Musibah menimpa umat Islam, dimana sejumlah ulama terkemuka meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan, seperti Syaikh bin baz,Syaikh al-Albani dan Syaikh Utsaimin. Mereka bertiga adalah lambang dakwah salafiyyah pada zaman ini.
Dakwah salafiyah pun menangis atas kepergian mereka ke alam baka, sedangkan kaum muslimin mengantarkan jenazah mereka ke liang lahat dan berdoa dengan berendah diri pada-Nya, agar Dia memberikan ganti dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka berikan pada umat ini.
Berikut ini, akan kami sajikan kisah kehidupan salah seorang dari mereka, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-, seorang ulama yang hidup dalam lingkungan beragama dan berdakwah mengajak ke jalan-Nya. Beliau adalah sosok ulama yang mengamalkan ilmu dan mendidik umat.
Hampir 74 tahun, beliau habiskan usia beliau untuk menuntut ilmu, mengajarkan dan menyebarkan kebaikan. Karena itulah timbul rasa cinta pada beliau, hingga berbondong-bondong kaum muslimin keluar mengantarkan jenazah beliau di hari wafatnya. Inilah dia kemuliaan hakiki yang beliau peroleh tanpa pernah mengeluarkan uang untuk mendapatkannya, namun karena ilmu, amal dan akhlak beliau.
1. Kelahiran
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dilahirkan di kota Unaizah, pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H, dalam lingkungan keluarga yang dikenal akan ilmu dan ke-istiqamahannya. Kakek beliau dari pihak ibu bernama Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman al Damigh. Kepadanyalah beliau belajar, menghafalkan al-Qur-an, dan sebelum menginjak usia 15 tahun beliau telah hafal kitab tentang ushul al-fiqh yaitu “Zaad al-Mustaqniq” dan kitab tentang ilmu nahwu/bahasa yaitu “Alfiyah ibn Malik”. Beliau menguasai sastra Arab, ilmu menghitung dan menulis tulisan Arab.
Tidaklah mudah pada zaman itu seorang pelajar menuntut ilmu sebagaimana saat ini yang begitu mudah fasilitasnya. Pada zaman itu, Syaikh Utsaimin belajar dengan fasilitas yang sederhana, tidak ada tempat belajar, AC, tidak ada lampu khusus untuk belajar, belajar di kamar yang terbuat dari tanah, yang terlihat darinya kandang sapi, sebagaimana beliau menceritakannya.
2. Berguru pada Syaikh Abdurrahman Sa’di
Syaikh Utsaimin belajar di kota Unaizah pada guru beliau yaitu Syaikh Abdurrahman as-Sa’di salah seorang ulama terkemuka di daerah Najd selama 11 tahun. Beliau mengajar di Masjid Jami’ di Unaizah pada tahun 1371 H, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena beliau pergi ke kota Riyadh untuk belajar pada tahun 1372 H setelah meminta izin kepada Syaikh Sa’di guru beliau. Disanalah nampak bahwa beliau orang yang menonjol dalam ilmu agama, dimana beliau mampu meringkas studi selama 2 tahun dalam satu tahun, sehingga beliau dapat menyelesaikan pelajaran yang seharusnya 4 tahun menjadi 2 tahun.
Setelah itu, beliau ditunjuk sebagai pengajar di Ma’had Unaizah al-Ilmi, lalu melanjutkan di Kuliah syariah di Riyadh hingga lulus. Di kota ini, beliau bertemu dan belajar pada guru beliau ke dua, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-, Syaikh Utsaimin sangat terkesan padanya, dimana beliau berucap : “Saya terkesan pada Syaikh bin Baz akan perhatian beliau pada hadits Nabi, dan saya sangat terkesan pula pada akhlak beliau”.
3. Ditawari jabatan sebagai Qadhi (Hakim kepala)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Mufti kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menawarkan pada beliau untuk menduduki jabatan hakim, bahkan telah menetapkan beliau sebagai hakim kepala di kota al-Ihsa, akan tetapi Syaikh Utsaimin mengajukan udzur tidak dapat menerima jabatan itu, dan beliau lebih mengutamakan untuk melanjutkan belajar pada guru beliau Syaikh Sa’di.
Beliau pernah berkomentar : “Saya banyak terkesan pada Syaikh Sa’di akan cara beliau mengajar, memaparkan ilmu serta memahamkan pada murid dengan contoh dan makna. Demikian pula saya sangat terkesan akan akhlak beliau, karena Syaikh Sa’di mempunyai akhlak mulia, berilmu serta ahli ibadah, beliau bercanda dengan anak-anak, dan tertawa bersama orang dewasa. Dan beliau – masyaa Allah – diantara orang yang paling baik akhlaknya yang pernah aku lihat”.
Tatkala Syaikh Sa’di meninggal dunia pada tahun 1376 H di Unaizah, Syaikh Utsaimin menggantikannya sebagai Imam dan pengajar di Masjid Jami’ di kota itu, disamping tugasnya yang lain yaitu mengajar di Maktabah Unaizah al-Wataniyah dan al-Ma’had al-Ilmi”. Kemudian beliau berpindah mengajar ke fakultas Syariah dan Ushuluddin di cabang Universitas al-Imam Muhammad bin Saud di kota al-Qashim hingga beliau wafat.
4. Semangat yang tinggi
Sepanjang itu, Syaikh Utsaimin menjadi imam, berkutbah jum’at dan mengajar di Masjid, dan Universitas, menjawab pertanyaan seputar hukum agama melalui telepon, ikut serta kegiatan lembaga majelis ulama, ceramah melalui media elektronik, menjadi pengasuh bagi asrama murid-murid, mengunjungi dan duduk bersama mereka, menyampaikan ceramah melalui telepon, ikut serta dalam acara masyarakat pada hari yang membahagiakan mereka, dan menunaikan kewajiban kepada keluarga beliau. Beliau adalah suri tauladan bagi murid-muridnya dalam jihad dan beramal shalih.
Dalam pengajaran, Syaikh Utsaimin dikenal memiliki cara pengajaran istimewa dalam menyampaikan ilmu dengan metode yang mudah dipahami bagi pelajar dan pendengar. Beliau tidak memberikan metode dikte, tapi metode interaksi antara pengajar dan pelajar dengan soal jawab, metode yang lebih mengikat perhatian murid dalam mengikuti pelajaran, karena terkadang diantara mereka ada yang tidak perhatian.
Maka ketika hal ini terjadi, Syaikh Utsaimin menyuruhnya berdiri untuk menjawab pertanyaan atau mengulangi penjelasannya yang terakhir.
Suatu kali Syaikh Utsaimin pernah melihat salah seorang muridnya nampak tidak faham dalam suatu pelajaran, lalu beliau bertanya : “Apakah engkau faham?” murid itu menjawab : “Insya Allah”. Kemudian Syaikh bertanya kembali : “Apakah di atas kepalamu ada simagh (Kain penutup kepala bercorak merah yang biasa dikenakan oleh penduduk Saudi Arabia) ? murid itu menjawab : “Ya”. Syaikh pun menjawab : “Mengapa engkau tidak mengatakan insya Allah?” lalu Syaikh mengulangi pelajarannya hingga yakin akan fahamnya murid tersebut.
Suatu kali Syaikh Utsaimin pernah melihat salah seorang muridnya nampak tidak faham dalam suatu pelajaran, lalu beliau bertanya : “Apakah engkau faham?” murid itu menjawab : “Insya Allah”. Kemudian Syaikh bertanya kembali : “Apakah di atas kepalamu ada simagh (Kain penutup kepala bercorak merah yang biasa dikenakan oleh penduduk Saudi Arabia) ? murid itu menjawab : “Ya”. Syaikh pun menjawab : “Mengapa engkau tidak mengatakan insya Allah?” lalu Syaikh mengulangi pelajarannya hingga yakin akan fahamnya murid tersebut.
Pada suatu pelajaran, Syaikh Utsaimin menyadari ada seorang yang tidak ikut pelajaran sebelumnya, lalu ia bertanya : “Apakah engkau faham terhadap apa yang aku sampaikan?” ia menjawab : “Tidak, ya Syaikh”. Lalu Syaikh Utsaimin bertanya : “Mengapa engkau datang dan hadir dalam pelajaran ini?” murid itu menjawab : “Agar mendapat pahala, sebagaimana hadits : Berdirilah, kalian telah diampuni. Sungguh Aku telah mengganti kejelekan kalian dengan kebaikan”. Ia mengutip sebuah hadits Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- :
“Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah melainkan ada penyeru dari langit : Berdirilah, kalian telah diampuni. Sungguh Aku telah mengganti kejelekan kalian dengan kebaikan”.
Maka Syaikh Utsaimin gembira mendengarkan jawaban ini dan perhatian terhadapnya.
5. Beliau Seorang Guru sekaligus Pendidik
Tidakklah hubungan Syaikh Utsaimin dengan para muridnya hanya sekedar hubungan ilmu saja. Beliau adalah sosok seorang pendidik sekaligus guru, beliau kunjungi murid-muridnya, menanyakan yang tidak hadir, dan membantu mereka yang butuh pertolongan.
Raja Khalid bin Abdul Aziz pernah menghadiahi pada beliau sebuah bangunan, maka beliaupun menginfakkannya untuk asrama murid-muridnya yang ditempati secara gratis, dan beliau sediakan ruang makan dan juru masaknya untuk menyediakan makanan bagi mereka. Dan beliau sediakan perpustakaan buku dan kaset.
Syaikh Utsaimin benar-benar mempergunakan metode penelitian dan mencari kejelasan dalam masalah ilmu agama, dan mengajarkan yang demikian itu pada murid-muridnya serta menasehati mereka untuk mencari kejelasan dan tidak tergesa-gesa dalam permasalahan yang berhubungan dengan agama. Dan beliau sangat bersemangat untuk menanamkan kepada muridnya sikap tidak fanatik pada suatu madzhab atau suatu pendapat, dan bersikap menerima kebenaran, dimana dalil dijadikan hakim/pemutus permasalahan, sekalipun menyelisihi madzhab beliau, yaitu madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Syaikh Utsaimin juga mengikuti madzhab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hanya saja beliau menyelisihinya dalam beberapa permasalahan. Misalnya, Syaikhul Islam berpendapat bahwa shalat berjama’ah adalah syarat bagi sahnya shalat, sedangkan Syaikh Utsaimin berpendapat berjamaah itu wajib. Syaikhul Islam berpendapat bolehnya menikahi dua orang saudara sepersusuan, sedangkan Syaikh Utsaimin berpendapat haram, berdasarkan keumuman hadits :
يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يُحْرَمُ مِنَ النَّسَبِ
“Segala hal yang diharamkam pada nasab (keturunan), maka juga diharamkan pada sepersusuan.”
Dan Syaikhul Islam berpendapat diperbolehkannya perempuan bepergian tanpa mahrom jika dalam keadaan aman, sedangkan Syaikh Utsaimin berpendapat sebaliknya, yaitu haram.
Sebagaimana juga Syaikh Utsaimin banyak menyelisihi madzhab Hanbali dalam ratusan masalah yang ia melihat bahwa dalil menyelisihi madzhab dalam permasalahan itu.
Sebagaimana juga Syaikh Utsaimin banyak menyelisihi madzhab Hanbali dalam ratusan masalah yang ia melihat bahwa dalil menyelisihi madzhab dalam permasalahan itu.
6. Tidak Suka Pujian
Syaikh Utsaimin menasehati murid-muridnya agar mereka tidak menjadikan perselisihan dalam masalah fikih sebagai pintu saling membenci. Pernah suatu ketika, Syaikh Utsaimin berfatwa yang menyebabkan beliau dituduh dengan suatu tuduhan. Dalam suatu majelis salah seorang muridnya bertanya tentang fatwa itu dan akibat yang ditimbulkannya, lalu Syaikh menjawab yang intinya : “Sesungguhnya manusia itu, jika mereka melihat seorang yang mashur, mereka akan menjelekkannya, serta mencelanya lantaran dengki dalam diri mereka”. Pada sore harinya, Syaikh meminta hasil rekaman ceramah yang terdapat ucapannya tadi, lalu meminta agar dihapus, dan berkata : “Perkataan saya tadi, yaitu “manusia yang mashur” tidak sepatutnya saya ucapkan, ini adalah bentuk memuji diri sendiri”.
Pernah salah seorang muridnya meminta izin kepada beliau, untuk membacakan bait syair dihadapan beliau :
ياَ أُمَّتِي إِنَّ هَذَا اللَّيْلَ يَعْقُبُهُ فَجْرٌ وَأَنْوَارُهُ فِي الأَرْضِ تَنْتَشِر
وَالْخَيْرُمُرْتَقِبٌ وَالْفَتْحُ مُنْتَظِرٌ وَالْحَقُّ رَغْمُ جُهُوْدِ الشَّرِّ مُنْتَشِر
بِصَحْوَةِ باَرَكَ البَارِي مَسِيْرَتَهَا نَقِيَّةً مَا بِهَا شَوْبٌ وَلاَ كَدَر
مَا دَامَ فِيْنَا بْنُ صَالِحٍ شَيْخُ صَحْوَتِنَا بِمِثْلِهِ يُرْتَجَي التَّأيِيْدُ وَالظَّفَر
Wahai Umat, sesungguhnya malam ini diiringi dengan datangnya fajar
Cahayanya tersebar di permukaan bumi
Kebaikan mengiringinya dan kemenangan menantinya
Kebenaran akan menyebar meskipun kejahatan merajalela
Dengan kebangkitan, yang perjalanannya diberkahi Allah
Perjalanannya bersih, tidak ada cacat maupun kekeruhan
Selama ada Syaikh Utsaimin di tengah kita
Dengan ulama sepertinyalah kemenangan diharapkan
Cahayanya tersebar di permukaan bumi
Kebaikan mengiringinya dan kemenangan menantinya
Kebenaran akan menyebar meskipun kejahatan merajalela
Dengan kebangkitan, yang perjalanannya diberkahi Allah
Perjalanannya bersih, tidak ada cacat maupun kekeruhan
Selama ada Syaikh Utsaimin di tengah kita
Dengan ulama sepertinyalah kemenangan diharapkan
Lalu Syaikh Utsaimin menghentikan bacaan syair itu, dan berkata : “Saya tidak setuju atas pujian ini, karena saya tidak menyukai kebenaran diikat dengan seseorang, maknanya, bahwa jika seorang manusia meninggal dunia, terkadang orang setelahnya putus asa darinya”. Dan Syaikh Utsaimin meminta agar bait terakhir diganti dengan :
مَادَامَ مَنْهَاجُنَا نَهْجَ اْلأَوَّلِ سَلَفُوْا بِمِثْلِهَا يُرْتَجَى التَّأْيِيْدُ وَالظَّفَر
Selama manhaj kita manhaj salaf
Dengan semisalnyalah diharapkan kemenangan
Dengan semisalnyalah diharapkan kemenangan
Dan saya tambahkan : “Saya menasehati kalian dari sekarang, agar tidak menjadikan kebenaran terikat dengan seseorang”.
Disamping itu, beliau juga menempatkan seseorang sesuai kedudukan mereka, menjunjung kehormatan para ulama. Dalam suatu undangan pembukaan usaha perekaman kaset yang besar, beliau menjumpai pada kaset itu tertulis nama penceramahnya dalam sampul besar, dan tatkala beliau melihat sampul kaset Syaikh al-Albani berbentuk kecil, beliau tidak menyukai dan memerintahkan mereka untuk membuat dalam ukuran besar atau membikin kecil sampul lainnya seperti sampul kaset Syaikh al-Albani.
7. Rumah dari tanah
Syaikh Utsaimin termasuk ulama yang bersikap zuhud di dunia, beliau habiskan sebagian besar kehidupannya dalam rumahnya yang terbuat dari tanah. Beliau diberi hadiah dua rumah, namun beliau lebih mengutamakan keduanya untuk asrama murid-muridnya. Beliau tidak pernah meminta upah dari hasil karya-karya beliau yang dicetak atau kaset rekaman ceramah, dan beliau menganggap hal ini sebagai suatu hal yang menghambat ilmu. Beliau berpaling dari gemerlapnya dunia, dalam seminggu beliau mengenakan satu pakaian. Beliau berjalan kaki jika pergi ke masjid dan menolak ajakan salah seorang muridnya untuk pergi ke masjid dengan mobil, dan sepanjang perjalanannya ke masjid tiada henti-hentinya masyarakat baik yang tua maupan yang muda bertanya untuk meminta fatwa tentang permasalahan agama, hingga murid-murid sekolah dasar yang terletak di jalan menuju masjid berkeliling di sekitar beliau mengucapkan salam, dan beliau tidak menolak jabat tangan mereka. Dan jika berkenalan, beliau menyebut namanya langsung tanpa memberi embel-embel gelar beliau.
Suatu ketika ,beliau shalat di Masjidil Haram, setelah itu beliau ingin pergi ke suatu tempat, lalu beliau menyetop mobil taxi. Di dalam mobil terjadilah dialog antara beliau dengan sopirnya seorang Arab dalam masalah agama. Lalu bertanyalah sopir itu : “Siapa nama anda ya Syaikh?” beliau menjawab : “Muhammad bin Utsaimin”. Mendengar hal ini, sopir itu terkejut tidak percaya dan memastikan lagi : “Anda Syaikh Muhammad bin Utsaimin?” lalu beliau membalas : “Ya, Syaikh Utsaimin”. Lalu sopir taxi itu menggelengkan kepalanya sambil meragukan ucapan beliau, dan menganggap ucapan beliau sebagai sikap terlalu berani mengaku sebagai Syaikh Utsaimin. Lalu Syaikh berkata padanya : “Kalau anda, siapa nama anda?” sopir itu menjawab : “Syaikh Abdul Aziz bin Baz”. (ia menjawab sekenanya, lantaran tidak percaya dengan jawaban Syaikh Utsaimin). Syaikh Utsaimin pun tertawa, lalu bertanya lagi : “Kamu Syaikh Abdul Aziz bin Baz?” sopir itu membalas : “Ya, sebagaimana anda (mengaku) Syaikh Utsaimin”.
Demikianlah keadaan Syaikh, jika beliau diantara para ulama, beliau adalah seorang ulama terkemuka yang tidak dapat diingkari seorangpun, dan jika diantara masyarakat biasa beliau seperti mereka.
8. Menasehati pemuda
Suatu ketika, Syaikh Utsaimin menunaikan umrah bersama sahabat-sahabat beliau, dan di saat kembali ke penginapan, mereka melalui sekelompok pemuda bermain sepak bola. Lalu Syaikh berhenti dan menasehati mereka agar menunaikan shalat, akan tetapi mereka malah berpaling dari beliau dan tidak mengindahkan nasehatnya. Lalu beliau meminta kepada sahabat-sahabat beliau yang menemani agar pulang terlebih dahulu ke penginapan dan meninggalkan beliau bersama para pemuda dalam keadaan sendirian dan beliau berkeinginan keras agar para pemuda itu pergi menunaikan shalat. Syaikh pun menasehati mereka, lalu salah seorang diantara mereka memaki beliau dengan kata-kata yang jelek. Akan tetapi, beliau tidak menghiraukannya dan menyambut celaan itu dengan senyuman dan sikap mengasihi. Semua ini berlangsung dan mereka tidak mengetahui siapa Syaikh yang menasehati mereka, akhirnya merekapun mau mengikuti nasehat Syaikh, dan salah seorang pemuda yang mencela Syaikh tadi mengantarkan beliau ke penginapan, dan setelah sampai di penginapan pemuda itu baru tahu siapa jati diri Syaikh, lalu ia pun menangis serta meminta maaf dan Syaikh pun memaafkannya dan mengajarkan padanya cara berwudhu serta shalat, dan sejak saat itu pemuda itu menjadi seorang pemuda yang shalih taat beragama.
9. Menyembunyikan amal kebajikan
Adapun dalam amal kebajikan yang beliau ikut berperan dengan hartanya, sebagian besar tidak diketahui oleh masyarakat, karena beliau sangat berusaha agar tidak diketahui sebagaimana hal ini dikatakan salah seorang muridnya. Beliau memberikan bantuan kepada siapa saja yang ingin menikah dan membayar separoh maharnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Beliau memberikan bantuan kepada orang-orang fakir dan mereka yang membutuhkan, bersama tiga orang muridnya beliau mendirikan pondok Tahfidzul Qur’an di kota Unaizah, membangun beberapa masjid di sejumlah tempat di negerinya, dan menginfakkan tiga juta real untuk pembuatan sumber air di Unaizah, sebagaimana juga beliau ikut andil dalam pembangunan masjid di luar negeri : seperti di Eropa, Amerika, Bangladesh dan lainnya.
(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 27, hal. 45-50)
Artikel: www.majalahislami.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar