Pada zaman sekarang, banyak sekali sarana-sarana modern yang menawarkan kemudahan dalam berbagai hal, termasuk di antaranya adalah dalam berdakwah. Mulai dari media tulis seperti majalah, koran, buletin, internet[1]; media suara (audio) seperti radio, kaset, handphone; bahkan media layar (audiovisual) seperti, TV, video, VCD, dan sebagainya sangat efektif dalam penyebaran dakwah dan sangat luas jangkauannya, sehingga—alhamdulillah—akhir-akhir ini semakin marak perkembangan dakwah salafiyyah di bumi pertiwi ini.
Kalau radio dan majalah mungkin tidak terlalu bermasalah. Keduanya jelas disyari’atkan karena mengandung banyak maslahat dan sedikit sekali mengandung mafsadat. Oleh karenanya, tidak diketahui seorang ulama pun yang melarang asal hukumnya[2]. Namun, ada suatu masalah yang sering ditanyakan, dipermasalahkan, bahkan diperdebatkan yaitu tampilnya sebagian syaikh dan ustadz sekarang di VCD atau TV[3], apakah hal itu sesuai dengan etika hukum Islam ataukah bertentangan?! Hal itu memunculkan tanda tanya besar yang membutuhkan jawaban berdasarkan argumentasi ilmiah.
Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini, kami memandang perlu untuk membahas masalah ini agar kita tidak gegabah dalam menghukumi atau berburuk sangka kepada sebagian da’i dan ustadz. Semoga Alloh membimbing pena penulis dari ketergelinciran. dan tegur sapa pembaca sangat kami nantikan sebagai perbaikan di hari kemudian[4].
Masalah ini—bagaimana hukumnya ustadz tampil di layar—tidak lepas dari perselisihan, sebagaimana yang biasa terjadi pada masalah-masalah fiqih[5]. Paling tidak, ada dua pendapat di kalangan para ulama kontemporer mengenai masalah ini yang perinciannya akan kita uraikan berikut ini dengan argumentasinya masing-masing.
Pendapat Pertama: Boleh
Pendapat ini diperkuat dengan keumuman dalil yang menganjurkan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Di antaranya adalah firman Alloh:
وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَـٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَـٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًۭا قَلِيلًۭا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ ﴿١٨٧﴾
Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. (QS. Ali Imron [3]: 187)
Qotadah v\ mengatakan: “Ini adalah perjanjian yang dibebankan Alloh kepada ahli ilmu, barang siapa di antara mereka memiliki ilmu maka hendaknya menyampaikannya. Dan janganlah kalian menyembunyikan ilmu karena itu adalah kehancuran.”[6]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya dari al-Qur‘an, hadits dan ucapan salafush sholih dalam masalah ini.
Pendapat Kedua: Terlarang
Sebagian kalangan melarang dai/ustadz tampil di media layar dengan beberapa alasan dan argumen sebagai berikut, di antaranya:
- Metode dakwah dengan cara seperti ini adalah baru dalam agama sehingga termasuk kategori bid’ah.
- Menampilkan gambar sang ustadz, sedangkan hal ini termasuk gambar yang terlarang dalam hadits.
- Memiliki dampak negatif seperti menjadikan sang ustadz tidak bisa terus terang dalam dakwah, membuat banyak orang berkeinginan membeli alat tersebut dan menjadikan wanita menonton gambar ustadz, padahal membendung sarana fitnah merupakan prinsip syari’at Islam.[7]
Dialog dan Jawaban Atas Pendapat Kedua
Berikut ini beberapa jawaban atas pendapat kedua sebagai dialog ilmiyyah yang bernuansa persaudaraan dalam menyikapi perbedaan bukan permusuhan.
1. Metode dakwah dengan cara seperti ini adalah baru dalam agama sehingga termasuk kategori bid’ah
Jawaban:
1) Alasan ini lemah, sebab berdakwah untuk menyebarkan kebenaran sejenis amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan sebagainya yang tidak terbatas pada sarana tertentu bahkan setiap sarana boleh digunakan selagi tidak bertentangan dengan agama. Bukti akan hal itu, syari’at Islam sangat menekankan untuk penyebaran ilmu dan dakwah tanpa terbatas pada sarana tertentu. Perhatikanlah hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam:
لِيُبَلِّغَ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ
“Hendaknya orang yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (HR. Bukhori: 105 dan Muslim: 1679)
Imam Syathibi rahimahulloh berkata: “Penyampaian ilmu tidaklah terbatas pada cara tertentu, boleh dengan cara apa pun baik untuk menjaga, mengajarkan, dan menulis serta lainnya. Demikian pula, untuk menjaganya dari penyelewengan tidaklah terbatas. Oleh karenanya, pengumpulan dan penulisan mushaf disepakati kebenarannya oleh salafush sholih, tidak dianggap batil. Dan selain mushaf lebih mudah urusannya, karena dalam hadits dianjurkan untuk mencatat ilmu.”[8]
Syaikh as-Sa’di rahimahulloh berkata: “Tidak ragu bahwa menyebarkan hukum apabila ditetapkan dengan suara yang lebih luas jangkauannya dan lebih menyebar, maka hal itu termasuk dalam kaidah besar ini.”[9]
Dengan demikian, maka setiap alat sarana dakwah modern yang tidak bertentangan agama bukanlah termasuk kategori bid’ah, tetapi termasuk maslahat mursalah yang diamalkan salafush sholih.[10] Oleh karena itu, mereka mendirikan majelis-majelis untuk mengajarkan ilmu dan menjawab pertanyaan secara tertib dan terjadwal, padahal cara seperti itu tidak ada pada zaman Nabi.[11]
2) Maksud para ulama yang menyatakan bahwa wasilah (sarana) dakwah adalah tauqifiyyah (paten) adalah amal dakwah itu sendiri seperti sandiwara, nasyid, dan lainnya. Adapun alat untuk penyebaran dakwah seperti mikrofon, kaset, faks, sekolah, pesantren, yayasan, dan sejenisnya maka hukumnya adalah boleh selagi tidak bertentangan dengan syari’at. Jadi harus dibedakan antara keduanya.[12]
2. Menampilkan gambar sang ustadz, sedangkan hal ini termasuk gambar yang terlarang dalam hadits
Jawaban:
1) Tidak ragu bahwa gambar-gambar makhluk bernyawa hukumnya haram. Namun permasalahannya, apakah gambar yang tampil di video dan VCD termasuk kategori gambar yang terlarang dalam hadits? Masalah ini masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama seperti Syaikh Ibnu Baz rahimahullohmemasukkannya dalam gambar terlarang dan sebagian lagi tidak memasukkannya seperti Syaikh Ibnu Utsaimin[13], Hammad al-Anshori[14], dan sebagainya.[15]
2) Anggaplah itu termasuk gambar yang terlarang, namun larangan tersebut termasuk larangan dengan sebab wasilah, yang diperbolehkan ketika ada kebutuhan dan masalahat yang besar. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullohberkata: “Sesuatu yang diharamkan karena wasilah dan membendung keharaman maka diperbolehkan ketika ada maslahat yang lebih besar seperti bolehnya aroya (menjual kurma kering dengan kurma basah yang masih di pohon) dalam riba fadhl, bolehnya sholat yang memiliki sebab setelah shubuh dan ashar, bolehnya lelaki melihat wanita karena ingin menikah, atau saksi dan dokter melihat wanita padahal hukum asalnya adalah terlarang.”[16]
3) Anggaplah perkara itu asalnya terlarang, namun tatkala penjelasan syari’at secara sempurna membutuhkan alat-alat modern tersebut dan bila tidak digunakan maka akan menyebabkan lemahnya kebenaran, menangnya kebatilan[17], kejahilan manusia tentang agama, dan masih banyak lagi dampak lainnya, maka dibolehkan gambar seperti ini untuk memilih kerusakan yang lebih ringan sebagaimana kaidah yang mapan dalam agama. Di antara yang berfatwa demikian adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahulloh padahal beliau termasuk ulama yang mengharamkan gambar secara umum, beliau berkata: “Apabila gambar untuk kemaslahatan umum seperti gambar untuk pengajian ulama dan ceramah mereka agar para pendengar yakin bahwa ucapan ini betul-betul dari si fulan bukan lainnya maka dalam kondisi seperti ini bisa dikatakan boleh untuk kemaslahatan umum.”[18]
3. Memiliki beberapa dampak negatif
Jawaban:
1) Anggapan bahwa alat-alat dakwah tersebut menjadikan sang ustadz tidak bisa terus terang dalam dakwah tidaklah benar. Bahkan justru sebaliknya, bila kita tidak memanfaatkan alat-alat tersebut maka berarti kita menyembunyikan ilmu, sebab Alloh memerintahkan kepada ulama untuk menyampaikan ilmu semampu mungkin. Oleh karenanya, barang siapa yang mampu menggunakan fasilitas itu maka dianjurkan baginya untuk memanfaatkannya, bahkan mungkin bisa jadi wajib hukumnya, sebab umat Islam sekarang sangat membutuhkan kepada penjelasan ulama tentang agama yang benar, sedangkan alat tersebut sangatlah cocok untuk kebutuhan mereka pada zaman sekarang.
Kemudian anggaplah terkadang ustadz tidak terus terang dalam sebagian masalah, maka hal itu tidak menjadikan terlarang selagi dia tidak mengatakan kebatilan dan mengharapkan dunia serta keinginan tenar/populer sebab sebagaimana kata ulama “Li kulli maqom maqol” (setiap medan ada pembicaraan yang sesuai).[19]
2) Adapun anggapan bahwa perkara tersebut membuat banyak orang berkeinginan membeli alat tersebut dan menjadikan wanita menonton gambar ustadz, ini juga merupakan alasan yang berlebihan karena alat-alat seperti TV sekarang memang sudah masuk ke hampir semua rumah orang. Dan anggaplah ada kemungkaran tersebut tetap saja tidak menjadikan terlarang disebabkan kemaslahatan yang lebih besar; sedangkan kaidah syari’at menyatakan bahwa agama dibangun di atas kemaslahatan yang murni, atau kemaslahatan yang lebih besar sekalipun ada sedikit kerusakan di dalamnya. Contoh: hukum rajam, potong tangan, dan jihad disyari’atkan oleh Alloh karena kemaslahatannya besar dan meluas untuk masyarakat banyak sekalipun ada sedikit kerusakan bagi yang dihukum.
Pendapat yang Kuat
Dari keterangan di atas dapat kita ketahui kuatnya pendapat pertama dan lemahnya pendapat kedua. Harus kita ingat bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas kemaslahatan, sedangkan tidak ragu lagi bahwa kehadiran ustadz atau syaikh dalam sarana-sarana modern membawa maslahat yang besar karena dengan alat tersebut dakwah akan menyebar ke segenap pelosok dan penjuru tempat dalam setiap jajaran manusia yang tak terhitung jumlahnya. Dengan demikian, diharapkan kebenaran dan dakwah ini akan banyak diikuti oleh orang.
Benar, kita tidak memungkiri adanya beberapa kekurangan dalam media itu. Akan tetapi, kita harus ingat akan kaidah bahwa
“kemaslahatan umum harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.”[20]
Kami menyadari bahwa masalah ini termasuk wilayah ijtihad yang diperselisihkan ulama. Oleh karenanya, kami sangat berharap agar perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak menjerumuskan kita untuk saling bermusuhan dan berlepas diri[21] tetapi marilah kita sikapi dengan lapang dada dan saling menghormati pendapat lain. Sebagaimana kami sangat menekankan kepada saudara-saudara kami yang tampil dalam media tersebut untuk meluruskan niat mereka dan membekali diri mereka dengan ilmu serta memperhatikan kaidah-kaidah dalam masalah ini, serta memberikan udzur kepada sebagian ustadz lain yang tidak mau tampil di media layar. Inilah nasihat dan pesan berharga Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahulloh ketika ditanya tentang masalah ini:
“Barang siapa yang lapang dadanya dan memiliki ilmu maka hendaknya dia berdakwah di TV untuk menyampaikan risalah Alloh, semoga Alloh memberikan pahala baginya. Dan barang siapa belum bisa menerima hatinya dan menganggapnya sebagai syubhat sehingga tidak berdakwah di TV maka kami berharap dia diberi udzur.”[22]
Demikian apa yang dapat kami utarakan dalam kajian tulisan kali ini. Semoga bisa diambil manfaatnya. Wallohu A’lam.
————–
[1]Internet, di samping sebagai media tulis, sekaligus audio maupun audiovisual (Red).
[2]Dr. Abdulloh ath-Thoriqi rahimahulloh berkata: “Media hukum asalnya adalah boleh. Buktinya, seandainya media dipegang oleh orang yang benar dan menggunakannya dalam penyebaran kebenaran, maka tidak diragukan lagi akan bolehnya, karena ia seperti mimbar dan panggung yang dijadikan alat untuk menyampaikan ilmu dan berdialog.” (Hukmul Musyarokah Da’wiyyah fil Qonawat al-Fadho‘iyyah, belum tercetak)
[3]Yang penulis maksud dalam pembahasan ini adalah TV streaming (diakses melalui internet, Red) yang dikelola oleh saudara-saudara kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Ahsan TV, Sarana Sunnah TV, Rodja TV, Hang TV, dan sebagainya. Adapun televisi-televisi umum yang banyak memuat kemungkaran, hal itu di luar pembahasan kita. Semoga pada kesempatan lainnya masalah itu bisa dibahas.
[4]Pembahasan ini banyak menukil dari kitab al-Futya al-Mu’ashir karya Dr. Kholid bin Abdillah al-Muzaini, Dar Ibnul Jauzi, KSA, cet. pertama tahun 1430 H, dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.
[5]Semoga Alloh merahmati Imam Ibnul Qoyyim tatkala mengatakan: “Adanya perbedaan pendapat di kalangan manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi karena perbedaan pemahaman dan kadar akal mereka. Akan tetapi, yang tercela adalah permusuhan di kalangan mereka. Adapun perbedaan yang tidak menjadikan permusuhan dan pengelompokan, masing-masing yang berselisih tujuannya adalah ketaatan kepada Alloh dan rosul-Nya, maka perbedaan tersebut tidaklah berbahaya, karena memang itu adalah suatu kepastian pada manusia.” (Showai’q al-Mursalah 2/519)
[6]Ma’alim Tanzil 1/383 oleh al-Baghowi
[7]Al-Fidiyu al-Islami wal Fadho‘iyyat al-Islamiyyah hlm. 7, 11, 57 oleh Nashir bin Hamd al-Fahd
[8]Al-I’tishom 1/186
[9]Al-Fatawa as-Sa’diyyah hlm. 223–224
[10]Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahulloh berkata: “Kesimpulannya, para sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengamalkan maslahat mursalah yang tidak ada dalilnya selagi tidak bertentangan dengan syari’at atau membawa kerusakan yang lebih besar, demikian juga seluruh ulama madzhab berpegang pada maslahat mursalah sekalipun mereka mengatakan untuk menjauhinya. Barang siapa yang membaca kejadian-kejadian yang menimpa para sahabat dan masalah-masalah dalam fiqih madzhab niscaya dia akan mengetahui kebenaran hal ini.” (al-Masholih al-Mursalah hlm. 46)
[11]Lihat tentang hal ini kitab Adabul Imla‘ wal Istimla‘ karya as-Sam’ani (wafat 562 H).
[12]Lihat Hukmul Intima’ hlm. 160–161 oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, al-Hujaj al-Qowiyyah ’ala Anna Wasa‘il Da’wah Tauqifiyyah hlm. 88–90 oleh Syaikh Abdus Salam Barjas.
[13]Lihat al-Qoulul Mufid 2/438–441, Majmu’ Fatawa wa Rosa‘il 2/262–267. Namun, perlu ditegaskan di sini bahwa yang diperbolehkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin adalah foto atau gambar yang mengandung masalahat yang besar, bukan berarti beliau membolehkan gambar atau foto jenis ini secara mutlak!! Perhatikanlah!! (Lihat Hukmut Tashwir bil Yad oleh Dr. Abdulloh ath-Thoyyar)
[14]Al-Majmu’ 2/720
[15]Lihat perbedaan ulama dan dialog dalam masalah ini secara luas dalam Ahkam Tashwir oleh Ahmad ash-Shumail.
[16]I’lamul Muwaqqi’in 2/161
[17]Telah sampai kabar kepada penulis bahwa aliran-aliran sesat seperti Ahamadiyyah, Syi’ah, Shufiyyah, mereka memiliki TV dakwah ala mereka. Lantas apakah kita Ahlus Sunnah diam dan mencukupkan dengan alat sederhana saja?!!
[18]At-Tamtsiliyyah Tilfaziyyah wa Istikhdamuha fi Majali Dakwah hlm. 188 oleh Muhammad Hasan al-Arhabi, dialog bersama Syaikh Ibnu Baz dalam Koran Mir’atul Jami’ah hlm. 9, Universitas Muhammad bin Su’ud di Riyadh 15/7/1404 H.
[19]Lihat al-Jami’ li Akhlaqi Rowi wa Adabis Sami’ No. 407 oleh al-Khothib al-Baghdadi.
[20]Al-Muwafaqot 2/348 oleh asy-Syathibi
[21]Alangkah indahnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh: “Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka banyak sekali jumlahnya. Seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma saja—kedua orang yang paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam—mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi keduanya tidak menginginkan kecuali kebaikan.” (Majmu’ Fatawa 5/408)
[22]Liqo‘ati Ma’a Syaikhoni 1/81 oleh Dr. Abdulloh ath-Thoyyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar