Laman

Kamis, 19 Juli 2012

Ikut Pemerintah Dalam Penentuan Masuk dan Keluarnya Ramadhan

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Saya melihat Pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang dipimpin oleh seorang muslim, yaitu bapak SBY beserta jajarannya, semoga Allah Ta’ala selalu membenarkan langkah-langkah beliau dalam mengurus Negara ini.
Saya melihat kementrian Agama Republik Indonesia sudah sesuai sunnah dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan, yaitu dengan ru’yah hilal.
Saya juga telah membaca hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

« الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ ». رواه الترمذى

“Puasa itu pada hari kalian semua berpuasa, berbuka pada hari kalian semua berpuasa dan dan hari ‘iedul Adhha ketika kalian semua berkurban”. (HR Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah no. 224)
Berkata Al Mubarakfury rahimahullah di dalam Tuhfatul Ahwadzi: “Sebagian Ulama menafsirkan bahwa puasa dan berbuka sesungguhnya hanya bersama sekumpulan besar manusia (dari kaum muslimin-pent)”.

Saya juga sangat kagum dengan Indahnya perkataan Al Muhaddits Al-Albani rahimahullah tentang kewajiban mengikuti pemimpin yang sah dan kesatuan kaum muslimin di dalam memulai berpuasa dan berbuka (yaitu mengakhirinya-pent), dan setiap individu hendaknya mengikuti kesatuan kaum muslimin, beliau berkata:

“و هذا هو اللائق بالشريعة السمحة التي من غاياتها تجميع الناس و توحيد صفوفهم ، و إبعادهم عن كل ما يفرق جمعهم من الآراء الفردية ، فلا تعتبر الشريعة رأي الفرد – و لو كان صوابا في وجهة نظره – في عبادة جماعية كالصوم و التعبيد و صلاة الجماعة ، ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم كان يصلي بعضهم وراء بعض و فيهم من يرى أن مس المرأة و العضو و خروج الدم من نواقض الوضوء ، و منهم من لا يرى ذلك ، و منهم من يتم في السفر ، و منهم من يقصر ، فلم يكن اختلافهم هذا و غيره ليمنعهم من الاجتماع في الصلاة وراء الإمام الواحد ، و الاعتداد بها ، و ذلك لعلمهم بأن التفرق في الدين شر من الاختلاف في بعض الآراء ، و لقد بلغ الأمر ببعضهم في عدم الإعتداد بالرأي المخالف لرأى الإمام الأعظم في المجتمع الأكبر كمنى ، إلى حد ترك العمل برأيه إطلاقا في ذلك المجتمع فرارا مما قد ينتج من الشر بسبب العمل برأيه ، فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه

صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين .

فليتأمل في هذا الحديث و في الأثر المذكور أولئك الذين لا يزالون يتفرقون في صلواتهم ، و لا يقتدون ببعض أئمة المساجد ، و خاصة في صلاة الوتر في رمضان ، بحجة كونهم على خلاف مذهبهم ! و بعض أولئك الذين يدعون العلم بالفلك ، ممن يصوم و يفطر وحده متقدما أو متأخرا عن جماعة المسلمين ، معتدا برأيه و علمه ، غير مبال بالخروج عنهم ، فليتأمل هؤلاء جميعا فيما ذكرناه من العلم ، لعلهم يجدون شفاء لما في نفوسهم من جهل و غرور ، فيكونوا صفا واحدا مع إخوانهم المسلمين فإن يد الله مع الجماعة “.

“Hal inilah yang paling sesuai dengan syari’at yang mudah, yang mana tujuannya mengumpulkan manusia dan menyatukan barisan mereka, menjauhkan mereka dari setiap hal yang memecah belahkan kesatuan mereka, syari’at Islam tidak menganggap pendapat personal -meskipun benar di dalam pandangannya- di dalam ibadah yang dilakukan secara bersama-sama, seperti; berpuasa, berhari raya, shalat berjama’ah.
Bukankah Anda melihat para shahabat nabi radhiyallahu ‘anhum, sebagian mereka shalat dibelakang yang lainnya, padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dan kemaluan serta keluarnya darah membatalkan wudhu, sedangkan di antara mereka ada yang tidak berpendapat demikian, di antara mereka ada yang menyempurnakan shalat ketika safar dan diantara mereka ada yang mengqashar, tidak menjadikan perbedaan mereka dalam permasalahan ini atau yang lainnya, melarang mereka untuk bersatu di dalam perkara shalat di belakang satu imam dan menganggap shalatnya sah. Yang demikian itu, karena pengetahuan mereka bahwa berpecah belah di dalam perkara agama adalah lebih buruk daripada hanya sekedar berselisih di dalam beberapa pendapat.
Bahkan perkara bersatu ini, sampai kepada bahwa sebagian mereka tidak menganggap pendapat yang menyelisihi pendapat pemimpin yang utama di dalam kesatuan umat yang sangat besar, seperti keadaan ketika di Mina, yang menyebabkan meninggalkan pendapat mereka. Sampai-sampai ada yang benar-benar meninggalkan beramal dengan pendapatnya di kumpulan masyarakat tersebut, agar terlepas dari sesuatu yang mengakibatkan keburukan karena beramal dengan pendapatnya.
Abu Daud meriwayatkan (1/307): bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu pernah mengerjakan shalat di Mina empat raka’at (dengan menyempurnakannya tanpa di qashar-pent), berkatalah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu seraya mengingkari atas perbuatan Utsman radhiyallahu ‘anhu: “Aku pernah shalat (di Mina-pent) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dan Umar dua raka’at, lalu bersama Utsman radhiyallahu ‘anhu di awal kepemimpinan dua raka’at kemudian setelah itu Utsman menyempurnakan menjadi empat raka’at, kemudian terpecah belah jalan bagi kalian. Maka aku berharap dari empat raka’at ini, dua raka’atnya semoga diterima”. Lalu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu shalat empat raka’at (mengikuti Utsman radhiyallahu ‘anhu -pent), maka ada yang berkata: “Engkau menegur Utsman radhiyallahu ‘anhu atas empat raka’atnya tetapi engkau sendiri shalatnya empat raka’at (ketika di Mina-pent), beliau menjawab: “Perbedaan itu adalah buruk”. (Sanadnya shahih dan Imam Ahmad meriwayatkan juga seperti ini dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhum seluruhnya)
Maka orang-orang yang masih saja berbeda pada shalat mereka dan tidak mengikuti imam di beberapa masjid, hendaklah memperhatikan tentang hadits dan riwayat yang disebutkan tadi, khususnya pada shalat witir dengan alasan bahwa imam tidak sesuai dengan madzhab mereka! juga sebagian mereka yang mengaku mengetahui ilmu hisab, sehingga berpuasa dan berbuka sendirian, baik itu mendahului atau terlambat dari kesatuan kaum muslimin, bersandarkan dengan pendapat dan pengetahuannya, tanpa memperhatikan bahwa ia telah keluar dari kesatuan kaum muslimin.
Sekali lagi, hendaklah orang-orang tesebut memperhatikan dari apa yang telah kami sebutkan dari ilmu pengetahuan, semoga saja mereka mendapatkan obat penawar bagi kebodohan dan kekeliruan yang ada pada diri mereka. Yang mana pada akhirnya, mereka menjadi satu barisan dengan kaum muslimin, karena sesungguhnya Tangan Allah bersama kesatuan (kaum muslim)”. (Lihat kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, (1/50) dalam penjelasan hadits no. 229)
Oleh karenanya, mari Ikuti Pemerintah kita dalam penentuan masuk dan keluarnya Bulan Ramadhan agar kesatuan kaum muslimin di Indonesia tetap terjaga.
Selamat menunaikan Ibadah Puasa di Bulan Ramadhan Penuh Berkah tahun 1433H. Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kaum muslim.
Ahmad Zainuddin
Dammam, KSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar