Laman

Sabtu, 19 Februari 2011

Ahmadiyah Juga Anggap Kita Kafir!!!

REPUBLIKA.CO.ID – JAKARTA -Tidak mungkin perbedaan akidah hidup dalam satu agama. Dalam agama mana pun, hal ini pasti menimbulkan konflik. Kedok Ahmadiyah itu terbuka sendiri dari ucapan amirnya di depan anggota DPR, Rabu (16/2/2011) malam. Tapi, mereka bersikeras tidak mau keluar dari Islam, meski memiliki nabi lain setelah Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.


Dialog dengan Ahmadiyah untuk lahirnya saling pengertian sebenarnya sudah dilakukan sejak 80 tahun lalu. Namun, meski tidak berkutik, Ahmadiyah tetap pada keyakinannya. Dialog pun jadi debat kusir. Bagaimana selanjutnya mengatasi permasalahan Ahmadiyah di Indonesia? Berikut wawancara Republika dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Amidhan:


Ahmadiyah membuka diri untuk dialog, bagaimana tanggapan Anda?

Sejak 1980 sudah dialog. Bahkan 80 tahun yang lalu juga sudah dilakukan. Mereka tidak berkutik. Kalau mau, yang didialogkan itu soal interaksinya. Kita tidak mau ada kekerasan. Tapi, kita minta, dia itu (Ahmadiyah) jangan menistakan agama Islam. Mereka harus keluar dari Islam.

Apakah dialog dengan Ahmadiyah sulit dilakukan kalau menyangkut perbedaan akidah?

Kalau mau berdialognya secara ilmiah, itu bisa. Tapi, siapa yang menjadi moderator dan pegangannya apa? Tentu pegangannya bukan debat kusir, tapi harus bersandarkan pada ayat Alquran dan Sunah Nabi.

Apa landasan Islam untuk membantah Ahmadiyah?

Di dalam Alquran, Muhammad adalah nabi terakhir. Tapi dia tadi malam (di DPR) masih mengakui Mirza Gulam itu nabi (setelah Muhammad).

Dia bilang tidak mengacak-acak Alquran. Tapi, kita ada ratusan bukti bahwa mereka mengacak-acak Alquran. Misalnya, Muhammad jadi Ahmad, lalu bukan turun dari Makkah, tapi di tempat mereka itu (India).

Mereka juga menganggap kita ini kafir. Mereka tidak mau berimam shalat dengan kita. Ada laporan kalau kita shalat di masjid dia, bekas kita dipel karena dianggap najis.

Lalu MUI juga memfatwakan Ahmadiyah kafir?

Fatwa MUI tidak bediri sendiri. MUI dua kali membuat fatwa soal Ahmadiyah. Pertama, pada 1980 oleh Buya Hamka. Kedua, pada 2005 di Musyawarah Nasional (Munas) MUI bahwa Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan dan di luar Islam.

Buya Hamka juga begitu statementnya. Pada 2009, Muhammadiyah mengatakan (Ahmadiyah) itu kafir. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1985 menyatakan, Ahmadiyah menyimpang.

Di dunia internasional, Rabitah Alam Islami lebih dulu menyatakan Ahmadiyah tidak masuk dalam Islam. Makanya para pengikutnya tidak boleh masuk Tanah Suci, tidak boleh naik haji. Kemudian Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan hal yang sama, melarang.

Jadi bukan karena fatwa MUI saja. Tanpa fatwa MUI pun larangan itu sudah jadi fatwa dunia. Tapi mereka selalu menuding fatwa MUI.

Mereka juga menuding fatwa MUI memicu kekerasan terhadap Ahmadiyah?

Sebenarnya bukan karena ada fatwa MUI lalu ada tindak kekerasan. Kekerasan itu hal yang lain. Ada sebabnya yang harus dicari. Dan, kekerasan atas nama apa saja, itu ada hukumannya.

Jadi, maksud dari fatwa itu bukan menyuruh tindak kekerasan, tapi menyadarkan umat. Agar mereka mengetahui aliran ini sesat menyesatkan dan tidak terjebak masuk ke Ahmadiyah. Mereka yang di dalam bisa keluar kembali pada ajaran (Islam) yang benar.

Bagaimana MUI menyikapi Ahmadiyah setelah terjadinya peristiwa bentrokan di Cikeusik?

Pemerinath sudah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. SKB itu tidak ujuk-ujuk keluar. Sebelumnya ada pernyataan 12 butir dari kalangan Ahmadiyah di depan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) bahwa dia itu tidak seperti yang diwacanakan, dia tetap mengakui Muhammad sebagai nabi, dia tidak mengakui Mirza sebagai nabi dan sebagainya.

Tapi di lapangan ternyata mereka melanggar. Jadi, waktu di depan Bakorpakem mereka menggunakan metode taqiyya — orang boleh bohong untuk mempertahankan keyakinannya. Nah, karena itu dilanggar, lalu dievaluasi dengan penelitian yang fair oleh Departeman Agama, dikeluarkanlah SKB Tiga Menteri.

Tapi tidak efektif juga?

SKB itu bagai pisau bermata dua. Pertama, melarang Ahmadiyah menyiarkan agamanya kepada orang lain, kecuali di intern mereka. Jadi, kalau berinteraksi dengan masyarkat, itu tidak boleh. Kalau mereka tetap melanggar, bisa dijerat pasal 156 KUHP dengan ancaman penjara lima tahun.

Kedua, begitu juga pada masyarakat, diwanti-wanti (peringatan keras) tidak boleh ada penganiayaan atau kekerasan kepada Ahmadiyah. Ancamannya juga pasal 156 KUHP.

Jadi sebenarnya, SKB ini masih baik. Tapi, kenapa terjadi bentrokan seperti di Cikeusik (Pandeglang, Banten), tentu ada sesuatu di sana. Ternyata, Ahmadiyah tidak manaati SKB itu.

Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas?

Itu yang saya harapkan. Siapa saja yang melanggar SKB, hukum harus ditegakkan. Ahmadiyah itu melanggar, tapi didiamkan.

Bagaimana dengan permintaan agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri?

Itu permintaan kita dari dulu. Tapi mereka tidak mau keluar dari Islam. SKB sebenarnya adalah jalan tengah. Kalau SKB tidak berjalan, tentu saja yang lebih adem sebenarnya menjadi agama tersendiri. Seperti di Pakistan, mereka tidak boleh memakai simbol keislaman. Mereka boleh ada bangunan seperti masjid, tapi namanya tidak masjid, bisa kuil, temple, atau apalah.

Cara kedua, kalau hukum mau dijalankan, ya harus dibubarkan. Tapi membubarkannya harus melalui Pengadilan Negeri seperti di Paksitan atau di sana justru Supreme Court atau Mahkamah Agung (MA) yang melarang.

Jadi sekarang ini menurut saya solusinya dua tadi itu: Agama tersendiri atau dibubarkan. Kemudian SKB harus ditingkat menjadi Undang-undang Kerukunan Umat Beragama. Dengan begitu, pengawasannya lebih ketat, termasuk pendirian tempat ibadah dan bantuan asing.

Apa yang Anda tahu tentang sejarah kemunculan Ahmadiyah di Cikeusik?

Hadir sejak 1992 dan telah diusir. Tapi pada 1994 datang lagi. Pada 2008, yang namanya Ismail Suparman, kembali, bahkan dengan istri yang dari Filipina itu. Pada 2009 terjadi lagi, diingatkan lagi. Pada November 2010, terjadi dialog. Mereka diminta keluar.

Jadi ada reaksi spontan dari masyarakat setempat?

Desa itu terpencil betul, kira-kira 4-5 jam dari kota Pandeglang. Jadi, kalau ada aliran sempalan, masyarakat geger. Lalu terjadilah peristiwa 5 Februari itu.

Ketika itu Suparman sudah dievakuasi ke Pandegalang. Artinya, dia diminta jangan lagi menyiarkan Ahmadiyah. Tapi pada subuh 6 Februari, datang dua buah mobil, satu Toyota Innova, yang satu lagi apalah (Suzuki APV, red).

Masyarakat mengamatinya. Mereka lihat ada yang membawa berkarung-karung batu, senjata tajam, samurai. Jumlahnya 18 orang (menurut Komnas HAM 17 orang). Mereka dari luar (Jakarta dan Bogor). Ini memancing.

Sembilan orang warga mendatangi mereka supaya pergi. Tapi mereka mungkin sudah siap perang. Mereka akan mempertahankan sampai titik darah penghabisan.

Setelah sembilan warga itu pulang, mereka unjuk kekuatan, seperti debus. Ini memancing masyarakat Banten. Akhirnya, buklan soal agama lagi, tapi gengsi jawara di sana. Yang memulai itupun mereka, Ahmadiyah. Jadilah bentrokan.

Peristiwa itu terekam dengan baik oleh video salah seorang pengikut Ahmadiyah?

Maksudnya mungkin untuk menunjukkan adanya tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Itu juga jadi modal mereka disiarkan ke dunia.

Apa harapan Anda dalam penanganan kasus Cikeusik?

Karena sampai timbul korban tewas, kita sangat menyesalkannya. Kasus ini kita serahkan kepada polisi. Penelitian DPR dan MUI menjadi second opinion agar penyelidikan, peradilan, betul-betul objektif.

Kedua belah pihak itu ada aktor intelektualnya, entah siapa. Ahmadiyah, mereka punya bantuan dari LSM internasional dan dalam negeri. Dari warga saya tidak tahu. Itu domain polisi untuk menyelidiki. Hukum harus ditegakkan terhadap kedua belah pihak.

Sumber: Republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar