`bah, beliau mendapati patung-patung yang jumlahnya mencapai 360 buah patung, terdapat didalam dan disekitar Ka`bah, lalu dihancurkan lah patung–patung itu oleh beliau dengan kampak seraya mengucapkan: “yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (Al-Isra`:81)
Allah Ta`ala telah (sengaja) mengutus Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wa salam ini ketengah-tengah manusia yang beribadah, berhaji, shadaqoh dan berdzikir (banyak-banyak) kepada Allah, namun bersamaan dengan itu, mereka menjadikan para makluk sebagai wasilah (perantara) yang dianggap bisa menjadi penghubung antara diri mereka dengan Allah. Mereka mengatakan: “Kami menginginkan mereka untuk menjadi wasilah yang mendekatkan diri kami kepada Allah, kami menghendaki syafa`at mereka.”
Begitulah manusia jahiliyah, mereka menyembah patung-patung, kayu-kayu, kuburan-kuburan dan monumen-monumen orang–orang shlih dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukanlah peribadatan tetapi hanyalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah Ta`ala telah berfirman mengenai meareka:
Kami tidak mnyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Az-Zumar: 3) 4)
Mereka sebenarnya yakin dan mengakui bahwa benda serta patung-patung tesebut tidaklah akan mampu memberikan manfaat atau madharat apapun kepada mereka, hanya saja mereka beranggapan bahwa semua itu adalah pemberi syafa`at kelak disisi Allah. akan tetapi sungguh sayang, syafa`at semacam itu adalah syafa`at yang tiada bermanfaat, sebuah syafaat yang hakikatnya tidak ada, sebeb tiada seorangpun yang bisa memberi syafaat tanpa idzin dari Allah, padahal Allah ta`ala tidak mungkin akan mengijinkan seseorang untuk memberikan syafa`atnya (kelak di hari kiamat) kecuali kepada orang yang diridhai-Nya.
Siapapun yang tidak diridhai oleh Allah baik yang memberi syafa`at maupun yang diberi, maka Allah tidak mungkin memberi izin padanya ubntuk memeri atau mendapat syafa`at. Firman-Nya:
Maka tidak berguna lagibagi mereka syafaat dari orang –orang yang memberi syafaat (Al Mudatsir: 48)
Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah –Maha Rahman- telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (Taha: 109).
Demikianlah, orang-orang Quraisy Jahiliah dahulu banyak melakukan kebaikan, sengang bersadaqah dan suka berhaji di Baitullah, namun segala kebaikan mereka itu tidak bermanfaat sama sekali karena mereka adalah orang-orang kafir, musyrik dan penyembah berhala. Kepada mereka dan kepada orang-orang semisal mereka Nabi shalallahu alaihi wasallam diutus.
Demikianlah, mereka terus menerus berada dalam kekufuran dan kemusydikan, mereka menuhankan malaikat, Isa bin Maryam, orang-orang shalih dan berhala-berhala dengan anggapan bahwa merekalah calon pemberi syafaat di sisi Allah. Maka (sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), diutuslah Muhammad Shalallahu alaihi wasallam ketengah-tengah mereka guna memperbaharui kembali millah Ibrahim alaihis salam yang telah dirusak oleh tangan-tangan kotor jahiliah. Beliau menegaskan bahwa amaliyyah taqarub (pendekatan diri kepada Allah) dan peribadatan hanyalah menjadi hak mutlak Allah Ta`ala, dengan demikian tidaklah layak sama sekali tindakan taqarub serta peribadatan ini ditujukan kepada selain Allah walaupun kepada seoran malaikat atau seorang nabi, apalagi kepada selain keduanya.
Itulah kemusyrikan mereka, kemusyrikan yang terjadi dalam masalah uluhiyyah. Al Qur`an telah banyak menjelaskan bahwa kemusrikan Quraisy jahiliah dahulu hanyalah terjadi dalam hal peribadatan saja. Adapun secara Rububiyyah maka sebenarnya mereka telah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb pencipta segala sesuatu, satu-satunya Dzat Yang Maha mengabulkan do`anya orang yang sedang dalam keadaan kritis dan satu-satunya Dzat Yang Kuasa melepaskan segala marabahaya. Begitu pulalah keyakinan-keyakinan meraka lainnya sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dalam Al Qur`an Al Karim berkenaan dengan ikrar mereka terhadap Rubbubiyyah Allah. Akan tetapi tetap saja mereka sebatgai orang-orang musyrik secara ubudiyyah, sebab mereka juga melakukan peribadatan kepada selain Allah. Kemusyrikan semacam ini jelas merupakan kemusyrikan yang mengeluarkan seseorang dari keislaman.
Sementara itu pengertian tauhid secara lafzhi ialah menjadikan sesuatu menjadi satu. Jadi mentauhidkan Allah artinya menjadikan segala sesuatu hanya tertuju kepada Allah semata.
Allah Tabaraka wa Ta`ala memiliki hak wajib yang hanya kepada Dia saja hak itu diberikan, dan tidak boleh diberikan kepada selain-Nya. Hak Allah tersebut terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Hak pemilikan kekuasaan (Rububiyyah)
2. Hak Peribadatan (Uluhiyyah), dan
3. Hak Asma` wa Shifat.
Jadi seperti yang telah dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, orang-orang musyrik (Arab dahulu) yang Nabi shalallahu alaihi wasallam diutus ketengah-tengah meraka itu, secara Rububiyyah beriman kepada Allah. Mereka meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta alam semesta dan satu-satunya pemberi rizki, tiada pencipta dan pemberi rizki selain Allah, tiada yang menghidupkan serta mematikan selain Dia, tiada yang mengatur segala urusan alam semesta ini melainkan Dia. Mereka yakin betul bahwa langit-langit yang tujuh serta penghuninya dan bumi yang tujuh beserta segenap isinya adalah hamba bagi Allah dan semuanya berada dalam genggaman serta kekuasaan-Nya.
Banyak sekali ayat Al Qur`an yang menerangkan tentang ikrar mereka terhadap tauhid rububiyyah, tetapi ikrar mereka tersebut tidak memberikan arti apa-apa bagi mereka bagi mereka, sebeb yang mereka ikrarkan hanyalah tauhid rububiyyah belaka. 5) Selamanya, iman terhadap tauhid rububiyyah tidak akan memberi manfaat apapun kepada pelakunya sebelum ia juga berikrar terhadap tauhid uluhiyyah 6) dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah semata.
Ketahuilah bahwa ikrar terhadap tauhid rububiyyah mengandung konsekuensi untuk ikrar terhadap tauhid uluhiyyah, sedangkan ikrar terhadap tauhid uluhiyyah menngandung pengertian ikrar terhadap tauhid rububiyyah. Penjelasanya adalah:
Bahwa macam tauhid yang pertama (rububiyyah) merupakan petunjuk pasti untuk sampai kepada tauhid yang kedua (uluhiyah) yakni ikrar terhadap tauhid rububiyah secara pasti mengharuskan pula untuk ikrar terhadap tauhid uluhiyah sebeb apabila telah diyakini bahwa Allah-lah satu-satunya pencipta dan pengatur segala sesuatu, dan bahwa ditangan-Nyalah segala kekuasaan, maka Dia menjadi wajib untuk disembah dan bukan selain-Nya.
Sedangkan macam tauhid yang kedua (uluhiyah) ketika seseorang telah mengimani, otomatis ia (mestinya) mengimani tauhid yang pertama (rububiyah), sebab tidak ada yang bisa dijadikan Ilah (sesembahan) kecuali Ar Rabb Ta`ala, Dzat yang memiliki sifat Rububiyyah, maha pencipta dan maha pengatur segala urusan.
Dalil-dalil al Qur`an yang menegaskan bahwa orang-orang musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu telah mengikrarkan rububiyyah Allah antara lain:
“Katakanlah: Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan pengelihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab : Allah. Maka katakanlah : mengapa kamu tidak bertakwa( kepada-Nya) ?”(Yunus : 31).
“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab : Kepunyaan Allah. Katakanlah : Maka apakah kamu tidak ingat?. Katakanlah : Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya ‘arsy yang besar? Mereka akan menjawab : kepunyaan Allah. Katakanlah : Maka apakah kamu tidak bertakwa?. Katakanlah : iapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah : Kalau demikian, maka dari jalan manakah kamu ditipu? (Al Mukminun : 84-89).
Dengan demikian adalah amat nyata bahwa kaum musyrikin benar-benar telah mengikrarkan tauhid rububiyah, namun hal itu tidaklah cukup bagi mereka untuk disebut sebagai orang-orang yang bertauhid, dan tidak cukup pula untuk menjadikan terpeliharanya darah serta harta benda mereka.
Dari sini menjadi amat terang pula bahwa barang siapa yang mengingkari tauhid al-ibadah (uluhiyah), maka bukanlah ia termasuk golongan orang muslim, sekalipun ia mengimani rububiyyah Allah.
Itulah kejahilan mereka dalam memahami makna tauhidullah, hingga mereka hanya ikrar terhadap tauhid rububiyyah saja tanpa tauhid uluhiyah, menyebabkan mereka terjerumus dalam peribadatan kepada selain Allah.
________________________________________
1. Hadits ini dikeluarkan oleh bukhari 6/256; muslim194; dan juga diriwayatkan oleh attirmidzi dan lain-lain
2. Laa ilaaha: nafi, illallah: itsbat. Maksud semata-semata bererti menolak adanya sesembahan (ilah) secara mutlak , tentu saja ini adalah batil . Sedangkan “itsbat” semata-mata juga berarti masih mungkin mengandung penetapan adanya sesembahan lain selain Allah. Tentu inipun batil (pen).
3. Lihat catatan kaki dari kitab At-Ta`liqat `Ala Kitab Kasyfisy Syubuhat li Syaikhil Islam Muhammad bin Abdul Wahab, yang dita`liq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
4. Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid
5. Pengertian tauhid rububiyyah ialah meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Pencipta, Penguasa dan Pengatur segenap urusan.
6. Pengertain tauhid uluhiyyah adalah : meyakini dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah semata, yakni dengan cara tidak melakukan peribadatan kepada selain Allah. selanjutnya perlu diketahui bahwa pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma` wa shifat adalah berdasarkan tatabbu` (penelitian) yang dilakukan oleh para ulama Islam rahimahullah ketika berbagai macam kemusyrikan bermunculan. (Diambil dari Syarh Kitab at Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan Syarh Kitab At Tauhid wa Ar Raad ‘ala Al Jahmiyyah Min Shahih al Bukhari, karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata : “jika anda telah mengerti apa yang telah aku katakan dengan pengertian yang meresap ke dalam hati,. Telah mengerti arti syirik yang telah dinyatakan oieh Allah Subhanahu Wa Ta`ala dalam firman-Nya (yang artinya):
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (An-Nisa’: 48)
Telah mengerti pula din (agama) Allah yang dibawa oleh para rasul dari rasul yang paling pertama hingga rasul terakhir, dan telah mengerti pula kebodohan yang dialami oleh kebanyakan orang tentang ini, maka semua pengertian anda itu akan memberi dua faidah kepada anda:
Pertama:
Kegembiraan karena mendapat karunia serta Allah sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmad-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmad-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Yunus: 58).
Kedua:
Rasa takut yang besar sebab apabila anda telah memahami bahwa seseorang bisa menjadi kafir disebabkan sebuah kalimat yang keluar dari mulutnya, sedangkan ia mengucapkannya karena kebodohannya, padahal kalimat kufur tersebut tidak termaafkan sebab kejahilannya itu, atau terkadang seseorang mengucapkan kata-kata kufur sedangkan ia menyangka bahwa perkataannya itu merupakan perkataan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Apalagi jika anda telah memahami berdasarkan petunjuk Allah -kisah tentang (kebodohan) kaumnya Musa `alaihis salam yang berkata kepada beliau seraya berkata- padahal mereka adalah orang-orang shalih dan berilmu- :
“Buatkanlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana sesembahan-sesembahan (berhala) yang mereka miliki” (Al-A`raaf: 138)
Pada saat ini (ketika anda telah memahami semua ini –pen), maka rasa takut anda akan menjadi sangat besar dan semangat anda untuk membersihkan diri dari hal-hal semacam di atas pun menjadi besar pula.
Maksudnya apabila anda telah memahami semua perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di atas, anda telah memahami makna kalimat “la ilaha illallahu” dengan sebenar-benarnya dan anda telah mengerti kebodohan banyak orang terhadap kalimat tersebut, baik kebodohan yang bersifat sederhana maupun kebodohan yang keterlaluan. Maka pemahaman anda itu akan memberi anda dua faidah besar buat anda:
Pertama:
Kegembiraan karena anda mendapat karunia Allah. Hal ini karena dua sisi nikmat sebagai berikut:
1. Bahwa Allah telah membukakan dan menganugrahkan pemahaman kepada anda hingga anda dapat memahami makna yang benar dari `la ilaha illallahu’
2. Bahwa anda telah terselamatkan dari kesesatan kebanyakan orang disebabkan kesalahan mereka dalam memahami kalimat tersebut.
Kegembiraan semacam ini yang termasuk diperintahkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya:)
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmad-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmad-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Yunus: 58).
Sementara itu kegembiraan seseorang karena mendapat nikmat Allah adalah ibadah, dan kegembiraan ini termasuk hal yang terpuji seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits (yang artinya) :
Orang-orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, satu kegembiraan di saat berbuka, dan satu kegembiraan lagi disaat bertemu dengan Rabbnya (dikeluarkan oleh Bukhari: 4/144- Fathul Bari dan Muslim : 8/278)
Rasa takut yang amat besar apabila anda sampai jatuh ke dalam kekufuran kaum musyrikin. Sebab seseorang terkadang mengucapkan kata-kata kufur, padahal kekufuran tersebut tidak termaafkan hanya karena ketidak mengertiannya bahwa itu kufur. Maka jadilah ia orang yang kafir karena kata-kata yang diucapkannya itu sebagaimana telah diterangkan dalam sebuah hadits (yang artinya)
“Sesunggunhnya seseorang berkata dengan suatu kalimat berupa kebencuan terhadap Allah, ia menganggap perkataannya itu tidak mengapa, tetapi dengannya ia terhempas ke dalam neraka (jauhnya) begini dan begini (dalam riwayat lain: (jauhnya/dalamnya) sejauh timur dan barat)(dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Fathul bari: 11/314, dan Muslim hadits no. 17/117 dan lain-lain)
Kita memohon kepada Allah agar kita menjadi orang-orang yang selamat.
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengingatkan agar hendaknya seorang muslim merasa takut bila dirinya memiliki persangkaan seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin berkenaan dengan makna tauhid; yaitu bahwa tauhid dipahami sebagai: “Hanya Allah-lah satu-satunya Pencipta, Pemberi rizki dan Pengatur”. Oleh karena itu beliau mengingatkan agar hendaknya manusia terus-menerus takut, kemudian disusul dengan selalu mengingat kisahnya kaum nabi Musa `alaihis salam ketika mereka berkata kepada Musa (yang artinya)
“Buatkanlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana sesembahan-sesembahan (berhala) yang mereka miliki” (Al-A’raaf: 138)
Musa menjawab (yang artinya):
“Sesungguhnya kalian ini orang-orang yang bodoh”
” Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang mereka kerjakan” (Al-A’raaf: 139)
Jadi dalam ayat diatas, Musa menjelaskan bahwa permintaan kaumnya agar Musa membuatkan berhala sebagaimana kaum musyrikin mempunyai berhala-berhala merupakan suatu kebodohan. Maka kalau peristiwa itu diingat, niscaya akan menimbulkan rasa takut di hati seseorang apabila dirinya sampai terjatuh ke dalam kesesatan serta kejahilan karena berprasangka bahwa makna `la illaha illallahu’ adalah “tidak ada Pemberi rizki, Pencipta dan pengatur kecuali Allah.
Itulah dia yang dingatkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang banyak dialami oleh orang-orang ahlul kalam, yaitu orang-orang yang banyak bicara berdasarkan logika tentang Tauhid Rububiyah. Mereka beranggapan bahwa `la illaha illallahu adalah “ tiadaPencipta dan tidak ada Yang Maha Kuasa untuk mencipta kecuali Allah”
Meraka menafsiri kalimat yang agung ini dengan pebafsiran yang salah dan batil, penafsiran yang tidak perbah dikenal seorangpun di kalangan kaum muslimin, bahkan orang-orang musyrik arab dahulunya tidak dikenal penafsiran ini, bahkan orang-orang musyrik Arab dahulu jeuh lebih memahami kaliamt “la illaha illallahu” dibandingkan dengan orang-orang ahlu ilmu kalam.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah selanjutnya berkata: “Ketahilah bahwa dengan hikmah-Nya, Allah subhanahu wata’ala tidak mengutus seorang nabipun untuk membawa tauhid ini, melainkan Dia ciptakan musuh-musuh yang menentang nabi-Nya tersebut, sebagaimana firman Allah (yang artinya):
Dan demikian kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan(dari jenis) Jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabb-mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan (al-An’am: 122)
Dan tidak jarang musuh-musuh nabi Allah itu memiliki banyak ilmu, banyak kitab dan banyak hujjah, seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya):
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul ( yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka….(al-Mu’min:83)
Disini Rahimahullah mengingatkan adanya satu pelajaran besar, yakni satu diantara hikmah Allah Ta’ala yaitu bahwa setiap kali Dia mengutus nabi-Nya, maka Dia ciptakan pula musuh-musuh penentangnya yang terdiri dari manusia dan jin.
Adanya musuh ini berguna untuk menyaring dan memperjelas kebenaran, sebab setiap kali ada penentang, maka hujjah (bukti kebenaran ) nabi pun akan semakin kuat. Sebaliknya, apabila nabi diutus demikian saja tanpa penentang, akhirnya kebenaran (al haq) yang menjadi misinya tidak akan menjadi jelas, justru dengan adanya penentang itulah akan tejadi penentangan yang bakal mempertegas dan memperjelas al-haq.
Rintangan yang ditetapkan oleh Alah untuk para nabi-Nya ini juga ditetapkan bagi para pengikut mereka. Setiap para pengikut nabi pasti akan menghadapi penentang atau musuh-musuh seperti apa yang pernah dihadapi oleh para nabi, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat al-An’am ayat 112 diatas.
Juga firman Allah (yang artinya) 'Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabbmu menjsadi pemberi petunjuk dan penolong'
Renungkanlah firman Allah pada ayat diatas yang artinya berbunyi: Cukuplah Rabb-mu menjadi pemberi petunjk dan penolong”
Kalau ayat diatas diperhatikan, orang-orang yang berdosa (penjahat) yang memusuhi para nabi itu, melakukan permusuhannya kepada para rasul melalui dua jalan;
1. Peragu-raguan (tasykik)
2. Permusuhan.
Adapun yang berkenaan dengan jalur tasykik (peragu-raguan), maka untuk mengatasinya Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya: “Cukuplah Rabb-mu menjadi pemberi petunjuk dan penolong “
Jadi Allah Ta’ala pasti senantiasa memberi petunjuk kepada para rasul dan para pengikut-pengikutnya, dan pasti senantiasa memberi pertolongan kepeda mereka untuk mengalahkan musuh-musuhnya sekalipun musuh itu merupakan musuh yang paling kuat.
Disamping itu yang paling penting untuk diketahui ialah, bahwa seringkali musuh-musuh para rasul itu memiliki ilmu yang banyak, hingga dengan imunya mampu menjadikan kebenaran dan kebatilan kabur di mata manusia. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah (Q.S al-Mu’min:83) (yang artinya) :
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mmereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh adzab Allah yangb selalu mereka perolok-olokkan itu.
Kegembiraan (kebanggaan)yang termaktub dalam ayat ini jelas tercela, sebab ia merupakan kegembiraan yang tidak diridhai oleh Allah. Yang jelas berdasarkan ayat ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ingin menunjukkan agar seyogyanya setiap muslim mengetahui bahwa banyak diantara musuh Allah yang memiliki ilmu. Dengan pengetahuan ini, seorang muslim hendaknya bersiap diri menggalang bekal untuk menghadapi mereka.
Begitu pula petunjuk yang diberikan rasul shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau mengutus Mu’adz ke Yaman. Beliau bersabda (yang artinya) :
Sesungguhnya kamu akan datang kepada suatu kaum dari kalangan ahli kitab (Bukhari 7/661 dan Muslim : no. 19).
Artinya: Nabi menginginkan agar Mu’adz bersiap-siap menghadapi mereka yang tentunya banyak memiliki hujah, karena mereka adalah ahlul kitab.
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: “bila anda telah mengerti semua itu dan telah memahami bahwa jalan menuju Allah itu pasti dihadang oleh musuh yang ahli bicara, ahli ilmu dan pandai berhujjah, maka kewajiban anda ialah mempelajari dinullah (secara baik) supaya nanti bisa menjadi senjata yang akan anda gunakan untuk memerangi para syaitan yang dedengkotnya dahulu pernah berkata kepada Allah (berisi ancaman bagi hambanya pen.) yaitu (yang artinya):
Iblis menjawab karena engkau telah menghukum saya tersebut, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka dari kanan dan kiri mereka. Dan engkau tidak akan mendapati mereka bersyukur(taat) (al-A’raf: 16-17).
Tetapi manakala anda telah menghadapkan muka wajah anda kepada Allah, dan telah mendengarkan hujjah-hujjah dan penjelasan Allah maka anda tak perlu lagi merasa takut dan sedih, (sebab) Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
Sesungguhnya tipu daya syaitan adalah lemah. (An-Nisa’: 76)
Yakni apabila anda telah memahami bahwa musuh-musuh Allah tersebut mempunyai banyak kitab dan ilmu pengetahuan yang dengannya bisa digunakan untuk merancukan antara hak dan batil maka anda harus bersiap sedia menghadapi mereka dengan dua hal :
Pertama: seperti diisyaratkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, anda harus memiliki hujjah syar’iyyah dan aqliyah agar bisa melibas hujjah serta kebatilan mereka.
Kedua: Anda harus mengenal kebatilan mereka, supaya anda dapat mengalahkan mereka.
Selanjutnya, seorang muslim tidak perlu takut menghadapi hujjah-hujjah mereka (para musuh tauhid), karena hujjah mereka adalah batil dan itu merupakan tipu daya setan,sedangkan tipu daya setan itu lemah.
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menegaskan bahwa seorang awam dari kalangan orang yang bertauhid akan mampu mengalahkan seribu ulama musyrikin itu,dasarnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya):.
”Dan sesungguhnya tentara Kami,betul-betul pasti menang. (Ash-Shaffat: 173).
Yang dimaksudkan dengan satu orang awam dari kalangan orang-orang bertauhid adalah orang yang mengikrarkan tauhid dengan segenap macamnya yang tiga, yaitu tauhid Rububiyah Asma’ was-sifat serta Uluhiyah.(Orang awam menurut pandangan kaum tarekat sufiyah adalah orang yang seperti disebutkan oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ini, yaitu orang yang mengikrarkan tiga Tauhid :Uluhiyah, Rububiyah dan asma’ was-sifat. Sebab menurut mereka: tauhid terbagi menjadi tiga peringkat diantaranya (peringkat yang paling rendah): tauhidnya orang-orang awam, yaitu tauhidnya orang yang mengikrarkan tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ Was-Sifat 1)
Orang awam yang bertauhid ini pasti akan mampu mengalahkan seribu ulama musyrikin, sebab ulama musyrikin tersebut tidak sempurna dalam mentauhidkan Allah, mereka hanya mentauhidkan Rububiyah Allah saja.
Mengimani tauhid rububiyah semata jelas tidak benar, bahkan pada hakekatnya itu bukanlah tauhid yang sebenarnya. Buktinya Nabi Shalallahu `Alaihi Wa Sallam telah telah memerangi musyrikin yang secara rububiyah telah mentauhidkan Allah, namun tauhid semacam ini tidak berguna dan tidak menyebabkan darah serta harta mereka terpelihara
Dengan demikian satu orang awam dari kalangan awam dari kalangan orang yang bertauhid masih lebih baik dari mereka. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman (yang artimya):
“Dan sesungguhnya tentara kami betul-betul akan menang”(Ash-Shaffat: 173)
(Jadi orang awam yang bertauhid itu masih merupakan tentara Allah -pen), Tentara Allah ini menang berdasarkan hujjah serta penjelasannya sebagaimana ia juga menang dengan pedang serta anak panahnya. Tentara Allah berjihad fi sabilillah dengan dua cara:
Pertama: Dengan hujjah dan penjelasan; hal ini dilancarkan katika menghadapi kaum munafiqin, orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada kaum muslimin.
Kedua: berjihad dengan pedang dan anak panah. Ini dilancarkan kepada orang-orang kafir yang secara terang-terangan menyatakan kekufuran dan permusuhannya.
Dua bentuk jihad ini sesuai denga firman Allah (yang artinya):
Maka mereka merasakan akibat yang buruk akibat perbuatannya, dan akibat perbuatan mereka kerugian yang besar. (Ath-Thalaq: 9)
Terkadang jihad dengan hujjah dan penjelasan juga dilakukan kepad kaum kuffar yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, sebab orang-orang kafir terseb ut tidak diperangi dengan pedang sebelum tegak alasan untuk itu (belum ada hujjah untuk itu atas mereka).
Jundullah (tentara Allah) adalah hamba-hamba Allah yang membela Allah dan rasul-Nya. Akhirnya Syaikh rahimahullah mengingatkan bahwa yang dikhawatirkan adalah apabila ada seorang yang bertauhid tetapi ia tidak memiliki kesiapan
senjata (hujjah), hingga dikhawatirkan ia akan kalah manakala menghadapi hujjah lawan sehingga menimbulkan fitnah.
Oleh karena itula seyogyanya setiap muslim yang bertauhid senantiasa siap sedia mempersenjatai dirinya dengan ilmu agamanya yang mapan. Wallahu `alamu bish-shawab.
________________________________________
[1] Lihat catatan kaki Ta’liqat `Ala Kitab Kasyfusy Syubhat, hal: 27.
Disadur dari At-Ta’liqot `Ala Kitab Kasyfisy-Sybhat Li Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, ta’liq syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal: 20-28. by salfyoon.net.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar