Laman

Senin, 12 November 2012

Ibuku Berdusta Kepadaku 8 Kali...

#Ibuku Berdusta Kepadaku 8 Kali...#

Oleh: Syeikh Mamduh Farhan Albuhairi hafizhohullahu ta'ala.

Salah seorang sahabatku mengirimkan ringkasan kisahnya bersama ibunya, di mana kisah itu telah membuatku menangis. Sekarang, kisah tersebut aku persembahkan kepada anda sekalian dengan harapan bermanfaat bagi anda sekalian; dia berkata:

Kisah ini bermula saat kelahiranku. Aku adalah seorang anak satu-satunya dalam sebuah keluarga yang sangat miskin, kami tidak memiliki makanan yang mencukupi kami. Suatu hari, kami mendapatkan nasi yang bisa kami makan dan bisa mengganjal kelaparan kami. Lalu ibuku memberikan bagian makannya kepadaku. Maka di saat dia mulai memindah nasi dari piringnya ke piringku, dia berkata,"Wahai putraku, makanlah nasi ini, aku tidak lapar." Inilah dustanya yang pertama.

Di saat aku mulai sedikit besar, saat itu dia baru selesai dari mengurus keperluan rumah, dia pergi menziarahi kerabatnya, dia pun berangan-angan seandainya saja mereka menghidangkan daging untuknya. Pada suatu ketika, dengan karunia ALLAH, dia berhasil datang dengan membawa dua potong daging setelah kerabatnya menghidangkan untuknya, dan dia tidak memakannya, bahkan dia meletakkan kedua potong daging itu di sisinya, lalu segera pulang ke rumah dengan cepat, menyiapkan makan siang dan meletakkan dua potong daging itu di hadapanku. Kemudian aku pun mulai memakan potongan pertama sedikit demi sedikit. Sementara ibuku, memakan daging yang tersisa di sekitar tulang. Hatiku pun tergetar karenanya, lalu aku letakkan potongan yang lain di hadapannya agar dia memakannya. Lantas dia kembalikan daging itu di hadapanku dengan segera, seraya berkata, "Wahai putraku, makanlah potongan ini juga, tidakkah kamu tahu bahwa aku tidak suka daging?" Inilah dustanya yang kedua.

Di saat aku sudah besar, aku harus ikut belajar di madrasah, sementara kami tidak memiliki harta yang mencukupi kami untuk membiayai sekolah. Maka ibuku pun pergi pasar, lalu membuat kesepakatan dengan karyawan salah satu stand pakaian untuk menjahit pakaian. Dalam suatu malam, di musim dingin yang sangat dingin, aku bangkit dari tempat tidurku setelah pertengahan mala, ternyata aku mendapati ibuku sedang bekerja menjahit. Maka aku pun memanggilnya, "Ummi, mari kita tidur, waktunya sudah sangat larut, juga sangat dingin, masih memungkinkan bagi ummi untuk melanjutkan kerja besok pagi." Ibuku tersenyum, lalu berkata kepadaku, "Wahai putraku, aku tidak mengantuk." Inilah dustanya yang ketiga.

Pada Suatu hari, sampai berita kepadanya bahwa seorang temanku mengancam akan memukuliku setelah keluar dari sekolahan. Maka ibuku pun memutuskan untuk datang kesekolahan, di saat bel sekolahan terakhir berbunyi, aku pun keluar, ternyata ibuku telah menunggu keluarku dari sekolahan di bawah panasnya terik matahari yang membakar. Lalu dia pun memelukku dengan kuat lagi hangat, lalu menegur temanku, lalu memanggilku dengan penuh penjagaan, dengan taufiq dari ALLAH. Aku temukan ibuku membawa satu cangkir minuman yang telah dibelinya untukku agar aku meminumnya saat aku keluar dari sekolahan. Maka aku pun meminumnya karena kehausan, hingga aku kenyang sekalipun pelukan ibuku lebih dingn dan nyaman. Tiba-tiba aku melihat wajah ibuku, kulihat keringat mengucur darinya, maka aku pun memberikan cangkir itu kepadanya seketika itu pula seraya berkata, "Minumlah Ummi!" dia pun menolak seraya berkata, "Wahai putraku, minumlah sendiri, aku tidak kehausan." Inilah dustanya yang keempat.

Setelah Kematian ayahku, ibuku pun hidup menjanda seorang diri. Jadilah tanggung jawab rumah ada di pundaknya, yang dia pikul sendiri. Dia harus memenuhi segala kebutuhan. Kehidupan kami saat itu menjadi lebih memprihatinkan dan terus kami dalam derita kelaparan. Sementara itu, pamanku adalah seorang laki-laki yang baik, dan dia tinggal bersebelahan dengan kami, dia sering mengirim untuk kami apa yang bisa menutup lapar kami. Di saat tetangga melihat kondisi kami telah berkembang, dari buruk menjadi lebih buruk, mereka memberikan nasihat kepada ibuku agar dia menikah dengan seorang laki-laki yang bisa memberikan nafkah kepada kami, karena dia masih muda. Akan tetapi ibuku menolak menikah dan berkata, "Aku tidak butuh suami." Inilah dustanya yang kelima.

Setelah aku selesai dari studi dan lulus dari perguruan tinggi, aku mendapatkan pekerjaan yang lumayan. Aku pun berkeyakinan ini saat yang tepat bagi ibuku untuk beristirahat, dan meninggalkan tanggung jawab membiayai rumah untukku. Pada saat itu, kesehatannya tidak bisa dikatakan bisa membantunya untuk berkeliling dari rumah ke rumah. Dia biasa menjahit pakaian, kemudian mengirimnya ke pasar tiap pagi. Tatkala dia menolak meninggalkan pekerjaan itu, maka aku pun menyisihkan satu bagian dari gajiku untuknya. Dia pun menolak mengambilnya seraya berkata, "Wahai putraku, simpanlah hartamu ini, aku punya harta yang mencukupi." Inilah dustanya yang keenam.

Disamping pekerjaanku, aku pun meneruskan studiku untuk mencapai magister, ternyata berhasil, aku pun ditetapkan menjadi direktur pada sebuah perusahaan yang aku bekerja padanya di sebuah cabang pada kota lain, lantas gajiku pun naik. Aku pun merasa sangat bahagia. Mulailah aku bercita-cita untuk memulai permulaan kehidupan yang baik dan bahagia. Setelah aku pergi dan menyiapkan segalanya, aku menghubungi ibuku dan mengajaknya untuk datang tinggal bersamaku. Akan tetapi dia tidak suka merepotkanku dan berkata, "Wahai putraku aku tidak terbiasa hidup mewah." Inilah dustanya yang ketujuh.

Ibuku pun menjadi lanjut usia, terkena kanker ganas, dan wajib ada orang yang merawatnya di sisinya. Akan tetapi apa yang harus kulakukan, antara aku dan ibuku yang tercinta terhalang jarak. Aku pun meninggalkan segala sesuatu, untuk pergi mengunjunginya di rumahnya. Aku pun menemukannya tergolek di atas ranjang setelah operasi. Saat ibuku melihatku, dia berusaha tersenyum untukku, akan tetapi hatiku telah terbakar, karena dia sangat kurus dan lemah, dia bukan seperti ibuku yang dulu kukenal. Air mataku pun mengalir dari kedua mataku,akan tetapi ibuku berusaha menghiburku seraya berkata, "Janganlah menangis wahai putraku, aku sama sekali tidak merasa sakit." Inilah dusta yang kedelapan.

Setelah dia berkata demikian, dia pun menutup kedua matanya, dan tidak pernah lagi membukanya untuk selamanya.
Semoga ALLAH merahmati wanita-wanita yang bertanggung jawab seperti ini....


[Diketik ulang dari MAJALAH QIBLATI edisi 02 tahun V]

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=3657948898040&set=a.1129676852819.2017855.1554151132&type=1&theater

Tidak ada komentar:

Posting Komentar