Laman

Minggu, 29 Juli 2012

Ruwatan, Mitos Jorok Penghancur Iman

Perilaku syirik yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia, antara lain dalam bentuk ruwatan, bukan lagi seperti orang yang sedang menggeliat saat bangun tidur, namun sudah bagai orang yang berlari sangat kencang, tergopoh-gopoh bagai mengejar ketertinggalannya dari aneka kemunkaran yang sudah lebih dulu eksis. Entah mengapa, MUI (Majelis Ulama Indonesia) terkesan tidak begitu berminat untuk memberantasnya, begitu juga dengan gerakan Islam terkesan tidak bersemangat menolaknya.
Padahal perilaku syirik merupakan bentuk kedzaliman yang paling besar dan merupakan perbuatan yang sangat tidak disukai Allah. Apalagi, perilaku syirik yang terjadi belakangan ini, tidak hanya dilakukan oleh orang-orang kafir saja tetapi juga oleh mereka yang selama ini dikenal jelas sebagai pemeluk agama Islam. Bahkan perilaku terkutuk ini dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi, status sosial tinggi, cendekiawan dan sebagainya.
Sepanjang Orde Baru, tradisi Ruwatan sudah terkubur dan jarang sekali dipraktekkan orang. Namun setelah reformasi bergulir, terutama sejak Gus Dur jadi Presiden, aktivitas syirik berupa ruwatan ini kembali marak. Bahkan Gus Dur sendiri sempat diruwat. Na’udzubillahi min dzalik! (Kami berlindung kepada Alloh dari yang demikian).
Tradisi Ruwatan merupakan kepercayaan sebagian masyarakat Jawa penganut sinkretis (bahkan musyrik), berupa serangkaian upacara untuk membebaskan diri dari ancaman Betoro Kolo, sosok raksasa buruk rupa, pemangsa manusia. Betoro Kolo adalah anak dari Betara Guru (raja para dewa). Konon, pada suatu ketika Betara Guru bercumbu di langit sambil menikmati terang bulan bersama sang permaisurinya (Betari Uma). Namun mereka gagal melanjutkan percumbuannya ke tahap berikutnya (bersanggama), sehingga sperma sang Betara Guru berceceran di laut, dan kemudian menjelma menjadi Betoro Kolo.

Menurut kepercayaan, makanan Betoro Kolo adalah manusia yang dilahirkan dalam kondisi tertentu, yaitu mereka yang menurut perhitungan klenik akan menderita (sukerta), juga mereka yang lahir dalam keadaan tunggal (ontang-anting)kembang sepasang (kembar), sendang apit pancuran (laki, perempuan, laki), uger-uger lawang (anak dua laki-laki semua) dan sebagainya.
Biasanya, dalam menggelar acara ruwatan juga disiapkan sejumlah sesaji, antara lain berupa kain tujuh warna, beras kuning, jarum kuning, dan bunga tujuh rupa, sebagai syarat utama untuk melaksanakan ruwatan

DPR menggelar Ruwatan alias kemusyrikan dalam peringatan Kemerdekaan

Pemahaman irasional ini, ternyata sempat diinternalisasi oleh para wakil rakyat kita (para pimpinan DPR RI). Buktinya, mereka pernah menggelar acara Ruwatan yang momentumnya dipilih saat bangsa Indonesai merayakan hari kemerdakaan. Tradisi baru berupa ruwatan yakni kemusyrikan merusak iman di lingkungan DPR era reformasi ini setidaknya sudah terjadi sejak tahun 2005, bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-60. Ketika itu, semua pimpinan DPR diruwat.
Ruwatan digelar di Ruang Nusantara I, Gedung DPR-MPR RI, jalan Gatot Soebroto, Jakarta, pada hari Minggu malam tanggal 28 Agustus 2005. Pimpinan DPR RI yang diruwat kala itu adalah Ketua DPR Agung Laksono (Partai Golkar), Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (pimpinan partai PKB, milik ormas NU) dan Soetardjo Soerjogoeritno (PDIP), serta Sekjen DPR Faisal Djamal turut diruwat.
Pada acara yang berlangsung sejak pukul 10 malam itu, yang bertindak sebagai dalang ruwatan adalah Ki Tristuti. Keempat pejabat negara yang berstatus wakil rakyat itu naik ke atas panggung untuk diruwat, bersamaan dengan itu kemenyan pun dibakar, asapnya menebarkan aroma magis ke seluruh pelosok ruangan. Sang dalang ruwatan mendoakan mereka dalam bahasa jawa, agar selamat dari bahaya dan selalu sehat.
Acara dilanjutkan dengan menggelar tontonan wayang semalam suntuk dengan dalang Ki Manteb Soedarsono, dan lakon berjudul Wiratha Parwa, mengisahkan perjuangan Pandawa menegakkan kedaulatan Negara Wiratha yang sedang dilanda krisis multidimensi.
Pada perayaan HUT RI ke-61 tahun 2006, petinggi DPR kembali menggelar ruwatan nusantara, yang juga diramaikan dengan pegelaran wayang kulit semalam suntuk. Acara ruwatan yang berlangsung hari Sabtu 26 Agustus 2006 itu, mengambil tempat di Lapangan Bola DPR, Senayan, Jakarta. Pagelaran wayang kulit mengambil lakon Rojomolo (Raja Bencana) dengan dalang Ki Entuh Susmono.
Lakon Rojomolo dipilih, menurut Soetardjo Soerjogoeritno sang Ketua Panitia, karena banyak bencana terjadi di Indonesia akibat ulah dan keserakahan manusia. Lakon ini akan memiliki klimaks berupa pertarungan Rojomolo dengan Jagal Abilawa. Jagal Abilawa sebagai tokoh protagonis akan menang di akhir cerita.
Ketua DPR Agung Laksono malam itu tampil lengkap dengan wakil-wakilnya seperti Zaenal Maarif (kini sudah ‘lengser’ dari kedudukannya), Muhaimin Iskandar, dan Soetardjo Soerjogoeritno. Menurut Agung, dilaksanakannya acara ruwatan ini dalam upaya melestarikan nilai luhur budaya bangsa, di tengah serbuan budaya asing.
Alhamdulillah, acara ini berlangsung sepi penonton. Para undangan pun banyak yang tidak datang. Ini menunjukkan masih banyak rakyat yang waras, sekaligus memberikan isyarat kepada kita bahwa yang tidak waras adalah wakil rakyatnya.
Sebenarnya, pagelaran wayang semalam suntuk merupakan tradisi tahunan yang dilakukan DPR sejak 1972. Sedangkan tradisi syirik berupa ruwatan ini, baru dilakukan tiga kali, yaitu tahun 2002, 2005, dan 2006. Lokomotifnya adalah Gus Dur.

Mbah Tardjo bertingkah menolak syari’at, mendukung kemusyrikan

Salah satu Wakil Ketua DPR RI adalah Soetardjo Soerjogoeritno yang biasa dipanggil dengan sapaan mbah Tardjo. Disapa mbah karena memang usianya sudah tua. Meski tua, sayangnya belum juga mendapat hidayah. Dialah yang menjadi ketua panitia acara syirik ruwatan di DPR tahun 2005 dan 2006.
Kita tentu tidak lupa dengan sosok tua mbah Tardjo ini. Ketika 56 anggota DPR RI dari Fraksi PDS (beberapa diantaranya dari Fraksi PDIP) memprotes eksistensi perda (peraturan daerah) bernuansa syari’at Islam, Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno setelah menerima mereka langsung menyurati presiden tanpa melalui mekanisme rapat pimpinan atau Badan Musyawarah DPR, dan rapat paripurna DPR, serta tidak mengindahkan ketentuan dalam UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Soetardjo juga mengabaikan Tata Tertib DPR. Padahal, pimpinan DPR hanyalah juru bicara bagi lembaga tersebut.
Dari sini kita melihat betapa bersemangatnya mbah Tardjo menolak syari’at Islam meski sekecil apapun juga. Sampai-sampai melanggar aturan pun dilakoninya. Padahal, sesuai dengan namanya, syari’at Islam adalah untuk Ummat Islam yang merupakan mayoritas pendudukIndonesia. Fakta sejarah telah membuktikan, bahwa syari’at Islam sudah lama eksis di kawasan Nusantara ini jauh sebelum terbentuknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Pada satu sisi terjadi penolakan terhadap syari’at Islam, namun pada sisi lain terlihat adanya upaya mengusung dan menjajakan ruwatan, tradisi irasional dan syirik. Ini jelas kampungan. Karena, ruwatan adalah urusan orang sekampung sedangkan syari’at Islam adalah urusan orang se Indonesia (nasional), bagian dari ummat sedunia. Yang nasional ditolak tetapi yang sekampung dibesar-besarkan seolah-olah urusan nasional.
Ruwatan adalah tradisi masyarakat Jawa. Itu pun hanya amat sangat sedikit orang Jawa yang mau menerima ruwatan sebagai bagian dari hidupnya. Artinya, kedudukan tradisi ruwatan hanyalah setitik kecil saja dari kawasan yang bernama orang Jawa apalagi bangsa Indonesia. Sebagai sebuah variabel, ruwatan adalah variabel minor bukan major. Tentu tidak masuk akal dan tidak adil bila yang sedikit dan minor ini dipaksa-paksa tampil di pentas nasional. Lebih parah lagi bentuk tampak nekadnya, sudah terbukti rakyat tidak mau ikut serta di dalam perilaku syirik para wakilnya itu, tetapi masih pula digelar-gelar juga untuk memenuhi syahwat menegakkan kemusyrikan. Sebagai politikus, mereka itu sebenarnya justru mempermalukan diri mereka sendiri di depan rakyat yang mereka wakili. Tentunya menambah ketidak percayaan rakyat terhadap mereka.
Ruwatan di mana-mana
Bukan cuma para wakil rakyat yang memaksa ruwatan tampil menasional, tetapi juga para tokoh politik dan pendidikan. Pada tanggal 18 Agustus 2000, Jum’at malam, di Universitas Gajah Mada tepatnya di Balairung UGM dilakukan Ruwatan Bangsa, yang dihadiri oleh Presiden Gus Dur, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Rektor UGM Ichlasul Amal, dengan tontonan wayang kulit berlakon Murwokolo dan Sesaji Rojo Suryo oleh Dalang Ki Timbul Hadiprayitno.
KRH Darmodipuro, seorang ahli perhitungan Jawa yang juga menjabat Kepala Museum Radya Pustaka, Solo, pada 13 Januari 2006 meruwat Presiden SBY secara in absentia. Alasannya, berbagai bencana yang terjadi di Tanah Air adalah karena aura buruk bawaan lahir sang Presiden. Ruwatan berlangsung di gedung belakang museum tersebut, Jummat siang.
Menurut Darmo, SBY lahir pada Jummat Kliwon 9 September 1949, masuk dalam wuku Bala’. Wuku adalah semacam zodiak namun hanya berumur sepekan, dimulai hari Minggu dan berakhir Sabtu. Wuku Bala’ memiliki sejumlah watak buruk yang berpengaruh pada kepribadian orang yang dilahirkan dalam pengaruh wuku tersebut. Sehingga, diperlukan medium untuk menghilangkannya yaitu melalui ruwatan. Itu jelas-jelas kepercayaan syirik, dosa terbesar yang pelakunya diancam menjadi penghuni neraka selama-lamanya (abadi) bila semasa hidupnya tidak bertaubat, atau mati dalam keadaan masih musyrik (menyekutukan Allloh dengan lainnya, dalam hal ini dengan Betoro Kolo, mitos raksasa berwajah buruk pemangsa manusia).
Sejumlah wartawan di Jawa Tengah tidak mau ketinggalan menasionalkan tradisi syirik ruwatan. Pada hari Sabtu 7 Februari 2004 mereka yang tergabung dalam Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jateng menggelar upacara ruwatan pemilu di halaman Hotel Santika, jalan Ahmad Yani, Semarang, untuk menghilangkan sukerto atau penghalang dalam pemilu 2004. Acara ruwatan itu dimulai sekitar pukul 09.30 WIB, dihadiri oleh Wakil Gubernur Jateng Ali Mufiz, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Jateng Nur Hidayat Sardini, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng Ari Pradanawati.
Selain wartawan, para seniman juga tidak mau ketinggalan. Contohnya, terjadi diSemarang. Mereka menggelar ruwatan bumi sebagai bentuk solidaritas atas bencana gempa dan tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Ruwatan digelar di Taman KB, Jalan Menteri Supeno, Semarang, hari Rabu tanggal 29 Desember 2004.
Konstituen parpol Islam ternyata tidak anti ruwatan. Contohnya, acara tahlilan dan ruwatan nasional yang diserentakkan dengan Deklarasi Posko Relawan untuk Korban Gempa dan Tsunami, pernah digelar di Kantor DPP PKB (Partai Kebangkitan Bangsa, partai Islam yang menjadi kendaraan politik warga NU—Nahdlatul Ulama– yang biasa disebut kaum Nahdliyin), jalan Kalibata Timur I nomor 12, Jakarta Selatan. Peristiwa yang terjadi Sabtu malam tanggal 1 Januari 2005, dihadiri anggota DPR-RI dari FKB, yakni Cecep Syarifuddin, Syaifullah Ma’shum dan Chairul Saleh Rasyid.
Astaghfirullohal ‘adhiem, di antara yang disebut namanya ini ada yang hafal Al-Qur’an, lulusan perguruan tinggi Al-Qur’an di Jakarta. Semoga dengan peringatan ini beliau bertaubat.
Tradisi syirik ruwatan juga dikemas sebagai bagian dari pariwisata dan dibiayai pemerintah. Peristiwa ini terjadi di Bojonegoro hari Minggu tanggal 5 Februari 2006. Ketika Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro menyelenggarakan ruwatan massal, banyak masyarakat yang mendaftarkan diri untuk menjadi peserta ruwatan. Mereka mengikuti ruwatan, karena ingin membersihkan diri dari kesialan dalam mengarungi hidupnya. Selain itu, menurut adat sebagian kecil orang Jawa, ada beberapa orang yang dilahirkan ke dunia ini hanya membawa sengkolo (kesialan). Jika tidak diruwat, konon hidupnya akan selalu sengsara dan akan jadi santapan Betoro Kolo. Acara ruwatan massal ini disaksikan para pejabat Pemkab Bojonegoro.
Acara ruwatan massal di Bojonegoro ini berlangsung setiap tahun, dan setiap tahun pesertanya selalu bertambah. Bahkan, tahun 2006 ini peserta ruwatan massal tidak hanya berasal dari Bojonegoro saja, melainkan ada yang datang dari Tuban, Lamongan, Surabaya dan Semarang, Jawa Tengah.
Itu sangat memprihatinkan. Perusakan iman telah dilangsungkan secara missal. Itu merupakan bencana yang sangat dahsyat. Karena kalau mereka nanti mati, masuk kubur dalam keadaan imannya sudah hancur diganti dengan kemusyrikan, maka akan menjadi penghuni neraka. Sebelum itu terjadi, mereka sebaiknya bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.

Kemusyrikan dihidupkan dalam kasus homoseks dan korupsi

Dari kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan, pria kemayu pengidap homoseks ini, ternyata lahir pula acara Ruwatan yang diagendakan oleh warga Jatiwates, Jombang, Jawa Timur, tempat ditemukannya belasan mayat korban kekejian Ryan alias Verry Idham Henyansyah.
Menurut Sri Winarni yang tempat tinggalnya berjarak sekitar 6 meter dari TKP (tempat kejadian perkara), yaitu lokasi tempat korban-korban kebiadaban Ryan dikubur, warga sekitar merencanakan ruwatan setelah seluruh korban ditemukan. Bahkan Bapak Kepala Desa sudah berjanji akan memimpin ruwatan. Ruwatan dilakukan agar para korban dapat istirahat dengan tenang. Warga sekitar TKP khawatir bila ruwatan tidak digelar, arwah para korban akan bergentayangan.
Ini bernar-benar sudah menyekutukan Alloh Ta’ala dengan syetan dari mitos yang mereka takuti yang disebut Betoro Kolo. Para Ulama mestinya menyadarkan mereka, agar tidak terjerumus.
Bukan hanya warga Jatiwates yang menggelar Ruwatan dalam rangka membuang sial, tetapi juga keluarga koruptor. Keluarga Widjanarko Puspoyo, Mantan Direktur Bulog yang juga petinggi PDI-P ini, menggelar prosesi ruwatan di sebuah rumah di kawasan Brengosan, Solo, Kamis (24 Mei 2008). Ruwatan dimaksudkan untuk mendoakan dan memberi ketabahan baik terhadap Widjanarko Puspoyo yang terlibat tindak korupsi maupun terhadap anggota keluarganya yang lain. Ruwatan itu dipimpin oleh seorang ulama Kraton Surakarta, dan hanya dihadiri oleh keluarga Widjanarko serta beberapa kerabat.
Astaghfirulloh ulama Kraton Solo ini bagaimana keluarga koruptor bukannya dituntun kepada jalan yang benar, agar sisa hidup mereka untuk menjalani hidup yang benar, tapi malah dijerumuskan ke kemusyrikan.
TNI AU juga pernah menggelar ruwatan pada Jumat malam (12 Juli 2008), yang berlangsung di ruang serbaguna Markas Komando Kodik AU Jakarta. Prosesi ruwatan dipimpin KH Triono. Pesertanya, terdiri dari 29 komandan skuadron udara dan teknik TNI A dan 28 komandan skuadron wing dan teknik di jajaran Komando Pendidikan Angkatan Udara (Kodik AU). Ruwatan dimaknai sebagai upacara membebaskan diri dari nasib buruk, dalam rangka meminta perlindungan dari Tuhan YME agar diberi perlindungan dan dijauhkan dari segala bahaya selama menjalankan tugas. Baru-baru ini, serangkaian kecelakaan pesawat kerap terjadi di tubuh TNI AU.
Selama enam bulan terakhir, tercatat 2 pesawat helikopter dan satu pesawat angkut ringan milik TNI AU mengalami kecelakaan hingga menimbulkan korban jiwa. Kecelakaan terakhir dialami pesawat Casa 212-200 milik Skadron 4 Pangkalan Udara Abdurrahman Saleh Malang, yang jatuh di kaki Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, pada 26 Juni 2008 yang menewaskan lima awak dan 13 penumpangnya.
Usai prosesi ruwatan dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk hingga Sabtu pukul 05.00 WIB. Bertindak sebagai dalang adalah Ki Enthus Susmono yang merupakan dalang terbaik dalam kontes dalang se-Indonesia pada 2006, dengan mengangkat lakon Bharatayudha.

Tokoh ICMI menokohi Ruwatan

Dua bulan sebelumnya (Ahad, 25 Mei 208) RRI Malang Jawa Timur menggelar acara ruwatan menjelang penutupan even Malang Kembali. Ruwatan yang dibanjiri penonton ini berlangsung di Jalan Ijen, dan dipimpin langsung Direktur Utama LPT RRI Pusat Jakarta,Parnihadi. Sebelumnya Parnihadi pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi harianRepublika, itu lho harian yang katanya disebut-sebut sebagai korannya Ummat Islam.
Parnihadi yang pernah bersekolah di Jerman, berteman dekat dengan BJ Habibie, dan pernah menjadi petinggi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) itu, ternyata belum beranjak dari kejahilannya dalam menerima budaya yang irasional semacam ruwatan ini. Bahkan terkesan, ia begitu mengapresiasi budaya primitif ini.
Menurut Parnihadi, dalam budaya Jawa selalu ada petunjuk, petuah, atau nilai yang bisa diambil hikmahnya. Begitu juga dengan ruwatan, yang menurut Parnihadi lebih fokus pada aspek psikologis, dengan tujuan membuang sial pada diri anak-anak, terutama anak-anak yang lahirnya kembar atau sendang kapit pancuran. Bahkan Parnihadi berharap, melalui acara ruwatan ini rasa cinta kepada budaya lokal bisa kembali ditumbuhkan.
Acara ruwatan diawali dengan pagelaran wayang kulit berlakon Murwakala dengan dalang Ki H. Amin Soekarno (berusia 76 tahun). Dilanjutkan dengan memotong ujung rambut peserta ruwatan dan membasahinya dengan air suci dicampur bunga setaman. Terakhir, peserta ruwatan diharuskan menghabiskan tumpeng kecil yang disuguhkan lalu melepaskan burung dara sambil berniat semoga kesialan dapat lekas hilang.
Bagaimana hancurnya keimanan dan rusaknya akal manusia-manusia ini. Mereka sudah mengalihkan keyakinannya kepada syetan dan tokoh cerita khayal alias mitos. Bagaimana mereka telah tega merusak kesaksian mereka sendiri dalam bersyahadat, yaitu hanya mau menyembah kepada Alloh –tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Alloh, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Artinya, penyembahan hanya kepada Alloh, dan cara menyembah hanya cara yang dibawa oleh Muhammad Rasululloh.
Ketika yang mereka sembah dan dianggap mampu menghilangkan kesialan adalah syetan (dalam bentuk apapun) dan bukannya Alloh Subhanahu wa Ta’ala, maka berarti sudah betindak kemusyrikan; dosa terbesar yang tidak diampuni oleh Alloh Ta’ala. Bila sampai meninggal mereka tidak bataubat, maka sangat celaka, karena mati dalam membawa dosa terbesar yang tak diampuni oleh Alloh Ta’ala.
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ(18)

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa`atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu). (QS Yunus: 18).
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا(116)
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS An-Nisaa’: 116).
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(88)
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (QS Al-An’aam: 88).
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ(72)
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (Al-Maaidah: 72).
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ(65)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS Az-Zumar: 65).
Dalam hal kemusyrikan ini Nabi saw bersabda:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
Barangsiapa mati dan dia menyembah selain Allah sebagai tandingan maka masuk neraka (HR Al-Bukhari).
فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.
Kewajiban manusia terhadap Allah ialah mengabdikan diri kepadaNya tanpa menyekutukanNya. (Muttafaq ‘alaih).
حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa berjumpa Allah, dia tidak menyekutukanNya dengan sesuatu maka masuk surga. Dan barangsiapa berjumpa dengan-Nya, menyekutukan sesuatu denganNya maka masuk neraka. (HR Muslim). (haji/ tede).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar