أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Dari Abu Sa’id Al Khudriy Radhiyallahu’anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda: ‘Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti gunung uhud tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.
Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh :
1. Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al Manaqib Bab Qauluhu Lau Itakhadztu Kholilaan no. 3397 dan lafadz lafadz Al Bukhari.
2. Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Fadhoil Al Sahabat Bab Tahrim Sabbi Al Sahabat no. 4610 dan 4611.
3. Imam Al Tirmidzi dalam Sunan-nya kitab Al Manaqib ‘An Al Nabi Bab Fiman Sabba Ashaabi Al Nabi no 3796
4. Imam Abu Daud dalam Sunan-nya Kitab Al Sunnah Bab Al Nahyu ‘An Sabb Ashabi Al nabi no. 4039
5. Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya kitab Muqaddimah bab Fadhlu Ahli Badr no. 157.
6. Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 10657, 11092 dan 11180.
Hadits ini dikeluarkan oleh :
1. Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al Manaqib Bab Qauluhu Lau Itakhadztu Kholilaan no. 3397 dan lafadz lafadz Al Bukhari.
2. Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Fadhoil Al Sahabat Bab Tahrim Sabbi Al Sahabat no. 4610 dan 4611.
3. Imam Al Tirmidzi dalam Sunan-nya kitab Al Manaqib ‘An Al Nabi Bab Fiman Sabba Ashaabi Al Nabi no 3796
4. Imam Abu Daud dalam Sunan-nya Kitab Al Sunnah Bab Al Nahyu ‘An Sabb Ashabi Al nabi no. 4039
5. Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya kitab Muqaddimah bab Fadhlu Ahli Badr no. 157.
6. Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 10657, 11092 dan 11180.
Penjelasan Kosa Kata
(لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي) : jangan mencela sahabatku. Kata (أَصْحَابِي ) menurut etimoligi bahasa Arab diambil dari kata (صُحْبَة ) bermakna hidup bersama.[1] Abu Bakar Muhammad bin Al Thoyyib Al Baaqilaaniy (wafat tahun 463) berkata: “Ahli bahasa Arab sepakat bahwa perkataan ( صحابي) berasal dari kata (صُحْبَة ) dan bukan dari ukuran persahabatan yang khusus, bahkan ia berlaku untuk semua orang yang menemani seseorang, baik sebentar atau lama”. Kemudian ia menyatakan: “Hal ini menunjukkan secara bahasa hal ini berlaku kepada orang yang menemani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam walaupun sesaat di siang hari. Ini asal dari penamaan ini”. [2] Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mendefinisikan sahabat dalam pernyataan beliau: “Setiap orang yang bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setahun atau sebulan atau sehari atau sesaaat atau hanya melihatnya maka ia termasuk sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam “.[3]
Namun definisi yang rajih adalah definisi Al Haafidz Ibnu Hajar Rahimahullah yaitu: “Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam”.[4] Sehingga definisi ini mencakup orang yang berjumpa dengan beliau dan ber-mulazamah lama atau sebentar, orang yang meriwayatkan hadits dari beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama beliau atau tidak dan orang yang melihat beliau walaupun belum bermajelis dengannya dan orang yang tidak melihat beliau karena buta.
(فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ ) : Ucapan ini ditujukan kepada sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dalil sebab adanya hadits ini adalah kisah yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu perkataan Abu Sa’id :
(لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي) : jangan mencela sahabatku. Kata (أَصْحَابِي ) menurut etimoligi bahasa Arab diambil dari kata (صُحْبَة ) bermakna hidup bersama.[1] Abu Bakar Muhammad bin Al Thoyyib Al Baaqilaaniy (wafat tahun 463) berkata: “Ahli bahasa Arab sepakat bahwa perkataan ( صحابي) berasal dari kata (صُحْبَة ) dan bukan dari ukuran persahabatan yang khusus, bahkan ia berlaku untuk semua orang yang menemani seseorang, baik sebentar atau lama”. Kemudian ia menyatakan: “Hal ini menunjukkan secara bahasa hal ini berlaku kepada orang yang menemani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam walaupun sesaat di siang hari. Ini asal dari penamaan ini”. [2] Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mendefinisikan sahabat dalam pernyataan beliau: “Setiap orang yang bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setahun atau sebulan atau sehari atau sesaaat atau hanya melihatnya maka ia termasuk sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam “.[3]
Namun definisi yang rajih adalah definisi Al Haafidz Ibnu Hajar Rahimahullah yaitu: “Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam”.[4] Sehingga definisi ini mencakup orang yang berjumpa dengan beliau dan ber-mulazamah lama atau sebentar, orang yang meriwayatkan hadits dari beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama beliau atau tidak dan orang yang melihat beliau walaupun belum bermajelis dengannya dan orang yang tidak melihat beliau karena buta.
(فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ ) : Ucapan ini ditujukan kepada sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dalil sebab adanya hadits ini adalah kisah yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu perkataan Abu Sa’id :
كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَيْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ
Antara Khalid bin Al Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf terjadi perseteruan, lalu Khalid mencelanya[5].
Dengan demikian jelaslah kedudukan Khalid tidak sama dengan kedudukan Abdurrahman bin ‘Auf, karena Abdurrahman termasuk sahabat-sahabat yang masuk islam di awal dakwah Rasul sedangkan Khalid bin Walid masuk Islam belakangan setelah penaklukan kota Makkah.
Hal ini seperti firman Allah Ta’ala:
Hal ini seperti firman Allah Ta’ala:
لاَيَسْتَوِى مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبير
Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu.Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Al Hadid 57:10
Namun orang yang setelahnya pun masuk dalam larangan ini
(أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا) : Berinfak emas sebesar gunung uhud.
(مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ) : tidak dapat menyamai satu mud infak mereka dalam bentuk apapun. Satu Mud adalah ¼ sha’.
(وَلَا نَصِيفَهُ ) : An Nashief bermakna An Nisfu yaitu setengah mud
Penjelasan Makna Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan larangan mencela sahabat dan kedudukan dan keutamaan para sahabat, sampai-sampai jika diantara kita berinfak emas sebesar gunung uhud tidak akan dapat menyamai infaknya mereka sebesar mud dan tidak pula setengahnya.
(أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا) : Berinfak emas sebesar gunung uhud.
(مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ) : tidak dapat menyamai satu mud infak mereka dalam bentuk apapun. Satu Mud adalah ¼ sha’.
(وَلَا نَصِيفَهُ ) : An Nashief bermakna An Nisfu yaitu setengah mud
Penjelasan Makna Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan larangan mencela sahabat dan kedudukan dan keutamaan para sahabat, sampai-sampai jika diantara kita berinfak emas sebesar gunung uhud tidak akan dapat menyamai infaknya mereka sebesar mud dan tidak pula setengahnya.
Faedah Hadits
Dari hadits ini dapat ambil beberapa faedah, diantaranya:
1. Larangan mencela sahabat.
Mencela sahabat sangat diharamkan dalam islam dengan dalil:
a. Itu merupakan ghibah dan menyakiti kaum mukmin yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah :
a. Itu merupakan ghibah dan menyakiti kaum mukmin yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah :
وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Al Hujurat:12
Dan firman Allah:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Al Ahzab:58
b. Allah telah meridhai para sahabat dan pencelaan terhadap para sahabat menunjukkan ke-tidak-ridha-an terhadap mereka, sehingga bertentangan dengan firman Allah :
لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sungguh Allah telah meridhoi kaum mukminin ketika mereka memba’iatmu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). QS. Al Fath:18
c. Perintah beristighfar (memohonkan ampunan) bagi mereka, sebagaiman firman Allah:
وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:’Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. Al Hasyr:10
‘Aisyah menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau kepada keponakannya yang bernama Urwah bin Al Zubeir :
يَا ابْنَ أُخْتِي أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ
Wahai keponakanku mereka diperintahkan untuk memohon ampunan bagi para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tetapi malahan mereka mencacinya.[6]
Imam Nawawi menjelaskan pernyataan ‘Aisyah ini: ‘Tampaknya, beliau menyatakan hal ini ketika penduduk Mesir mencela Utsman dan penduduk Syam mencela Ali sedangkan Al Haruriyah mencela keduanya. Adapun perintah memohon ampunan yang beliau isyaratkan, maka ia adalah firman Allah:
وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ
Dan dengan ayat ini juga Imam Maalik berhujjah bahwa orang yang mencela sahabat tidak berhak mendapatkan harta Fa’i. Karena Allah hanya menjadikan harta tersebut kepada orang yang datang setelah sahabat yang memohon ampunan bagi mereka.[7]
d. Allah melaknat orang yang mencela para sahabat, sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
Barang siapa mencela sahabatku maka ia mendapat laknat Allah.[8]
e. Larangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Sa’id diatas.
Bahkan ini sudah merupakan kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jamaa’ah sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau dalam fathul Bari (13/34): “Ahlu Sunnah wal Jamaah telah bersepakat tentang kewajiban tidak mencela seorang pun dari para sahabat“.[9]
Bahkan ini sudah merupakan kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jamaa’ah sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau dalam fathul Bari (13/34): “Ahlu Sunnah wal Jamaah telah bersepakat tentang kewajiban tidak mencela seorang pun dari para sahabat“.[9]
2. Bahaya mencela sahabat
Diantara bahaya yang timbul dari perbuatan mencela sahabat adalah
a. Mencela sahabat sebagai tanda kerendahan pelakunya dan merupakan satu kebid’ahan dalam agama. Hal ini dinyatakan oleh Abu Al Mudzaffar Al Sam’aaniy dalam pernyataannya: “Mencela sahabat merupakan tanda kerendahan pelakunya. Ia juga merupakan kebid’ahan dan kesesatan”.[10]
b. Mencela mereka berarti mencela saksi Al Qur’an dan Sunnah dan dapat membawa pelakunya menjadi zindiq. Hal ini diungkapkan imam Abu Zur’ah Al Raziy dalam pernyataan beliau:
“Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat nabi n maka ketahuilah ia seorang zindiq. Itu karena Rasululloh n menurut kita adalah benar dan Al Qur’an benar. Sedangkan yang menyampaikan Al Qur’an dan Sunnah nabi n kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin mencela para saksi kita untuk menghancurkan Al Qur’an dan Sunnah. Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas dan mereka adalah zindiq”.[11]
b. Mencela mereka berarti mencela saksi Al Qur’an dan Sunnah dan dapat membawa pelakunya menjadi zindiq. Hal ini diungkapkan imam Abu Zur’ah Al Raziy dalam pernyataan beliau:
“Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat nabi n maka ketahuilah ia seorang zindiq. Itu karena Rasululloh n menurut kita adalah benar dan Al Qur’an benar. Sedangkan yang menyampaikan Al Qur’an dan Sunnah nabi n kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin mencela para saksi kita untuk menghancurkan Al Qur’an dan Sunnah. Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas dan mereka adalah zindiq”.[11]
c. Mendapat hukuman pidana, minimal berupa ta’zir (Didera menurut kebijaksanaan pemerintah Islam).[12]
d. Mendapatkan laknat Allah Ta’ala ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
Barang siapa mencela sahabatku maka ia mendapat laknat Allah.[13]
e. Mencela sahabat Rasulullah sama saja menuduh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tercela, karena memiliki sahabat yang berhak di cela, sebagaimana diungkapkan Imam Malik dalam pernyataannya: “Mereka kaum yang jelek ingin mencela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , namun tidak bisa. Lalu mereka mencela para sahabat beliau sampai dikatakan: ‘Orang jelek tentu memiliki sahabat yang jelek pula’ “.[14]
3. Hukum Orang Yang Mencela Sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Orang yang mencela sahabat dapat kita bagi menjadi beberapa bagian:
Orang yang mencela sahabat dapat kita bagi menjadi beberapa bagian:
1. Orang yang sekedar mencela sahabat. Maka masih perselisihkan hukumnya karena ia berada diantara melaknat karena marah dan karena I’tiqad.[15]
2. Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan ‘Ali Radhiyallahu’anhu sebagai Tuhan atau Nabi, maka ia telah kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun orang yang mengiringi celaannya dengan keyakinan Ali sebagai tuhan atau ia seorang Nabi atau keyakinan Jibril salah dalam menyampaikan wahyu; maka ini tidak diragukan kekafirannya, bahkan tidak diragukan juga kekafiran orang yang tidak mengkafirkannya”.[16]
3. Orang yang mencela sahabat karena keyakinannya akan kekafiran sahabat, maka ia adalah kafir berdasarkan ijma’ dan dia dihukumi dengan hukum bunuh, karena ia telah mengingkari sesuatu yang secara pasti telah diakui dalam Agama, yaitu ijma’ umat Islam tentang keimanan para sahabat.[17] Syaikhul Islam berkata: “Adapun orang yang melewati hal itu (yaitu sekedar mencela (pen)) sampai menganggap para sahabat telah murtad setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kecuali sejumlah kecil tidak sampai belasan orang atau menganggap para sahabat seluruhnya fasiq; maka tidak diragukan lagi kekafirannya, karena ia telah mendustakan nash Al Qur’an yang banyak berisi keridhaan dan pujian kepada mereka. Bahkan orang yang ragu tentang kekafiran yang seperti ini maka kekafirannya itu pasti”.[18]
4. Orang yang mencela sahabat seluruhnya dengan keyakinan mereka seluruhnya fasiq maka ia kufur, sebagaimana disampaikan Ibnu Taimiyah diatas.
5. Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan bahwa mencela mereka itu merupakan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Sikap ini merupakan natijah (akibat) dari kebencian mereka terhadap sahabat, dan tentu ini adalah sebagai konsekuensi dari keyakinan mereka tentang kefasikan sahabat. Tentu hal itu adalah kufur dan keluar dari Islam.
Imam Ath Thahawi mengatakan: “Benci terhadap sahabat adalah kufur, nifak dan melampaui batas”.
Imam Malik mengatakan: “Barang siapa yang bangun pagi sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, berarti berlaku baginya ayat Al Qur’an, yakni firman Allah Ta’ala:
Imam Ath Thahawi mengatakan: “Benci terhadap sahabat adalah kufur, nifak dan melampaui batas”.
Imam Malik mengatakan: “Barang siapa yang bangun pagi sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, berarti berlaku baginya ayat Al Qur’an, yakni firman Allah Ta’ala:
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min.(QS. Al Fath:29)”[19]
6. Orang mencela sahabat dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama mereka, seperti menyatakan Abu Sufyaan bakhil atau Abu Hurairah sukanya makan dan sejenisnya; maka ia berhak di didik dan dihukum ta’zir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun orang yang mencela mereka (para sahabat) dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama para sahabat- seperti mensifatkan sebagian mereka dengan bakhil atau penakut atau sedikit ilmu atau tidak memiliki sifat zuhud dan sejenisnya-. Maka orang inilah yang berhak mendapat pembinaan dan hukuman ta’zir dan kita tidak menghukumnya kafir hanya dengan hal ini saja”.[20]
Kesimpulannya disampaikan Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau: “Kesimpulannya; ada diantara orang yang mencela sahabat yang sudah pasti kekufurannya dan ada yang tidak divonis kufur serta ada yang masih dibimbangkan kekufurannya”.
4. Hukum Mencela Istri-Istri Nabi.[21]
Adapun orang yang mencela istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam; misalnya orang yang menuduh ‘Aisyah Radhiyallahu’anha dengan tuduhan keji yang sesungguhnya telah dibantah oleh Allah Ta’ala, maka ia telah kafir, lebih dari seorang ulama telah menyampaikan ijma’ ini. Sedangkan orang yang mencela selain beliau dari para istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , maka terdapat dua pendapat ulama dalam hal ini:
a. Pendapat pertama, disamakan hukumnya sebagaimana mencela salah seorang sahabat.
b. Pendapat kedua, hukum menuduh seorang dari ummahat Al Mukminin (istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam) sama dengan hukum menuduh ‘Aisyah Radhiyallahu’anha. – dan inilah yang benar-
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
________________________________________
[1] Al Qaamus Al Muhiith karya Al Fairuz Abadiy, cetakan kelima tahun 1416, Muassasah Al Risaalah, Beirut hal. 134
[2] Diambil dari kitab Al Kifaayah Fi Ilmi Riwayah karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khothib Al Baghdadiy, cetakan tahun 1409 H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut hlm 51.
[3] Ibid
[4] Al Ishabah Fi Tamyiiz Al Shahabat karya Al Haafidz Ibnu Hajar, cetakan tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, hal. 1/4
[5] Disebutkan dalam riwayat Muslim.
[6] Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Tafsir, no.5344.
[7] Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, Tahqiq Syaikh Khalil Ma’muun Syaikhoo, cetakan ketiga tahun 1417 H , Dar Al Ma’rifah, Beirut hal. 18/352-353
[8] Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1001 hlm 2/469 dan dihasankan oleh Al Albani dalam Dzilalil Jannah fi Takhrij Al Sunnah 2/469. lihat kitab As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1413 H, Al Maktab Al Islamiy, Bairut.
[9] Dinukil dari kitab Min Aqwaal Al Munshifiin Fi Al Sahabat Al Kholifah Mu’awiyah, karya Syaikh Abdulmuhsin bin Hamd Al ‘Abaad, cetakan pertama tahun 1416 H, Markas Syu’un Al Dakwah, Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah, hal. 13.
[10] Ibid hal 12.
[11] Ibid
[12] Lihat Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul karya Ibnu Taimiyah oleh Muhammad bin ‘Ali Al Ba’liy, Tahqiiq ‘Ali bin Muhammad Al Imraan, cetakan pertama tahun 1422 H, Dar ‘Aalam Al Fawaaid, Makkah, hal. 121
[13] Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1001 hal. 2/469 dan dihasankan oleh Al Albani dalam Dzilalil Jannah fi Takhrij As Sunnah 2/469. Lihat kitab As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1413 H, Al Maktab Al Islamiy, Bairut.
[14] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul op.cit hal 122.
[15] Ibid hal. 127
[16] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul karya Ibnu Taimiyah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdulhamid , Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut hlm 586
[17] Lihat Majalah Al Sunnah edisi 12/1/1415-1995 hal. 23 menukil dari majalah Al Furqaan edisi 54 tahun IV Robi’ Al Akhir 1415 H/ Oktober 1994.
[18] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul op.cit hlm 586-587.
[19] Majalah As Sunnah edisi 12/I/1415-1995 hal 23-24.
[20] Al Sharim Al Masluul op.cit hlm 586.
[21] Masalah ini diterjemahkan dari Mukhtashar Al Sharim Al Maslul op.cit hal. 116.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
________________________________________
[1] Al Qaamus Al Muhiith karya Al Fairuz Abadiy, cetakan kelima tahun 1416, Muassasah Al Risaalah, Beirut hal. 134
[2] Diambil dari kitab Al Kifaayah Fi Ilmi Riwayah karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khothib Al Baghdadiy, cetakan tahun 1409 H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut hlm 51.
[3] Ibid
[4] Al Ishabah Fi Tamyiiz Al Shahabat karya Al Haafidz Ibnu Hajar, cetakan tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, hal. 1/4
[5] Disebutkan dalam riwayat Muslim.
[6] Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Tafsir, no.5344.
[7] Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, Tahqiq Syaikh Khalil Ma’muun Syaikhoo, cetakan ketiga tahun 1417 H , Dar Al Ma’rifah, Beirut hal. 18/352-353
[8] Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1001 hlm 2/469 dan dihasankan oleh Al Albani dalam Dzilalil Jannah fi Takhrij Al Sunnah 2/469. lihat kitab As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1413 H, Al Maktab Al Islamiy, Bairut.
[9] Dinukil dari kitab Min Aqwaal Al Munshifiin Fi Al Sahabat Al Kholifah Mu’awiyah, karya Syaikh Abdulmuhsin bin Hamd Al ‘Abaad, cetakan pertama tahun 1416 H, Markas Syu’un Al Dakwah, Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah, hal. 13.
[10] Ibid hal 12.
[11] Ibid
[12] Lihat Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul karya Ibnu Taimiyah oleh Muhammad bin ‘Ali Al Ba’liy, Tahqiiq ‘Ali bin Muhammad Al Imraan, cetakan pertama tahun 1422 H, Dar ‘Aalam Al Fawaaid, Makkah, hal. 121
[13] Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1001 hal. 2/469 dan dihasankan oleh Al Albani dalam Dzilalil Jannah fi Takhrij As Sunnah 2/469. Lihat kitab As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1413 H, Al Maktab Al Islamiy, Bairut.
[14] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul op.cit hal 122.
[15] Ibid hal. 127
[16] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul karya Ibnu Taimiyah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdulhamid , Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut hlm 586
[17] Lihat Majalah Al Sunnah edisi 12/1/1415-1995 hal. 23 menukil dari majalah Al Furqaan edisi 54 tahun IV Robi’ Al Akhir 1415 H/ Oktober 1994.
[18] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul op.cit hlm 586-587.
[19] Majalah As Sunnah edisi 12/I/1415-1995 hal 23-24.
[20] Al Sharim Al Masluul op.cit hlm 586.
[21] Masalah ini diterjemahkan dari Mukhtashar Al Sharim Al Maslul op.cit hal. 116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar