oleh : Abu Hamzah
Bismillahirrahmanirrahim.
Selesai saya mengisi kajian di Mojokerto, Ahad, 23 R. awal 1432 H/ 27 Februari 2011 M, tiba-tiba ada peserta yang maju menyodorkan selembar kertas. Setelah saya baca judulnya, sayapun tersenyum.Saya katakan: “Ya, kebetulan tadi malam saya sudah tahu saat melihat di internet.” Terus dia meminta kepada saya untuk memberikan tanggapan terhadap pemberitaan yang dianggapnya janggal dan lucu tersebut. Saya pun menyanggupinya.
Maka saya katakan:
الحمد لله رب العلمين، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا مجمدا عبده ورسوله، اللهم صل على نبينا محمد وعلى آله وأزواجه وذرياته وصحايته ومن تبع سنته بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
Saya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hidayah Islam dan sunnah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para sahabatnya serta pengikut sunnahnya hingga akhir zaman:
Berita yang di internet dan yang disodorkan oleh jama’ah di Mojokerto itu lengkapnya sebagai berikut:
[DIALOG ULAMA WAHHABI VS ANAK BAU KENCUR
Pada bulan Desember 2009, organisasi al-Irsyad Jember mengadakan pelatihan akidah Syi’ah selama lima hari. Di antara pembicaranya adalah seorang tokoh Wahhabi dari Malang, Agus Hasan Bashori Lc, M.Ag, yang dikenal dengan Ustadz Abu Hamzah. Ia dikenal dengan Ustadz Salafi yang memiliki jam terbang tinggi. Beberapa perguruan tinggi salafi, membanggakan Abu Hamzah karena menjadi salah satu dosen tamu istimewanya.
Ternyata dalam pelatihan yang semula difokuskan pada persoalan ajaran Syi’ah, Abu Hamzah juga memberikan materi tentang bid’ah, dengan mengkaji kitab Ushul al-Bida’, karangan Ali Hasan al-Halabi, ulama Wahhabi dari Yordania yang murid Syaikh Nashir al-Albani.
Dalam materi yang disampaikannya, Abu Hamzah berkata begini, “Bid’ah dalam beribadah adalah membuat cara-cara baru dalam ibadah yang belum pernah diajarkan pada masa Rasulullah saw,seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi, berdoa dengan doa-doa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw dan sahabat dan berdzikir secara keras dan bersama-sama sehabis shalat berjamaah.”
Mendengar pernyataan ini, seorang peserta yang masih belum selesai S1 di STAIN Jember bertanya kepada Abu Hamzah, “Kalau bapak mendefinisikan bid’ah seperti itu, kami punya tiga pertanyaan berkaitan dengan konsep bid’ah yang Anda sampaikan.
Pertama, bagaimana dengan redaksi shalawat yang disusun oleh Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i dan lain-lain, yang jelas-jelas tidak ada contohnya dalam hadits Rasulullah saw. Beranikah Anda mengatakan bahwa dengan sholawat yang mereka susun, berarti Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i itu termasuk ahli bid’ah?
Kedua, kalau Anda menganggap doa-doa yang disusun oleh para ulama termasuk bid’ah, bagaimana Anda menanggapi doa yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang dibaca oleh beliau selama 40 tahun dalam sujud ketika shalat.
Beliau membaca doa berikut:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ
“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i“.
Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh tahun. Pertanyaan kami, beranikah Anda menganggap Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ahli bid’ah yang akan masuk neraka?
Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh tahun. Pertanyaan kami, beranikah Anda menganggap Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ahli bid’ah yang akan masuk neraka?
Ketiga, kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit. Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw. Pertanyaan kami, beranikah Anda menganggap Ibnu Taimiyah termasuk ahli bid’ah dan ahli neraka?”
Mendengar pertanyaan ini, akhirnya Abu Hamzah diam seribu bahasa, tidak bisa menjawab. Dan akhirnya dia membicarakan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan. Dan begitulah, Ustadz Abu Hamzah yang pernah berguru kepada banyak Syaikh Wahhabi di Saudi Arabia itu, dikalahkan oleh seorang anak bau kencur yang belum selesai meraih gelar S1 di STAIN Jember.
Wallahu a’lam.]
Wallahu a’lam.]
Demikian berita tersebut secara lengkapnya.
*****
TANGGAPAN:
Pertama: saya berterimakasih kepada saudara saya yang disebut dengan istilah “anak bau kencur” dalam makalah tadi, atas pemberitaannya sehingga mengangkat nama saya sekaligus mengangkat dakwah sunnah yang saya bawa. Semoga Allah membalasnya dengan baik. Juga saya berharap agar saudara saya tadi benar-benar bertawadhu’ karena Allah supaya menjadi amal shalih yang besar manfaatnya. Sebab saya tidak tahu yang menyebutnya “anak bau kencur” itu dirinya sendiri atau orang lain? Wallahu a’lam.
Kedua: Saya berharap saudara saya itu mau memberitakan secara utuh biar lepas dari amanah. Sebab kalimat: “Dan akhirnya dia membicarakan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan.Dan begitulah, Ustadz Abu Hamzah ….. itu, dikalahkan oleh seorang anak bau kencur” ini mengundang pertanyaan penting:
“Apa saja hal-hal yang dibicarakan Abu Hamzah, yang dianggap oleh anak bau kencur ini tidak ada kaitannya dengan pertanyaan?” Siapa tahu hal-hal itu justru memang jawabannya, tetapi tidak difahami oleh anak bau kencur ini? Ataukah “hal-hal/ jawaban itu” tidak didengar atau tidak diingatnya?”
Kalau kita cermati, berita ini hanya berisi sedikit latar belakang yang membuat dia bertanya, kemudian pertanyaan dan persepsi penanya, tidak ada berita tentang jawaban Abu Hamzah. Dia hanya menggiring orang lain dengan opininya: “dia membicarakan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan.”
Terus, kelemahan berita tadi adalah adanya pemberitaan sifat yang tidak seimbang, (alias Jomplang), yaitu antara dua berita yang ditonjolkan tentang Abu Hamzah.
- Pertama “Ia dikenal dengan Ustadz Salafi yang memiliki jam terbang tinggi. Beberapa perguruan tinggi salafi, membanggakan Abu Hamzah karena menjadi salah satu dosen tamu istimewanya”.
- Kedua: “Mendengar pertanyaan ini, akhirnya Abu Hamzah diam seribu bahasa, tidak bisa menjawab.”Menurut saya, orang yang berakal pasti bertanya-tanya: masak sih, orang yang jam terbangnya tinggi terus berstatus sebagai pemberi materi diam seribu bahasa begitu saja?!! Apalagi di sebagian situs ditulis “Senior Salafy wahabi VS Mahasiswa” atau “DIALOG ULAMA WAHHABI VS ANAK BAU KENCUR “. Kemudian setelah diam seribu bahasa disebutkan -yang secara kasarnya- bahwa “ia ngomong ngalur ngidul yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan?!! Ini bagi orang yang tidak mengenal Abu Hamzah tetapi mau berfikir. Adapun bagi yang mengenalnya maka jelas tidak akan percaya. Maka berita seperti ini tidak efektif bagi orang yang tahu atau yang berfikir. Seperti sengaja dipilih kata-kata itu untuk mengesankan “wahhabi itu bodoh, ulamanya saja bodoh apalagi pengikutnya, maka jangan dekat-dekat dengan mereka biar tidak jadi bodoh”. Kira-kira begitu…!
- Ketiga: Dia menyebut Abu Hamzah sebagai wahhabi.Pertanyaannya: Gelar wahhabi yang disematkan pada Abu Hamzah itu pujian atau celaan? Jika pujian maka tidak mungkin, sebab saudara saya yang katanya bau kencur ini tidak sedang memujinya, melainkan ingin menjatuhkannya, dan menunjukkan bahwa ia berhasil mengalahkannya. Baik, kalau begitu kata wahhabi digunakan untuk mencela? Ya. Di antara buktinya mereka mengatakan:
- Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk mewaspadai dan menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh.”
- Mereka (para komentator) di www.aswaja-nu.com menulis komentar seperti ini:
- Anjing-anjing wahabi muncul….dasar hati batu…dikasih fakta malah bantah !!
- wahabi emang anjingnya Inggris.
- Selain itu, ada juga yang menulis “jauhi fitnah faham wahabi”, “Wahabi adalah Yahudi khawarij”.
- Ada pula yang menulis sebuah artikel sekitar sepuluh halaman berjudul ”Membongkar Kedok Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan”. Dan lain-lain.
Dengan demikian istilah wahhabi dimaknai “pengikut Muhammad ibn Abdul wahhab yang sesat”, atau “orang bodoh sesat karena mengikuti faham orang sesat”.
Jika demikian maka saya berhak bertanya kepada saudaraku yang berjuluk “bau kencur” ini, juga yang lainnya dari orang yang menggunakan istilah wahhabi untuk menyebut orang yang menyalahi tradisinya –meski tradisi itu menyalahi agama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:- Bukankah kata wahhabi itu nisbat kepada Al-Wahhab (Allah Yang Maha memberi, menganugerahi? seperti rahmani nisbat kepada Al-Rahman, Rabbani nisbat kepada al-Rabb, ilahi nisbat kepada al-Ilah? Bolehkah kata rahmani, rabbani, ilahi dan wahhabi untuk gelar cacian dan celaan, atau untuk menjadi julukan bagi kelompok sesat? Kalau tidak boleh, kenapa diteruskan, diwariskan dan dilestarikan?!
- Kalau madzhab yang dinisbatkan kepada nama para imam saja (seperti madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dll) mendapatkan tempat dan terpuji, lalu madzhab yang dinisbatkan kepada Al-Wahhab (wahhabi) atau nisbat kepada Nabi Muhammad (muhammadi) ditolak dan dicela? Jika nama imam digunakan untuk makna positif, lalu kenapa nama Allah atau Muhammad digunakan untuk makna negatif? Apakah kita umat Islam ridha terhadap istilah yang rancu ini?
- Jika Anda inshaf (adil), lebih bagus mana nisbat kepada Allah: ilahi, rahmani, rabbani, wahhabi ataukah nisbat kepada kain wol (shuf), yaitu shufi?
- Jika yang Anda anggap sesat itu Muhammad Putra Syaikh Abdul Wahhab, lalu kenapa Allah (al-Wahhab) yang dicela? Bukankah seharusnya kelompoknya disebut muhammadi atau muhammadiyyah? Kenapa itu tidak dilakukan?
- Jika yang salah itu anaknya yang bernama Muhammad, lalu kenapa hujatan itu menggunakan nama bapaknya yang bernama Abdul Wahhab? Sementara bapaknya tidak ikut-ikutan, bahkan menurut Syaikh Ahmad Zaini Dahlan tadi ayahnya itu adalah seorang ahli ilmu yang juga memvonis sesat putranya? Kenapa justru nama bapaknya dijadikan simbol kesesatan itu?!
- Jadi, istilah wahhabi kalau digunakan untuk menghujat syaikh Muhammad maka larinya justru kepada Allah dan kepada ayahnya, sementara beliau selamat dari celaan itu. Maka apakah kalian mencela Allah al-Wahhab atau ayah syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab?
- Kalau kenyataannya rancu seperti ini, lalu siapa yang pertama kali membuat istilah celaan itu? Apakah ahli ilmu ahlussunnah? Ataukah musuh sunnah? Ataukah orang jahil? Wallahu a’lam.
- Maksud saya kalau mau mencela ajaran Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab jangan menggunakan wahhabi, tapi gunakanlah istilah lain, agar kita tidak mewarisi kebodohan.
- Tetapi kalau kata wahhabi digunakan untuk makna positif, untuk menyebut pengikut sunnah Nabi Muhammad r yang memberantas bid’ah maka aku katakan seperti yang diucapkan Mulla Imranseorang penyair syi’ah yang sudah taubat kepada sunnah:
إِنْ كاَنَ تَابِعُ أَحْمَدَ مُتَوَهِّبًا****فَأَنَا الْمُقِرُّ بِأَنَّنِيْ وَهَّابِي “Jika pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut wahhabi, maka aku akui bahwa aku adalah wahhabi.”Ini seperti ucapan Imam Syafi’irahimahullah yang seumur-umur tidak ada kaitannya dengan rafidhah majusiyyah kok dituduh rafidhi –oleh Khawarij, menurut Imam Baihaqi- maka beliau berkata:“Jika rafdh (rifdh) itu adalah cinta keluarga Muhammad, maka silakan jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalahh rafidhi.”[1]Juga sama dengan ibn Taimiyyah yang dituduh nashibi (karena mencintai sahabat Nabi), beliau membantah mereka:
إن كان نصباً حب صحب محمدٍ * * * فاليشهد الثقلان أني ناصبي“Jika nashb adalah cinta para sahabat Nabi Muhammad maka silakan disaksikan oleh jin dan manusia bahwa aku adalah nashibi.”[2]
- Keempat : untuk meyakinkan orang awam kalau Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab (pelopor dakwah pembaharuan, pemurnian tauhid dan penghidupan sunnah) itu sesat, dan fahamnya yang mereka sebut secara salah “faham wahhabi” itu sesat, maka para musuh beliau itu tidak segan-segan membuat tuduhan yang kejam misalnya:- Syaikh Muhammad membenci Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan melarang orang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
- Syaikh Muhammad membenci shalawat, melarang orang bershalawat.
- Syaikh Muhammad mencela para wali, menghina dan merendahkan para wali serta tidak beriman dengan karamah wali.
- Syaikh mencela para ulama yang terdahulu maupun yang sezaman dengannya, termasuk imam madzhab empat.
- Syaikh mengkafirkan kaum muslimin di masanya.
- Syaikh membuat agama baru.
- Syaikh menghidupkan pikiran Khawarij
- dan sebagainya.
Maka perlu bertanya kembali: Siapa yang membuat istilah wahhabi untuk beliau dan pengikutnya? siapa yang memusuhi beliau? Apa tujuan mereka? Saya serahkan kepada Anda semua.Marilah kita mengingat ucapan Amirul Mukminin Ali Radhiallahu ‘Anhu yang sangat berharga:الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله:“Kebenaran tidak diukur dengan orang, kenalilah kebenaran maka kamu akan tahu orangnya.”[3]
Lalu bagaimanakah jawaban kami selanjutnya terhadap berita Dialog Ulama Wahhabi vs anak bau kencur?
Tunggu lanjutannya. Hilangkan keraguan dan rasa penasaran. (Tapi mohon bersabar, karena menunggu jadwal) [*]
[1] Ibn Hajar al-Hatami, al-Shawa’iq al-Muhriqah ‘ala ahlirrafdhi wad-dhalalti waz-zandaqah, 2/388; Ibn Asakir, Tabyin kidzbil Mufatri, 1/363.
[2] Dar` Ta’arudh al-’Aql wan-Naql, 1/133; Ibnul Qayyim, Madarijussalikin, 1/88
[3] قال الشاطبي رحمه الله: “إذا ثبت أن الحق هو المعتبر دون الرجال فالحق أيضا لا يعرف دون وسائطهم، بل بهم يتوصل إليه وهم الأدلاء على طريقه” الإعتصام 548.
وقال شيخ الإسلام رحمه الله: “..فأئمة المسلمين الذين اتبعوهم وسائل وطرق وأدلة بين الناس وبين الرسول عليه الصلاة والسلام، يبلغونهم ما قاله ويفهمونهم مراده بحسب اجتهادهم واستطاعتهم” الفتاوى 20/224.
وانظر” إرشاد النقاد إلى تيسير الاجتهاد” للصنعاني رحمه الله 105 وكتاب “الروح” لابن القيم 357.
وقال شيخ الإسلام رحمه الله: “..فأئمة المسلمين الذين اتبعوهم وسائل وطرق وأدلة بين الناس وبين الرسول عليه الصلاة والسلام، يبلغونهم ما قاله ويفهمونهم مراده بحسب اجتهادهم واستطاعتهم” الفتاوى 20/224.
وانظر” إرشاد النقاد إلى تيسير الاجتهاد” للصنعاني رحمه الله 105 وكتاب “الروح” لابن القيم 357.
قال الغزالي رحمه الله: “فاعلم أن من عرف الحق بالرجال حار في متاهات الضلال، فاعرف الحق تعرف أهله إن كنت سالكا طريق الحق وإن قنعت بالتقليد والنظر إلى ما اشتهر من درجات الفضل بين الناس، فلا تغفل الصحابة وعلو منصبهم” الاحياء 1/29.
وقال ابن الجوزي رحمه الله: “اعلم أن المقلد على غير ثقة فيما قلد فيه وفي التقليد إبطال منفعة العقل لأنه إنما خلق للتأمل والتدبر، وقبيح بمن أعطي شمعة يستضيء بها أن يطفئها ويمشي في الظلمة!.
واعلم أن عموم أصحاب المذاهب يعظم في قلوبهم الشخص فيتبعون قوله من غير تدبر لما قال وهذا عين الضلال، لأن النظر ينبغي أن يكون إلى القول لا إلى القائل كما قال علي رضي الله عنه لحارث بن حوط وقد قال له: أتظن أن طلحة والزبير كانا على باطل؟
فقال له: يا حارث! إنه ملبوس عليك إن الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله” اهـ تلبيس إبليس منتقاه 77 وانظر أقاويل الثقات 228, وصيد الخاطر36-37.
ولذلك يقال: من الأخطاء التي يراها المرء في حياة كثير منا في هذا المجال أن ترى اختيارنا للأقوال ليس مبنيا على الاستدلال، وإنما بمجرد أن القائل بهذا القول إمام كبير! أو لأن القائل بهذا القول أكثر علما ممن قال بسواه! أو هو قول الأكثرين! أو لأن المقبل عليه أكثر! أو لأنه المشهور! أو نحو ذلك مما يدل على أن السالك لهذا الدرب حاله كحال العوام الذين يعتبرون الصناعة بالصانع كما قال المناوي رحمه الله: “ودأبهم (أي العوام) أن يعتبروا الصناعة بالصانع خلاف قول علي رضي الله عنه الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله” فيض القدير1/17.
فالحق -إذن- لا يوزن بالرجال وإنما يوزن الرجال بالحق بل كل قول يُحْتَجُّ له خلا قول النبي عليه الصلاة والسلام فإنه يحتج به.
وقال ابن الجوزي رحمه الله: “اعلم أن المقلد على غير ثقة فيما قلد فيه وفي التقليد إبطال منفعة العقل لأنه إنما خلق للتأمل والتدبر، وقبيح بمن أعطي شمعة يستضيء بها أن يطفئها ويمشي في الظلمة!.
واعلم أن عموم أصحاب المذاهب يعظم في قلوبهم الشخص فيتبعون قوله من غير تدبر لما قال وهذا عين الضلال، لأن النظر ينبغي أن يكون إلى القول لا إلى القائل كما قال علي رضي الله عنه لحارث بن حوط وقد قال له: أتظن أن طلحة والزبير كانا على باطل؟
فقال له: يا حارث! إنه ملبوس عليك إن الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله” اهـ تلبيس إبليس منتقاه 77 وانظر أقاويل الثقات 228, وصيد الخاطر36-37.
ولذلك يقال: من الأخطاء التي يراها المرء في حياة كثير منا في هذا المجال أن ترى اختيارنا للأقوال ليس مبنيا على الاستدلال، وإنما بمجرد أن القائل بهذا القول إمام كبير! أو لأن القائل بهذا القول أكثر علما ممن قال بسواه! أو هو قول الأكثرين! أو لأن المقبل عليه أكثر! أو لأنه المشهور! أو نحو ذلك مما يدل على أن السالك لهذا الدرب حاله كحال العوام الذين يعتبرون الصناعة بالصانع كما قال المناوي رحمه الله: “ودأبهم (أي العوام) أن يعتبروا الصناعة بالصانع خلاف قول علي رضي الله عنه الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله” فيض القدير1/17.
فالحق -إذن- لا يوزن بالرجال وإنما يوزن الرجال بالحق بل كل قول يُحْتَجُّ له خلا قول النبي عليه الصلاة والسلام فإنه يحتج به.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar