OLEH: USTADZ ABDUL HAKIM BIN AMIR ABDAT
“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa tentang sesuatu urusan, maka janganlah ia tampakkan nasehatnya itu kepadanya secara terang-terangan (di depan umum). Akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya, lalu ia bersembunyi dengannya (yakni nasehati dia secara sembunyi tidak ada yang mengetahuinya kecuali engkau dan dia). Maka kalau dia menerima nasehatnya, maka itulah (yang dikehendaki). Tetapi kalau dia tidak mau menerima nasehatnya, maka sesungguhnya ia telah menunaikan kewajiban menasehatinya.”
HADITS SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Ahmad (3/403-404 no.15408 dan ini lafazhnya) dan Ibnu Abi ‘Ashim di kitabnya “As Sunnah” (no.1096, 1098 & 1099) dan lain-lain.
FIKIH HADITS
Hadits yang mulia ini mengajarkan kepada kita salah satu adab dan akhlak di dalam Islam yang sangat tinggi dan mulia dalam ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar, menasehati dan memperingati penguasa yang zhalim. Nabi yang mulia –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kita apabila kita ingin menasehati atau memperingati penguasa yang zhalim, nasehatilah secara tersembunyi. Jangalah menasehati atau memperingatinya secara terang-terangan di depan umum, di mimbar atau di majelis terbuka dengan membuka aibnya. Karena yang demikian akan menafikan maksud dan tujuan dari nasehat atau peringatan itu sendiri kepada penguasa yang zhalim. Bahkan akan menambah kezhaliman dan kemarahannya khususnya kepada orang-orang yang memperingatinya. Sebab maksud dan tujuan menasehati atau memperingati penguasa yang zhalim ialah agar dia sadar akan kezhalimannya kemudian bertaubat dan beramal shalih. Inilah maksud dari perintah Allah Tabaaraka wa Ta’ala kepada Musa dan Harun untuk berda’wah memperingati Fir’aun:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” [QS. Thaahaa: 43-44].
Di dalam ayat yang mulia ini terdapat ibrah yang sangat besar dalam berda’wah kepada penguasa yang zhalim. Fir’aun ketika itu adalah seorang yang sangat melampaui batas, sombong bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan. Sedangkan Musa adalah seorang Nabi yang besar dan mulia di sisi Allah bersama saudaranya Harun. Meskipun demikian Allah tetap memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk berbicara kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut agar mengena dan masuk ke dalam hati Fir’aun. Yang tujuannya agar supaya Fir’aun sadar, ingat akan kezhalimannya, kemudian tunduk dan takut kepada Allah. Kalau terhadap Fir’aun, Allah telah memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk berbicara dengan kata-kata yang lemah lembut, maka tentunya penguasa muslim yang zhalim lebih berhak mendengar kata-kata yang lemah lembut dari seorang alim yang akan menasehati dan memperingatinya.
Sekali lagi, hadits yang mulia ini bagaikan petir yang menyambar kaum harakah islamiyyah yang telah menghalalkan dan menyukai bahkan hampir-hampir mereka mewajibkan berdemontrasi, berorasi dan unjuk rasa kepada penguasa. Walaupun mereka menamakannya demontrasi tertib dan islamiy!!!
“Sampai disitulah ilmu mereka!”. [QS.an-Najm:30]
Sumber: Disalin ulang dari buku Al Masail jilid 4, al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat –hafizhahullah-, Masalah ke 91, Penerbit Darussunnah, Cet.2, Hal.220-222.
syukron..
BalasHapus