Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri
Dalam setiap proses pengobatan, langkah pertama yang ditempuh oleh dokter atau tenaga medis adalah melakukan diagnosis. Tujuannya, ialah untuk mengetahui penyebab penyakit yang diderita. Diagnosis ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, mulai dari wawancara dengan pasien, hingga dengan test laborat dengan menggunakan teknologi canggih.
Islam sendiri telah memudahkan proses pengobatan. Yaitu dengan cara mengajarkan kepada umatnya hasil diagnosa yang benar-benar aktual. Allah Ta'ala yang telah menurunkan penyakit, telah mengabarkan kepada kita bahwa di antara faktor yang menjadi penyebab datangnya penyakit adalah perbuatan dosa kita sendiri.
Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ الشورى 30
"Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri". [asy-Syûrâ/42 : 30]
Abu Bilaad rahimahullah yang terlahir dalam keadaan buta bertanya kepada al-'Alâ` bin Badr rahimahullah : "Bagaimana penerapan ayat ini pada dirinya, padahal ia menderita buta mata sejak dalam kandungan ibunya?"
Jawaban al-'Alâ` bin Badr sangat mengejutkan, ia berkata: "Itu adalah akibat dari dosa kedua orang tuamu".[1]
Singkat kata, penyakit yang menimpa kita, tidak terkecuali penyakit suka sesama jenis sangat dimungkinkan adalah akibat dari perbuatan dosa, baik yang kita lakukan atau yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita.
DIAGNOSA PENYAKIT SUKA SESAMA JENIS
Berikut beberapa perbuatan dosa atau kesalahan yang mungkin pernah dialami oleh orang yang dihinggapi penyakit suka sesama jenis.
Pertama : Nama Yang Tidak Menunjukkan Identitas.
Di antara kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh kedua orang tua, ialah memilihkan nama yang baik untuk anaknya. Bukan sekedar baik ketika didengar atau diucapkan, akan tetapi juga baik dari segala pertimbangan, dari makna maupun nilai sejarahnya. Pertimbangan pemilihan nama yang baik dapat menunjukkan identitas, baik secara agama maupun jenis kelamin. Oleh sebab itu, banyak ulama yang mencela penggunaan nama-nama yang terkesan "lembut" bagi anak laki-laki.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: "Ada hubungan keserasian antara nama dan pemiliknya. Sangat jarang terjadi ketidakserasian antara nama dan pemiliknya. Yang demikian itu, karena setiap kata sebagai pertanda makna yang terkandung di dalamnya. Dan nama adalah petunjuk bagi kepribadian pemiliknya. Bila engkau merenungkan julukan seseorang, niscaya makna dari julukan tersebut ada padanya. Sehingga nama yang buruk merupakan pertanda bahwa jiwa pemiliknya buruk. Sebagaimana wajah yang buruk, pertanda bagi buruknya jiwa seseorang".[2]
Oleh karena itu, bila seseorang yang ditimpa penyakit suka sesama jenis memiliki nama yang kurang menunjukkan jati dirinya, maka hendaklah segera merubah namanya, sehingga lebih menunjukkan jati dirinya sebagai seorang laki-laki atau wanita.
Kedua : Pengaruh Pakaian Dan Perhiasan.
Islam melarang kaum laki-laki menyerupai kaum wanita, baik dalam berpakaian, perhiasan, perilaku atau lainnya, dan demikian juga sebaliknya.
لَعَنَ النبي n الْمُخَنَّثِينَ من الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ من النِّسَاءِ وقال: (أَخْرِجُوهُمْ من بُيُوتِكُمْ). متفق عليه
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki, dan beliau bersabda: “Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian". [Muttafaqun 'alaih]
Berdasarkan hadits ini, kaum laki-laki dilarang mengenakan pakaian dan perhiasan yang merupakan ciri khas kaum wanita, dan demikian juga sebaliknya. Sebagaimana kaum laki-laki juga dilarang untuk menyerupai suara, cara berjalan, dan seluruh gerak-gerik kaum wanita, demikian juga sebaliknya.[3]
Berdasarkan ini pula, maka diharamkan bagi kaum lelaki mengenakan perhiasan emas dan pakaian yang terbuat dari sutera. Karena kedua hal itu merupakan ciri khas kaum wanita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبُ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ رواه الترمذي والنسائي وصححه الألباني
"Diharamkan pakaian sutera dan perhiasan emas atas kaum laki-laki dari umatku, dan dihalalkan atas kaum wanita mereka" [HR at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
Para ulama menjelaskan hikmah larangan ini, bahwa perhiasan emas dan pakaian sutera dapat mempengaruhi kepribadian seorang laki-laki yang mengenakannya. Bahkan Ibnul-Qayyim rahimahullah menyatakan, biasanya, seseorang yang mengenakan perhiasan emas atau pakaian sutera memiliki perilaku yang menyerupai kaum wanita. Kedua hal ini akan terus-menerus melunturkan kejantanan laki-laki yang memakainya. Hingga pada akhirnya (sifat kelelakiannya) akan menjadi sirna, dan berubah menjadi seorang yang banci. Karena itu, pendapat yang benar ialah diharamkan bagi orang tua mengenakan kepada anak lelakinya perhiasan emas atau pakaian sutera, agar kejantanan anak tersebut tidak terkikis.[4]
Aturan untuk membedakan dari lawan jenis. Demikian juga hal ini ditekankan kepada kaum wanita, sehingga mereka juga dilarang berperilaku yang menyerupai kaum laki-laki, dan dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang selaras dengan kewanitaannya.
Salah satu yang dapat menunjukkan identitas kewanitaan seseorang, ialah dengan cara merubah warna kuku jari jemarinya dengan hinna' (pacar kuku dari tumbuhan tertentu, ed).
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قالت: مَدَّتِ امْرَأَةٌ من وَرَاءِ السِّتْرِ بِيَدِهَا كِتَاباً إلى رسول اللَّهِ n، فَقَبَضَ النبي n يَدَهُ، وقال: (ما أَدْرِى أَيَدُ رَجُلٍ أو أيد امْرَأَةٍ) فقالت: بَلِ امْرَأَةٌ . فقال: (لو كُنْتِ امْرَأَةً، غَيَّرْتِ أَظْفَارَكِ بِالْحِنَّاءِ).
"'Aisyah Radhiyallahu 'anha menceritakan: "Ada seorang wanita dari balik tabir yang menyodorkan secarik surat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabipun menahan tangannya, dan beliau bersabda: 'Aku tidak tahu, apakah ini tangan seorang laki-laki atau wanita?' Wanita itupun berkata: 'Ini adalah tangan wanita,' maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Andai engkau benar-benar wanita, niscaya engkau telah mewarnai kukumu dengan hinna'." [HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasâ`i dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Ketiga : Pengaruh Makanan Haram.
Tidak dapat dipungkiri, perangai dan kepribadian setiap manusia bisa dipengaruhi oleh jenis makanan yang ia konsumsi. Sehingga tidak mengherankan bila seseorang yang memakan daging onta disyari'atkan untuk berwudhu, untuk menghilangkan pengaruh buruk daging yang ia makan.
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, ia mengisahkan: "Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Apakah kita diwajibkan berwudlu karena memakan daging kambing?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: 'Engkau boleh berwudhu, dan juga boleh untuk tidak berwudhu,' laki-laki itu kembali bertanya: 'Apakah kita wajib berwudhu karena memakan daging onta?' Beliau menjawab: 'Ya, berwudhulah engkau karena memakan daging onta'." [HR Muslim]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Orang yang berwudhu setelah memakan daging onta akan terhindar dari pengaruh sifat hasad dan jiwa yang kaku yang biasa menimpa orang-orang yang senang memakannya, sebagaimana dialami orang-orang pedalaman. Ia akan terhindar dari perangai hasad dan jiwa yang kaku seperti disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Imam Bukhâri dan Muslim:
(إِنَّ اْلغِلْظَةَ وَقَسْوَةَ الْقُلُوْبِ فِيْ الْفَدَّادِيْنَ أَصْحَابِ الْإِبِلِ وَإِنَّ السَّكِيْنَةَ فِيْ أَهْلِ الْغَنَمِ)
"Sesungguhnya perangai kasar dan jiwa yang kaku, biasanya ada pada orang-orang pedalaman, para pemelihara onta, sedangkan lemah-lembut biasanya ada pada para pemelihara kambing" [5].
Bila demikian, maka tidak diragukan lagi bahwa makanan yang jelas keharamannya memiliki pengaruh buruk pada diri dan kepribadian pemakannya. Dan di antara makanan haram yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga dijangkiti penyakit suka sesama jenis ialah daging babi dan keledai. Ibnu Sirin rahimahullah berkata: "Tidaklah ada binatang yang melakukan perilaku kaum Nabi Luth selain babi dan keledai".[6]
Bila seseorang membiasakan dirinya dan juga keluarganya memakan daging babi atau keledai, lambat laun, berbagai perangai buruk kedua binatang ini dapat menular kepadanya. Na'udzubillah.
Keempat : Pengaruh Pergaulan Dan Pendidikan.
Masing-masing diri kita pasti memiliki pengalaman tersendiri tentang pergaulan dalam mempengaruhi pembentukan jati diri dan perangainya. Sedikit banyak, cara berpikir dan kesukaan manusia dipengaruhi oleh keluarga, teman bergaul, atau masyarakat sekitar. Oleh karena itu, jauh hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan agar memilihkan kawan yang baik untuk anak-anak kita, sehingga mereka terpengaruh oleh kebaikan dan terhindar dari pengaruh buruk.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah ada seorang yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (muslim), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. Perumpamaannya bagaikan seekor binatang yang dilahirkan dalam keadaan utuh anggota badannya, maka apakah kalian mendapatkan padanya hidung yang dipotong?” [Muttafaqun ‘alaih]
Sebagaimana Islam juga mengajarkan agar orang tua mulai memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan tempat tidur anak wanita.
(مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عليها وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في الْمَضَاجِعِ)
"Perintahlah anak-anakmu untuk mendirikan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun, dan pukullah bila enggan mendirikan shalat ketika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka" [Riwayat Abu Dawud dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
Pemisahan tempat tidur antara anak laki-laki dan tempat tidur anak wanita dapat menumbuhkan kesadaran pada diri masing-masing tentang jati dirinya. Sehingga anak laki-laki mulai menyadari bahwa dirinya berlawanan jenis dengan saudarinya, demikian juga dengan anak wanita. Sejalan dengan perjalanan waktu dan disertai pendidikan yang baik, masing-masing akan menjadi manusia yang berkepribadian lurus lagi luhur.
Di antara yang dapat memupuk kesuburan jati diri anak-anak, ialah dengan membedakan jenis permainan mereka. Melalui sarana permainan yang terarah dan mendidik, orang tua dapat menumbuhkan kesadaran pada masing-masing anak tentang jati dirinya. Salah satu permainan yang dapat memupuk kepribadian anak wanita adalah boneka.
Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
(كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ في بَيْتِهِ وَهُنَّ اللُّعَبُ) متفق عليه
"Dahulu, aku bermain boneka anak-anak di rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Muttafaqun 'alaih]
Para ulama' menyatakan, bahwa dibolehkannya membuatkan boneka untuk anak-anak wanita yang masih kecil ini merupakan keringanan atau pengecualian dari dalil-dalil umum yang melarang kita membuat patung. Melalui sarana permainan ini, anak-anak wanita kita diharapkan mulai memahami jati dirinya dan juga peranan yang harus mereka lakukan kelak ketika telah dewasa dan berkeluarga.[7]
Dengan demikian, pergaulan dan pendidikan memiliki peranan besar dalam pembentukan karakter dan cara pandang anak-anak. Sehingga kesalahan dalam pendidikan dan pergaulan dapat mengakibatkan perilaku kurang terpuji di kemudian hari.
TERAPI PENYEMBUHAN
Bila melalui diagnosa di atas, seseorang dapat menemukan penyebab datangnya penyakit yang dideritanya, maka segeralah melakukan langkah-langkah pengobatan.
Langkah Pertama : Yang harus dilakukan ialah dengan membenahi kesalahan dan bertobat dari kekhilafan.
Langkah Kedua : Berdoa Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Ketahuilah, perbuatan dosa dan khilaf dapat terjadi karena kita memperturutkan bisikan kotor, baik yang datang dari iblis maupun dari jiwa yang tidak suci. Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang suci dan dijauhkan dari perilaku buruk :
اللهم آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أنت خَيْرُ من زَكَّاهَا (رواه مسلم )
"Ya Allah, limpahkanlah ketakwaan kepada jiwaku dan sucikanlah. Engkau adalah sebaik-baik Dzat Yang Mensucikan jiwaku" [Riwayat Muslim]
Pada kesempatan lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ (رواه الترمذي والحاكم والطبراني )
"Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, amalan, dan hawa nafsu yang buruk" [Riwayat at-Tirmidzi, al-Hakim, dan ath-Thabrani]
Oleh sebab itu,bagi orang yang telah terjangkiti penyakit ini, hendaknya memohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar jiwanya disucikan, dan perangainya diluruskan. Ia hendaklnya yakin, bila bersungguh-sungguh berdoa, terlebih ketika sedang sujud dan pada sepertiga akhir malam, yakinlah, pasti Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengabulkan.
Langkah Ketiga : Melakukan Kegiatan-Kegiatan Yang Sesuai Dengan Jenis Kelamin Kita.
Di antara cara yang dapat kita tempuh untuk memupuk jati diri ialah dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang selaras dengan diri kita. Bagi kaum wanita, misalnya dengan mengasuh anak kecil (keponakan, adik, atau lainnya), memasak, berdandan, menjahit, membuat karangan bunga. Bagi kaum laki-laki, misalnya dengan mencangkul, olah raga angkat besi, bela diri, tukang kayu, berenang. Dan hendaklah menjauhi segala perbuatan dan perilaku yang biasa dilakukan oleh lawan jenis.
Langkah Keempat : Terapi Hormon.
Salah satu metode pengobatan yang sekarang dikenal masyarakat adalah dengan terapi hormon. Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila seseorang yang menderita penyakit suka sesama jenis mencoba pengobatan dengan cara ini. Akan tetapi, sebelum mencoba terapi ini, seyogyanya ia terlebih dahulu berkonsultasi kepada tenaga medis yang berkompeten, untuk mengetahui sejauh mana kegunaannya. Juga untuk meyakinkan bahwa dalam seluruh proses terapi ini tidak mengandung hal-hal yang diharamkan atau melanggar syari'at.
Langkah Kelima : Berbesar Harapan Dan Kuatkan Semangat.
Sebagaimana telah diisyaratkan di atas, bahwa setiap manusia terlahir ke dunia dalam keadaan normal dan berjiwa suci, dan hanya lantaran pengaruh dunia luarlah seseorang mengalami perubahan. Allah Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi:
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ (رواه مسلم)
"Sesungguhnya Aku telah menciptakan seluruh hamba-Ku dalam keadaan lurus lagi suci, kemudian mereka didatangi oleh setan dan kemudian setanlah yang menyesatkan mereka dari agamanya" [Riwayat Muslim]
Dari situ, hendaklah kita senantiasa berbesar harapan dan optimis bahwa segala penyakit yang kita derita dapat disembuhkan. Yakinlah, penyakit yang kita derita merupakan salah satu akibat dari ulah dan godaan setan. Setanlah yang telah menodai kesucian jiwa kita. Oleh karena itu, besarkan harapan, bulatkan tekad, dan kuatkan semangat untuk merebut kembali kesucian jiwa kita dari belenggu setan dengan selalu berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca Al-Qur`ân. Ketahuilah, wahai Saudaraku, membaca Al-Qur`ân dengan khusyu' dan penuh penghayatan merupakan senjata paling ampuh untuk menghancurkan perangkap syetan.
Termasuk pula di antara cara untuk menghindarkan diri dari perangkap setan ialah dengan senantiasa menghadiri majlis-majlis ilmu, dan berusaha agar selalu berada bersama dengan teman-teman yang baik.
إِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ ، وَ هُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ (رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني)
"Sesungguhnya setan itu bersama orang yang menyendiri, dan ia akan menjauh dari dua orang" [Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
Semoga pemaparan singkat ini bermanfaat bagi kita. Dan semoga Allah Ta'ala senantiasa melimpahkan kesucian jiwa dan keluhuran budi pekerti kepada kita.
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Wallahu a'lam bish-Shawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Tafsîr Ibnu Abi Hâtim (10/3279) dan Tafsîr al-Baghawi (7/355).
[2]. Tuhfatul-Maudûd, Ibnul Qayyim, 51.
[3]. Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni (10/334) dan Faidhul-Qadîr, al-Munawi (5/271).
[4]. Zâdul-Ma'âd, Ibnul-Qayyim, 4/80.
[5]. Majmu' Fatâwa Ibnu Taimiyyah, 21/11.
[6]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab Dzammul-Malâhi.
[7]. Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni, 10/527.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar