Laman

Sabtu, 19 Februari 2011

Gusdur & Caknur Bapak ”Pluralisme” Agama

Ustadz Zaenal Abidin Syamsudin, Lc

Gencarnya upaya Abdurrahman Wahid dan Nurchalish Majid menebarkan virus pemikiran Pluralisme agama di Indonesia mulai membuahkan hasilnya, dari gagasan penolakan terhadap syari’at, pengingkaran terhadap system Negara Islam, pernyataan bahwa Ahlul Kitab bukan hanya Yahudi dan Nashrani saja bahkan semua agam termasuk Konghuchu masuk ke dalam Ahlu Kitab hingga gagasan penyatuan agama sangat mewarnai wacana kedua tokoh tersebut, maka tidak aneh kalau pemikiran kedua orang ini sering mendatangkan badai kritik dan hujatan dari umat Islam.

Cukup banyak penyimpangan Gus Dur, mulai dari pengingkaran terhadap firman Allah:

“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak tidak akan sengan kepada kamu sehinga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120)

Bahwa ayat ini tidak berlaku di Indonesia, mendukung asa Tunggal Pancasila, menerima sumbangan SDSB, menentang gerakan ekonomi ICM, menentang pelarangan buku Satanic Verses, mendirikan Shimon Perez Institute, mendorong pemerintah untuk membuka hubungan dengan Israel, mendukung presiden dari non muslim, menolak RUU Sisdiknas, menentang fatwa MUI, menolak RUU APP, sering berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari kelompok kuffar, shalat boleh dengan bahasa Indonesia, pembelaan terhadap goyang ngebor Inul, membela mati-matian Ulil Absar hingga penghinaan terhadap Al-Qur’an yang ia katakana kitab paling porno bahkan penolakan adanya system Negara Islam serta gagasan pluralismenya membuat gerah umat islam, bahkan Emha Aiun Najib pernah menulis bahwa Gus Dur memang pandai bergaya “Kerbau”, pura-pura bego kaya kerbau, tidak perduli nasehat orang lain walaupun datangnya dari para ulama dan sesepuh NU sendiri sampai K.H. Yusuf Hasim pun telah putus asa menasehatinya.

Adapun pemikiran Nurchalish Madjid hingga sekarang banyak meracuni para cendekiawan muslim Indonesai, mereka yang paling getol menyebarkan vitrus pluralismenya Nurchalis Madjid adalah Dawam Raharjo dan Budhi Munawar Rahman. Cita-cita Paramadina untuk mengusung pemikiran sesat Cak Nur tidak pernah mengenal kata surut bahkan perkawinan lintas agama pun dilayani oleh lembaga tersebut hingga Fikih Lintas Agama pun mereka buat untuk menjadi pedoman dan kitab suci mereka dalam rangka melancarkan ambisi Paramadina sebagai lambaga prositusi terselubung untuk mencetak anak-anak haram hasil perzinahan yang berkedok pluralisme agama.

Kejahatan paling berbahaya yang diwariskan Cak Nur kepada generasi bangsa adalah gerakan penyatuan agama-agama dengan merk kemasan agama Ibrahim yang sebetulnya lebih pas kalau dikatakan agama Cak Nur, bukan agama Ibrahim yang hanif dan mengajak kepada “Tauhidullah” bukan “Tauhidul Adyan”. Harapan Cak Nur mendirikan Negara Pluralisme Raya hampir terwujud bahkan kematian sosok tidak mengharuskan matinya pemikiran terbukti buku besar ensiklopedi Nurchalish Majid telah tercetak yang memuat gagasan-gagasan beliau yang cemerlang dan cerdas seputar konsep Pluralisme.

Dalam buku ini disebutkan: “Jadi pluralisme tidak dapat hanya dipakai dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat ma nusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya”. [1]

Kalau kita hendak membuat study komperansi terhadap gagasan pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam menghina Islam dan menggulirkan pluralisme dan sekulerisme, maka sangat mirip dengan pemikiran yang dikembangkan oleh Gatholoco dan Darmogandhul, dan sangat persis dengan upaya pemikiran yang digagas oleh Siti Jenar.

Kemiripan pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dengan Gatholoco sangat nampak dari sela-sela dialog Gathaloco dengan dua orang penyabit rumput yang beragama Islam, yaitu Suto dn Noyo, Gatholoco menyampaikan pendapatnya tentang arti agama, menurut Tokoh fiktif beraliran zindik ini yang disebut agama adalah: “Agama itu bebas, sesuka orang hidup. Biarpun agama Cina, jika tulus lahir batin, sungguh akan diterima. Jadi kalau begitu, Guru yang mengajari kamu itu salah. Itu agama kafir. Agamaku yang suci, yaitu agama rasa”. [2]

Adapun kemiripan pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dengan Siti Jenar dalam menggulirkan gagasan pluralisme agama, dukungan terhadap Islam Sinkretis, dan penyatuan agama-agama sangat terlihat sekali ketika kita mencermati pernyataan Siti Jenar yang dikutip Achmad Chadji dalam bukunya “Syaikh Siti Jenar” bahwa Siti Jenar menerima isi dan tujuan syari’at Islam. tapi dia menolak bentuk syari’at yang berasal dari tanah Arab, mengapa? Karena bentuk syari’at ibarat warna dan bentuk baju. Warna nya tergantung kondisi geografi dan iklim dari tempat tumbuhnya budaya adan agama. [3]

Baik Gus Dur dan Cak Nur harus menanggung dosa pluralisme agama dan budaya serta seluruh dampak pendistorsian terhadap nilai agama dan penodaan terhadap kemurnia syari’at di Indonesia. Begitu juga generasi bangsa dan insan kampus serta kader umat yang teracuni kesesatan dan syubhat pluralisme juga menjadi tanggung jawab Cak Nur dan Gus Dur, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa memberi contoh yang baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya dan barangsiapa memberi contoh yang buruk maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya”. [4]

Foot Note:

[1] Lihat Ensikloped Nurchalish Madjid (M-P) (3/2694)
[2] Lihat Tafsir Gatholoco, hal. 32
[3] Ibid, hal. 215
[4] Shahih: Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitabuz Zakah, bab al-Hats alash Shadaqah walau Bisyiqitamr au Kalimatin Thayibah (no. 1017).

Disalin dari Buku Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, hal. 433-436 Cetakan Pertama, Pustaka Imam Abu Hanifah-Jakarta

sumber: ibnuramadan.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar