Laman

Minggu, 09 Januari 2011

Menyoal Bermu'amalah Dengan Yayasan Ihya'ut Turats

Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily



Pertanyaan

Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Syaikh yang mulia, sebagaimana kita ketahui, penyebab terbesar perselisihan salafiyin di Indonesia adalah, bermu’amalah dengan Jum’iyyah Ihya’ut Turats di Kuwait. Sebagian saudara kita menganggap yayasan ini hizbiyyah sururiyah, berdasarkan fatwa beberapa ulama. Mereka mengatakan, orang yang bermu’amalah dengan yayasan ini, berarti ia Sururi. Sebagian dari mereka juga mengatakan, orang yang diam dan tidak melakukan hajr (mengisolasi, memboikot) orang yang bermu’amalah dengan yayasan ini, berarti juga Sururi.


Jawaban.
Sebenarnya, sungguh menyedihkan timbulnya perpecahan di antara Ahli Sunnah wal Jama’ah akibat masalah ini. Yaitu yang disebutkan bermu’amalah dengan Yayasan Ihya’ut Turats.

Pertama. Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan landasan bermu’amalah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman.

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Maidah : 2]

Inilah barometer yang dijelaskan Allah Azza wa Jalla. Yaitu semua perkara yang mengandung kebaikan dan ketaqwaan, maka hendaknya saling tolong-menolong untuk mewujudkannya. Bahkan kalau ada ahli bid’ah meminta tolong dalam masalah kebaikan, maka hendaklah kita membantu mereka dalam masalah tersebut. Dan termasuk dalam masalah ini adalah amar ma’ruf nahi munkar, untuk menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, jika ada kerabat atau orang yang satu manhaj dengan kita, lalu dia meminta tolong sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan, maka kita tidak boleh menolongnya. Inilah barometernya!

Adapun Yayasan Ihya’ut Turats, ia adalah yayasan yang dibangun untuk mengumpulkan dana-dana (infaq) dan bantuan-bantuan dari orang-orang kaya, seperti pedagang, lalu menyalurkannya kepada kaum muslimin lain yang membutuhkannya untuk amal kebaikan, seperti membuat sumur-sumur, membangun sekolah masjid dan menyantuni para da’i, serta berbagai macam kebaikan lainnya.

Sangat aneh, jika terjadi perpecahan yang diakibatkan oleh permasalahan seperti yayasan ini. Maksudnya, yayasan itu pada dasarnya hanya mengumpulkan dana dan menyalurkannya kepada yang membutuhkannya. Dia bukanlah yayasan dakwah, namun hanya penyalur bantuan.

Saya pernah ditanya oleh sebagian mahasiswa, dan begitu juga sebagian syaikh lainnya, tentang hukum bermu’amalah dengan yayasan ini. Lalu salah satu di antara mereka saya beri jawaban, dan dia memberitahukan kepada saya, bahwa dia telah menanyakan lagi permasalahan ini kepada salah satu kibarul ulama’ (ulama-ulama besar), maka dia pun memberikan jawaban yang sama.

Saya katakan padanya, jika yayasan ini memberikan mukafa’ah atau gaji kepadamu untuk mendukungmu dalam berdakwah ke jalan Allah Azza wa Jalla, engkau mendakwahkan aqidah yang benar dan manhaj yang lurus, sementara yayasan ini juga tidak mencampuri urusan dakwahmu, maka ambillah gaji, dan jangan peduli dengan siapapun juga, karena itu mendukungmu dalam kebaikan.

Namun, jika gaji yang diberikan ini bertujuan agar engkau mengatakan “ini”, serta tidak mengatakan “itu”, bertujuan menutup mulutmu (maksudnya adalah peraturan yayasan yang tidak berdasarkan ilmu, bukan peraturan dari ulama, peraturan-peraturan yang berada diluar ketentuan-ketentuan organisasi), sesungguhnya setiap organisasi mempunyai peraturan, seperti pelaporan dan lain sebagainya, maka ini tidak mengapa, selama tidak bertolak belakang dengan dakwah. Akan tetapi, terkadang ada sebagian pengelola organisasi yang berusaha mencampuri urusan dakwah. Mereka berkehendak mengarahkan para da’i kearah –yang terkadang- bertentangan dengan manhaj Salaf.

Sebagaimana telah disampaikan tentang gaji dari yayasan ini, begitu pula masalah membangun masjid dan Islamic Center-Islamic Center. Seandainya Islamic Center-Islamic Center yang dibangun ini memungkinkan dipakai untuk mengajarkan aqidah yang shahih kepada para penuntut ilmu, maka apa yang menghalangi kita untuk memanfaatkan harta kaum muslimin yang disalurkan melalui yayasan ini untuk membangun markaz-markaz ini?

Akan tetapi, seandainya markaz-markaz ini dibangun dengan syarat-syarat, yaitu dapat ikut campur tangan mempengaruhi dalam manhaj dakwah, maka bantuan ini tidak boleh diterima, baik berasal dari yayasan ini, ataupun dari yayasan lainnya. Karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengambil manhaj, kecuali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Adapun orang-orang yang mentahdzir ini, jika hendak memberikan nasihat kepada saudara-saudaranya yang berada di markaz-markaz yang ikut Yayasan Ihya’ut Turats atau yayasan lainnya, maka mereka siap menerima nasihat. Jika memang ada kesalahan. Ahlus Sunnah siap menerima nasihat dari Ihya’ut Turats atau yang lainnya. Akan tetapi, nasihat itu harus disertai dalil yang menjelaskan adanya kesalahan.

Namun jika ada peraturan dari yayasan, dengan mengatakan “ini adalah manhaj yayasan, kami ingin Anda mematuhinya”. Perkataan ini seperti ini perlu dilihat, jika manhaj ini sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka kita laksanakan, baik pengarahan itu berasal dari yayasan ataupun dari yang lain.

Maksudnya adalah, markaz-markaz ini, begitu pula masalah santunan kepada para da’i, jika orang yang membantu ini dari yayasan atau dari saudagar yang lain –karena saudagar itu banyak- atau yayasan Ahlus Sunnah lainnya yang memberikan bantuan. (hendaklah kita perhatikan, red-) jika bantuan ini diberikan untuk membantu para da’i menebarkan aqidah, manhaj yang benar, atau untuk membangun masjid bagi Ahlus Sunnah sebagai tempat shalat dan wadah, serta mereka memanfaatkan untuk mengajarkan aqidah dan manhaj yang benar, maka tidak ada seorang muslim pun yang boleh menghalangi orang lain dari kebaikan ini.

Meski demikian, jika ada di antara saudara-saudara kita yang keliru dalam permasalahan yang sedang kita bicarakan ini, seperti dia menerima gaji dari yayasan tersebut, atau menerima dana untuk membangun Islamic Center, lalu dia terpengaruh dalam suatu masalah, namun masih tetap berpegang pada aqidah dan manhaj yang benar, serta kita tidak melihat adanya kesalahan yang berhubungan dengna aqidah dan manhaj, makanya hendaknya perbedaan seperti ini tidak mengakibatkan timbulnya perpecahan. Karena ini merupakan perbedaan dalam masalah sudut pandang (tinjauan).

Mungkin ada yang mengatakan “saya akan tetap berpegang teguh dengan aqidah dan manhajku, saya akan mengambil dana dari Yayasan Ihya’ut Turats, dan saya tidak akan meninggalkan da’wah kepada aqidah yang benar”. Sementara sebagian yang lain juga memiliki tinjauan yang berbeda. Dia mengatakan “saya tidak akan mengambil dana dari Yayasan Ihya’ut Turats, dan saya tetap akan berpegang teguh dengan aqidah dan manhaj Salaf”, maka demikian ini juga tidak mengapa.

Jadi perbedaan ini hanya karena perbedaan cara pandang. Perbedaan seperti ini, seharusnya tidak mengakibatkan perpecahan di antara Ahlus Sunnah. Apalagi jika masalah ini sampai taraf melakukan hajr terhadap orang yang diam.

Demi Allah Azza wa Jalla, ini merupakan fitnah. Kalian berada di atas aqidah dan manhaj yang sama. Dengan demikian, perbedaan di antara kalian tidak akan membuat kalian berpecah-belah. Karena perbedaan ini kembali ke permasalahan cara pandang yang berbeda.

Saya mengenal beberapa masyayaikh (ulama) yang bermu’amalah dengan yayasan ini, bahkan mengadakan majlis-majlis ta’lim di markaz-markaz mereka. Saya juga mengetahui ada beberapa ulama yang tidak berpendapat seperti ini. Meskipun demikian, mereka tidak berpecah-belah. Masing-masing berlapang dada. (Jika kita tidak mencontoh ulama kita, lalu siapa yang akan kita contoh?,-red).

Seandainya benar yayasan ini menimbulkan perpecahan sebagaimana yang sering kami dengar di kalangan Ahlus Sunnah, maka saya menasihatkan kepada mereka yang berada di yayasan ini agar melakukan introspeksi dan bertaqwa kepada Allah, dan agar segera menghilangkan penyebab perpecahan di kalangan Ahlus Sunnah.

Jika seandainya, yang menjadi penyebab perpecahan ini adalah fatwa-fatwa yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syar’iah, maka saya nasihatkan kepada orang-orang yang memberikan fatwa agar bertaqwa kepada Allah. Fatwa harus diletakkan sesuai pada tempatnya yang benar. Kita memiliki dasar-dasar, yang tidak boleh berselisih padanya, yaitu pada masalah aqidah dan manhaj. Kami sampaikan hal ini bukan untuk mengalah.

Setiap orang yang hendak membantu kita dalam menebarkan aqidah dan manhaj yang benar, maka kita ucapkan jazakumullah al-khaira (semoga Allah memberikan balasan kebaikan).

Oleh karena Ahlus Sunnah wajib memegang dasar ini, sehingga setiap orang yang bekerjasama dengannya, jika dia mendakwahkan aqidah dan manhaj yang benar, maka tidaklah mengapa jika ia bermu’amalah dengan Yayasan Ihya’ut Turats. Begitu juga orang yang perlu dengan yayasan ini, sedangkan ia juga mendakwahkan aqidah dan manhaj yang benar, maka juga tidak mengapa. Demikian juga orang yang diam, tidak berpihak ke sini dan tidak berpihak ke sana, ini juga tidak mengapa.

Inilah nasihat yang aku berikan kepada kalian. Allah mengetahui hal ini. Saya menyampaikan nasihat ini bukan karena hendak mencari perhatian dari seseorang. Saya hanya ingin menasihati. Dan inilah kebenaran yang ditunjukkan oleh firman Allah Azza wa Jalla.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Maidah : 2]

Aqidah, manhaj dan dakwah kita ini benar. Maka hendaklah kita menggalang kerjasama untuk mewujudkan kebaikan dan ketaqwaan. Setiap kerjasama yang menyebabkan kerusakan aqidah dan manhaj, maka demikian itu adalah kerjasama atas dosa dan menimbulkan permusuhan.

Akhirnya, semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar