Laman

Kamis, 31 Mei 2012

JAMAK SHOLAT JUM’AT DAN ASHAR

Oleh Syaikh Kholid bin Ali al-Musyaiqih – hafizhohulloh -
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Semoga Alloh memberkahi Anda wahai Syaikh Kholid. Apakah boleh menjamak antara dua sholat, jum’at dan ashar bagi seorang musafir?
Jawaban:
Alhamdulillah wash- sholatu was salaam ‘ala Rosulillah wa’ala Alihi wa Shohbihi ajma’in. Wa ba’du.
Permasalahan ini adalah permasalah yang diperselisihkan para ulama. Dan pendapat yang benar tentangnya adalah, bahwa sholat jum’at adalah sholat yang tersendiri dengan dzatnya, bukan sholat zhuhur yang diringkas, bukan pula pengganti dari sholat zhuhur.

Shalat Jumat Tiada Karena Kerja


السؤال : نحن موظفين نعمل بنظام المناوبة في مصنع للبترول داخل المدينة وصادف عملنا كل شهرين يوم جمعة لأسبوعين 
متتاليين علماً أن عددنا يصل إلى سبعة أشخاص وعندنا مصلى غرفة نستعملها للصلاة فهل تلزمنا صلاة الجمعة أم نصليها ظهراً؟ وما هي شروط إقامة صلاة الجمعة؟ وما هي صحة حديث ” من ترك ثلاثة جمع ختم الله على قلبه”؟
Pertanyaan, “Kami adalah karyawan yang bekerja dengan sistem bergiliran di sebuah perusahaan minyak yang lokasinya ada di tengah kota. Setiap dua bulan sekali hari kerja kami bertepatan dengan hari jumat dalam dua pekan berturut-turut. Perlu diketahui bahwa jumlah karyawan yang terkena giliran kerja yang tidak memungkinkan untuk mengikuti shalat Jumat itu ada tujuh orang. Kami punya ruangan khusus yang biasa dipergunakan untuk mengerjakan shalat lima waktu. Apakah kami berkewajiban melaksanakan shalat Jumat atau kah kami cukup mengerjakan shalat Zuhur saja? Apa saja syarat penyelenggaraan shalat Jumat? Sahihkah hadits yang mengatakan bahwa siapa saja yang tidak mengerjakan shalat Jumat sebanyak tiga kali maka Allah akan mematri hatinya?

Shalat Jum’at Haruskah dengan 40 Jama’ah?

Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan yang telah lewat bahwa shalat Jum’at disyaratkan dengan berjama’ah di masjid. Sebagian ulama menyaratkan harus minimal 40 jama’ah agar bisa dinyatakan sah. Sebagian lainnya menyatakan dengan jumlah tertentu, 2, 3, 4, 12, dan Imam Ahmad sendiri menyaratkan 50 orang sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni. Saat ini muslim.or.id akan meninjau masalah tersebut secara ringkas. Moga Allah mudahkan.
Shalat Jum’at dengan Berjama’ah
Dipersyaratkan demikian karena shalat Jum’at bermakna banyak orang (jama’ah). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menunaikan shalat ini secara berjama’ah, bahkan hal ini menjadi ijma’ (kata sepakat) para ulama. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 202)

Hukum Mengerjakan Sholat Dhuha Secara Berjama'ah

Soal:
assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
ustadz bagaimana kualitas hadits ini ustad
Dalam kitab Fathul Bari (Syarah Shahih Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dinukilkan hadis ‘Itban bin Malik RA tersebut, bahwa Rasulullah SAW telah melakukan sholat Dhuha (subhata adh-dhuha) di rumahnya [rumah 'Itban bin Malik], lalu orang-orang berdiri di belakang beliau dan mereka pun sholat dengan sholat beliau. (fa-qaamuu waraa`ahu fa-shalluu bi-shalaatihi). (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 4/177).
bisa sebagai hujah untuk sholat dhuha berjamaah tidak ustadz?
mohon penjelasannya ustadz
agar saya tida menjadi ahlul bid'ah
terimakasih
wasalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
xxxx
Alamat: xxxx, surakarta
Email: hi_xxxx@yahoo.com (nama, alamat lengkap dan email kami sembunyikan)

Jawab:
Riwayat ‘Itban bin Malik tersebut memang betul terdapat dalam Fathul Baari sebagai berikut.
مَا رَوَاهُ أَحْمَد مِنْ طَرِيق اَلزُّهْرِيّ عَنْ مَحْمُود بْن اَلرَّبِيع عَنْ عِتْبَان بْن مَالِك " أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَة اَلضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ " 
Ada riwayat dari Imam Ahmad dari jalur Az Zuhriy, dari Mahmud bin Ar Robi’, dari ‘Itban bin Malik, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan.[1]

SHALAT DHUHA TERUS MENERUS ??

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum. 
Ustadz, saya ingin menambahkan pertanyaan tentang sholat dhuha. Saya pernah mendengar seorang ustadz di sebuah radio mengatakan bahwa pelaksanaan sholat dhuha tidak setiap hari (pagi) karena Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam hanya mengerjakannya setelah beliau pulang dari perjalanan. Bagaimana mengenai hal tersebut ustadz, apakah benar? Lantas apa bedanya dengan sholat shafar itu sendiri? Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu'alaikum.

Jawaban :
Wa 'alaykumus salam wa rohmatullahi wa barokatuh.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Abdulloh bin Syaqiq pernah bertanya kepada Aisyah radhiallahu 'anha :
“Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan sholat dhuha? ia menjawab: tidak, kecuali jika beliau pulang dari berpergian.” (HR Bukhori, Muslim, Malik, Abu Daud, An-Nasa’i) 

Selasa, 29 Mei 2012

Tata Cara Adzan dan Iqomah

Adzan dan Iqomah merupakan di antara amalan yang utama di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Imam sebagai penjamin dan muadzin (orang yang adzan) sebagai yang diberi amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk para muadzin” [1]
Berikut sedikit penjelasan yang berkaitan dengan tata cara adzan dan iqomah.
Pengertian Adzan
Secara bahasa adzan berarti pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Taubah Ayat 3:
 وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
“dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”
Adapun makna adzan secara istilah adalah seruan yang menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu. [2]
Hukum Adzan
Ulama berselisih pendapat tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum azan adalah sunnah muakkad, namun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan hukum adzan adalah fardu kifayah[3]. Akan tetapi perlu diingat, hukum ini hanya berlaku bagi laki-laki. Wanita tidak diwajibkan atau pun disunnahkan untuk melakukan adzan[4].

Keutamaan Adzan

Setiap hari, selama lima kali kaum muslimin mendengar seruan adzan yang berkumandang di masjid-masjid. Adzan ini memberitahukan telah masuknya waktu shalat agar manusia-manusia yang tengah sibuk dengan pekerjaannya istirahat sejenak memenuhi seruan Allah ‘azza wajalla. Demikian pula, yang tengah terlelap tidur menjadi terbangun lantas berwudhu dan mengenakan pakaian terbaiknya untuk menunaikan shalat berjama’ah.
Pengertian Adzan
Adzan secara bahasa bermakna al i’lam yang berarti pengumuman atau pemberitahuan, sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُه
“Dan pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada ummat manusia di hari haji akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrikin…..” (QS. At Taubah : 3)
Adapun secara syar’i adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan ,lafazh-lafazh yang khusus. (Al Mughni, 2: 53, Kitabush Shalat, Bab Adzan. Dinukil dari Taisirul Allam , 78).
Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, “Para ulama’ menyebutkan 4 hikmah adzan : (1) menampakkan syi’ar Islam, (2) menegakkan kalimat tauhid, (3) pemberitahuan masuknya waktu shalat, (4) seruan untuk melakukan shalat berjama’ah.” (Taudhihul Ahkam, 1: 513)

Shalawatan Setelah Adzan

Seringkali kita dengar di surau atau masjid setelah dikumandangkannya adzan, muadzin membaca shalawat dengan suara yang keras. Bahkan ada yang dengan nada yang mendayu-mendayu. Barangkali kita pernah mendengar pula bahwa ada anjuran membaca shalawat dan meminta wasilah bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Apabila kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu bershalawatlah kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10x. Kemudian mintalah pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga. Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali untuk satu orang di antara hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah untukku, dia berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 875)
Dari hadits di atas jelas bahwa ada tuntunan bershalawat dan meminat wasilah bagi beliau setelah adzan. Dari sinilah sebagian muadzin berdalil akan agungnya amalan shalawat setelah adzan sampai-sampai dikeraskan dengan pengeras suara.

Sunnah dan Bid’ah Seputar Adzan dan Iqomat 02

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah
Bid’ah-Bid’ah Seputar Adzan dan Iqomat
Adzan merupakan ibadah, maka harus ada dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shohih. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk mengingkari setiap bentuk ibadah yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shohih.
Pada masa sekarang ini, banyak mu’adzin yang melakukan berbagai amalan yang tidak ada asalnya karena sudah dianggap sebagai sunnah dan suatu kebenaran. Sehingga apabila ditinggalkan mereka mengatakan: “Islam telah dilalaikan.” Berikut ini beberapa contoh bid’ah seputar adzan yang populer dinegeri kita:

Sunnah dan Bid’ah Seputar Adzan dan Iqomat 01

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah
Adzan merupakan salah satu ibadah dan syiar Islam yang sangat nampak. Kalimat-kalimat dalam Adzan adalah mutiara tauhid dan keimanan yang sangat dahsyat. Dia dapat menggetarkan hati hamba yang bening. Apabila kita menelaah kitab-kitab hadits dan fiqih, niscaya akan kita temukan besarnya perhatian ulama tentang adzan dan iqomat. Hal ini tidak lain karena pentingnya syiar ini. Berikut ini beberapa hal-hal penting yang ingin kami sampaikan seputar sunnah-sunnah dan bid’ah-bid’ah dalam adzan dan iqomat. Pembahasan ini disarikan dari kitab penulis “Panduan Praktis Adzan dan Iqomat Menurut Sunnah.” Semoga Allah memudahkan penerbitannya. Semoga kita dapat mengamalkan yang sunnah dan meninggalkan yang bid’ah. Amiin.
Sunnah-Sunnah Adzan dan Iqomat
Ada beberapa sunnah yang selayaknya bagi kta menghidupkannya dikarenakan masih banyak di antara manusia yang melalaikannya. Kami sebutkan sebagian diantaranya:

Senin, 28 Mei 2012

Hukum Mengambil Gambar Kajian Dengan Video

http://www.e-marketingassociates.com/blog/wp-content/uploads/2011/10/video-camera.jpg
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya :
Bagaimanakah hukum mengambil gambar kajian atau seminar dengan perangkat video ?

Barang Siapa Yang Tidak Punya Guru Maka Gurunya Adalah Setan

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah mengomentari perkataan tersebut sebagai berikut :
أمَّا قولُهم: “مَن لا شيخَ له؛ فشيخُه الشيطان؛ فهذا باطل، ما له أصل، وليس بحديثوليس لك أن تتَّبع طرق الشيخ إذا كان مخالفاً للشرع، بل عليك أن تتبع الرَّسول -صلَّى الله عليه وسلَّموأصحابَه -رضي الله عنهم وأرضاهمومَن تَبِعهم بإحسان، في صلاتك، وفي دعائك، وفي سائر أحوالكيقول الله -جلَّ وعلا-: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}[الأحزاب: 21].
ويقول -سبحانه وتعالى-: {وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ..} الآية [التوبة: 100].
فأنت عليك أن تتبعهم بإحسان باتِّباع الشَّرع الذي جاء به النَّبيُّ -صلى الله عليه وسلَّموالتَّأسِّي بهم في ذلك وعدم البدعة التي أحدثها الصوفية وغير الصوفيةوالله المستعان
“Adapun perkataan mereka (yaitu Shuufiyyah – Abul-Jauzaa’) : ‘barangsiapa yang tidak punya guru (syaikh), maka gurunya adalah setan’; maka perkataan ini adalah bathil. Tidak ada asalnya. Bukan pula hadits. Tidak boleh bagimu untuk mengikuti jalan seorang syaikh apabila ia menyelisihi syari’at. Bahkan wajib bagimu untuk mengikuti Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabatnyaradliyallaahu ‘anhum, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam shalatmu, doamu, dan seluruh keadaanmu. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu’ (QS. Al-Ahzaab : 21)

Mitos Syirik Gunung Salak – Ustadz Ja’far Shalih

http://atjehpost.com/gallery/article/image/20120513_032327_gunung-salak-inside2.jpg
MITOS SYIRIK GUNUNG SALAK
(Tanggapan terhadap artikel: misteri gunung Salak, burung pun bisa jatuh di atas makam Syekh)
Bukannya mengambil hikmah dari kecelakaan Sukhoi dengan bertobat dari kemaksiatan dan dosa, seorang “pemuka” di kaki gunung salak, desa palasari, Cijeruk malah menganjurkan makam Syekh Hasan dikukuhkan sebagai tempat ziarah. “Perlu semacam ada pengukuhan makam Syekh Hasan menjadi tempat ziarah” kata Habib Mukhsin Barakbah.
Musibah Sukhoi dan Makam Syekh Hasan
Allah yang maha bijak telah menetapkan bahwa segala sesuatu ada sebabnya. Apakah berdasarkan dalil syar’i atau kauni. Al Qur’an misalnya adalah sebab syar’i bagi kesembuhan, bagitu pula madu, habbatsauda’, air zamzam, semuanya adalah sebab kesembuhan berdasarkan dalil Al Qur’an dan hadits yang shahih. Begitu pula api yang merupakan sebab kauni untuk membakar, dan seterusnya.

Dalil Isbal Harus Ditinjau Asbabul Wurud-nya?

Assalamualaikum..
Ustadz ada teman yang bertanya tentang dalil-dalil isbal. Yang dia tanyakan seperti berikut :
“Dapatkah kita memahami dalil secara tekstual belaka? Bukankah hadits-hadits muncul lantaran ada konteksnya? Terus, apa sih konteks (asbabul wurud) hadits-hadits tersebut?”
Mohon jawabannya. Jazakallahu khoiron
Azwar
Alamat: kejawan gebang I/15 surabya
Email: go_fau***@yahoo.com
Ustadz Kholid menjawab :
Tidak semua hadits hukumnya dilihat kepada sebabnya, sebab yang penting adalah lafadznya dan bukan sebabnya, demikian keterangan para ulama ahli tafsir dan ushul. Sehingga hukum tidak harus dilihat sebab wurudnya hadits. Hadits-hadits isbal cukup banyak dan jelas, bahkan nabi pernah memarahi Abdullah bin Umar yang mengenakan pakaian panjang hingga bila berjalan terdengar suara gerakan baju tersebut. Lihatlah pernyataan Ibnu Umar:

Celana Membawa Sengsara

Saudaraku… semoga Allah merahmatimu. Tidak ada yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya kecuali kemaslahatan dan kebaikan umat ini. Semua perintah dalam agama pasti di dalamnya mengandung kebaikan untuk diri kita. Begitu pula segala macam larangan, tidak diragukan lagi di dalamnya banyak mengandung kemudhorotan bagi umat ini, baik disadari hikmahnya ataupun tidak. Oleh sebab itu Islam adalah agama yang sempurna. Karena segala sesuatu yang dapat menghantarkan makhluk kepada kebahagiaan dan segala hal yang dapat menjerumuskan makhluk ke dalam jurang kesengsaraan sudah dijelaskan dalam syari’at kita yang mulia ini dengan sejelas-jelasnya.
Ketahuilah wahai saudaraku… sesungguhnya ada celana yang dapat menjatuhkanmu ke lembah kesengsaraan (baca: neraka). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka.” (HR. Bukhari). Maksudnya bagian kaki yang terkena sarung/celana yang berada di bawah mata kaki, akan diazab di neraka, bukan sarung/celananya. Jadi, perbuatan menurunkan pakaian hingga menutupi mata kaki (baca: isbal) baik dilakukan dengan kesombongan ataupun tidak, maka pelakunya (musbil) akan diazab di neraka. Hanya saja bedanya jika dilakukan dengan kesombongan maka ini lebih parah dan lebih dahsyat lagi siksanya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan yang Allah tidak berbicara dengan mereka pada hari kiamat, tidak memperhatikan mereka dan tidak mensucikan mereka (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku isbal (musbil), pengungkit pemberian (mannan) dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, An Nasa’i)

al-Hafidz Ibnu Hajar membolehkan ISBAL…?!

 
 
 
 
 
 
isbal celanaPenanya: Abu Zahroh
Ustadz Abu Abdillah, Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi ilmu Ustadz… Saya ada pertanyaan, apakah penukilan pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani seperti yang dicantumkan di sebuah website bahwa “Isbal halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap sombong” itu valid dari beliau ?
Jawaban:
Bismillaah… walhamdulillaah… wash-sholaatu wassalaamu ala Rosuulillaah… wa’ala aalihi washohbihi waman waalaah…
Memang ada sebagian orang menisbatkan pendapat bolehnya isbal tanpa rasa sombong kepada Al-Hafidz Ibnu Hajar, padahal itu tidak benar. Sebaliknya, beliau justru menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa larangan itu umum, baik untuk yang sombong maupun tidak… Anda bisa merujuknya ke Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, syarah hadits no: 5788-5791. Beliau membahas masalah ini, dengan panjang lebar…

ISBAL ?? NO !! Apa sih susahnya? wong tinggal ninggikan celana sedikit? Kan, masih tetap keren?

Isbal (memanjangkan pakaian hingga di bawah kedua mata kaki bagi lelaki) termasuk perbuatan dosa yang diremehkan oleh sebagian umat. Sementara  hadits-hadits tentang larangan berisbal-ria telah mencapai derajat mutawatir maknawi, lebih dari dua puluh sahabat meriwayatkannya (lihat risalah Syaikh Bakr Abu Zaid yang berjudul Hadduts Tsaub hal 18)

Para ulama telah sepakat bahwasanya isbal itu haram jika dilakukan karena sombong. Akan tetapi mereka berselisih pendapat jika isbal dilakukan bukan karena sombong. Akan tetapi kita dapati pernyataan para ulama yang tidak menyatakan haram bagi isbal tanpa kesombongan, mereka menyatakan bahwa isbal tanpa kesombongan hukumnya makruh (dibenci oleh Allah). Karenanya bisa kita katakan bahwa para ulama sepakat jika isbal tanpa kesombongan adalah makruh.

Jika yang kita dapati orang-orang yang berisbal ria adalah orang-orang awam yang tidak mengetahui maka masih bisa kita maklumi, akan tetapi yang menyedihkan adalah sebagian para juru dakwah yang sengaja berisbal ria, bahkan mencibirkan orang yang tidak isbal. Padahal minimal hukum isbal tanpa kesombongan adalah makruh. Apalagi pendapat yang lebih kuat bahwasanya hukumnya adalah haram meskipun tanpa kesomobongan, dan semakin bertambah keharamannya jika disertai dengan kesombongan.

Minggu, 27 Mei 2012

Haramnya Isbal Secara Mutlak

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Apa yang berada di bawah mata kaki berupa kain sarung maka tempatnya adalah dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 5787)
Dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu anhuma dia berkata:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ“Aku pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain sarungku saya terjurai (sampai ke tanah). Maka beliau bersabda, “Hai Abdullah, naikkan sarungmu!” Maka akupun langsung menaikkan kainku. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Maka akupun menaikkan lagi. Dan setelah itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)

Tidak Isbal pun Bisa Terlarang

المبالغة في تقصير الثياب
قال المصنف : وفي الصوفية من يبالغ في تقصير ثوبه وذلك شهرة أيضا
Ibnul Jauzi membuat judul dalam bukunya Talbis Iblis sebagai berikut, “Over dosis dalam Meninggikan Pakaian- agar tidak isbal, pent-”.
Setelah itu beliau mengatakan, “Di antara orang-orang sufi ada yang berlebih-lebihan dalam meninggikan pakaiannya. Itu juga masuk dalam kategori pakaian syuhroh atau pakaian yang menimbulkan buah bibir yang terlarang dalam agama”.
أخبرنا ابن الحصين نا ابن النذهب ثنا أحمد بن جعفر ثنا عبد الله بن أحمد ثني أبي ثنا محمد بن أبي عدي عن العلاء عن أبيه أنه سمع أبا سعيد سئل عن الإزار فقال : سمعت رسول الله صلي الله عليه و سلم يقول : [ إزار المسلم إلى إنصاف الساقين لا جناح أو لا حرج عليه ما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو النار ]
Ibnul Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Sahabat Nabi yang bernama Abu Said ditanya tentang ukuran izar (sejenis sarung). Jawaban beliau, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kain seorang muslim itu panjangnya hanya sampai pertengahan betis. Namun boleh jika dijulurkan lebih rendah lagi selama dalam batas antara pertengahan betis hingga mata kaki. Yang lebih panjang dari mata kaki itu di neraka”.

Kamis, 24 Mei 2012

Ustadz Tampil di TV?

Pada zaman sekarang, banyak sekali sarana-sarana modern yang menawarkan kemudahan dalam berbagai hal, termasuk di antaranya adalah dalam berdakwah. Mulai dari media tulis seperti majalah, koran, buletin, internet[1]; media suara (audio) seperti radio, kaset, handphone; bahkan media layar (audiovisual) seperti, TV, video, VCD, dan sebagainya sangat efektif dalam penyebaran dakwah dan sangat luas jangkauannya, sehingga—alhamdulillah—akhir-akhir ini semakin marak perkembangan dakwah salafiyyah di bumi pertiwi ini.
Kalau radio dan majalah mungkin tidak terlalu bermasalah. Keduanya jelas disyari’atkan karena mengandung banyak maslahat dan sedikit sekali mengandung mafsadat. Oleh karenanya, tidak diketahui seorang ulama pun yang melarang asal hukumnya[2]. Namun, ada suatu masalah yang sering ditanyakan, dipermasalahkan, bahkan diperdebatkan yaitu tampilnya sebagian syaikh dan ustadz sekarang di VCD atau TV[3], apakah hal itu sesuai dengan etika hukum Islam ataukah bertentangan?! Hal itu memunculkan tanda tanya besar yang membutuhkan jawaban berdasarkan argumentasi ilmiah.

Rabu, 23 Mei 2012

PROFESI PENGACARA MENGAPA TIDAK?

Muqoddimah

Sesungguhnya syari’at Islam adalah syari’at yang sempurna dan paripurna yang membahas segala hal yang dibutuhkan oleh hamba. Di antara sekian bukti akan hal itu adalah konsep Islam yang sangat jelas tentang pengadilan. Dan di antara sekian bahasan dalam pengadilan adalah “pengacara”. Nah, apakah masalah pengacara dibahas dalam Islam? Adakah penjelasannya dalam kitab-kitab para ulama?! Bagaimana kriteria pengacara dalam Islam?! Inilah yang akan menjadi topik bahasan kita kali ini. Semoga Alloh memberikan pemahaman kepada kita semua.[1]

Definisi Pengacara

Pengacara (advokat) adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara dalam pengadilan.[2]

Ada Apa Dengan Bank Konvensional?

Perekonomian adalah salah satu bidang yang diperhatikan oleh syari’at Islam dan diatur dengan undang-undang yang penuh dengan kebaikan dan bersih dari kedhaliman. Oleh karenanya, Allah mengharamkan riba yang menyimpan berbagai dampak negatif bagi umat manusia dan merusak perekonomian bangsa.
Sejarah dan fakta menjadi saksi nyata bahwa suatu perekonomian yang tidak dibangun di atas undang-undang Islam, maka kesudahannya adalah kesusahan dan kerugian. Bila anda ingin bukti sederhana, maka lihatlah kepada bank-bank konvensional yang ada di sekitar kita, bagaimana ia begitu megah bangunannya, tetapi keberkahan tiada terlihat darinya. Sungguh benar firman Allah:
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. (QS. Al-Baqoroh: 276)
Nah, di sinilah pentingnya bagi kita untuk mengetahui masalah Bank konvensional dan sejauh mana kesesuaiannya dengan hukum Islam karena pada zaman sekarang ini, Bank bagi kehidupan manusia hampir sulit dihindari.

Hadits Dha’if, Musnad, Muttashil, Marfu’ dan Mauquf

Hadits Dhaif
Ibnu Shalah berkata:
وهو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح، ولا صفات الحسن المذكورة كما تقدم
Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak memiliki seluruh sifat hadits shahih, atau tidak memiliki seluruh sifat hadits hasan yang telah dijelaskan”
Lalu beliau menyebutkan jenis-jenis hadits dhaif ditinjau dari jumlah sifat yang kurang sehingga tidak mencapai derajat shahih atau hasan, baik satu atau semua sifat. Dengan tinjauan tersebut, beliau membagi hadits dhaif menjadi:
  • Maudhu’ (الموضوع)
  • Maqlub (المقلوب)
  • Syadz (الشاذ)
  • Mu’allal (المعلل)
  • Mutharib (المضطرب)
  • Mursal (والمرسل)
  • Munqathi’ (والمنقطع)
  • Mu’dhal (والمعضل)
  • Dll

Mampu Menggauli 100 Bidadari

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , هَلْ نَصِلُ إِلَى نِسَائِنَا فِي الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصِلُ فِي الْيَوْمِ إِلَى مِائَةِ عَذْرَاءَ»
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata: diantara para sahabat ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan bertemu dengan istri kami kelak di surga?’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Seorang lelaki dalam sehari akan bertemu (baca:berjima’) dengan 100 bidadari” (HR. Al Bazzar dalam Musnad-nya 3525, Abu Nu’aim dalam Shifatul Jannah 169, Ath Thabrani dalam As Shaghir, 2/12)
Dalam riwayat lain:
قيل : يا رسول الله هل نفضي إلى نسائنا في الجنة ؟ قال : إن الرجل ليفضي في اليوم إلى مائة عذراء
Wahai Rasulullah, apakah kami akan berjima’ dengan istri-istri kami di surga kelak? Sungguh seorang lelaki dalam sehari akan berjima’ dengan 100 bidadari

Muslimah (Mantan) Aktifis Demo Membeberkan Fakta

Berikut ini pernyataan dari seorang muslimah yang saya copas dari kolom komentar di muslim.or.id, isinya patut menjadi renungan  bagi kita semua, terutama para aktifis dakwah ,
ana akhwat, aktivis demo, bagi ana demo adalah jihad, perjuangan menegakkan syariat, kebenaran, melawan kebathilan, sarana yang paling oke untuk amar am’ruf nahyi munkar pokoke hidup demo. meskipun gara-gara demo bolos kuliah, siap muka terpanggang matahari dan ummahatnya pun rela menggendong bayinya dengan berpeluh panas bahkan yang hamilpun bela-belain untuk demo.
bahkan ana hampir mati ditabrak mobil TNI saat demo waktu kuliah.

Hadits-Hadits Tentang Zina

Hadits 1
لا يحل دم امرئ مسلم ، يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ، إلا بإحدى ثلاث : النفس بالنفس ، والثيب الزاني ، والمفارق لدينه التارك للجماعة
Seorang muslim yang bersyahadat tidak halal dibunuh, kecuali tiga jenis orang: ‘Pembunuh, orang yang sudah menikah lalu berzina, dan orang yang keluar dari Islam‘” (HR. Bukhari no. 6378, Muslim no. 1676)
Catatan: Para ulama menjelaskan bahwa hak membunuh tiga jenis orang di sini tidak terdapat pada semua orang

Kasus Hukum Pancung Ibu Ruyati: Ujian bagi Kaum Muslimin

Kasus Ruyati: Ujian Kaum Muslimin

Telah terjadi hukum pancung atas ibu Ruyati pada tanggal 18 Juni 2011 lalu di negara Saudi Arabia (http://m.inilah.com/read/detail/1620212/inilah-kronologis-proses-hukum-tki-ruyati/), kejadian yang cukup menggemparkan, terutama di Indonesia. Bagaimana tidak? Ibu Ruyati -semoga Allah merahmatinya-, adalah seorang ibu berkewarganegaraan Indonesia, yang bekerja menjadi TKW di Saudi Arabia telah dihukum pancung. Seolah tiada hujan tiada angin, tiba-tiba berita duka tersebut menghujani tanah air ini dengan deras, bahkan keluarga korbanpun mengaku tidak mendapat informasi yang cukup. Sebagaimana pemerintah Indonesia juga mengaku demikian.
Informasi yang tiba-tiba dan dengan segala kekurangannya mengundang banyak komentar di berbagai kesempatan. Tentu, komentar itu pun bermacam-macam sesuai keberagaman orang yang berkomentar. Dari muslim, sampai non muslim. Dari orang yang bijak sampai orang yang sembrono. Dari yang menunggu informasi yang cukup sampai yang asal bunyi dengan penuh ketergesaan dan emosi.

Senin, 21 Mei 2012

Nasihat Bagi Penuntut Ilmu

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahulloh
Kaidah Pertama : Bagaimana Engkau Bermuamalah dengan Kitab/Buku ?
Bermuamalah dengan kitab dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1. Mengetahui isi materinya
Sehingga seorang dapat mengambil faedah darinya karena hal ini membutuhkan spesialisasi, sebab mungkin saja itu adalah kitab sihir, kitab yang berisi kebatilan dan semisalnya. Maka kita harus mengetahui terlebih dahulu isi materi kitab sehingga faedah darinya bisa diambil.
2. Mengetahui istilah-istilahnya
Karena mengetahui istilah akan lebih mengefektifkan waktu, dan inilah yang dilakukan para ulama di dalam pendahuluan kitab-kitab mereka. Misalnya kita mengetahui bahwa pengarang kitab Bulughul Maram, jika dia mengatakan muttafaq 'alaih, artinya diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim. Namun pengarang kitab Al Muntaqaa berbeda, jika dia mengatakan muttafaq 'alaih artinya diriwayatkan dari Ahmad, Al Bukhori dan Muslim. Demikian pula kitab-kitab fiqih, harus dibedakan antara dua (pendapat), dua pandangan, dua riwayat dan dua kemungkinan. Maka jika dikatakan dua riwayat artinya dari Ahmad, jika dua pandangan artinya dari para imam Madzab besar, sedangkan dua kemungkinan maksudnya adalah keraguan antara dua qaul (pendapat), dan dua qaul lebih umum dari itu semua. Demikian pula engkau perlu mengetahui -misalnya- jika pengarang kitab mengatakan "ijma'" artinya antara umat, jika dikatakan sepakat artinya antara tiga imam sebagaimana pengarang kitab Al Furu' dalam fiqih Hanabilah. Demikian pula imam madzhab lainnya, masing-masing memiliki istilah, maka engkau harus mengetahui istilah pengarang.

Saat Buah Hati Tak Kunjung Hadir

Penyusun: Ummu Nafisah
Muroja’ah:Ustadz Jamaluddin, Lc.
Rindang, sebut saja demikian. Wanita yang kini sedang dalam masa penantian yang amat panjang. Manisnya masa-masa awal pernikahan telah ia rasakan, tinggal satu pelengkap kebahagiaan yang belum didapatkannya, yaitu kehadiran sang buah hati. Bulan demi bulan, tahun demi tahun ia dan suaminya jalani. Hingga usia pernikahannya memasuki tahun ke-10, Allah belum juga menganugerahkan buah hati pada mereka berdua. Berbagai upaya telah mereka tempuh, namun apa daya, Sang Penguasa Takdir belum berkenan mengabulkan keinginan mereka.

Minggu, 20 Mei 2012

Puasa Khusus di Bulan Rajab

Lagi trend saat ini, sebagian kita mengirimkan pesan kepada saudara lainnya untuk mengajak berpuasa di bulan Rajab. Kita sudah ketahui bersama bahwa bulan Rajab adalah di antara bulan haram, artinya menunjukkan bulan yang mulia. Beramal sholih dan meninggalkan maksiat diperintahkan ketika itu. Namun bagaimana jika kita menjadikan puasa khusus yang hanya spesial di bulan Rajab? Apalagi ditambah dengan tidak adanya dalil pendukung atau dalilnya lemah (dho’if) bahkan palsu (maudhu’)? Tulisan kali ini akan sedikit memaparkan perkataan para ulama mengenai anjuran puasa di bulan Rajab.
Ada dalil yang berisi anjuran berpuasa di bulan haram dan bulan Rajab adalah di antara bulan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Puasa Rajab

Beberapa waktu lalu ada yang menanyakan kepada saya tentang puasa Rajab. Saat saya menulis artikel ini, kalender menunjukkan tanggal 21 Rajab 1431. Mungkin agak ‘telat’. Akan tetapi, bahasan agama tidak mengenal kata telat untuk dipahami dan diamalkan. Berikut akan saya tuliskan secara ringkas – seperti biasa – bahasan sebegaimana tertera dalam judul di atas.
Jika ada pertanyaan : Apakah terlarang berpuasa di bulan Rajab ?.
Jawabannya : Tidak. Tidak ada dalil yang melarang seseorang berpuasa di bulan Rajab[1], sebagaimana juga tidak ada dalil untuk melarang berpuasa di bulan lainnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat senang berpuasa pada bulan-bulan hijriyah, tidak terkecuali di bulan Rajab.

Adakah Anjuran Puasa di Bulan Rajab?

Ada faedah berharga dari Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amalan di bulan Rajab termasuk berpuasa ketika itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا تَخْصِيصُ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ جَمِيعًا بِالصَّوْمِ أَوْ الِاعْتِكَافِ فَلَمْ يَرِدْ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ . وَلَا أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ قَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ . أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ إلَى شَعْبَانَ وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ مِنْ أَجْلِ شَهْرِ رَمَضَانَ . وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ بَلْ مَوْضُوعَةٌ لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ
”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Hadits-Hadits Lemah Seputar Puasa Rajab

Di awal kitabnya yang berjudul Izhharul ‘Ajab fii Bida’i Syahri Rojab hal. 7-28, ‘Uqail bin Zaid Al-Muqthiry -hafizhohullah- menyebutkan 29 hadits mengenai keutamaan bulan Rajab, 20 hadits di antaranya berkenaan dengan keutamaan berpuasa di bulan Rajab. Akan tetapi semua hadits-hadits tersebut beliau hukumi sebagai hadits yang lemah -tidak ada satupun yang shohih-, bahkan tidak sedikit di antaranya yang merupakan hadits palsu. Berikut kami akan nukilkan sebagian di antaranya:
1.    Dari Abu Sa’id Al-Khudry -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’,“…Barangsiapa yang berpuasa di bulan Rajab karena keimanan dan mengharap pahala, maka wajib (baginya mendapatkan) keridhoan Allah yang terbesar”.
Ibnul Jauzy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (2/206), “Ini adalah hadits palsu atas Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-”.
Dan hadits ini juga dinyatakan palsu oleh As-Suyuthy dalam Al-La`alil Mashnu’ah2 (2/114), Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab, dan Ibnu Qoyyim dalam Al-Manar hal. 95.

Menyikapi Tragedi Suriah

Oleh
Syaikh Dr Musa Alu Nashr [1]



Radio Rodja [2] menerima banyak pertanyaan tentang kewajiban kaum Muslimin seputar penderitaan kaum Muslimin Ahlus Sunnah di Suriah, dimana mereka dizhalimi oleh para penguasa mereka : Anak-anak dan kaum wanita dibunuh, maka apa nasehat Syaikh kepada kami terkait peristiwa ini? Dan bagaimanakah kami harus menyikapi masalah ini? Barakallah fikum

Syaikh Musa Alu Nashr Hafizhahullah :

الحمد للّه والصلاة والسلام على رسول اللّه وعلى آله وصحبه و من والاه وبعد

Saya berterima kasih kepada ikhwah yang melontarkan pertanyaan seputar permasalahan ini. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin itu dalam keadaan baik ; mereka saling merasakan penderitaan yag dirasakan oleh sebagian lainnya ; Jarak yang jauh yang memisahkan negara-negara kaum Muslimin tidak menghalangi mereka untuk merasakan penderitaan yang dialami serta mendengarkan harapan saudara-saudara mereka. Ini menunjukkan kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.