Selamat datang di Blog ini

Menebar Dakwah Salafiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamma'ah

Senin, 28 Maret 2011

Merdunya Suara di Tengah Ceramah Agama

إيراد الآية أثناء الخطبة أوالدرس هل يسن تجويدها وترتيلها؟

Mengutip ayat ketika khutbah Jumat atau pengajian apakah dianjurkan dengan tartil dan membaguskan suara?

سؤال : من أورد أية أو أكثر أثناء كلامه في خطبته أو درسه هل يرتلها ويجوِّدها؟

Pertanyaan, “Seorang ustadz yang mengutip sebuah ayat atau lebih ketika menyampaikan khutbah Jumat atau pengajian apakah dianjurkan dengan tartil dan membaguskan suara?”

الجواب :
الحمد لله وحده.
والصلاة والسلام على من لا نبي بعده:
أمّا بعد :

الفرق بين قراءة القرآن للتلاوة وبين إيراد آية منه للاحتجاج جلي واضح؛ فإن الْمُسْتَدِلّ لَيْسَ مَقْصُوده التِّلَاوَة عَلَى وَجْههَا . وَإِنَّمَا مَقْصُوده بَيَان مَوْضِع الدَّلَالَة ؛


Jawaban Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul, “Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara membaca al Qur’an dengan tujuan membaca dengan mengutip ayat al Qur’an untuk berdalil dengannya. Seorang yang berdalil tidaklah bermaksud untuk membaca al Qur’an sebagaimana mestinya, namun maksud pokoknya dari mengutip ayat adalah menjelaskan hubungan antara ayat yang dia kutip dengan pernyataan yang dia sampaikan.

وقد نبه أهل العلم إلى عدة مواضع من هذه الفروق، وذلك منهم رحمهم الله لأن الباب باب اتباع، والإحداث في الدين باب خطير، كيف وقد جاء في الحديث: “كل بدعة ضلالة”، وفي الحديث: “من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”.

Para ulama telah mengingatkan perbedaan antara dua hal ini. Hal ini mereka lakukan karena permasalahan meneladani Nabi dan membuat amalan yang mengada-ada dalam agama adalah permasalahan yang berbahaya. Bagaimana tidak berbahaya padahal terdapat dalam hadits yang mengatakan “Setiap bid’ah adalah sesat”, dalam hadits yang lain, “Siapa saja yang melakukan amal ibadah yang tidak kami ajarkan maka amal ibadahnya adalah amal yang tertolak”?.

ومن هذه المواضع التي يفرق فيها بين إيراد الآية للاحتجاج والاستدلال وبين قراءة القرآن، ما أحدثه بعض الناس من تغيير الصوت بترتيل الآية عند إيرادها أثناء الخطبة أو الحديث أو الدرس،

Di antara sisi perbedaan antara mengutip ayat untuk berdalil dengan membaca al Qur’an untuk membaca yang dilanggar oleh sebagian orang adalah perbuatan mengada-ada yang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka mengubah intonasi suaranya menjadi suara yang dimerdukan ketika mengutip ayat saat khutbah Jumat ataupun ketika ceramah agama.

فتجد المتحدث يخرج عن نسق صوته عند تلاوته للآية، ويتكلف لذلك، بل رأيت وسمعت في بعض البرامج الدينية الشيخ المقدم للبرنامج يقطع حديثه عند إيراد الآية وتورد بصوت قارئ من القراء،

Anda jumpai sang pembicara keluar dari alur suara ceramahnya ketika mengutip ayat al Qur’an dan dia paksakan dirinya untuk bisa keluar dari intonasi ceramah. Bahkan aku melihat dan menyaksikan di sebagian program acara keagamaan televisi (di Saudi) ustadz pengisi acara malah terdiam ketika dia akan mengutip ayat lalu diperdengarkan suara rekaman seorang imam yang membaca al Qur’an pada ayat yang diinginkan oleh si pembicara.

و لا شك أن هذا فتح لباب البدعة والحدث في الدين، وهو أمر جد خطير، ينبغي التنبه له.

Tidaklah diragukan bahwa perbuatan ini adalah upaya membuka pintu bid’ah dan mengada-ada dalam agama. Ini tentu sangat bahaya sehingga patut dicermati dan diwaspadai.

فإن قيل : قوله تعالى: ?وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً? (المزمل:4)، ألا يدل على طلب ترتيل القرآن، وهو يشمل إيراد آية أو أكثر؟

Jika ada orang yang menyanggah dengan membawakan firman Allah yang artinya, “Dan bacalah al Qur’an dengan tartil (perlahan)” (QS al Muzammil:4)” lalu mengatakan, “Bukankah ayat tersebut menunjukkan adanya perintah untuk membaca al Qur’an dengan tartil baik yang dibaca hanya satu ayat ataupun beberapa ayat?”

فالجواب : نعم؛ الآية تدل على طلب ترتيل القرآن، ولكن محل ذلك عند إيراد الآية ونحوها على سبيل التلاوة والقراءة، لا على سبيل الاستشهاد والاستدلال،

Jawaban untuk sanggahan tersebut, “Memang, ayat di atas menunjukkan adanya perintah untuk membaca al Qur’an dengan tartil akan tetapi perintah ini hanya berlaku ketika kita membaca al Qur’an dengan tujuan murni membaca, bukan membaca al Qur’an dengan tujuan untuk digunakan sebagai dalil”.

فإنه لم ينقل أن الرسول r وأصحابه و التابعين و أهل العلم كانوا يغيروا أصواتهم عند تلاوة الآية على وجه الاستدلال والاستشهاد، وكل خير في اتباع من سلف، وكل شر في ابتداع من خلف.

Tidak terdapat riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah, para sahabat, tabiin dan para ulama terdahulu mengubah intonasi suara mereka ketika mereka mengutip ayat dengan tujuan untuk berdalil. Segala kebaikan ada dalam mengikuti salaf dan segala keburukan ada dalam kreasi dalam agama yang dibuat-buat oleh generasi belakangan.

وهذا رسول الله r في خطبه كان يورد الآيات، بل تقول إحدى الصحابيات: “مَا حَفِظْتُ ق إِلَّا مِنْ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِهَا كُلَّ جُمُعَةٍ” أخرجه مسلم في صحيحه (873).

Padahal dahulu Rasulullah dalam khutbah Jumatnya sering mengutip ayat al Qur’an bahkan ada seorang shahabiah (sahabat perempuan) yang mengatakan, “Aku tidaklah hafal surat Qaf kecuali dari mulut Rasulullah. Beliau menyampaikan khutbah Jumat dengan membacakan surat Qaf setiap hari Jumat” [HR Muslim no 873].

فإذا تذكرت مع هذا الحديث أن الذين وصفوا لنا خطب الرسول r لم يذكروا أنه كان يغاير بها صوته، بل ذكروا أنه إذ خطب كان كأنه منذر جيش ؛

Jika anda kaitkan hadits di atas dengan penjelasan para sahabat yang menggambarkan khutbah Rasulullah dan realita bahwa para sahabat tidaklah menyebutkan bahwa Nabi mengubah suaranya ketika mengutip ayat Al Qur’an niscaya anda tahu bagaimanakah cara yang benar ketika mengutip ayat al Qur’an dalam sebuah ceramah. Bahkan para sahabat menyebutkan bahwa Nabi jika berkhotbah itu seperti panglima.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ”، أخرجه مسلم (867).

Dari Jabir bin Abdullah, “Kebiasaan Rasulullah jika menyampaikan khutbah Jumat adalah kedua mata beliau nampak memerah, suaranya keras menggelegar dan bahkan beliau nampak seperti orang yang sangat marah. Beliau adalah seakan-akan panglima perang yang memberi peringatan kepada pasukannya “Awas serangan musuh di waktu pagi. Awas serangan musuh di waktu sore” [HR Muslim no 867].

إذا تذكرت هذا ، علمت أنه لو كان r يغاير صوته عند إيراد القرآن العظيم في الخطبة لنقل ، فلمّا لم ينقل دلّ على أن فعله (أعني: تغيير الصوت بتلاوة الآية عند الخطبة أو الدرس ونحوهما) خلاف السنة.

Jika anda pahami uraian di atas, anda akan berkesimpulan bahwa jika Nabi mengubah intonasi suaranya ketika mengutip ayat dalam khutbah beliau tentu para sahabat akan menceritakannya kepada kita. Tatkala tidak ada riwayat tentang hal ini maka bisa disimpulkan bahwa perbuatan mengubah intonasi suara ketika mengutip ayat dalam khutbah Jumat, ceramah dan semisalnya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Nabi.

وهذا خلاف طريق السلف؛ ولن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح عليه أولها.

Wal hasil, perbuatan tersebut menyelisihi jalan Salaf. Generasi akhir umat ini hanya akan baik dengan meniti jalan generasi terdahulu (baca: para sahabat).

فلا يشرع للمسلم حال إيراده للآية استشهاداً أو استدلالاً بها أن يرتلها، بل نص بعض أهل العلم على أن تغيير الصوت عند إيراد الآية في الخطبة أو الحديث أو الدرس وترتيلها من البدع.

Sehingga tidaklah dituntunkan bagi seorang muslim ketika mengutip ayat dalam rangka berdalil untuk membaca ayat dengan tartil. Bahkan sebagian ulama –yaitu Syaikh Bakr Abu Zaid- menegaskan mengubah intonasi suara ketika mengutip ayat dalam khutbah Jumat atau ceramah lalu membaca ayat dengan tartil adalah termasuk bid’ah (dalam membaca al Qur’an).

قال الشيخ بكر بن عبدالله أبو زيد في رسالته (بدع القراء ص60) :”مما أحدثه الوعاظ وبعض الخطباء في عصرنا مغايرة الصوت عند تلاوة الآيات من القرآن لنسق صوته في وعظه أو الخطابة؛

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam buku beliau, Bida’ al Qura’, hal 60 mengatakan, “Diantara perbuatan mengada-ada yang dilakukan oleh para penceramah dan sebagian khatib Jumat di zaman kita saat ini adalah mengubah intonasi suara ketika mengutip ayat al Qur’an sehingga tidak selaras dengan intonasi suaranya dalam ceramah ataupun khutbah Jumatnya.

وهذا لم يعرف عن السالفين، و لا الأئمة المتبوعين و لا تجده لدى أجلاء العلماء في عصرنا، بل يتنكبونه، وكثير من السامعين لا يرتضونه، و الأمزجة مختلفة، و لا عبرة بالفاسد منها، كما أنه لا عبرة بالمخالف لطريقة صدر الأمة وسلفها، والله اعلم”اهـ

Perbuatan ini tidaklah dikenal dari orang-orang terdahulu, para ulama yang menjadi panutan umat Islam, tidak pula anda jumpai dilakukan oleh para ulama di zaman ini. Bahkan mereka menjauhi perbuatan tersebut. Banyak pendengar pun tidak menyukai perbuatan semacam itu. Tipikal manusia memang beda-beda. Namun penilaian yang berasal dari orang yang memiliki tabiat yang jelek tidaklah teranggap. Sebagaimana tidaklah teranggap perbuatan orang yang menyelisihi jalan generasi awal dan generasi salaf umat Islam. Wallahu a’lam”. Sekian kutipan perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid.

هذا ما لزم التنبيه عليه بخصوص هذه المسألة، سائلاً الله أن يحفظنا وإياكم على الإسلام ؛ يحيينا عليه ويميتنا عليه، وأن يجعلنا وإياكم هداة مهتدين.

Inilah yang wajib untuk diingatkan terkait dengan permasalahan ini seiring memohon kepada Allah agar Allah menjaga kita semua di atas ajaran Islam, menghidupkan dan mematikan kita sebagai seorang muslim. Moga Allah jadikan diri-diri kita orang yang mendapatkan petunjuk lalu menyebarkannya”.

وصلّ اللهم على محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
كتبه
محمد بن عمر بازمول
‏09‏/03‏/1424هـ

Fatwa tertulis Syaikh Prof Dr Muhammad bin Umar Bazmul ini disampaikan pada tanggal 9 Rabiul Awal 1424 H.

Sumber: http://uqu.edu.sa/page/ar/119835

Artikel www.ustadzaris.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar