Laman

Rabu, 13 Juni 2012

Kisah Syaikh ‘Utsaimin | Ulama Pun Bisa Bercanda

Diterjemahkan oleh: Ustadz Aris Munandar
Dua tahun sebelum Syaikh Ibnu Utsaimin meninggal Syaikh Salim bin Sa’ad ath Thawil, salah seorang murid Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Seiring dengan memuji Allah, aku memiliki hubungan yang istimewa dan terus-menerus dengan Syeikh Ibnu Utsaimin. Hubungan ini terus terjalin kurang lebih selama delapan tahun. Setelah aku kembali ke Kuwait dan lulus dari Universitas Ibnu Suud pada tahun 1407 atau 1987 hubunganku dengan beliau tidak pernah putus baik berupa kunjungan, komunikasi via telepon ataupun korespondensi.
Aku kembali menemui beliau pada tahun 1410 atau 1990 yaitu saat invasi Iraq ke Kuwait. Begitu melihatku, beliau menyambutku dengan sambutan yang luar biasa. Beliau bertanya kepadaku tentang keadaan Kuwait dan penduduknya. Beliau pun berdoa agar Allah menjaga orang tuaku dan keluargaku secara khusus serta penduduk Kuwait secara umun agar terjaga dari cobaan yang demikian besar tersebut.

Setelah itu beliau mengundangku secara khusus untuk makan siang di rumah beliau. Kupenuhi undangan beliau. Yang menemaniku saat itu adalah Syeikh ‘Utsman bin Muhammad al Khumais. Aku memintakan izin kepada beliau agar Syeikh Utsman diperkenankan untuk ikut datang. Beliaupun mengizinkannya. Pertemuan ini kunilai dalam hidupku sebagai pertemuan yang sangat istimewa. Setiap kali, Aku mengingatnya aku banyak-banyak mengucapkan alhamdulillah.
Setelah beberapa tahun, beliau masih saja mengajar. Beliau juga memiliki dauroh ilmiah (semacam training, pent) selama liburan musim panas. Kutulis beberapa memo khusus yang ditujukan kepada beliau untuk beberapa orang yang hendak mengikuti dauroh tersebut agar beliau bisa memberikan tempat tinggal di asrama para peserta dauroh selama kajian liburan musim panas kepada orang yang membawa memo tersebut.
Di antara orang yang kukirim agar belajar langsung kepada beliau adalah Muhammad Khalil. Dia adalah seorang penuntut ilmu dari Nigeria. Sebelumnya dia belajar agama di Kuwait. Dia adalah seorang yang lembut, suka tersenyum dan bercanda. Syeikh Ibnu Utsaimin pun terkadang bercanda dengannya.
Dia sendiri pernah bercerita kepadaku bahwa Syeikh Ibnu Utsaimin suatu hari pada saat kajian pernah bertanya kepadanya, “Wahai Muhammad Khalil apakah dulu ketika di Kuwait engkau sudah pernah belajar (baca:ngaji) dengan Syeikh (baca:ulama) di sana?”. Muhammad Khalil menjawab, “Ya, sudah pernah. Aku ngaji dengan Syeikh Salim bin Saad ath Thawil”. Seketika Syeikh berkata, “Jika demikian, engkau adalah cucuku!!”. Sambil guyon, Muhammad Khalil mengatakan, “Jadi syeikh apakah engkau pernah menikah dengan seorang perempuan Nigeria?!”Kontan, syeikh tertawa.
Ketika Muhammad Khalil menyampaikan hal tersebut kepadaku maka aku sangat bahagia karena berarti beliau menganggapku sebagai anaknya.
Demi Allah, sungguh beliau itu lebih dari pada seorang ayah. Jika seorang ayah mengajari anaknya bagaimana cara makan, minum, istinja’, dan berbicara maka beliau mengajari anak didiknya tauhid, ibadah, akhlak, perilaku luhur, adab, berbuat baik kepada orang lain dan menjaga hubungan kekerabatan. Sampai-sampai sebagian ulama mengatakan,

إن فضل الشيخ على الطالب أكبر من فضل الأب على ابنه!!

“Sesungguhnya jasa seorang guru kepada muridnya itu lebih besar dibandingkan jasa seorang ayah kepada anaknya” (Koran al Wathon Kuwait, Senin 17 Maret 2008 melalui www. elsunna.net)
Artikel: ustadzaris.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar