- Kasus Sampang (Agustus 2012 dan Desember 2011) menjadi ajang pembuktian, bahwa NU itu bukan syi’ah, meski ‘hanya’ secara kultural. Namun, para pengasong syi’ah seperti Azra tetap memaksakan bahwa NU itu syi’ah kultural. Itu bukan sekedar memaksakan opini tetapi sudah menjurus kepada pembodohan.
- Lha kalau sosok yang digadang-gadang sebagai cendekiawan Islam saja tidak jujur dan manipulatif, namun begitu digemari media massa untuk dijadikan narasumber, bagaimana kita bisa menyelesaikan konflik?
- Para pengasong syi’ah, termasuk yang menjadi narasumber utama Rasil AM720 (Radio Silaturahim di Cibubur Jakarta Timur) selalu mencitrakan bahwa syi’ah itu sekte yang damai, sejuk, dan ilmiah. Kenyataannya tidaklah demikian. Lihat saja kasus peledakan 1984. Bahkan bisa dikatakan tokoh syi’ah menjadi promotor legendaris serangkaian kasus peledakan di Indonesia, yang kemudian diikuti secara ‘bodoh’ oleh mereka yang lain.
- Bukti lain adalah pernyataan Jalaluddin Rakhmat, tokoh syi’ah militan yang menjabat sebagai Ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia): “…mengorbankan darah dan mengalirkannya bersama darah Imam Husein adalah satu mimpi yang diinginkan oleh orang Syiah…”
KOMUNITAS SYI’AH di Sampang kembali berulah, maka mereka kembali diganyang warga Nahdliyin. Peristiwa itu terjadi 26 Agustus 2012. Tahun sebelumnya, 29 Desember 2011 kelompok syi’ah juga pernah diganyang kalangan Nahdliyin di Sampang. Mereka (kelompok aliran sesat syi’ah) bagai tak pernah jera, bahkan terkesan militan di dalam membela kesesatan akidahnya.
Kejadian berulang itu tentu saja disoroti media massa, meski korban tewas ‘hanya’ satu orang dari pihak syi’ah. Seperti biasa, media massa yang ingin mencitrakan dirinya anti sektarian, anti kekerasan, memunculkan sejumlah tokoh yang dianggapnya sejalan dengan pencitraan mereka.
Antara lain, sebagaimana dilakukan MetroTV dengan memunculkan tokoh bernama Prof. DR. Azyumardi Azra. Ketika diberi kesempatan menyampaikan pandangannya (27 Agustus 2012), Azra mengatakan, kebencian terhadap syi’ah di Indonesia berasal dari paham salafy-wahaby yang merupakan ‘ideologi’ trans nasional.
Azra juga mengatakan, bahwa di tahun 1980-an, para penganut paham salafy-wahaby yang sangat anti syi’ah ini, getol meminta pemerintah Soeharto untuk ‘mengeliminasi’ keberadaan syi’ah di Indonesia, namun ditolak Soeharto.
Ketika itu Azra juga menunjukkan rasa herannya, mengapa kaum Nahdliyin yang secara tradisi dikatakan (oleh mendiang Abdurrahman Wahid) syi’ah kultural (kini tahu-tahu) justru memberangus syi’ah. Hal itu, kata Azra kemungkinan kaum Nahdliyin di Sampang sudah disusupi paham salafy-wahaby yang anti syi’ah.
Bagi orang awam yang silau dengan gelar akademis Azra, apalagi Azra digadang-gadang sebagai cendekiawan muslim dan diselempangi atribut yang menyilaukan, pendapatnya itu pasti akan ditelan mentah-mentah, bahkan boleh jadi diposisikan sebagai kebenaran yang sahih. Padahal, bagi kalangan yang waspada dan cerdas, pernyataan-pernyataan Azra di atas cenderung manipulatif dan tidak jujur.
Ideologi Trans Nasional
Sebagian kalangan terutama pembela bid’ah dan liberal cenderung memposisikan pemikiran dan praktik ibadah yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka dengan sebutan ‘ideologi’ trans nasional, yang dikesankan berbeda atau bertentangan secara kultural dengan Islam Indonesia. Sementara itu, mereka menyeret-nyeret umat Islam untuk menerima ‘ideologi’ trans nasional lainnya seperti demokrasi, sekularisme, liberalisme, feminisme, bahkan komunisme dan permissivisme (dalam bentuk pernikahan sesama jenis dan sebagainya).
Islam adalah ideologi trans nasional, ideologi universal, yang compatiblesepanjang masa. Sedangkan tradisi adalah budi daya manusia yang terbentur dimensi ruang dan waktu. Islam menerima tradisi lokal sebagai khazanah yang memperkaya dan memperkuat, asal tidak bertentangan dengan akidah dan syari’ah Islam.
Di dalam mempraktekkan ajaran agamanya, umat Islam tentu tak bisa lepas dari pengaruh tradisi lokal tempat dimana ia tinggal, hidup dan beranak-pinak. Hal inilah yang harus dikontrol dan diwaspadai, sehingga dalam mempraktekkan ajaran agamanya, umat Islam tidak mencampurkan antara yang hak (Islam) dengan yang bathil (tradisi lokal yang bertentangan dengan Islam).
Di sinilah posisi salafy-wahaby berada. Ia ‘sekedar’ alat kontrol agar umat tidak mencampur-adukkan yang sebenarnya bertentangan. Juga, agar tidak menjunjung tinggi tradisi (yang bertentangan dengan Islam) sehingga menempatkan Islam di bawahnya; meletakkan Islam bagai keset untuk membersihkan sepatu yang kotor, ketika hendak masuk rumah; menjadikan Islam sebagai palu, yang hanya digunakan bila perlu, kalau tidak diperlukan disimpan di dalam gudang.
Sikap Azra mencitrakan Salafy-Wahaby sebagai ‘ideologi’ trans nasional yang seolah-olah menjadi sumber radikalisme, jelas merupakan penyesatan. Ia tidak jujur. Ia melakukan pembodohan. Cilakanya, banyak yang percaya dan mengagumi sosok ini karena Azra mencitrakan dirinya sebagai intelektual muslim yang moderat, serta tidak sektarian. Padahal, ia sedang menyeru kepada kekafiran berfikir ala iblis. Ia juga akan menjadi sosok yang sektarian (tidak moderat, berat sebelah) bila memposisikan tradisi lokal lebih tinggi dibanding Islam yang universal dan trans nasional.
Mengeliminasi Syi’ah
Menurut Azra, ketika di tahun 1980-an sejumlah tokoh Islam (ahlussunnah wal jama’ah) meminta pemerintah Soeharto untuk ‘mengeliminasi’ keberadaan syi’ah di Indonesia, Soeharto menolaknya. Kalau benar hal itu pernah terjadi, maka penolakan Soeharto kala itu bisa dirasakan akibatnya di masa-masa sekarang. Yaitu, merebaknya paham sesat syi’ah yang antara lain menghasilkan konflik di Sampang.
Kalau benar sejumlah tokoh Islam (ahlussunnah wal jama’ah) pada tahun 1980-an pernah meminta pemerintah ‘mengeliminasi’ keberadaan syi’ah, kemungkinan besar bukan hanya karena adanya perbedaan akidah, tetapi pastilah ada hal-hal lain yang juga mengkhawatirkan. Seperti diketahui, Revolusi Syi’ah di Iran terjadi pada tahun 1979. Ayatullah Khomeini saat mempunyai misi mengekspor revolusi syi’ah ke seluruh belahan dunia, terutama di negara berpenduduk Islam.
Artinya, sikap tokoh Islam kala itu, kalau benar demikian seperti dikatakan Azra, adalah bentuk kewaspadaan yang seharusnya diapresiasi, karena syi’ah merupakan ancaman bagi akidah umat Islam, tetapi juga merupakan ancaman bagi keutuhan NKRI.
Apalagi terbukti, tokoh syi’ah di Indonesia menjadi intelectual dader kasus peledakan yang terjadi di Indonesia. Misalnya, kasus peledakan di gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) di jalan Arief Margono, Malang, Jawa Timur yang terjadi pada tanggal 24 Desember 1984 malam. Juga, ledakan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang terjadi pada tanggal 21 Januari 1985 dini hari. Lihat tulisan berjudul Syi’ah dan rangkaian kasus peledakan di Indonesia (http://nahimunkar.com/11471/syiah-dan-rangkaian-kasus-peledakan-di-indonesia/).
Tokoh utama kedua kasus peledakan tadi adalah Ibrahim alias Jawad danHusin Ali Al-Habsyi. Ibrahim alias Jawad bernama asli Krisno Triwibowo, yang pernah mukim di jalan Ketindan no. 62, Lawang, Malang, Jawa Timur dan pernah menuntut ilmu ke Iran serta kembali ke Indonesia tahun 1984. Pulang dari Iran yang suasana hangat revolusi syi’ah masih terasa, Ibrahim membawa atmosfir revolusi syi’ah ke Indonesia melalui beberapa kasus peledakan tadi. Ibrahim alias Jawad alias Krisno Triwibowo, menjadi perancang sekaligus penyandang dana utama.
Sedangkan Husin Ali Al-Habsyi (kelahiran Ambon, 28 Januari 1953) selain menjadi perancang peledakan, juga ingin menjadi imam di Indonesia seperti Khomeini di Iran. Bahkan dalam ceramah-ceramahnya, ia sering mengucapkan slogan atau semboyan yang sering diucapkan Khomeini: “… tidak Timur dan tidak Barat, tidak Sunni dan tidak Syi’ah, tetapi pemerintahan Islam…”
Menurut dugaan seorang pemerhati gerakan Islam, konon kasus Tanjung Priok yang terjadi September 1984, diprovokasi dan dimatangkan oleh dua tokoh syi’ah. Salah satu tokoh syi’ah tadi, konon masih bertalian saudara dengan konglomerat hitam Sjamsul Nursalim. Satunya lagi, konon menjadi aktivis Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) pimpinan Jalaluddin Rakhmat. Sang tokoh syi’ah ini memanfaatkan ‘insiden Hermanu’ yang saat itu dicitrakan sebagai anggota babinsa beragama Kristen yang memasuki mushalla tanpa membuka sepatu dan mengotori dinding mushalla dengan air comberan. Padahal, Hermanu beragama Islam.
Sejarah telah membuktikan, meski hanya satu-dua orang syi’ah yang berulah, nyatanya dapat menyebabkan ratusan umat Islam mati dibantai. Karena, tokoh Islam (ahlussunnah wal jama’ah) bagai kerbau dicocok hidung, terbawa hawa nafsu, sehingga mudah ditunggangi iblis, ditunggangi syi’ah.
Kalau benar pemerintahan Soeharto dulu pernah mengabaikan permintaan tokoh Islam (ahlussunnah wal jama’ah) untuk ‘mengeliminasi’ gerakan dan eksistensi paham sesat syi’ah, maka sudah seharusnya pemerintahan sekarang tidak menempuh kesalahan yang sama. Karena, sudah terbukti merugikan. Kasus Sampang barangkali bukan sekedar uji nyali kalangan syi’ah yang bercita-cita menjadikan Indonesia negara syi’ah terbesar di dunia, tetapi merupakan pelecehan terhadap para tokoh Islam dan tokoh nasionalis NKRI yang pada umumnya tidak mengerti syi’ah, atau sok moderat dan sok toleran dengan memposisikan syi’ah sebagai bagian dari Islam. Padahal nyatanya syi’ah itu memerangi Islam dan menggerogoti keutuhan NKRI.
Sayangnya, sikap pemerintahan Susilo Bambang Yuhoyono terhadap gerakan dan eksistensi paham sesat syi’ah justru seperti mendukung bahkan memberi angin. (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/09/04/20470/jalaluddin-rakhmat-sby-kirim-saya-sebagai-wakil-syiah-ke-luar-negeri/)
Barangkali ada benarnya dugaan Umar Abduh yang mengatakan bahwa konflik horizontal Sampang untuk mengalihkan isu seperti Century, korupsinya Demokrat dan buruknya kabinet SBY. (http://www.itoday.co.id/politik/kasus-sampang-skenario-sby-alihkan-isu-korupsi)
Syi’ah Kultural
Mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) itu syi’ah kultural. Pernyataan itu jelas bertentangan dengan sikap pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari tentang syi’ah. Beliau pernah mengeluarkan fatwa, bahwa madzhab yang paling benar dan cocok untuk diikuti di akhir zaman ini adalah empat Madzhab, yakni Syafe’i, Maliki, Hanafi dan Hambali (keempatnya Ahlussunnah Wal Jamaah). “Selain empat Madzhab tersebut juga ada lagi Madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah, tapi keduanya adalah Ahli Bid’ah, tidak boleh mengikuti atau berpegangan dengan kata kata mereka.” (Secara lebih lengkap dapat dibaca dihttp://nahimunkar.com/16844/kenapa-kh-hasyim-asyari-pendiri-nu-yang-anti-syiah-tidak-dituduh-kesusupan-wahabi/)
Jadi, pernyataan Abdurrahman Wahid yang merupakan cucu K.H. Hasyim Asy’ari sebagaimana dikutip Azra, bertentangan dengan sikap pendiri NU dan kemungkinan besar dengan segenap ulama NU yang istiqomah. Dalam hal ini Gus Dur layak disebut mengidap asma (asal mangap). Ternyata, Azra juga ikut mengutip yang terkena penyakit asma tadi.
Kasus Sampang (Agustus 2012 dan Desember 2011) menjadi ajang pembuktian, bahwa NU itu bukan syi’ah, meski ‘hanya’ secara kultural. Namun, para pengasong syi’ah seperti Azra tetap memaksakan bahwa NU itu syi’ah kultural. Itu bukan sekedar memaksakan opini tetapi sudah menjurus kepada pembodohan.
Lha kalau sosok yang digadang-gadang sebagai cendekiawan Islam saja tidak jujur dan manipulatif, namun begitu digemari media massa untuk dijadikan narasumber, bagaimana kita bisa menyelesaikan konflik?
Bukan Sekte Damai
Para pengasong syi’ah, termasuk yang menjadi narasumber utama Rasil AM720 selalu mencitrakan bahwa syi’ah itu sekte yang damai, sejuk, dan ilmiah. Kenyataannya tidaklah demikian. Lihat saja kasus peledakan 1984 di atas. Bahkan bisa dikatakan tokoh syi’ah menjadi promotor legendarisserangkaian kasus peledakan di Indonesia, yang kemudian diikuti secara ‘bodoh’ oleh mereka yang lain.
Bukti lain adalah pernyataan Jalaluddin Rakhmat, tokoh syi’ah militan yang menjabat sebagai Ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia): “…mengorbankan darah dan mengalirkannya bersama darah Imam Husein adalah satu mimpi yang diinginkan oleh orang Syiah…” (http://hidayatullah.com/read/24524/30/08/2012/jalal:%E2%80%93apakah-harus-memindahkan-konflik-sunnah-syiah-dari-iraq-ke-indonesia?.html)
Pernyataan itu jelas bukan ancaman, tetapi sebuah doktrin, fatwa, bahkan instruksi kepada pengikut syi’ah agar terus mengalirkan darah (bersama Imam Husein), karena itu merupakan kemuliaan. Maka, dari pernyataan Kang Jalal tadi, kita bisa mendapat bukti kesesatan syi’ah bahwa di dalam ajaran sekte sesat syi’ah ada doktrin menumpahkan darah (bersama Imam Husein) yang seolah-olah setara dengan jihad fisabilillah dalam ajaran Islam, padahal sama sekali bertentangan.
Dalam hal ini, Kang Jalal sudah dapat diposisikan sebagai provokator. Lucunya, ucapan radikal dan provokatif Kang Jalal yang disampaikan di tengah-tengah tokoh yang selama ini mencitrakan pejuang kedamaian, justru disikapi biasa-biasa saja. Begitulah watak pendukung kesesatan: mereka menganggap biasa bila radikalisme dan kekerasan itu dilakoni oleh penganut sekte sesat syi’ah, namun akan menjadi perbincangan panjang lebar penuh kritik dan caci maki bila hal yang sama keluar dari mulut kalangan Islam tertentu.
Para tokoh dan media massa yang suka menyakiti Ummat Islam bahkan secara tidak jujur memojokkannya, itupun demi membela kesestan yang merusak Islam, hendaknya takut kepada Allah dengan menghayati benar-benar ayat ini:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا [الأحزاب : 58]
58. dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS Al-Ahzab/ 33: 58).
(haji/tede/nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar