Laman

Kamis, 13 Januari 2011

Kepalsuan Riwayat Bertaubatnya Nabi Adam ‘Alaihis-Salaam


Pada kesempatan ini akan coba saya tuliskan studi singkat tentang satu hadits yang banyak menyebar di kalangan masyarakat tentang tawassulnya Nabi Adam ‘alaihis-salaam kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini banyak ditulis di buku buku dan disebarkan di mimbar-mimbar dengan menegaskan keshahihannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Padahal riwayat ini adalah sangat lemah, bahkan palsu (maudlu’). Untuk mempersingkat, berikut riwayat yang dimaksudkan :


عن عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لما اقترف آدم الخطيئة قال يا رب أسألك بحق محمد لما غفرت لي فقال الله يا آدم وكيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال يا رب لأنك لما خلقتني بيدك ونفخت في من روحك رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي ادعني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك

Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ta’ala ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata : ‘Ya Rabbku, aku meminta kepada-Mu dengan hak Muhammad terhadap apa yang Engkau ampunkan kepadaku’. Lalu Allah berfirman : ‘Wahai Adam, bagaimana engkau mengetahui Muhammad, padahal aku belum menciptakannya ?’. Adam berkata : ‘Ya Rabbku, ketika Engkau menciptakan aku dengan tangan-Mu, dan Engkau tiupkan kepadaku ruh ciptaan-Mu, aku angkat kepalaku. Kemudian aku lihat di atas tiang-tiang ‘Arsy tertulis : Laa ilaha illallaah Muhammadun Rasuulullah. Maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghimpun nama-Mu melainkan dengan makhluk yang paling Engkau cintai’. Kemudian Allah berfirman : ‘Telah Aku beri ampunan untukmu. Dan seandainya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak akan menciptakanmu”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Haakim (2/615), Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah (5/488-489), serta Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir (2/182) dan Al-Ausath (Majma’ul-Bahrain 6/151); dari jalan-jalannya, dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab secara marfu’.

Berkata Al-Haakim : “Shahih sanadnya (shahiihul-isnaad), dan ia merupakan hadits pertama yang aku sebutkan untuk ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dalam kitab ini”.

Diriwayatkan pula oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah (2/248-249 no. 1012) dari jalan yang lain dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, sebagaimana di atas secara mauquf. Diriwayatkan pula oleh Al-Aajurriy (2/246 no. 1006) dari jalan ‘Abdurrahman bin Abi Zinaad, dari ayahnya, secara maqthu’.

Berikut beberapa perkataan ulama atas penilaian status hadits :

1. Telah berkata Al-Imam Al-Baihaqiy (Ad-Dalaail 5/489) :

تفَّرد به عبد الرحمن بن زيد بن أسلم من هذا الوجه عنه وهو ضعيف. والله أعلم.

‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menyendiri dalam riwayat darinya, dan ia adalah dla’if. Wallaahu a’lam”.

2. Telah berkata Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah (At-Tawassul wal-Wasiilah, hal. 168-169) :

ضعيف الحديث بعبد الرحمن بن زيد.

“Dla’iiful-hadiits, dengan sebab ‘Abdurrahman bin Zaid”.

3. Telah berkata Al-Haafidh Adz-Dzahabiy saat mengomentari perkataan Al-Haakim :

بل موضوع. عبد الرحمن واه وعبد الله بن مسلم الفهري لا أدري من ذا.

“Bahkan (hadits itu) maudlu’ (palsu), dan ‘Abdurrahman lemah. Sedangkan ‘Abdullah bin Muslim Al-Fihriy, aku tidak tahu siapa dia”.

4. Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Hadiy (Ash-Shaarimul-Munkiy fir-Radd ‘alas-Subkiy, hal. 60) :

إنه حديث غير صحيح ولا ثابت، بل هو حديث ضعيف الإسناد جدًا، وقد حكم عليه بعض الأئمة بالوضع....

“Sesungguhnya hadits tersebut tidaklah shahih dan tidak tsaabiit. Bahkan hadits itu sanadnya sangat dla’if. Sebagian imam telah menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu…”.

5. Telah berkata Al-Haafidh Al-Haitsamiy saat menghukumi sanad Ath-Thabaraniy (Majmu’uz-Zawaaid, 8/253) :

وفيه من لم أعرفهم.

“Dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang tidak aku ketahui”.

6. Telah berkata Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy saat menyebutkan biografi ‘Abdurrahman bin Muslim Al-Fihriy (Lisaanul-Miizaan, 3/359-360) :

"عبد الله" ابن مسلم أبو الحارث الفهري روى عن إسماعيل بن مسلمة بن قعنب عن عبد الرحمن بن يزيد بن أسلم خبرا باطلا فيه "يا آدم لولا محمد ما خلقتك" رواه البيهقي في دلائل النبوة انتهى قلت لا أستبعد أن يكون هو الذي قبله فأنه من طبقته.

“’Abdullah bin Muslim Abul-Haarits Al-Fihriy. Meriwayatkan dari Isma’il bin Maslamah bin Qa’nab, dari ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Aslam satu khabar bathil, yang di dalamnya terdapat lafadh : ‘Wahai Adam, seandainya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak akan menciptakanmu’. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah - selesai. Aku katakan : Aku tidak menafikkan bahwa orang yang menerimanya adalah orang yang sederajat dengannya”.

7. Dan lain-lain.

Nampak bagi kita bahwa para ulama ahli hadits di atas telah mendla’ifkan riwayat tersebut.

Berikut perinciannya kedla’ifannya :

a) ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dla’if (bahkan sangat dla’if).

Al-Bukhari berkata : “Tidak shahih haditsnya” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/618, 263]. “’Ali (bin Al-Madiniy) melemahkannya” [At-Taariikh Ash-Shaghiir, 2/229]. “Aku tidak meriwayatkan (hadits) darinya” [Tartiib ‘Ilal At-Tirmidziy Al-Kabiir, lembar ke-72].

Ya’qub bin Sufyaan berkata : Telah berkata Abu Thaalib, dari Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal). Ia (Abu Thaalib) berkata : “Aku bertanya kepadanya tentang Usamah bin Zaid bin Aslam. Maka ia menjawab : ‘Usamah bin Zaid, ‘Abdurrahman bin Zaid, dan ‘Abdullah bin Zaid; ketiganya merupakan anak Zaid bin Aslam. Adapun Usamah dan ‘Abdurrahman saling berdekatan dalam kedla’ifannya” [Al-Ma’rifah wat-Taariikh, 1/430].

At-Tirmidziy berkata : “Aku mendengar Muhammad – yaitu Al-Bukhariy – menyebutkan dari ‘Aliy bin Muhammad, bahwasannya ia mendlaifkan Abdurrahman bin Zaid bi Aslam. Kemudian berkata : ‘Adapun ‘Abdullah bin Zaid bin Aslam adalah tsiqah” [Jaami’ At-Tirmidziy, no. 466 dan 719]. “Dla’iiful-hadiits” [Tartiib ‘Ilal At-Tirmidziy Al-Kabiir, lembar ke-17].

Al-Bazzaar berkata : “Para ahli ilmu telah bersepakat dengan penukilan untuk melemahkan haditsnya. Ia bukanlah hujjah pada apa-apa yang ia bersendirian dengannya” [Kasyful-Astaar, no. 194]. “Layyinul-hadiits” [idem, no. 1017 dan 2071]. “Haditsnya sangat munkar” [idem, no. 2071].

Ibnu Hibban berkata : “Dia suka memutarbalikkan khabar tanpa ia sadari, sehingga hal itu telah banyak terjadi di dalam riwayatnya, seperti me-marfu’-kan riwayat mursal dan sanad yang mauquf. Oleh karena itu, ia berhak ditinggalkan” [Al-Majruuhiin, 2/22].

Ad-Daaruquthniy menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (no. 331).

Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy berkata : “Telah menceritakan riwayat dari ayahnya - ia tidak ada nilainya” [Adl-Dlu’afaa’, no. 122].

Dan lain-lain dari kalangan ahli hadits yang mendla’ifkannya.

b) Terdapat beberapa perawi majhul hingga ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.

Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir (2/182) : Muhammad bin Dawud bin Aslam Ash-Shadafiy, Ahmad bin Sa’id Al-Madaniy Al-Fihriy, dan ‘Abdullah bin Isma’il Al-Madaniy adalah orang-orang yang majhul lagi tidak dikenal.

Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Haitsamiy dalam Majma’uz-Zawaaid (8/253) sebagaimana telah lalu penyebutannya.

c) Adanya idlthiraab.

Kadang diriwayatkan secara mauquf pada ‘Umar (bin Al-Khaththaab), kadangkala diriwayatkan secara marfu’, dan kadangkala diriwayatkan secara maqthu’ kepada selain ‘Umar. Ini semua menunjukkan adalah idltiraab pada sanadnya.

Adapun tashhih dari Al-Haakim atas hadits tersebut di atas, maka ini merupakan satu bentuk tasaahul beliau. Bagaimana dikatakan shahih apabila keadaan sanadnya seperti dijelaskan di atas ?

Al-Haafidh Ibnu Hajar mengatakan tashhih Al-Hakim ini adalah satu hal yang ‘sangat mengherankan’, dimana beliau berkata :

ومن العجيب ما وقع للحاكم أنه أخرج لعبد الرحمن بن زيد بن أسلم. وقال بعد روايته : "هذا صحيح الإسناد، وهو أول حديث ذكرته لعبد الرحمن". مع أنه قال في كتابه الذي جمعه في الضعفاء : "عبد الرحمن بن زيد بن أسلم روى/(ر26/ب) عن أبيه أحاديث موضوعة لا يخفى على من تأملها من أهل الصنعة أن الحمل فيها عليه".

“Termasuk dari satu hal mengherankan yang terjadi pada diri Al-Haakim adalah bahwa ia membawakan riwayat ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (dalam Al-Mustadrak). Setelah penyebutan riwayatnya, ia berkata : ‘Hadits ini shahih sanadnya (shahiihul-isnaad), dan ia merupakan hadits pertama yang aku sebutkan untuk ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam’. Bersamaan dengan itu ia mengatakan dalam kitab karangannya, yaitu Adl-Dlu’afaa’ : ‘’Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu. Tidaklah tersembunyi bagi orang yang memperhatikannya bahwa kelemahan dalam riwayat tersebut ada padanya (‘Abdurrahman)” [An-Nukat ‘alaa Kitaab Ibnish-Shalaah, 1/318].

Senada dengan Al-Haafidh Ibnu Hajar, Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Haadiy juga memberikan kritikan terhadap tashhih Al-Haakim yang kemudian di-taqlidi oleh As-Subkiy dalam kitab Syifaa’us-Saqaam sebagai satu yang mengherankan. Beliau berkata :

وإني لاتعجب منه كيف قلد الحاكم في تصحيحه مع أنه حديث غير صحيح ولا ثابت، بل هو حديث ضعيف الإسناد جداً، وقد حكم عليه بعض الأئمة بالوضع، وليس إسناده من الحاكم إلى عبد الرحمن بن زيد بصحيح بل مفتعل على عبد الرحمن كما سنبينه، ولو كان صحيحاً إلى عبد الرحمن لكان ضعيفاً غير محتج به، لأن عبد الرحمن في طريقه، وقد أخطأ الحاكم وتناقض تناقضاً فاحشاً كما عرف له ذلك في مواضيع، فإنه قال في كتاب "الضعفاء"، بعد أن ذكر عبد الرحمن منهم

“Aku sungguh merasa sangat heran kepadanya. Bagaimana ia (As-Subkiy) bisa mengikuti (ber-taqlid) Al-Haakim, padahal hadits tersebut tidaklah shahih dan tidak tsaabiit. Bahkan hadits itu sanadnya sangat dla’if. Sebagian imam telah menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu. Dan sanadnya – dari Al-Haakim kepada ‘Abdurrahman bin Zaid – tidaklah shahih, bahkan diada-adakan oleh ‘Abdurrahman sebagaimana kami jelaskan. Apabila shahih sampai pada ‘Abdurrahman, tetap saja hadits tersebut adalah dla’if yang tidak boleh berhujjah dengannya. Hal itu dikarenakan ‘Abdurrahman adalah poros dari segala jalan riwayatnya. Al-Haakim telah melakukan kekeliruan dan pertentangan yang sangat berat, sebagaimana hal itu diketahui darinya di berbagai tempat. Sesungguhnya ia telah berkata dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ dan menyebutkan ‘Abdurrahman termasuk di antaranya (dari perawi dla’if)” [Ash-Sharimul-Munkiy, hal 36. Lihat pula At-Tawassul, Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu hal. 110].

Al-Haakim telah mengatakan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan hadits-hadits palsu dari ayahnya – dan hadits ini adalah salah satu di antaranya (karena ia meriwayatkan dari ayahnya).

Kelemahan riwayat tersebut juga ditunjukkan pada sisi matannya, yaitu :

1. Lafadh hadits : “Dan seandainya bukan karena Muhammad, tentu Aku tidak akan menciptakanmu” bertentangan dengan firman Allah ta’ala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS. Adz-Dzaariyaat : 56].

Penciptaan Adam ‘alaihis-salaam tidaklah terkait dengan sebab musabab keberadaan Rasulullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

2. Hadits tersebut menyebutkan bahwa Allah ta’ala mengampuni Adam ‘alaihis-salaam lantaran tawassulnya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Allah ta’ala telah berfirman :

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa ‘kalimat’ dari Rabb-nya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 37].

Mengenai penafsiran ‘kalimat’ ini, terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang bertentangan dengan hadits tersebut. Al-Haakim (3/545) membawakannya sebagai berikut :

عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه قال أي رب ألم تخلقني بيدك قال بلى قال أي رب ألم تنفخ في من روحك قال بلى قال أي رب ألم تسكني جنتك قال بلى قال أي رب ألم تسبق رحمتك غضبك قال بلى قال أرأيت إن تبت وأصلحت أراجعي أنت إلى الجنة قال بلى قال فهو قوله { فتلقى آدم من ربه كلمات }

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ta’ala ‘anhuma : “Fatalaqqaa Aadama min-Rabbihi kalimaatin fataaba ‘alaihi; ia (Ibnu ‘Abbas) berkata : Wahai Rabb-ku, tidakkah Engkau ciptakan aku dengan tangan-Mu ?”. Allah menjawab : “Ya”. Adam berkata : “Wahai Rabb-ku, tidakkah Engkau tiupkan padaku ruh dari-Mu ?”. Allah menjawab : “Ya”. Adam berkata : “Wahai Rabb-ku, tidakkah Engkau tempatkan aku di surga-Mu ?”. Allah menajwab : “Ya”. Adam berkata : “Bukankah rahmat-Mu telah mendahului murka-Mu ?”. Allah menjawab : “Ya”. Adam berkata : “Bagaimana jika aku bertaubat dan memperbaiki diri, apakah Engkau mengembalikan aku ke dalam surga-Mu ?”. Allah menjawab : “Ya”. Itulah firman Allah : Fatalaqqaa Aadama min-Rabbihi kalimaat”.

Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih, namun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”. Dan disepakati oleh Adz-Dzahabiy.

Riwayat ini menunjukkan bahwa diampuninya Adam ‘alaihis-salaam adalah karena dia bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat. Bukan karena tawassul kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Kesimpulan :

Hadits tentang tawassulnya Nabi Adam kepada Muhammad adalah hadits yang sangat lemah, bahkan palsu (maudlu’). Tidak boleh berhujjah dengannya dalam permasalahan syari’at. Wallaahu a’lam.

Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat.

[Ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor].

Referensi :

1. Ash-Shaarimul-Munkiy fir-Radd ‘alas-Subkiy oleh Al-Haafidh Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Haadiy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1405 H.

2. Al-Kasyful-Mubdiy li-Tamwiihi Abil-Hasan As-Subkiy : Takmilatu Ar-Radd ‘alas-Subkiy oleh Muhammad bin Husain bin Sulaiman bin Ibraahiim Al-Faqiih, tahqiq : Dr. Shaalih bin ‘Aliy Al-Muhsin & Dr. Abu Bakr bin Saalim Syahaal; Daarul-Fadliilah, Cet. 1/1422 H.

3. At-Tawassul : Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Muhammad Naashiruddin Al-Albaniy; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1421 H.

4. Tuhfatul-Qaari’ fir-Radd ‘alal-Ghummariy – tercetak dalam Rasaail-fil-‘Aqiidah oleh Hammad bin Muhammad Al-Anshariy; Maktabah Al-Furqaan.

5. Silsilah Ad-Dla’iifah oleh Al-Muhaddits Al-Albaniy; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet . 1/1412 H.

6. Lisaanul-Miizan oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar, Mu’taniy : ‘Abdul-Fattaah Abu Ghuddah; Daarul-Basyaair, Cet. 1/1423 H.

7. An-Nukat ‘alaa Kitaab Ibnish-Shalaah oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy, tahqiq : Rabii’ bin Hadiy Al-Madkhaliy; Universitas Islam Madinah, Cet. 1/1404 H.

8. Al-Majruuhiin oleh Al-Imam Ibnu Hibban, tahqiq : Hamdiy bin ‘Abdil-Majiid As-Salafiy; Daarush-Shumai’iy, Cet. 1/1420 H.

9. Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil oleh As-Sayyid Abul-Ma’aathiy An-Nuuriy dkk.; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. 1/1412 H.

10. Ar-Raudlud-Daaniy ilal-Mu’jamish-Shaghiir lith-Thabaraniy, tahqiq : Muhammad Syakuur Mahmuud Al-Hajj Amiir; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1405 H.

11. Mu’jamul-Bahrain fii Zawaaidil-Mu’jamain oleh Al-Haafidh Nuuruddin Al-Haitsamiy, tahqiq : ‘Abdul-Quddus bin Muhammad Nadziir; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1413 H.

12. Dalaailun-Nubuwwah oleh Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy, takhrij & ta’liq : Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1408 H.

13. Al-Mustadrak ‘alash-Shahiihain (Tatabbu’ul-Auhaam) oleh Al-Haakim An-Naisaburiy, tahqiq : Muqbil bin Hadiy Al-Wadi’iy; Daarul-Haramain, Cet. 1/1417 H.

14. Asy-Syarii’ah oleh Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad Nabiil; Muassasah Al-Qurthubah, Cet. 1/1416 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar