Selamat datang di Blog ini

Menebar Dakwah Salafiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamma'ah

Minggu, 20 Januari 2013

01 SYIRIK (Dosa-dosa Yang Dianggap Biasa)

Syirik atau menyekutukan Allah adalah sesuatu yang amat diharamkan dan secara mutlak merupakan dosa yang paling besar. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar (3 x)?” Mereka berkata, “Ya, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda,” Menyekutukan Allah”( Muttafaq Alaih, Al-Bukhari, Hadits no. 2511, cet Al Bugha.)
Setiap dosa berkemungkinan diampuni oleh Allah Ta’ala, kecuali dosa syirik, ia memerlukan taubat khusus, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (An-Nisa: 48)
Di antara macam syirik adalah syirik besar. Syirik ini menjadi penyebab keluarnya seseorang dari agama Islam dan orang yang bersangkutan jika meninggal dalam keadaan demikian, akan kekal di dalam Neraka.

Di antara kenyataan syirik yang umum terjadi di sebagian besar negara-negara Islam adalah:
* MENYEMBAH KUBURAN 
Yakni kepercayaan bahwa para wali yang telah meninggal dunia bisa memenuhi hajat dan bisa membebaskan manusia dari berbagai kesulitan. Karena kepercayaan ini, mereka lalu meminta pertolongan dan bantuan kepada para wali yang telah meninggal dunia. Padahal Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia” (Al-Isra: 23)
Termasuk dalam kategori menyembah kuburan adalah memohon kepada orang-orang yang telah meninggal, baik para nabi, orang-orang shalih atau lainnya untuk mendapatkan syafa’at atau melepaskan diri dari berbagai kesukaran hidup. Padahal Allah berfirman,
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepadaNya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?” (An-Naml: 62)
Sebagian mereka, bahkan membiasakan dan membudayakan bahwa menyebut nama syaikh atau wali tertentu, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ketika melakukan suatu kesalahan, dalam setiap situasi sulit, ketika ditimpa petaka, musibah atau kesukaran hidup. Di antaranya ada yang menyeru, “Wahai Muhammad” Ada lagi yang menyebut “Wahai Ali.” Yang lain lagi menyebut, “Wahai Jaelani.” Kemudian ada yang menyebut, “Wahai Syadzali”. Dan yang lain menyebut, “Wahai Rifa’i”. Yang lain lagi menyeru Al-Idrus Sayyidah Zainab, ada pula yang menyeru Ibnu ‘Ulwan dan masih banyak lagi. Padahal Allah telah menegaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu” (Al- A’raaf: 194)
Sebagian penyembah kuburan ada yang mengelilingi kuburan tersebut, mencium setiap sudutnya, lalu mengusapkannya ke bagian-bagian tubuhnya. Mereka juga menciumi pintu kuburan tersebut dan melumuri wajahnya dengan tanah dan debu kuburan. Bahkan ada yang bersujud ketika melihatnya, berdiri di depannya dengan penuh khusyu’, merendahkan dan menghinakan diri seraya mengajukan permintaan dan memohon hajat mereka. Ada yang meminta sembuh dari sakit, mendapatkan keturunan, digampangkan urusannya dan tak jarang di antara mereka menyeru,
….”Ya Sayyidi, aku datang kepadamu dari negeri yang jauh, maka janganlah engkau kecewakan aku.”
Padahal Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a)nya sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka?” (Al Ahqaaf: 5)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah niscaya akan masuk neraka.”(Hadits riwayat Al-Bukhari, Fathul Bari, 8/176.)
Sebagian mereka mencukur rambutnya di pekuburan, sebagian lainnya membawa buku yang berjudul “Manasikul Hajjil Masyahid” (tata cara ibadah haji di kuburan keramat), yang mereka maksudkan dengan masyahid adalah kuburan para wali. Sebagian mereka mempercayai bahwa para wali itu mempunyai kewenangan mengatur alam semesta, dan mereka bisa memberi madharat atau manfaat. Padahal Allah berfirman,
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karuniaNya.” (Yunus: 107)
Termasuk syirik adalah bernadzar untuk selain Allah, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang dengan bernadzar memberi lilin dan lampu untuk para ahli kubur. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (Al-Kautsar: 2)
Maksudnya, berkurbanlah hanya untuk Allah dan atas Nama-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.”(Hadits riwayat Muslim, kitab Shahih Muslim no. 1978, cet. Abdul Baqi.)
Pada binatang sembelihan itu terdapat dua hal yang diharamkan. Pertama, penyembelihannya untuk selain Allah dan kedua, penyembelihannya dengan atas nama selain Allah. Keduanya menjadikan daging binatang sembelihan itu tidak boleh dimakan. Dan termasuk penyembelihan jahiliyah -yang terkenal di zaman kita saat ini- adalah menyembelih untuk jin. Yaitu manakala mereka membeli rumah atau membangunnya atau ketika menggali sumur mereka menyembelih di tempat tersebut atau di depan pintu gerbangnya, sebagai sembelihan sesajen karena takut gangguan jin.( Lihat Taisirul Azizil Hamid, cet. Al Ifta’ hal. 158.)
Di antara contoh syirik besar -dan hal ini umum dilakukan- adalah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau sebaliknya. Atau kepercayaan bahwa seseorang memiliki hak dalam masalah tersebut, padahal Allah Ta’ala yang berhak. Atau berhukum kepada perundang-undangan jahiliyah secara sukarela dan atas kemauannya, seraya menghalalkannya dan berkepercayaan bahwa hal itu dibolehkan. Allah menyebutkan kufur besar ini dalam firman-Nya, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Ketika Adi bin Hatim mendengar ayat tersebut dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata, “Orang-orang itu tidak menyembah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas bersabda,
“Benar, tetapi mereka (orang-orang alim dan para rahib itu) menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, sehingga mereka menganggapnya halal. Dan mengharamkan atas mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, sehingga mereka menganggapnya haram. Itulah bentuk ibadah mereka kepada orang-orang alim dan para rahib tersebut.”( Hadits riwayat Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, 10/116, Sunan At-Turmudzi no. 3095, Al-Albani menggolongkannya ke dalam hadits hasan, lihat Ghayatul Maram: 19.)
Allah menjelaskan, di antara sifat orang-orang musyrik adalah sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah)” (At-Taubah: 29)
“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Termasuk syirik yang banyak terjadi adalah sihir, perdukunan dan ramalan. Sihir, termasuk perbuatan kufur dan termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang menyebabkan kebinasaan. Sihir hanya mendatangkan bahaya dan sama sekali tidak bermanfaat bagi manusia. Allah berfirman, “Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi madharat kepadanya dan tidak memberi manfaat.” (Al-Baqarah: 102)
“Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (Thaha: 69)
Orang yang mengerjakan sihir adalah kafir. Allah berfirman, “Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah: 102)
Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh, pekerjaannya haram dan jahat. Orang-orang bodoh, sesat dan lemah iman pergi kepada para tukang sihir untuk berbuat jahat kepada orang lain atau untuk membalas dendam kepada mereka. Di antara manusia ada yang melakukan perbuatan haram dengan mendatangi tukang sihir dan memohon pertolongan padanya agar terbebas dari pengaruh sihir yang menimpanya. Padahal seharusnya ia mengadu dan kembali kepada Allah, memohon kesembuhan dengan kalam-Nya, seperti dengan al-Mu’awwidzat (Surat Al Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas) dan sebagainya.
Dukun dan tukang ramal, keduanya juga kafir jika mengklaim dirinya mengetahui hal-hal ghaib. Karena tidak ada yang mengetahui hal-hal yang ghaib selain hanya Allah.
Para dukun dan tukang ramal itu memanfaatkan kelengahan orang-orang awam (yang minta pertolongan padanya) untuk mengeruk uang mereka sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan banyak sarana untuk perbuatannya tersebut. Di antaranya dengan membuat garis di pasir, memukul rumah siput, membaca garis telapak tangan, cangkir, bola kaca, cermin, dan lain-lain.
Jika sekali waktu mereka benar, maka sembilan puluh sembilan kalinya hanyalah dusta belaka. Tetapi tetap saja orang-orang dungu tidak mengingat, kecuali waktu yang sekali itu saja. Maka mereka pergi kepada para dukun dan tukang ramal untuk mengetahui nasib mereka di masa depan, apakah akan bahagia atau sengsara, baik dalam hal pernikahan, perdagangan, mencari barang-barang yang hilang atau yang semisalnya.
Hukum orang yang mendatangi tukang ramal atau dukun, jika mempercayai terhadap apa yang dikatakannya adalah kafir, keluar dari agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”(Hadits riwayat Imam Ahmad 2/429, dalam Shahih Jami’ hadits no. 5939.)
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu ia menanyakan padanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.”( Shahih Muslim, 4/1751.)
Ini masih pula harus dibarengi dengan tetap mendirikan shalat (wajib) dan bertaubat atasnya.
* Kepercayaan Adanya Pengaruh Bintang dan Planet terhadap Berbagai Kejadian dan Kehidupan Manusia 
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama kami, shalat Shubuh di Hudaibiyah -tampak masih ada bekas hujan yang turun di malam harinya-, setelah beranjak beliau menghadap kepada para sahabatnya, seraya berkata,
“Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian?” Mereka menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.” Allah berfirman, “Pagi ini di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang berkata, “Kami diberi hujan dengan karunia Allah dan rahmat-Nya”, maka dia beriman kepadaku dan kafir terhadap bintang. Adapun orang yang berkata, “Hujan itu turun karena bintang ini dan bintang itu,” maka dia telah kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang.”( Hadits riwayat Al Bukhari, lihat Fathul Bari, 2/333.)
Termasuk dalam hal ini adalah mempercayai astrologi (ramalan bintang) seperti yang banyak kita temui di koran dan majalah. Jika ia mempercayai adanya pengaruh bintang dan planet-planet tersebut maka dia telah musyrik. Jika ia membacanya sekedar untuk hiburan, maka ia telah melakukan perbuatan maksiat dan berdosa. Sebab tidak dibolehkan mencari hiburan dengan membaca hal-hal syirik. Selain itu, setan terkadang berhasil menggoda jiwa manusia, sehingga ia percaya kepada hal-hal syirik tersebut. Maka membacanya termasuk sarana dan jalan menuju kemusyrikan.
Termasuk syirik, mempercayai adanya manfaat pada sesuatu yang tidak dijadikan demikian oleh Allah Ta’ala. Seperti kepercayaan sebagian orang terhadap jimat, mantera-mantera berbau syirik, kalung dari tulang, gelang logam dan sebagainya, yang penggunaannya sesuai dengan perintah dukun, tukang sihir atau memang merupakan kepercayaan turun-temurun.
Mereka mengalungkan barang-barang tersebut di leher atau pada anak-anak mereka untuk menolak ‘ain(yaitu :P engaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui pandangan matanya; kena mata (pent.).). Demikian anggapan mereka. Terkadang mereka mengikatkan barang-barang tersebut pada badan, menggantungkannya di mobil atau rumah. Atau mereka mengenakan cincin dengan berbagai macam batu permata, disertai kepercayaan tertentu, seperti untuk tolak bala’ atau untuk menghilangkannya.
Hal semacam ini tak diragukan lagi sangat bertentangan dengan (perintah) tawakkal kepada Allah. Dan tidaklah hal itu menambah kepada manusia, selain kelemahan. Kemudian pula, hal tersebut termasuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan.
Berbagai jimat yang digantungkan, sebagian besar termasuk syirik jali (yang nyata). Demikian pula dengan meminta pertolongan kepada sebagian jin atau syetan, gambar-gambar ruwet, tulisan-tulisan semrawut yang tidak dapat dipahami dan sebagainya. Sebagian tukang tenung menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan mencampur-adukkannya dengan hal lain yang termasuk syirik. Bahkan sebagian mereka menulis ayat-ayat Al-Qur’an dengan barang yang najis atau dengan darah haid. Menggantungkan atau mengikatkan segala yang disebutkan di atas adalah haram. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik.” (Hadits riwayat Imam Ahmad: 4/156 dan dalam Silsilah Ash-Shahihah hadits no. 492.)
Orang yang melakukan perbuatan tersebut, jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu bisa mendatangkan manfaat atau madharat (dengan sendirinya) selain Allah, maka dia telah masuk ke dalam golongan pelaku syirik besar. Dan jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu merupakan sebab datangnya manfaat atau madharat, padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, maka dia telah terjerumus pada perbuatan syirik kecil dan ini masuk ke dalam kategori syirkul asbab.
(Dari kitab “Muharramat Istahana Bihan Naas” karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)
http://www.kajianislam.net/2009/02/thiyarah-thathoyyur-merasa-sial-pesimis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar