Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya:
Barangsiapa
mati dan belum berhaji karena sakit, miskin atau semacamnya, apakah ia mesti
dihajikan?
Beliau rahimahullah menjawab:
Orang
yang mati dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama:
Saat
hidup mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka orang yang seperti ini
wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Orang
seperti ini adalah orang yang belum menunaikan kewajiban di mana ia mampu
menunaikan haji walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya. Jika si
mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih
diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
“Mengerjakan
haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)
Juga
disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh ada kewajiban
yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam
usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan
perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?” “Hajikanlah dan umrohkanlah dia”,
jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan An Nasai).
Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan
safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun
sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.
Di
hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau
tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?”
“Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR.
Ahmad dan Muslim)
Kedua:
Jika
si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan
tua renta sehingga semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam
ini tetap disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak
perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang
disebutkan sebelumnya.
Begitu
pula dari hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku
memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu
Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan
haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri,
lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai pada sahabat Ibnu
‘Abbas). Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya
menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.
Adapun
firman Allah Ta’ala,
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
(QS. An Najm: 39). Ayat ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan
manfaat dari amalan atau usaha orang lain. Ulama tafsir dan
pakar Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah amalan orang lain bukanlah
amalan milik kita. Yang jadi milik kita adalah amalan kita sendiri. Adapun jika
amalan orang lain diniatkan untuk lainnya sebagai pengganti, maka itu akan
bermanfaat. Sebagaimana bermanfaat do’a dan sedekah dari saudara kita (yang
diniatkan untuk kita) tatkala kita telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji
dan puasa sebagai gantian untuk orang lain, maka itu akan bermanfaat. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati namun masih
memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli warisnya membayar utang puasanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah). Hal ini khusus untuk ibadah yang
ada dalil yang menunjukkan masih bermanfaatnya amalan dari orang lain seperti
do’a dari saudara kita, sedekah, haji dan puasa.
Adapun ibadah selain itu, perlu ditinjau ulang karena ada perselisihan ulama di
dalamnya seperti kirim pahala shalat dan kirim pahala bacaan qur’an. Untuk
amalan ini sebaiknya ditinggalkan karena
kita mencukupkan pada dalil dan berhati-hati dalam beribadah. Wallahul
muwaffiq.
(Fatwa
Syaikh Ibnu Baz di atas diterjemahkan dari: http://www.binbaz.org.sa/mat/690)
Para
ulama menjelaskan bahwa ada tiga syarat boleh membadalkan haji:
1. Orang yang membadalkan adalah orang yang telah berhaji
sebelumnya.
2. Orang yang dibadalkan telah meninggal dunia atau masih
hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit atau telah berusia senja.
3. Orang yang dibadalkan hajinya mati dalam keadaan
Islam. Jika orang yang dibadalkan adalah orang yang tidak pernah menunaikan
shalat seumur hidupnya, ia bukanlah muslim sebagaimana lafazh tegas dalam hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, alias dia sudah kafir. Sehingga tidak sah untuk
dibadalkan hajinya.
(Lihat
bahasan di: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)
Yang
perlu diperhatikan:
1. Tidak boleh banyak orang (dua orang atau lebih)
sekaligus dibadalkan hajinya sebagaimana yang terjadi saat ini dalam hal kasus
badal haji. Orang yang dititipi badal, malah menghajikan lima sampai sepuluh
orang karena keinginannya hanya ingin dapat penghasilan besar. Jadi yang boleh
adalah badal haji dilakukan setiap tahun hanya untuk satu orang yang
dibadalkan. (Lihat bahasan di: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)
2. Membadalkan haji orang lain dengan upah dilarang oleh
para ulama kecuali jika yang menghajikan tidak punya
harta dari dirinya sendiri sehingga butuh biaya untuk membadalkan haji.
Perlu diketahui bahwa haji itu adalah amalan sholeh yang sangat mulia. Amalan
sholeh tentu saja bukan untuk diperjualbelikan dan tidak boleh mencari untung
duniawiyah dari amalan seperti itu. Maka sudah sepantasnya tidak mengambil upah
dari amalan sholeh dalam haji seperti thowaf, sa’i, ihrom, shalat dan lempar
jamarot. Sebagaimana seseorang tidak boleh mengambil upah untuk mengganti shalat orang
lain. Sehingga yang jadi masalah adalah menjadikan badal haji sebagai profesi.
Ketika diberi 3000 atau 4000 riyal, ia menyatakan kurang. Karena badal haji
hanyalah jadi bisnisnya. Amalan badal haji yang ingin cari dunia adalah suatu
kesyirikan. Jika itu syirik, lantas bagaimana bisa dijadikan pahala
untuk orang yang telah mati? Renungkanlah!! Sungguh ikhlas itu benar-benar
dibutuhkan dalam haji, begitu pula ketika membadalkan (menggantikan haji orang
lain). (Lihat bahasan di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=226898)
Nasehat
terakhir: Lakukan Badal Haji dengan Ikhlas
Allah
Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا
يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] :
15-16). Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia
yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan
kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh
kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash
dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan
mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.”
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim). Jika dunia saja yang dicari dalam lakukan
badal haji,
maka tunggu saja balasan yang akan Allah berikan. Uang melimpah bisa jadi ia
dapat, namun nikmat di akhirat bisa jadi sirna. Ikhlaslah … ikhlaslah dan
raihlah ridho Allah.
Semoga Allah senantiasa memberikan
petunjuk dan ikhlas dalam beribadah pada-Nya.
Wallahu waliyyu taufiq.
@
Ummul Hamam, Riyadh KSA, 12 Dzulqo’dah 1432 H (10/10/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Dari artikel Hukum Badal Haji — Muslim.Or.Id by null
Tidak ada komentar:
Posting Komentar