Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: “Apakah Matahari berputar mengelilingi bumi?”.
Jawaban.
” Dhahirnya dalil-dalil syar’i menetapkan bahwa mataharilah yang berputar mengelilingi bumi dan dengan perputarannya itulah menyebabkan terjadinya pergantian siang dan malam di permukaan bumi, tidak ada hak bagi kita untuk melewati dhahirnya dalil-dalil ini kecuali dengan dalil yang lebih kuat dari hal itu yang memberi peluang bagi kita untuk menakwilkan dari dhahirnya. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi sehingga terjadi pergantian siang dan malam adalah sebagai berikut.
[1]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Ibrahim akan hujahnya terhadap yang membantahnya tentang Rabb.
“Artinya : ….Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,….” [Al Baqarah : 258]
Maka keadaan keadaan matahari yang didatangkan dari timur merupakan dalil yang dhahir bahwa matahari berputar mengelilingi bumi.
[2]. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman juga tentang Ibrahim.
“Artinya : Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar’, maka tatkala matahari itu terbenam dia berkata : ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.’” [Al-An'am : 78]
Jika Allah menjadikan bumi yang mengelilingi matahari niscaya Allah berkata: “Ketika bumi itu hilang darinya”.
[3]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka berada disebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu….” [Al-Kahfi : 17]
Allah menjadikan yang condong dan menjauhi adalah matahari, itu adalah dalil bahwa gerakan itu adalah dari matahari, kalau gerakan itu dari bumi niscaya Dia berkata: “gua mereka condong darinya (matahari)”. Begitu pula bahwa penyandaran terbit dan terbenam kepada matahari menunjukkan bahwa dialah yang berputar meskipun dilalahnya lebih sedikit dibandingkan dilalah firmanNya “(condong) dan menjauhi mereka)”.
Selamat datang di Blog ini
Menebar Dakwah Salafiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamma'ah
Sabtu, 30 Oktober 2010
Menepis Syubhat (Kerancuan) Terhadap Salafiyah
Di tengah gelombang kebid’ahan dan kesyirikan yang menerpa umat sekarang ini. Di saat kebingungan dan ketimpangan semakin membelit kaum mudanya. Ahlul ahwa’ (para pengikut hawa-nafsu) tidak henti-hentinya melontarkan kerancuan dan keraguan. Bahkan tidak jarang melemparkan tuduhan serta fitnah yang tidak berdasar ke tengah-tengah umat terhadap kemulian dakwah Salafiyah yang penuh barakah ini dan para dainya. Semua itu ibarat riak-riak kecil, bila tidak segera ditepis akan menjadi gelombang ganas yang membahayakan lagi mengkhawatirkan.
Salah seorang murid senior Muhadits abad ini (Imam al-Albani rahimahullah), yaitu Syaikh Muhammad bin Musa Nashr telah mengumpulkan beberapa syubhat yang dilontarkan oleh musuh da’wah Salafiyah, kemudian beliau iringi dengan bantahannya. Pada kesempatan ini kami sampaikan sebagian dari bantahannya tersebut dan kami pilih yang sekiranya mendesak untuk diketahui.
Salah seorang murid senior Muhadits abad ini (Imam al-Albani rahimahullah), yaitu Syaikh Muhammad bin Musa Nashr telah mengumpulkan beberapa syubhat yang dilontarkan oleh musuh da’wah Salafiyah, kemudian beliau iringi dengan bantahannya. Pada kesempatan ini kami sampaikan sebagian dari bantahannya tersebut dan kami pilih yang sekiranya mendesak untuk diketahui.
PENCETUS PERTAMA MAULID NABI
Oleh : Ustadz Abdurrahman Thayyib Lc
A. Sejarah Perayaan Maulid
Diantara perayaan-perayaan bid’ah yang diadakan oleh kebanyakan kaum muslimin adalah perayaan maulid Nabi. Bahkan maulid Nabi ini merupakan induk dari maulid-maulid yang ada seperti maulid para wali, orang-orang sholeh, ulang tahun anak kecil dan orang tua. Maulid-maulid ini adalah perayaan yang telah di kenal oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Dan perayaan ini bukan hanya ada pada masyarakat kaum muslimin saja tapi sudah di kenal sejak sebelum datangnya Islam. Dahulu Raja-Raja Mesir (yang bergelar Fir’aun) dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk Tuhan-Tuhan mereka,[1] 1. Al-Adab Al-Yunaani Al-Qodim…oleh DR Ali Abdul Wahid Al-Wafi hal. 131. demikian pula dengan agama-agama mereka yang lain.
Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih q, mereka menjadikannya hariaya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
A. Sejarah Perayaan Maulid
Diantara perayaan-perayaan bid’ah yang diadakan oleh kebanyakan kaum muslimin adalah perayaan maulid Nabi. Bahkan maulid Nabi ini merupakan induk dari maulid-maulid yang ada seperti maulid para wali, orang-orang sholeh, ulang tahun anak kecil dan orang tua. Maulid-maulid ini adalah perayaan yang telah di kenal oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Dan perayaan ini bukan hanya ada pada masyarakat kaum muslimin saja tapi sudah di kenal sejak sebelum datangnya Islam. Dahulu Raja-Raja Mesir (yang bergelar Fir’aun) dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk Tuhan-Tuhan mereka,[1] 1. Al-Adab Al-Yunaani Al-Qodim…oleh DR Ali Abdul Wahid Al-Wafi hal. 131. demikian pula dengan agama-agama mereka yang lain.
Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih q, mereka menjadikannya hariaya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
Bid'ah Dan Niat Baik
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]
Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]
Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.
Beriman kepada Siksa Kubur dan Kenikmatannya
Abu Bakr Jabir al-Jazairi
Orang Muslim meyakini bahwa alam kubur, siksa di dalamnya, dan pertanyaan dua malaikat adalah benar. Berdasarkan dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal seperti berikut ini.
Dalil-Dalil Wahyu
kuburPenjelasan Allah Ta'ala tentang hal tersebut dalam firman-firman-Nya.
"Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata), 'Rasakanlah oleh kalian siksa neraka yang membakar,' (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya." (Al-Anfal: 50-51).
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedangkan para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), 'Keluarlah nyawa kalian. Pada hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kalian selalu mengatakan kepada Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. Dan sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagai mana Kami ciptakan pada mulanya, dan kalian tinggalkan di belakang kalian (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian dan Kami tidak melihat beserta kalian pemberi syafaat yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kalian sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kalian dan telah lenyap daripada kalian apa yang dahulu kalian anggap (sebagai sekutu Allah)." (Al-An'am: 93-94).
Orang Muslim meyakini bahwa alam kubur, siksa di dalamnya, dan pertanyaan dua malaikat adalah benar. Berdasarkan dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal seperti berikut ini.
Dalil-Dalil Wahyu
kuburPenjelasan Allah Ta'ala tentang hal tersebut dalam firman-firman-Nya.
"Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata), 'Rasakanlah oleh kalian siksa neraka yang membakar,' (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya." (Al-Anfal: 50-51).
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedangkan para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), 'Keluarlah nyawa kalian. Pada hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kalian selalu mengatakan kepada Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. Dan sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagai mana Kami ciptakan pada mulanya, dan kalian tinggalkan di belakang kalian (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian dan Kami tidak melihat beserta kalian pemberi syafaat yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kalian sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kalian dan telah lenyap daripada kalian apa yang dahulu kalian anggap (sebagai sekutu Allah)." (Al-An'am: 93-94).
Jumat, 29 Oktober 2010
Hukum Mushalla Kantor
مكتبة الفتاوى : فتاوى نور على الدرب (نصية) : الصلاة
السؤال: بارك الله فيكم نعود إلى رسالة المستمع م. أ. أ يقول فضيلة الشيخ مصلى المدرسة هل يأخذ أحكام المساجد
MC program acara Nurun ‘ala al Darbi yang disiarkan oleh radio al Qur’an al Karim KSA mengatakan, Kita kembali ke surat pertanyaan dari pendengar, “Apakah ketentuan-ketentuan masjid itu berlaku untuk musholla sekolah?”
الجواب
الشيخ: مُصلى المدرسة أو المصلى في البيت الذي أعده الإنسان للصلاة فيه لا يأخذ حكم المساجد
Jawaban Ibnu Utsaimin, “Musholla sekolah, demikian pula musholla rumah yang memang dibuat untuk tempat mengerjakan shalat tidaklah berlaku padanya ketentuan yang berlaku untuk masjid.
السؤال: بارك الله فيكم نعود إلى رسالة المستمع م. أ. أ يقول فضيلة الشيخ مصلى المدرسة هل يأخذ أحكام المساجد
MC program acara Nurun ‘ala al Darbi yang disiarkan oleh radio al Qur’an al Karim KSA mengatakan, Kita kembali ke surat pertanyaan dari pendengar, “Apakah ketentuan-ketentuan masjid itu berlaku untuk musholla sekolah?”
الجواب
الشيخ: مُصلى المدرسة أو المصلى في البيت الذي أعده الإنسان للصلاة فيه لا يأخذ حكم المساجد
Jawaban Ibnu Utsaimin, “Musholla sekolah, demikian pula musholla rumah yang memang dibuat untuk tempat mengerjakan shalat tidaklah berlaku padanya ketentuan yang berlaku untuk masjid.
Biografi Ringkas Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
Nasabnya
Beliau adalah Abu Abdillah, Muhammad bin Sholih Al Utsamin, Al Wuhaibi, At Tamimi.
Kelahirannya
Beliau dilahirkan di kota ‘Unaizah pada tanggal 27 Ramadhan tahun 1347 H.
Pertumbuhannya
Beliau belajar al-Qur’an pada kakeknya dari jalur ibunya, Abdurrahman bin Sulaiman Alu Damigh rahimahullah, kemudianmenghafalnya. Setelah itu beliau mulai belajar khat (menulis), ilmu hitung, dan sebagian cabang ilmu sastra.
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di mengangkat dua orang muridnya untuk mengajar penuntut ilmu yunior yaitu syaikh Ali As Shalihi dan syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Muthawi’ rahimahullah. Kepadanya syaikh Utsaimin belajar kitab Mukhtashar al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Abdurrahman As Sa’di, kitab Minhaj as Salikin fil Fiqh karya syaikh Abdurrahman As Sa’di, Kitab Al Ajrumiyah dan al Alfiyah. Beliau belajar faraid (ilmu waris) dan fiqih kepada Syaikh Abdurrahman bin ‘Ali bin ‘Audan.
Beliau adalah Abu Abdillah, Muhammad bin Sholih Al Utsamin, Al Wuhaibi, At Tamimi.
Kelahirannya
Beliau dilahirkan di kota ‘Unaizah pada tanggal 27 Ramadhan tahun 1347 H.
Pertumbuhannya
Beliau belajar al-Qur’an pada kakeknya dari jalur ibunya, Abdurrahman bin Sulaiman Alu Damigh rahimahullah, kemudianmenghafalnya. Setelah itu beliau mulai belajar khat (menulis), ilmu hitung, dan sebagian cabang ilmu sastra.
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di mengangkat dua orang muridnya untuk mengajar penuntut ilmu yunior yaitu syaikh Ali As Shalihi dan syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Muthawi’ rahimahullah. Kepadanya syaikh Utsaimin belajar kitab Mukhtashar al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Abdurrahman As Sa’di, kitab Minhaj as Salikin fil Fiqh karya syaikh Abdurrahman As Sa’di, Kitab Al Ajrumiyah dan al Alfiyah. Beliau belajar faraid (ilmu waris) dan fiqih kepada Syaikh Abdurrahman bin ‘Ali bin ‘Audan.
Kamis, 28 Oktober 2010
Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (2)
Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1)
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Rabu, 27 Oktober 2010
APA ITU WAHABI ?
Bqb!Juv!Xbibcj!@!
!
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP!
!
Diterbitkan Oleh Forum Shilaturahmi Mahasiswa as-Sunnah Surabaya
”Meraih Sepercik Sunnah, Memurnikan Aqidah”
http://assunnahsurabaya.wordpress.com
”E-book ini boleh disebarkan luas untuk kegiatan dakwah dan tidak diperjual belikan”
FSMs-ebook Forum Shilaturahmi Mahasiswa as-Sunnah
!
Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له
ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه
وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً آَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ
الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ آَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ
فَوْزًا عَظِيمًا
فإن أصدقَ الحديث آتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وآلَّ محدثة بدعة
وآلَّ بدعة ضلالة وآلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛
Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.
!
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP!
!
Diterbitkan Oleh Forum Shilaturahmi Mahasiswa as-Sunnah Surabaya
”Meraih Sepercik Sunnah, Memurnikan Aqidah”
http://assunnahsurabaya.wordpress.com
”E-book ini boleh disebarkan luas untuk kegiatan dakwah dan tidak diperjual belikan”
FSMs-ebook Forum Shilaturahmi Mahasiswa as-Sunnah
!
Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له
ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه
وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً آَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ
الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ آَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ
فَوْزًا عَظِيمًا
فإن أصدقَ الحديث آتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وآلَّ محدثة بدعة
وآلَّ بدعة ضلالة وآلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛
Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.
Beberapa Kesalahan Saat Melaksanakan Ibadah Haji
Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro
Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji wada':
خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini". [HR Ahmad].
Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah".
Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro
Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji wada':
خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini". [HR Ahmad].
Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah".
Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.
Hukum Bom Bunuh Diri
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh rahimahullah berkata tatkala menerangkan hadist tentang kisah "Ashabul Ukhdud" (orang-orang yang membuat parit), ketika menyebutkan faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, 'bahwasanya seseorang dibenaran mengorbankan dirinya untuk kepentingan otang banyak, karena pemuda ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda itu" [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : 'Karena hal ini merupakan jihad fi sabilillah, yang menyebabkan orang banyak beriman, sedangkan pemuda tadi tidak rugi karena ia telah mati, dan memang ia akan mati cepat atau lambat"
Adapun perbuatan sebagian orang yang mengorbankan diri, dengan jalan membawa bom kemudian ia datang kepada kaum kuffar lalu meledakkannya merupakan bentuk bunuh diri –semoga Allah melindungi kita-. Barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka ia kekal di Neraka Jahannam selamanya seperti telah disinyalir oleh sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [2], karena orang tersebut melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan agama Islam. Sebab jika ia membunuh dirinya serta membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang, hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi Islam dan tidak ada orang yang mau masuk Islam, berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan boleh jadi hal ini akan memunculkan kemarahan di hati para musuh sehingga mereka membinasakan kaum muslimin dengan sekuat tenaga.
Contohnya apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Jika di antara penduduk Palestina satu orang yang mengorbankan diri dan ia bisa membunuh enam, atau tujuh orang, maka orang-orang Yahudi akan membalasnya dengan memakan korban enam puluh orang atau lebih. Hal tersebut tidaklah memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak pula orang yang melakukannya.
Oleh sebab itu, kami berpandangan bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengorbankan dirinya termasuk perbuatan bunuh diri yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka –semoga Allah melindungi kita-. Pelakunya pun tidak dikatagorikan sebagai syahid. Akan tetapi jika pelakunya beranggapan bahwasanya hal itu dbenarkan, maka kami berharap mudah-mudahan ia terbebas dari dosa, tetapi tetap saja tidak dikatagorikan sebagai syahid, karena ia tidak menempuh jalan orang yang syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad lalu ia salah maka baginya satu pahala [3].
Pertanyaan.
Bagaimana dengan hukuman syar'i terhadap orang yang membawa bom di tubuhnya kemudian meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang-orang kafir dengan maksud untuk menghancurkan mereka ? Apakah bisa dibenarkan beralasan dengan kisah pemuda yang memerintahkan raja untuk membunuh dirinya ?
Jawaban.
Orang yang meletakkan bom di badannya lalu meledakkan dirinya di kerumunan musuh merupakan suatu bentuk bunuh diri dan ia akan disiksa di Neraka Jahannam selamanya, disebabkan perbuatan tersebut, sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang yang membunuh dirinya dengan sesuatu ia akan disiksa karenanya di Neraka Jahannam.
Sungguh aneh orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sedangkan mereka membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu membunuh diri ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu" [An-Nisa' : 29]
Akan tetapi mereka tetap saja melakukannya, apakah mereka mendapatkan sesuatu ? Apakah musuh telah kalah ? Ataukah sebaliknya, mereka semakin keras terhadap orang-orang yang melakukan pebuatan ini, seperti yang sedang terjadi di negeri Yahudi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadikan mereka semakin sombong bahkan kami menemukan data bahwasanya Negara Yahudi pada pertemuan terakhir golongan kanan menang yaitu mereka yang ingin menguasai bangsa arab.
Akan tetapi orang yang berbuat seperti ini yang beranggapan bahwa ini adalah perngorbanan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala kami mohon kepada Allah agar ia tidak disiksa karena telah menakwilkan dengan takwil yang salah.
Adapun beralasan dengan kisah pemuda tadi, maka perbuatan pemuda tersebut menjadikan orang masuk Islam bukannya menghancurkan musuh. Oleh karena itu, ketika raja mengumpulkan orang banyak lalu ia mengambil anak panah dari tempat pemuda itu seraya berkata : Dengan nama Allah tuhan pemuda ini, orang-orang pun berteriak : Tuhan adalah Tuhannya pemuda ini, sehingga menghasilkan ke-Islaman orang banyak. Apabila terjadi seperti kisah pemuda ini maka bolehlah beralasan dengan kisah tersebut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada kita agar diambil sebagai pelajaran. Akan tetapi orang-orang yang beranggapan bahwasanya boleh membunuh diri mereka jika mampu membunuh sepuluh atau seratus dari pihak musuh, hal itu hanyalah menimbulkan kemarahan dalam diri musuh serta mereka semakin berpegang dengan keyakinan mereka.
[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]
_________
Foote Note
[1] Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Muslim di kitab Az-Zuhud wa Ar-Raqaiq, bab : Kisah Ashabul Ukhdud' hadits no. 3005
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thib bab : Larangan minum racun dan berobat dengannya serta perkara-perkara yang dikhawaatirkan timbul darinya, hadits no. 5778
[3] Syarah Riyadush Shalihin 1/165-166
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh rahimahullah berkata tatkala menerangkan hadist tentang kisah "Ashabul Ukhdud" (orang-orang yang membuat parit), ketika menyebutkan faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, 'bahwasanya seseorang dibenaran mengorbankan dirinya untuk kepentingan otang banyak, karena pemuda ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda itu" [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : 'Karena hal ini merupakan jihad fi sabilillah, yang menyebabkan orang banyak beriman, sedangkan pemuda tadi tidak rugi karena ia telah mati, dan memang ia akan mati cepat atau lambat"
Adapun perbuatan sebagian orang yang mengorbankan diri, dengan jalan membawa bom kemudian ia datang kepada kaum kuffar lalu meledakkannya merupakan bentuk bunuh diri –semoga Allah melindungi kita-. Barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka ia kekal di Neraka Jahannam selamanya seperti telah disinyalir oleh sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [2], karena orang tersebut melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan agama Islam. Sebab jika ia membunuh dirinya serta membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang, hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi Islam dan tidak ada orang yang mau masuk Islam, berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan boleh jadi hal ini akan memunculkan kemarahan di hati para musuh sehingga mereka membinasakan kaum muslimin dengan sekuat tenaga.
Contohnya apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Jika di antara penduduk Palestina satu orang yang mengorbankan diri dan ia bisa membunuh enam, atau tujuh orang, maka orang-orang Yahudi akan membalasnya dengan memakan korban enam puluh orang atau lebih. Hal tersebut tidaklah memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak pula orang yang melakukannya.
Oleh sebab itu, kami berpandangan bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengorbankan dirinya termasuk perbuatan bunuh diri yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka –semoga Allah melindungi kita-. Pelakunya pun tidak dikatagorikan sebagai syahid. Akan tetapi jika pelakunya beranggapan bahwasanya hal itu dbenarkan, maka kami berharap mudah-mudahan ia terbebas dari dosa, tetapi tetap saja tidak dikatagorikan sebagai syahid, karena ia tidak menempuh jalan orang yang syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad lalu ia salah maka baginya satu pahala [3].
Pertanyaan.
Bagaimana dengan hukuman syar'i terhadap orang yang membawa bom di tubuhnya kemudian meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang-orang kafir dengan maksud untuk menghancurkan mereka ? Apakah bisa dibenarkan beralasan dengan kisah pemuda yang memerintahkan raja untuk membunuh dirinya ?
Jawaban.
Orang yang meletakkan bom di badannya lalu meledakkan dirinya di kerumunan musuh merupakan suatu bentuk bunuh diri dan ia akan disiksa di Neraka Jahannam selamanya, disebabkan perbuatan tersebut, sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang yang membunuh dirinya dengan sesuatu ia akan disiksa karenanya di Neraka Jahannam.
Sungguh aneh orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sedangkan mereka membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu membunuh diri ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu" [An-Nisa' : 29]
Akan tetapi mereka tetap saja melakukannya, apakah mereka mendapatkan sesuatu ? Apakah musuh telah kalah ? Ataukah sebaliknya, mereka semakin keras terhadap orang-orang yang melakukan pebuatan ini, seperti yang sedang terjadi di negeri Yahudi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadikan mereka semakin sombong bahkan kami menemukan data bahwasanya Negara Yahudi pada pertemuan terakhir golongan kanan menang yaitu mereka yang ingin menguasai bangsa arab.
Akan tetapi orang yang berbuat seperti ini yang beranggapan bahwa ini adalah perngorbanan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala kami mohon kepada Allah agar ia tidak disiksa karena telah menakwilkan dengan takwil yang salah.
Adapun beralasan dengan kisah pemuda tadi, maka perbuatan pemuda tersebut menjadikan orang masuk Islam bukannya menghancurkan musuh. Oleh karena itu, ketika raja mengumpulkan orang banyak lalu ia mengambil anak panah dari tempat pemuda itu seraya berkata : Dengan nama Allah tuhan pemuda ini, orang-orang pun berteriak : Tuhan adalah Tuhannya pemuda ini, sehingga menghasilkan ke-Islaman orang banyak. Apabila terjadi seperti kisah pemuda ini maka bolehlah beralasan dengan kisah tersebut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada kita agar diambil sebagai pelajaran. Akan tetapi orang-orang yang beranggapan bahwasanya boleh membunuh diri mereka jika mampu membunuh sepuluh atau seratus dari pihak musuh, hal itu hanyalah menimbulkan kemarahan dalam diri musuh serta mereka semakin berpegang dengan keyakinan mereka.
[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]
_________
Foote Note
[1] Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Muslim di kitab Az-Zuhud wa Ar-Raqaiq, bab : Kisah Ashabul Ukhdud' hadits no. 3005
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thib bab : Larangan minum racun dan berobat dengannya serta perkara-perkara yang dikhawaatirkan timbul darinya, hadits no. 5778
[3] Syarah Riyadush Shalihin 1/165-166
Selasa, 26 Oktober 2010
DOA BERSAMA SETELAH SHALAT
Oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Tanya: Saya menyaksikan sebagian orang-orang yang shalat berjamaah seusai mereka shalat, mereka berdoa dengan bersama-sama, setiap kali mereka selesai shalat, apa hal ini dibolehkan? Berilah kami fatwa semoga Anda mendapat balasan di sisi-Nya.
Jawab: Berdoa setelah shalat, tidak mengapa. Akan tetapi setiap orang berdoa sendiri-sendiri. Berdoa untuk dirinya dan saudaranya sesama ummat Islam. Berdoa untuk kebaikan agama dan dunianya, sendiri-sendiri bukan bersama-sama.
Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid’ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid’ah.
Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah.
Sumber :
Majmu' Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680)
Tanya: Saya menyaksikan sebagian orang-orang yang shalat berjamaah seusai mereka shalat, mereka berdoa dengan bersama-sama, setiap kali mereka selesai shalat, apa hal ini dibolehkan? Berilah kami fatwa semoga Anda mendapat balasan di sisi-Nya.
Jawab: Berdoa setelah shalat, tidak mengapa. Akan tetapi setiap orang berdoa sendiri-sendiri. Berdoa untuk dirinya dan saudaranya sesama ummat Islam. Berdoa untuk kebaikan agama dan dunianya, sendiri-sendiri bukan bersama-sama.
Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid’ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid’ah.
Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah.
Sumber :
Majmu' Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680)
Tasawuf dan Wali
Buletin Islam AL ILMU Jember Edisi :51 /IV/II/ 1426
Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah. Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin. Sehingga dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki ciri-ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
WALI MENURUT AL QUR’AN DAN AS SUNNAH
Adalah perkara yang lumrah bila kita mendengar kata-kata wali Allah. Di sisi lain, terkadang menjadi suatu yang asing bila disebut kata wali setan. Itulah yang sering kita jumpai di antara kaum muslimin. Bahkan sering menjadi sesuatu yang aneh bagi mereka kalau mendengar kata wali setan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Allah dan lawannya, wali setan. Padahal Allah telah menetapkan bahwa wali itu ada dua jenis yaitu:
* wali Allah
* wali setan
Allah berfirman (artinya): “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (Yunus:62-63)
Dia berfirman tentang wali setan (artinya): “Sesungguhnya Mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran:175)
Dari kedua ayat ini jelaslah bahwa wali Allah itu adalah siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Sedangkan wali setan itu adalah lawan dari mereka.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Wali-wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah tentang mereka, sehingga setiap orang yang bertakwa adalah wali-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/422). Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Wali Allah adalah orang yang berilmu tentang Allah dan dia terus-menerus diatas ketaatan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.” (Fathul Bari 11/ 342).
Didalam ayat yang lainnya Allah menyatakan bahwa wali Allah itu tidak mesti ma’shum (terpelihara dari kesalahan). Dia berfirman (artinya): “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, maka mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki disisi Rabb mereka. Itulah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan mengampuni bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan kemudian membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar: 33-35)
KARAMAH MENURUT AL QUR’AN DAN AS SUNNAH
Demikian juga halnya, Allah dan Rasul-Nya menerangkan bahwa karamah itu memang ada pada sebagian manusia yang bertakwa, baik dimasa dahulu maupun dimasa yang akan datang sampai hari kiamat. Diantaranya apa yang Allah kisahkan tentang Maryam didalam surat Ali Imran: 37 ataupun Ashhabul Kahfi dalam surat Al Kahfi dan kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman (H.R. Al Bukhari no. 7132 dan Muslim no. 2938). Selain itu, kenyataan yang kita lihat ataupun dengar dari berita yang mutawaatir bahwa karamah itu memang terjadi di jaman kita ini.
Adapun definisi karamah itu sendiri adalah: kejadian diluar kebiasaan yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
APAKAH WALI ALLAH ITU MEMILIKI ATRIBUT-ATRIBUT TERTENTU?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang hukumnya mubah seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad, pedagang, pengrajin atau para petani. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/194)
APAKAH WALI ALLAH ITU HARUS MEMILIKI KARAMAH? LEBIH UTAMA MANAKAH ANTARA WALI YANG MEMILIKINYA DENGAN YANG TIDAK?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para tabi’in itu lebih banyak daripada di kalangan para sahabat, padahal para sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para tabi’in. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/283)
APAKAH SETIAP YANG DILUAR KEBIASAAN DINAMAKAN DENGAN ‘KARAMAH’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang diluar kebiasaan itu ada tiga macam:
* Mu’jizat yang terjadi pada para rasul dan nabi
* Karamah yang terjadi pada para wali Allah
* Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan
(Disarikan dari At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).
Sedangkan untuk mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali) tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah .” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193)
WALI DAN KARAMAH MENURUT KAUM SUFI
Pandangan kaum Sufi tentang wali dan karamah sangatlah rancu, bahkan menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Diantara pandangan mereka adalah sebagai berikut:
1. Wali Adalah Gambaran Tentang Sosok Yang Telah Menyatu Dan Melebur Diri Dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Manuufi (dedengkot Sufi) dalam kitabnya Jamharatul ‘Auliya’ 1/98-99 (lihat Firaq Mu’ashirah 2/ 699)
2. Gelar wali merupakan pemberian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bisa diraih tanpa melakukan amalan (sebab), dan bisa diraih oleh seorang yang baik atau pelaku kemaksiatan sekalipun. (Lihat Firaq Mu’ashirah 2/701)
3. Wali Memiliki Kekhususan Melebihi Kekhususan Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam.
Diantara kekhususan tersebut adalah:
a. Mengetahui apa yang ada di hati manusia sebagaimana ucapan An-Nabhani tentang Muhammad Saifuddin Al Farutsi An Naqsyabandi.
b. Mampu menolak malaikat maut yang hendak mencabut nyawa atau mengembalikan nyawa seseorang. Hal ini diterangkan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
c. Mampu berjalan di atas air dan terbang di udara. An Nabhani menceritakan hal itu tentang diri Muhammad As Sarwi yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamaa’il.
d. Dapat menunaikan shalat lima waktu di Makkah padahal mereka ada di negeri yang sangat jauh. An Nabhani membela perbuatan wali-wali mereka tersebut.
e. Memiliki kesanggupan untuk memberi janin pada seorang ibu walaupun tidak ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sekali lagi kedustaan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
(Dinukil dari buku-buku kaum Sufi melalui kitab Khashaa’ishul Mushthafa hal. 280-293).
Dan masih ada lagi keanehan-keanehan yang ada pada tokoh-tokoh atau wali-wali mereka. Subhanallah, semua itu adalah kedustaan yang nyata!! Sebelumnya Ibnu Arabi menyatakan kalau kedudukan wali itu lebih tinggi dari pada nabi. Didalam sebuah syairnya dia mengatakan:
Kedudukan puncak kenabian berada pada suatu tingkatan Sedikit dibawah wali dan diatas rasul
(Lathaa’iful Asraar hal.49)
Demikian juga Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kami telah mendalami suatu lautan, yang para nabi hanya mampu di tepi-tepinya saja.” (Firaq Mu’ashirah 2/698)
4. Seorang Wali Tidak Terikat Dengan Syariat IslamAsy Sya’rani menyatakan bahwa Ad Dabbagh pernah berkata: “Pada salah satu tingkatan kewalian dapat dibayangkan seorang wali duduk bersama orang-orang yang sedang minum khamr (minuman keras), dan dia ikut juga minum bersama mereka. Orang-orang pasti menyangka ia seorang peminum khamr, namun sebenarnya ruhnya telah berubah bentuk dan menjelma seperti yang terlihat tersebut. (Ath Thabaqaatul Kubra 2/41)
5. Seorang Wali Harus Ma’shum (Terjaga Dari Dosa)
Ibnu Arabi berkata: “Salah satu syarat menjadi imam kebatinan adalah harus ma’shum. Adapun imam dhahir (syariat-pen) tidak bisa mencapai derajat kema’shuman.” (Al Futuuhaat Al Makkiyah 3/183)
6. Seorang Wali Harus Ditaati Secara Mutlak
Al Ghazali berkata: “Apapun yang telah diinstruksikan syaikhnya dalam proses belajar mengajar maka hendaklah dia mengikutinya dan membuang pendapat pribadinya. Karena, kesalahan syaikhnya itu lebih baik daripada kebenaran yang ada pada dirinya.” (Ihya’ Ulumuddin 1/50)
7. Perbuatan Maksiat Seorang Wali Dianggap Sebagai Karamah
Dalam menceritakan karamah Ali Wahisyi, Asy Sya’rany berkata: “Syaikh kami itu, bila sedang mengunjungi kami, dia tinggal di rumah seorang wanita tuna susila/pelacur.” (Ath Thabaqaatul Kubra 2/135)
8. Karamah Menjadikan Seorang Wali Memiliki Kema’shuman
Al Qusyairi berkata: “Salah satu fungsi karamah yang dimiliki oleh para wali agar selalu mendapat taufiq untuk berbuat taat dan ma’shum dari maksiat dan penyelisihan syari’at.” (Ar Risalah Al Qusyairiyah hal.150)
Para pembaca, dari bahasan diatas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwasanya pengertian wali menurut kaum sufi sangatlah rancu dan menyimpang, karena dengan pengertian sufi tersebut siapa saja bisa menjadi wali, walaupun ia pelaku kesyirikan, bid’ah atau kemaksiatan. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah dan fitrah yang suci. Wallahu a’lam bishshawaab.
HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG TERSEBAR DIKALANGAN UMAT
Hadits Ubadah bin Shamit :
الأَبْدَالُ في هَذِهِ الأُمَّةِ ثَلاَثُوْنَ …
“Wali Al Abdaal di umat ini ada 30 orang…”
Keterangan:
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah banyak membawakan hadits tentang wali Al Abdaal didalam Silsilah Adh Dha’ifah hadits no. 936, 1392, 1474, 1475, 1476, 1477, 1478, 1479, 2993, 4341, 4779 dan 5248.
Beliau mengatakan bahwa seluruh hadits tentang wali Al Abdaal adalah lemah, tidak ada satupun yang shahrbitkan Entri
Senin, 25 Oktober 2010
Masa [Waktu] Semakin Singkat [Menyempit]
Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil
MUKADIMAH
Artikel ini diambil dari sebagian kecil Tanda-Tanda Kiamat Shugro, yang dimaksud dengan tanda-tanda kiamat shugro (kecil) ialah tanda-tandanya yang kecil, bukan kiamatnya. Tanda-tanda ini terjadi mendahului hari kiamat dalam masa yang cukup panjang dan merupakan berbagai kejadian yang biasa terjadi. Seperti, terangkatnya ilmu, munculnya kebodohan, merajalelanya minuman keras, perzinaan, riba dan sejenisnya.
Dan yang penting lagi, bahwa pembahasan ini merupakan dakwah kepada iman kepada Allah Ta'ala dan Hari Akhir, dan membenarkan apa yang disampaiakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, disamping itu juga merupakan seruan untuk bersiap-siap mencari bekal setelah mati nanti karena kiamat itu telah dekat dan telah banyak tanda-tandanya yang nampak.
________________________________
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidak akan datang kiamat sehingga .... zaman semakin berdekatan (terasa singkat)". [Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Fitan 13:81-82].
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah pula, katanya : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidak akan datang kiamat sehingga waktu semakin berdekatan (semakin singkat), setahun seperti sebulan, sebulan seperti sejum'at, sejum'at seperti sehari, sehari seperti sejam, dan sejam terasa hanya sekejap". [Musnad Ahmad 2 : 537-538 dengan catatan pinggir Muntakhab Al-Kanz. Dan diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dari Anas : Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami'ay Tirmidzi, Awab Zuhud, Bab Maa Ja-a fi Taqoorubis Zaman wa Qashril Amal 6:624-625. Ibnu Katsir berkata, "Isnadnya menurut syarat Muslim" : An-Nihayah fil Fitan wal Malahim 1:181 dengan tahqiq Dr Thaha Zaini]
Mengenai berdekatnya zaman ini terdapat bermacam-macam pendapat ulama, antara lain :
[1]. Bahwa yang dimaksud dengan berdekatnya zaman ialah sedikitnya barakah pada zaman (kesempatan) itu. (Periksa : Ma'alimus sunan dengan catatan pinggir Mukhtashar Sunan Abu Daud oleh Al-Mundziri 6:141-142 ; Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir 10: 409; Fathul Bari 13:16). Ibnu Hajar berkata, "Hal ini telah kita jumpai pada masa sebelumnya".[Fathul Bari 31:16].
[2]. Bahwa yang dimaksud ialah zaman Al-Mahdi dan Isa 'Alaihissalam yang pada waktu itu manusia merasakan kelezatan hidup, kemanan yang merata, dan keadilan yang menyeluruh. Karena manusia itu bila hidup dalam kesenangan, mereka merasa hanya sebentar, walaupun sebenarnya waktunya sudah lama. Dan sebaliknya mereka merasakan penderitaan dan kesengsaraan itu lama sekali walaupun sebenarnya saat pendrritaan dan kesengsaraan itu hanya sebentar. [Fathul Bari 13:16].
[3]. Bahwa yang dimaksud ialah berdekatan atau hampir mirip kondisi masyarakat pada waktu itu karena sedikitnya kepeduliaan mereka terhadap Ad-Din. Sehingga, sudah tidak ada lagi orang yang menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar karena telah merajalelanya kefasikan dan eksisnya ahli kefasikan. Hal ini terjadi ketika manusia sudah tidak mau menuntut ilmu tentang Ad-Din (agama) dan ridha dengan kejahilan terhadap Ad-Din itu. Sebab, keadaan sebagaimana dalam berilmu itu bertingkat-tingkat, tidak sama, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Dan di atas semua yang punya ilmu itu ada lagi Yang Maha Mengetahui". [Yusuf : 76].
Sedang tingkat manusia dalam kejahilan itu setara. Yakni bila semua mereka itu bodoh maka peringkat mereka sama saja.
[4]. Bahwa yang dimaksud ialah hubungan antar manusia pada zaman itu terasa begitu dekat karena canggihnya alat-alat transportasi, baik lewat darat, udara (maupun laut) yang demikian cepat sehingga jarak yang jauh terasa begitu dekat. [Itihaful Jama'ah 1:497 ; dan Al-'Aqaid Al-Islamiyah oleh Sayid Sabiq : 247].
[5]. Bahwa yang dimaksud ialah jarak waktu semakin pendek dan berlalu dengan cepat secara hakiki. Ini terjadi pada akhir zaman, dan hal ini belum terjadi hingga sekarang. Persepsi ini diperkuat dengan alasan bahwa hari-hari Dajjal (pada zaman Dajjal) menjadi panjang sehingga sehari itu seperti setahun, seperti sebulan, dan seperti sejum'at lamanya. Bila saja hari-hari itu dapat berubah menjadi panjang maka ia juga dapat berubah menjadi pendek. Hal ini terjadi ketika aturan alam sudah rusak dan dunia telah mendekati masa kehancurannya. [Mukhtashar Sunan Abu Daud 6:142 dan Jami'ul Ushul 10:409 dengan tahqiq Abdul Qadir Al-Arnauth]
Imam Abu Hamzah[1] berkata : "Boleh jadi yang dimaksud dengan berdekatannya zaman ialah jangka waktu itu menjadi pendek sebagaimana disebutkan dalam hadits :"Tidak akan datang hari kiamat sehingga masa setahun itu seperti sebulan". Dengan demikian, perpendekan waktu itu boleh jadi bersifat hissiyah (inderawi) dan boleh jadi bersifat maknawi (non inderawi). Yang bersifat hissi (inderawi) hingga sekarang belum nampak, mungkin baru akan terjadi ketika kiamat sudah dekat.
Adapun yang bersifat maknawi sudah terjadi, dan hal ini dapat dirasakan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan agama dan yang memiliki perhatian dan kejelian terhadap urusan duniawi. Hal ini dapat dijumpai ketika mereka tidak lagi dapat menyelesaikan tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dapat mereka selesaikan dengan porsi waktu yang sama. Mereka mengeluh hal itu, tetapi tidak mereka ketahui sebabnya. Hal ini boleh jadi disebabkan lemahnya keimanan karena banyaknyan perkara dan praktik hidup yang bertentangan dengan syara' dalam pelbagai aspek. Dan lebih parah lagi dalam masalah makanan, di antaranya ada yang haram melulu dan ada pula yang syubhat. Juga banyak pula orang yang tidak memperdulikan cara mencari harta apakah dengan jalan halal atau dengan jalan haram, yang penting mendapatkan hasil yang banyak.
Pada kenyataannya, barakah pada waktu (masa), rizki, dan tanaman itu hanya diperoleh dengan iman yang kuat, mengikuti perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya.
Allah berfirman.
"Artinya : Kalau penduduk suatu negeri benar-benar beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan bagi mereka barakah-barakah dari langit dan dari bumi". [Al-A'raf : 96].
[Disalin dari Buku Asyratus Sa'ah Fasal Tanda-Tanda Kiamat Kecil oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA, edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat terbitan Pustaka Mantiq hal. 119-121 penerjemah Drs As'ad Yasin dan Zaini Munir Fadholi]
_________
Foote Note.
[1] Beliau adalah Al-'Allamah Abu Muhammad Abdullah bin Sa'ad bin Sa'id bin Abi Hamzah Al-Azdi Al-Andalusi Al-Maliki, seorang ulama hadits. Beliau memiliki banyak karangan, antara lain : "Jam'un Nihayah" yang merupakan Mukhtashar Shahih Bukhari, dan kitab "Al-Mara-i Al-Hisan" Tentang hadits dan ru'ya. Ibnu Katsir berkata, "Beliau adalah Imam yang alim dan ahli ibadah..., suka menyampaikan kebenaran, menyuruh yang ma'ruf, dan mencegah yang mungkar. Beliau wafat di Mesir pada tahun 695H. Semoga Allah merahmati beliau. Al-Bidayah wan Nihayah 13:346, dan Al-A'lam 4:89
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil
MUKADIMAH
Artikel ini diambil dari sebagian kecil Tanda-Tanda Kiamat Shugro, yang dimaksud dengan tanda-tanda kiamat shugro (kecil) ialah tanda-tandanya yang kecil, bukan kiamatnya. Tanda-tanda ini terjadi mendahului hari kiamat dalam masa yang cukup panjang dan merupakan berbagai kejadian yang biasa terjadi. Seperti, terangkatnya ilmu, munculnya kebodohan, merajalelanya minuman keras, perzinaan, riba dan sejenisnya.
Dan yang penting lagi, bahwa pembahasan ini merupakan dakwah kepada iman kepada Allah Ta'ala dan Hari Akhir, dan membenarkan apa yang disampaiakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, disamping itu juga merupakan seruan untuk bersiap-siap mencari bekal setelah mati nanti karena kiamat itu telah dekat dan telah banyak tanda-tandanya yang nampak.
________________________________
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidak akan datang kiamat sehingga .... zaman semakin berdekatan (terasa singkat)". [Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Fitan 13:81-82].
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah pula, katanya : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidak akan datang kiamat sehingga waktu semakin berdekatan (semakin singkat), setahun seperti sebulan, sebulan seperti sejum'at, sejum'at seperti sehari, sehari seperti sejam, dan sejam terasa hanya sekejap". [Musnad Ahmad 2 : 537-538 dengan catatan pinggir Muntakhab Al-Kanz. Dan diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dari Anas : Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami'ay Tirmidzi, Awab Zuhud, Bab Maa Ja-a fi Taqoorubis Zaman wa Qashril Amal 6:624-625. Ibnu Katsir berkata, "Isnadnya menurut syarat Muslim" : An-Nihayah fil Fitan wal Malahim 1:181 dengan tahqiq Dr Thaha Zaini]
Mengenai berdekatnya zaman ini terdapat bermacam-macam pendapat ulama, antara lain :
[1]. Bahwa yang dimaksud dengan berdekatnya zaman ialah sedikitnya barakah pada zaman (kesempatan) itu. (Periksa : Ma'alimus sunan dengan catatan pinggir Mukhtashar Sunan Abu Daud oleh Al-Mundziri 6:141-142 ; Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir 10: 409; Fathul Bari 13:16). Ibnu Hajar berkata, "Hal ini telah kita jumpai pada masa sebelumnya".[Fathul Bari 31:16].
[2]. Bahwa yang dimaksud ialah zaman Al-Mahdi dan Isa 'Alaihissalam yang pada waktu itu manusia merasakan kelezatan hidup, kemanan yang merata, dan keadilan yang menyeluruh. Karena manusia itu bila hidup dalam kesenangan, mereka merasa hanya sebentar, walaupun sebenarnya waktunya sudah lama. Dan sebaliknya mereka merasakan penderitaan dan kesengsaraan itu lama sekali walaupun sebenarnya saat pendrritaan dan kesengsaraan itu hanya sebentar. [Fathul Bari 13:16].
[3]. Bahwa yang dimaksud ialah berdekatan atau hampir mirip kondisi masyarakat pada waktu itu karena sedikitnya kepeduliaan mereka terhadap Ad-Din. Sehingga, sudah tidak ada lagi orang yang menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar karena telah merajalelanya kefasikan dan eksisnya ahli kefasikan. Hal ini terjadi ketika manusia sudah tidak mau menuntut ilmu tentang Ad-Din (agama) dan ridha dengan kejahilan terhadap Ad-Din itu. Sebab, keadaan sebagaimana dalam berilmu itu bertingkat-tingkat, tidak sama, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Dan di atas semua yang punya ilmu itu ada lagi Yang Maha Mengetahui". [Yusuf : 76].
Sedang tingkat manusia dalam kejahilan itu setara. Yakni bila semua mereka itu bodoh maka peringkat mereka sama saja.
[4]. Bahwa yang dimaksud ialah hubungan antar manusia pada zaman itu terasa begitu dekat karena canggihnya alat-alat transportasi, baik lewat darat, udara (maupun laut) yang demikian cepat sehingga jarak yang jauh terasa begitu dekat. [Itihaful Jama'ah 1:497 ; dan Al-'Aqaid Al-Islamiyah oleh Sayid Sabiq : 247].
[5]. Bahwa yang dimaksud ialah jarak waktu semakin pendek dan berlalu dengan cepat secara hakiki. Ini terjadi pada akhir zaman, dan hal ini belum terjadi hingga sekarang. Persepsi ini diperkuat dengan alasan bahwa hari-hari Dajjal (pada zaman Dajjal) menjadi panjang sehingga sehari itu seperti setahun, seperti sebulan, dan seperti sejum'at lamanya. Bila saja hari-hari itu dapat berubah menjadi panjang maka ia juga dapat berubah menjadi pendek. Hal ini terjadi ketika aturan alam sudah rusak dan dunia telah mendekati masa kehancurannya. [Mukhtashar Sunan Abu Daud 6:142 dan Jami'ul Ushul 10:409 dengan tahqiq Abdul Qadir Al-Arnauth]
Imam Abu Hamzah[1] berkata : "Boleh jadi yang dimaksud dengan berdekatannya zaman ialah jangka waktu itu menjadi pendek sebagaimana disebutkan dalam hadits :"Tidak akan datang hari kiamat sehingga masa setahun itu seperti sebulan". Dengan demikian, perpendekan waktu itu boleh jadi bersifat hissiyah (inderawi) dan boleh jadi bersifat maknawi (non inderawi). Yang bersifat hissi (inderawi) hingga sekarang belum nampak, mungkin baru akan terjadi ketika kiamat sudah dekat.
Adapun yang bersifat maknawi sudah terjadi, dan hal ini dapat dirasakan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan agama dan yang memiliki perhatian dan kejelian terhadap urusan duniawi. Hal ini dapat dijumpai ketika mereka tidak lagi dapat menyelesaikan tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dapat mereka selesaikan dengan porsi waktu yang sama. Mereka mengeluh hal itu, tetapi tidak mereka ketahui sebabnya. Hal ini boleh jadi disebabkan lemahnya keimanan karena banyaknyan perkara dan praktik hidup yang bertentangan dengan syara' dalam pelbagai aspek. Dan lebih parah lagi dalam masalah makanan, di antaranya ada yang haram melulu dan ada pula yang syubhat. Juga banyak pula orang yang tidak memperdulikan cara mencari harta apakah dengan jalan halal atau dengan jalan haram, yang penting mendapatkan hasil yang banyak.
Pada kenyataannya, barakah pada waktu (masa), rizki, dan tanaman itu hanya diperoleh dengan iman yang kuat, mengikuti perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya.
Allah berfirman.
"Artinya : Kalau penduduk suatu negeri benar-benar beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan bagi mereka barakah-barakah dari langit dan dari bumi". [Al-A'raf : 96].
[Disalin dari Buku Asyratus Sa'ah Fasal Tanda-Tanda Kiamat Kecil oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA, edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat terbitan Pustaka Mantiq hal. 119-121 penerjemah Drs As'ad Yasin dan Zaini Munir Fadholi]
_________
Foote Note.
[1] Beliau adalah Al-'Allamah Abu Muhammad Abdullah bin Sa'ad bin Sa'id bin Abi Hamzah Al-Azdi Al-Andalusi Al-Maliki, seorang ulama hadits. Beliau memiliki banyak karangan, antara lain : "Jam'un Nihayah" yang merupakan Mukhtashar Shahih Bukhari, dan kitab "Al-Mara-i Al-Hisan" Tentang hadits dan ru'ya. Ibnu Katsir berkata, "Beliau adalah Imam yang alim dan ahli ibadah..., suka menyampaikan kebenaran, menyuruh yang ma'ruf, dan mencegah yang mungkar. Beliau wafat di Mesir pada tahun 695H. Semoga Allah merahmati beliau. Al-Bidayah wan Nihayah 13:346, dan Al-A'lam 4:89
Sabtu, 23 Oktober 2010
Hukum Memalsukan Ijazah Demi Suatu Pekerjaan
(Tanya-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII)
Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullâh pernah ditanya:
Jika ada seseorang yang mau mendapatkan suatu pekerjaan, dia (yakin) mampu dalam pekerjaan tersebut serta lolos dalam seleksi, akan tetapi dia tidak memiliki ijazah untuk mendaftar (pekerjaan tersebut-pent)? Apakah dia boleh memalsukan ijazahnya ? Dan apabila dia berhasil, bolehkah dia menerima gajinya atau tidak ?
Beliau rahimahullâh menjawab :
Yang saya ketahui menurut hukum syariat mulia ini juga dari tujuan-tujuannya yang luhur, perbuatan itu tidak boleh dilakukan. Karena orang itu memperoleh pekerjaannya dengan cara dusta dan penipuan. Perbuatan ini termasuk perbuatan haram lagi mungkar, bisa membuka peluang keburukan serta peluang melakukan kecurangan. Tidak diragukan lagi, orang yang bertanggung-jawab dalam masalah penerimaan pegawai (yaitu bagian personalia-red) berkewajiban memilih orang-orang yang layak dan amanah semampunya.
Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullâh pernah ditanya:
Jika ada seseorang yang mau mendapatkan suatu pekerjaan, dia (yakin) mampu dalam pekerjaan tersebut serta lolos dalam seleksi, akan tetapi dia tidak memiliki ijazah untuk mendaftar (pekerjaan tersebut-pent)? Apakah dia boleh memalsukan ijazahnya ? Dan apabila dia berhasil, bolehkah dia menerima gajinya atau tidak ?
Beliau rahimahullâh menjawab :
Yang saya ketahui menurut hukum syariat mulia ini juga dari tujuan-tujuannya yang luhur, perbuatan itu tidak boleh dilakukan. Karena orang itu memperoleh pekerjaannya dengan cara dusta dan penipuan. Perbuatan ini termasuk perbuatan haram lagi mungkar, bisa membuka peluang keburukan serta peluang melakukan kecurangan. Tidak diragukan lagi, orang yang bertanggung-jawab dalam masalah penerimaan pegawai (yaitu bagian personalia-red) berkewajiban memilih orang-orang yang layak dan amanah semampunya.
Jumat, 22 Oktober 2010
Sekali lagi, AMROZI CS., MATI SYAHIDKAH? (Fatwa Syaikh Ubaid Al-Jabiri )
Fatwa Alim Besar Kota Madinah, Syaikh ‘Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri –semoga Allah menjaga beliau-
SOAL:
Syaikh yang mulia, beberapa hari yang lalu telah dijalankan hukuman eksekusi terhadap orang-orang yang melakukan peledakan di kota Bali, Indonesia, enam tahun silam. Telah terjadi fitnah setelahnya terhadap banyak manusia, dimana penguburan jenazah mereka dihadiri oleh sejumlah manusia yang sangat banyak. Mereka juga memastikan pelbagai kabar gembira tentang jenazah yang telah dieksekusi tersebut berupa, senyuman di wajah mereka setelah eksekusi, wewangian harum yang tercium dari jenazah mereka, dan selainnya. Mereka mengatakan pula bahwa itu adalah tanda mati syahid, dan perbedaan anmtara hak dan batil pada hari penguburan jenazah. Apakah ada nasihat bagi kaum muslimin secara umum di negeri kami. Wa Jazaakumullahu Khairan.
JAWAB:
Bismillahirrahmanirrahim,
الحمد لله رب العالمين, والعاقبة, ولا علا عدوان إلا علا الظالمين, وأشهد أن لا إله إلا الله و حده لا شريك له, الملك الحق المبين, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله سيد ولد اَدم أجمعين, صلى الله عليه وعلى اَله وأصابه الطاهرين, وسلم تسلما كثيا على مر الأيام والليالي والشهور والسنين.
‘Amma ba’du,
Bukanlah suatu hal yang aneh pada kalangan awam dan mereka yang tidak memiliki pemahaman terhadap As-Sunnah akan terjadi pada mereka seperti yang tersebut dalam pertanyaan, saat mereka mengiringi jenazah (para pelaku pengeboman) yang dieksekusi oleh pemerintah Indonesia. Orang-orang tersebut dieksekusi, lantaran perbuatan mereka menghilangkan harta benda dan nyawa, (dan ini) adalah kaum Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin karena dosa, baik dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat.
Siapa yang memahami As-Sunnah, maka ia akan mengetahui bahwa eksekusi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap mereka adalah perkara yang sangat tepat dan kebenaran semata.
Siapa yang mengetahui sejarah kaum Khawarij semenjak masa shahabat dan sepanjang perguliran masa ke masa, maka akan nampak baginya bahwa apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang dieksekusi itu adalah perbuatan khuruj (pembangkangan, kudeta) terhadap pemerintah muslim dan pelanggaran terhadap pelbagai kehormatan, berupa nyawa yang terjaga dan harta. Bahkan, perbuatan kaum Khawarij pada hari ini adalah bentuk dari perbuatan kaum Bathiniyah.
Diantara perbuatan kaum Bathiniyah adalah, beberapa masa yang lalu mereka menduduki Baitul Haram dan menumpahkan darh-darah yang terjaga serta mengambil Hajar Aswad, sehingga menghilang dari kaum muslimin sekian lama, sebab mereka membawanya ke Baghdad atau tempat lain –sebagaimana yang diberitakan-
Berikut ini adalah nasihat dariku kepada saudara-saudarku, yaitu kaum muslimin di Indonesia –Semoga Allah menjaga Negara mereka dan Negara kami dari segala keburukan dan kejelekan- dalam dua hal :
Pertama, tentang keterangan yang ditunjukkanoleh hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang celaan terhadap kaum khawarij sepanjang masa, abad dan tahun-selama-lamanya-, serta cercaan dan kemurkaan atas mereka.
Beliau menggelari bahwa,”Mereka adalah anjing-anjing neraka” dan “Mereka berbicara dari ucapan manusia terbaik, akan tetapi mereka keluar dari Islam seperti tembusnyaanak panah dari buruannya.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (juga) memerintahkan untuk membunuh dan memerangi mereka. Beliau bersabda “Mereka adalah seburuk-buruk makhluk dan yang paling buruk tabiatnya,” “Mayat mereka adalah seburuk-buruk mayat di kolong langit” “Berbahagialah orang yang membunuh mereka dan dibunuh mereka”,”Kalau aku dapati mereka niscaya aku akan binasakan mereka seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram.”
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saat terjidinyaperpecahan di antara kaum muslimin, akan keluarlah di antara mereka maariqah[i]yang akan diperangi oleh kelompok yang paling dekat dengan kebenaran, kemudian kelompok yang berada di atas kebenaran tersebut dapat membasmi mereka.”
Benarlah sabda beliau ini. Penduduk Nahrawan di Irak melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan ‘Ali radhiallahu ‘anhu. Perang terhadap mereka saat itu di bawah pimpinan ‘Ali radhiallahu ‘anhu bersama para tokoh Islam dari kalangan shahabat dan tabi’in.
‘Ali dan para shahabatnya radhiallahu ‘anhum (berada di atas) kebenaran dalam memerangi kaum Khawarij, sebagaimana faksinya lebih dekat kepada kebenaran dari faksi Mu’awiyah dan para shahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Kedua, wajib atas setiap muslim untuk membenci kaum Khawarij, dan membantu pihak berwajib untuk membongkar kedok mereka. Sebab, menutupi dan tidak menunjukkan markas dan (kamp) konsentrasi mereka adalah membantu mereka dalam dosa dan permusuhan. Tidak bisa terlepas tanggung jawab seorang muslim yang mengetahui rencana dari perencanaan yang membahayakan ahlul Islam berupa pembunuhan jiwa, baik yang terjaga dengan Islam karena sebagai pemeluknya, atau terjaga dengan Islam karena hubungan perjanjian. Yang kami maksud dengan terjaga dengan Islam karena perjanjian adalah kaum kuffar yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin, baik sebagai pekerja atau penduduk. Mereka mendapatkan perlindungan, perjanjian dan keamanan dari pemerintah yang muslim.
Jangan berimpati kepada mereka denan melakukan demonstrasi, keluar ke jalan-jalan (membentuk) konsentrasi massa, atau penghujatan di media massa, baik koran, radio, televise atau selainnya.
Tidak ada yang menggelari mereka dengan syuhada (orang yang mati syahid), kecuali dua jenis manusia:
Pertama, orang bodoh yang tidak memiliki pemahaman terhadap As-Sunnah yang dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara hak dan batil, dan antara sunnah dan bid’ah.
Kedua, pengekor hawa nafsu dan orang-orang sesat yang menyinpang dari As-Sunnah. Mereka melakukan demonstrasi, penghujatan, konsentrasi massa, dan memuji kaum Khawarij yang menyimpang tersebut.
Di antara upaya mereka untuk memuji mereka adalah menyebutkan karamah –sebagaimana tersebut dalam pertanyaan-. Ini termasuk kedustaan, kebihongan, bahan tertawaan manusia, anjuran terhadap bid’ah, menyebarkan kesesatan, membungkam As-Sunnah dan mengangkat bid’ah serta membantu parapelakunya.
Mereka tidak diterimapersaksiannya, sebab mereka adalah musuh Ahlus Sunnah. Di antara prinsip dasar dna pokok-pokok tersebut adalah bolhnya berdusta dalam membela mereka dan membantu penyebaran kebatilan mereka.
Hati-hati dan berhati-hatilah, wahai kaum muslimin dan muslimah, saudara dan saudari kami serta anak-anak kami di Indonesia, untuk tidak tertipu dengan mereka.
Saya nasihatkan pula kepada ahlul ilmi di negeri kalian untuk segera menyinkap kesesatan ini dan membantahnya dengan ilmu yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Inilah yang dapat aku sampaikan sebagai jawaban dari pertanyaan yang terbit di Makassar, Sulawesi (Selatan) di Indonesia –semoga Allah menjaga negeri ini dan seluruh kaummuslimin dari keburukan dna kejelekan. Juga aku memohon kepada-Nya Jalla wa ‘Alla agar menyatukan para pemimpin dengan rakyatnya di atas apayang diridhai-Nya terhadap hamba-Nya dari keislaman dan As-Sunnah.
‘Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman
(Mantan Dosen Universitas Islam Madinah)
Pada Malam Selasa, 20 Dzulqa’dah 1429 H
Bertepatan dengan
Malam 18 November 2008
Sumber: Majalah An-Nashihah Volume 14 tahun 1429 H / 2008 M, halaman 15-16.
SOAL:
Syaikh yang mulia, beberapa hari yang lalu telah dijalankan hukuman eksekusi terhadap orang-orang yang melakukan peledakan di kota Bali, Indonesia, enam tahun silam. Telah terjadi fitnah setelahnya terhadap banyak manusia, dimana penguburan jenazah mereka dihadiri oleh sejumlah manusia yang sangat banyak. Mereka juga memastikan pelbagai kabar gembira tentang jenazah yang telah dieksekusi tersebut berupa, senyuman di wajah mereka setelah eksekusi, wewangian harum yang tercium dari jenazah mereka, dan selainnya. Mereka mengatakan pula bahwa itu adalah tanda mati syahid, dan perbedaan anmtara hak dan batil pada hari penguburan jenazah. Apakah ada nasihat bagi kaum muslimin secara umum di negeri kami. Wa Jazaakumullahu Khairan.
JAWAB:
Bismillahirrahmanirrahim,
الحمد لله رب العالمين, والعاقبة, ولا علا عدوان إلا علا الظالمين, وأشهد أن لا إله إلا الله و حده لا شريك له, الملك الحق المبين, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله سيد ولد اَدم أجمعين, صلى الله عليه وعلى اَله وأصابه الطاهرين, وسلم تسلما كثيا على مر الأيام والليالي والشهور والسنين.
‘Amma ba’du,
Bukanlah suatu hal yang aneh pada kalangan awam dan mereka yang tidak memiliki pemahaman terhadap As-Sunnah akan terjadi pada mereka seperti yang tersebut dalam pertanyaan, saat mereka mengiringi jenazah (para pelaku pengeboman) yang dieksekusi oleh pemerintah Indonesia. Orang-orang tersebut dieksekusi, lantaran perbuatan mereka menghilangkan harta benda dan nyawa, (dan ini) adalah kaum Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin karena dosa, baik dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat.
Siapa yang memahami As-Sunnah, maka ia akan mengetahui bahwa eksekusi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap mereka adalah perkara yang sangat tepat dan kebenaran semata.
Siapa yang mengetahui sejarah kaum Khawarij semenjak masa shahabat dan sepanjang perguliran masa ke masa, maka akan nampak baginya bahwa apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang dieksekusi itu adalah perbuatan khuruj (pembangkangan, kudeta) terhadap pemerintah muslim dan pelanggaran terhadap pelbagai kehormatan, berupa nyawa yang terjaga dan harta. Bahkan, perbuatan kaum Khawarij pada hari ini adalah bentuk dari perbuatan kaum Bathiniyah.
Diantara perbuatan kaum Bathiniyah adalah, beberapa masa yang lalu mereka menduduki Baitul Haram dan menumpahkan darh-darah yang terjaga serta mengambil Hajar Aswad, sehingga menghilang dari kaum muslimin sekian lama, sebab mereka membawanya ke Baghdad atau tempat lain –sebagaimana yang diberitakan-
Berikut ini adalah nasihat dariku kepada saudara-saudarku, yaitu kaum muslimin di Indonesia –Semoga Allah menjaga Negara mereka dan Negara kami dari segala keburukan dan kejelekan- dalam dua hal :
Pertama, tentang keterangan yang ditunjukkanoleh hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang celaan terhadap kaum khawarij sepanjang masa, abad dan tahun-selama-lamanya-, serta cercaan dan kemurkaan atas mereka.
Beliau menggelari bahwa,”Mereka adalah anjing-anjing neraka” dan “Mereka berbicara dari ucapan manusia terbaik, akan tetapi mereka keluar dari Islam seperti tembusnyaanak panah dari buruannya.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (juga) memerintahkan untuk membunuh dan memerangi mereka. Beliau bersabda “Mereka adalah seburuk-buruk makhluk dan yang paling buruk tabiatnya,” “Mayat mereka adalah seburuk-buruk mayat di kolong langit” “Berbahagialah orang yang membunuh mereka dan dibunuh mereka”,”Kalau aku dapati mereka niscaya aku akan binasakan mereka seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram.”
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saat terjidinyaperpecahan di antara kaum muslimin, akan keluarlah di antara mereka maariqah[i]yang akan diperangi oleh kelompok yang paling dekat dengan kebenaran, kemudian kelompok yang berada di atas kebenaran tersebut dapat membasmi mereka.”
Benarlah sabda beliau ini. Penduduk Nahrawan di Irak melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan ‘Ali radhiallahu ‘anhu. Perang terhadap mereka saat itu di bawah pimpinan ‘Ali radhiallahu ‘anhu bersama para tokoh Islam dari kalangan shahabat dan tabi’in.
‘Ali dan para shahabatnya radhiallahu ‘anhum (berada di atas) kebenaran dalam memerangi kaum Khawarij, sebagaimana faksinya lebih dekat kepada kebenaran dari faksi Mu’awiyah dan para shahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Kedua, wajib atas setiap muslim untuk membenci kaum Khawarij, dan membantu pihak berwajib untuk membongkar kedok mereka. Sebab, menutupi dan tidak menunjukkan markas dan (kamp) konsentrasi mereka adalah membantu mereka dalam dosa dan permusuhan. Tidak bisa terlepas tanggung jawab seorang muslim yang mengetahui rencana dari perencanaan yang membahayakan ahlul Islam berupa pembunuhan jiwa, baik yang terjaga dengan Islam karena sebagai pemeluknya, atau terjaga dengan Islam karena hubungan perjanjian. Yang kami maksud dengan terjaga dengan Islam karena perjanjian adalah kaum kuffar yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin, baik sebagai pekerja atau penduduk. Mereka mendapatkan perlindungan, perjanjian dan keamanan dari pemerintah yang muslim.
Jangan berimpati kepada mereka denan melakukan demonstrasi, keluar ke jalan-jalan (membentuk) konsentrasi massa, atau penghujatan di media massa, baik koran, radio, televise atau selainnya.
Tidak ada yang menggelari mereka dengan syuhada (orang yang mati syahid), kecuali dua jenis manusia:
Pertama, orang bodoh yang tidak memiliki pemahaman terhadap As-Sunnah yang dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara hak dan batil, dan antara sunnah dan bid’ah.
Kedua, pengekor hawa nafsu dan orang-orang sesat yang menyinpang dari As-Sunnah. Mereka melakukan demonstrasi, penghujatan, konsentrasi massa, dan memuji kaum Khawarij yang menyimpang tersebut.
Di antara upaya mereka untuk memuji mereka adalah menyebutkan karamah –sebagaimana tersebut dalam pertanyaan-. Ini termasuk kedustaan, kebihongan, bahan tertawaan manusia, anjuran terhadap bid’ah, menyebarkan kesesatan, membungkam As-Sunnah dan mengangkat bid’ah serta membantu parapelakunya.
Mereka tidak diterimapersaksiannya, sebab mereka adalah musuh Ahlus Sunnah. Di antara prinsip dasar dna pokok-pokok tersebut adalah bolhnya berdusta dalam membela mereka dan membantu penyebaran kebatilan mereka.
Hati-hati dan berhati-hatilah, wahai kaum muslimin dan muslimah, saudara dan saudari kami serta anak-anak kami di Indonesia, untuk tidak tertipu dengan mereka.
Saya nasihatkan pula kepada ahlul ilmi di negeri kalian untuk segera menyinkap kesesatan ini dan membantahnya dengan ilmu yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Inilah yang dapat aku sampaikan sebagai jawaban dari pertanyaan yang terbit di Makassar, Sulawesi (Selatan) di Indonesia –semoga Allah menjaga negeri ini dan seluruh kaummuslimin dari keburukan dna kejelekan. Juga aku memohon kepada-Nya Jalla wa ‘Alla agar menyatukan para pemimpin dengan rakyatnya di atas apayang diridhai-Nya terhadap hamba-Nya dari keislaman dan As-Sunnah.
‘Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman
(Mantan Dosen Universitas Islam Madinah)
Pada Malam Selasa, 20 Dzulqa’dah 1429 H
Bertepatan dengan
Malam 18 November 2008
Sumber: Majalah An-Nashihah Volume 14 tahun 1429 H / 2008 M, halaman 15-16.
Kamis, 21 Oktober 2010
Derajat Hadits Fadhilah Surat Yasin
MUQADDIMAH
Kebanyakan kaum muslimin membiasakan membaca surat Yasin, baik pada malam Jum’at, ketika mengawali atau menutup majlis ta’lim, ketika ada atau setelah kematian dan pada acara-acara lain yang mereka anggap penting. Saking seringnya surat Yasin dijadikan bacaan di berbagai pertemuan dan kesempatan, sehingga mengesankan, Al-Qur’an itu hanyalah berisi surat Yasin saja. Dan kebanyakan orang membacanya memang karena tergiur oleh fadhilah atau keutamaan surat Yasin dari hadits-hadits yang banyak mereka dengar, atau menurut keterangan dari guru mereka.
Al-Qur’an yang di wahyukan Allah adalah terdiri dari 30 juz. Semua surat dari Al-Fatihah sampai An-Nas, jelas memiliki keutamaan yang setiap umat Islam wajib mengamalkannya. Oleh karena itu sangat dianjurkan agar umat Islam senantiasa membaca Al-Qur’an. Dan kalau sanggup hendaknya menghatamkan Al-Qur’an setiap pekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali atau khatam setiap bulan sekali. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya).
Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin.
Sebagaimana surat-surat Al-Qur’an yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain.
Mudah-mudahan keterangan berikut ini tidak membuat patah semangat, tetapi malah memotivasi untuk membaca dan menghafalkan seluruh isi Al-Qur’an serta mengamalkannya.
KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG FADHILAH SURAT YASIN
Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.
Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya).
HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’
Adapun hadits-hadits yang semuanya dha’if (lemah) dan atau maudhu’ (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :
Hadist 1
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Ibnul Jauzi, Al-Maudhu’at, 1/247).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata: Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa: Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944).
Hadits 2
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa: Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).
Hadits 3
Artinya: “Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. (Periksa: Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45).
Hadits 4
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’ bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H.
(Periksa: Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).
Hadits 5
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an dua kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits 6
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an sepuluh kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jami’ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits 7
Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 304 8) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata: Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa: Silsilah Hadits Dha’if no. 169, hal. 202-203). Imam Waqi’ berkata: Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa’i: Muqatil bin Sulaiman sering dusta.
(Periksa: Mizanul I’tidal IV:173).
Hadits 8
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar: Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa: Taqrib I:355, Mizanul I’tidal II:283).
Hadits 9
Artinya: “Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).
Hadits 10
Artinya: “Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa: Mizanul I’tidal IV : 90-91).
PENJELASAN
Abdullah bin Mubarak berkata: Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur’an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur’an. (Periksa: Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha’if, hal. 113-115).
KESIMPULAN
Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Qur’an selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala. Wallahu A’lam.
***
Penyusun: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Kebanyakan kaum muslimin membiasakan membaca surat Yasin, baik pada malam Jum’at, ketika mengawali atau menutup majlis ta’lim, ketika ada atau setelah kematian dan pada acara-acara lain yang mereka anggap penting. Saking seringnya surat Yasin dijadikan bacaan di berbagai pertemuan dan kesempatan, sehingga mengesankan, Al-Qur’an itu hanyalah berisi surat Yasin saja. Dan kebanyakan orang membacanya memang karena tergiur oleh fadhilah atau keutamaan surat Yasin dari hadits-hadits yang banyak mereka dengar, atau menurut keterangan dari guru mereka.
Al-Qur’an yang di wahyukan Allah adalah terdiri dari 30 juz. Semua surat dari Al-Fatihah sampai An-Nas, jelas memiliki keutamaan yang setiap umat Islam wajib mengamalkannya. Oleh karena itu sangat dianjurkan agar umat Islam senantiasa membaca Al-Qur’an. Dan kalau sanggup hendaknya menghatamkan Al-Qur’an setiap pekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali atau khatam setiap bulan sekali. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya).
Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin.
Sebagaimana surat-surat Al-Qur’an yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain.
Mudah-mudahan keterangan berikut ini tidak membuat patah semangat, tetapi malah memotivasi untuk membaca dan menghafalkan seluruh isi Al-Qur’an serta mengamalkannya.
KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG FADHILAH SURAT YASIN
Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.
Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya).
HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’
Adapun hadits-hadits yang semuanya dha’if (lemah) dan atau maudhu’ (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :
Hadist 1
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Ibnul Jauzi, Al-Maudhu’at, 1/247).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata: Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa: Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944).
Hadits 2
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa: Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).
Hadits 3
Artinya: “Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. (Periksa: Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45).
Hadits 4
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’ bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H.
(Periksa: Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).
Hadits 5
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an dua kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits 6
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an sepuluh kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jami’ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits 7
Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 304 8) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata: Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa: Silsilah Hadits Dha’if no. 169, hal. 202-203). Imam Waqi’ berkata: Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa’i: Muqatil bin Sulaiman sering dusta.
(Periksa: Mizanul I’tidal IV:173).
Hadits 8
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar: Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa: Taqrib I:355, Mizanul I’tidal II:283).
Hadits 9
Artinya: “Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).
Hadits 10
Artinya: “Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa: Mizanul I’tidal IV : 90-91).
PENJELASAN
Abdullah bin Mubarak berkata: Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur’an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur’an. (Periksa: Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha’if, hal. 113-115).
KESIMPULAN
Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Qur’an selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala. Wallahu A’lam.
***
Penyusun: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rabu, 20 Oktober 2010
Yasinan : Bid'ah yang Dianggap Sunnah
“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!” Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi, kan lebih baik digunakan untuk membaca Al-Qur’an (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan.
Al-Qur’an untuk Orang Hidup
Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (Terjemah An-Nahl: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut yang artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70). Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.
Biar Sederhana yang Penting Ada Tuntunannya
Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim). Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia? Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim). Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab.
***
Penulis: Muhammad Ikrar Yamin
Artikel www.muslim.or.id
Al-Qur’an untuk Orang Hidup
Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (Terjemah An-Nahl: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut yang artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70). Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.
Biar Sederhana yang Penting Ada Tuntunannya
Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim). Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia? Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim). Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab.
***
Penulis: Muhammad Ikrar Yamin
Artikel www.muslim.or.id
Nasihat Bagi Jamaah Haji : Sebelas Alasan Untuk Tidak Umrah Berulang Kali Saat Berada Di Mekkah
%28Fikih%3A+Majalah+As-Sunnah+Edisi+09%2FTahun+X%29%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0AAda+satu+fenomena+yang+umum+disaksikan+pada+kalangan+jamaah+haji+Indonesia+dan+juga+negara+lainnya.+Saat+berada+di+kota+suci+Mekkah%2C+banyak+yang+berbondong-bondong+menuju+tanah+yang+halal+%28di+luar+tanah+haram%29%2C+seperti+Masjid+%E2%80%98Aisyah+di+Tan%E2%80%99im+atau+Ji%E2%80%99ranah.+Tujuannya+untuk+melaksanakan+umrah+lagi.+Umrah+yang+mereka+kerjakan+bisa+lebih+dari+sekali+dalam+satu+hari.+Dalih+mereka%2C+mumpung+sedang+berada+di+Mekkah%2C+sepantasnya+memperbanyak+ibadah+umrah%2C+yang+belum+tentu+bisa+dikerjakan+lagi+sesudah+sampai+di+tanah+air.+Atau+dengan+kata+lain%2C+untuk+memperbanyak+pahala.%0D%0A%0D%0ASaking+berlebihannya%2C+Syaikh+Muhammad+bin+Shalih+al+%E2%80%98Utsaimin+rahimahull%C3%A2h+dengan+penuh+keheranan+pernah+menyaksikan+seorang+laki-laki+yang+sedang+mengerjakan+sa%E2%80%99i+dengan+rambut+tersisa+separo+saja+%28sisi+yang+lain+gundul%29.+Syaikh+%E2%80%98Utsaimin+pun+bertanya+kepadanya%2C+dan+laki-laki+tersebut+menjawab+%3A+%E2%80%9CBagian+yang+tak+berambut+ini+telah+dipotong+untuk+umrah+kemarin.+Sedangkan+rambut+yang+tersisa+untuk+umrah+hari+ini%E2%80%9D.+%5B1%5D%0D%0A%0D%0ASELAIN+IKHLAS%2C+IBADAH+MEMBUTUHKAN+MUTABA%E2%80%99AH%0D%0A%0D%0ASuatu+ibadah+agar+diterima+oleh+All%C3%A2h%2C+harus+terpenuhi+oleh+dua+syarat.+Yaitu+ikhlas+dan+juga+harus+dibarengi+dengan+mutaba%E2%80%99ah.+Sehingga+tidak+cukup+hanya+mengandalkan+ikhlas+semata%2C+tetapi+juga+harus+mengikuti+petunjuk+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam.+Di+samping+itu%2C+juga+dengan+mengetahui+praktek+dan+pemahaman+generasi+Salaf+dalam+menjalakan+ibadah+haji+yang+pernah+dikerjakan+oleh+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam.+Sebab%2C+generasi+Salaf+merupakan+generasi+terbaik%2C+yang+paling+semangat+dalam+meraih+kebaikan.%0D%0A%0D%0AUmrah+termasuk+dalam+kategori+ini.+Sebagai+ibadah+yang+disyariatkan%2C+maka+harus+bersesuaian+dengan+rambu-rambu+syari%E2%80%99at+dan+nash-nashnya%2C+petunjuk+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+dan+para+sahabat%2C+serta+para+pengikut+mereka+yang+ihsan+sampai+hari+Kiamat.+Dan+ittiba%E2%80%99+ini+merupakan+salah+satu+tonggak+diterimanya+amalan+di+sisi+All%C3%A2h+Ta%27ala.%0D%0A%0D%0ASebagai+ibadah+yang+sudah+jelas+tuntunannya%2C+pelaksanan+umrah+tidak+lagi+memerlukan+ijtihad+padanya.+Tidak+boleh+mendekatkan+diri+kepada+All%C3%A2h+Ta%27ala+melalui+ibadah+umrah+dengan+ketentuan+yang+tidak+pernah+digariskan.+Kalau+tidak+mengikuti+petunjuk+syariat%2C+berarti+ibadah+yang+dilakukan+menunjukkan+sikap+i%E2%80%99tida%E2%80%98+%28melampaui+batas%29+terhadap+hak+All%C3%A2h+Ta%27ala%2C+dalam+aspek+penetapan+hukum+syariat%2C+serta+merupakan+penentangan+terhadap+ketentuan+All%C3%A2h+Ta%27ala+dalam+hukum-Nya.%0D%0A%0D%0AAll%C3%A2h+Ta%27ala+berfirman+%3A%0D%0A%0D%0A%22Apakah+mereka+mempunyai+sembahan-sembahan+selain+All%C3%A2h+%0D%0Ayang+mensyariatkan+untuk+mereka+agama+yang+tidak+diizinkan+All%C3%A2h%3F+%0D%0ASekiranya+tak+ada+ketetapan+yang+menentukan+%28dari+All%C3%A2h%29+tentulah+mereka+telah+dibinasakan.%0D%0ADan+sesungguhnya+orang-orang+yang+zhalim+itu+akan+memperoleh+azab+yang+amat+pedih.%22%0D%0A%28QS+asy+Syura+%2F42%3A+21%29%5B2%5D%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0AJUMLAH+UMRAH+RAS%C3%9BLULL%C3%82H+SHALLALL%C3%82HU+%27ALAIHI+WASALLAM%0D%0A%0D%0ASepanjang+hidupnya%2C+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+melakukan+umrah+sebanyak+4+kali.%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0ADari+Ibnu+%E2%80%98Abbas%2C+ia+berkata+%3A+%0D%0A%E2%80%9CRas%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+mengerjakan+umrah+sebanyak+empat+kali.+%0D%0A%28Yaitu%29+umrah+Hudaibiyah%2C+umrah+Qadha%60%2C+umrah+ketiga+dari+Ji%E2%80%99ranah%2C+%0D%0Adan+keempat+%28umrah%29+yang+bersamaan+dengan+pelaksanaan+haji+beliau%E2%80%9D.+%5B3%5D%0D%0A%0D%0A%0D%0AMenurut+Ibnul+Qayyim%2C+dalam+masalah+ini+tidak+ada+perbedaan+pendapat.%5B4%5D+Setiap+umrah+tersebut%2C+beliau+kerjakan+dalam+sebuah+perjalanan+tersendiri.+Tiga+umrah+secara+tersendiri%2C+tanpa+disertai+haji.+Dan+sekali+bersamaan+dengan+haji.%0D%0A%0D%0APertama%2C+umrah+Hudhaibiyah+tahun+6+H.+Beliau+dan+para+sahabat+yang+berbaiat+di+bawah+syajarah+%28pohon%29%2C+mengambil+miqat+dari+Dzul+Hulaifah+Madinah.+Pada+perjalanan+umrah+ini%2C+kaum+Musyrikin+menghalangi+kaum+Muslimin+untuk+memasuki+kota+Mekkah.+Akhirnya%2C+terjadilah+perjanjian+Hudaibiyah.+Salah+satu+pointnya%2C+kaum+Muslimin+harus+kembali+ke+Madinah%2C+tanpa+bisa+melaksanakan+umrah+yang+sudah+direncanakan.+Kemudian%2C+kaum+Muslimin+mengerjakan+umrah+lagi+pada+tahun+berikutnya.+Dikenal+dengan+umrah+Qadhiyyah+atau+Qadha%E2%80%98%5B5%5D+pada+tahun+7+H.+Selama+tiga+hari+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+berada+di+Mekkah.+Dan+ketiga%2C+umrah+Ji%E2%80%99ranah+pada+tahun+8+H.+Yang+terakhir%2C+saat+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+mengerjakan+haji+Wada%E2%80%99.+Semua+umrah+yang+beliau+kerjakan+terjadi+pada+bulan+Dzul+Qa%E2%80%98dah.%5B6%5D%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0ASEBELAS+ALASAN+UNTUK+TIDAK+MELAKUKAN+UMRAH+BERULANG+KALI%0D%0A%0D%0APara+ulama+memandang%2C+melakukan+umrah+berulang+kali+sebagai+perbuatan+yang+makruh.+Masalah+ini+telah+dijelaskan+oleh+Syaikhul+Islam+Ibnu+Taimiyyah+rahimahull%C3%A2h+dalam+Fatawanya.+Pendapat+beliau+tersebut+dikutip+oleh+Syaikh+Muhammad+bin+Shalih+al-Utsaimin+rahimahull%C3%A2h+dalam+Syarhul+Mumti%E2%80%99.%5B7%5D%0D%0A%0D%0ABerikut+ini+beberapa+aspek+yang+menjelaskan+bahwa+umrah+berulang-ulang+seperti+yang+dikerjakan+oleh+sebagian+jamaah+haji+%E2%80%93sebagaimana+fenomena+di+atas%E2%80%93+tidak+disyariatkan.%0D%0A%0D%0APertama.+Pelaksanaan+empat+umrah+yang+dikerjakan+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam%2C+masing-masing+dikerjakan+dengan+perjalanan+%28safar%29+tersendiri.+Bukan+satu+perjalanan+untuk+sekian+banyak+umrah%2C+seperti+yang+dilakukan+oleh+jamaah+haji+sekarang+ini.%0D%0A%0D%0ASyaikh+Muhammad+bin+Shalih+al+%E2%80%98Utsaimin+rahimahull%C3%A2h+menyimpulkan%2C+setiap+umrah+mempunyai+safar+tersendiri.+Artinya%2C+satu+perjalanan+hanya+untuk+satu+umrah+saja.%5B8%5D+Sedangkan+perjalanan+menuju+Tan%E2%80%99im+belum+bisa+dianggap+safar.+Sebab+masih+berada+dalam+lingkup+kota+Mekkah.%0D%0A%0D%0AKedua.+Tidak+ada+riwayat+yang+menerangkan+salah+seorang+dari+para+sahabat+yang+menyertai+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+dalam+haji+Wada%E2%80%99+yang+beranjak+keluar+menuju+tanah+yang+halal+untuk+tujuan+umrah%2C+baik+sebelum+atau+setelah+pelaksanaan+haji.+Mereka+juga+tidak+pergi+ke+Tan%E2%80%99im%2C+Hudhaibiyah+atau+Ji%E2%80%99ranah+untuk+tujuan+umrah.%0D%0A%0D%0ABegitu+pula%2C+orang-orang+yang+tinggal+di+Mekkah%2C+tidak+ada+yang+keluar+menuju+tanah+halal+untuk+tujuan+umrah.+Ini+sebuah+perkara+yang+disepakati+dan+dimaklumi+oleh+semua+ulama+yang+mengerti+sunnah+dan+syariat+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam.%5B9%5D%0D%0A%0D%0AKetiga.+Umrah+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+yang+dimulai+dari+Ji%E2%80%99ranah+tidak+bisa+dijadikan+dalil+untuk+membolehkan+umrah+berulang-ulang.+Sebab%2C+pada+awalnya+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+memasuki+kota+Mekkah+untuk+menaklukannya+dalam+keadaan+halal+%28bukan+muhrim%29+pada+tahun+8+H.+Selama+tujuhbelas+hari+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+berada+di+sana.%0D%0A%0D%0AKemudian+sampai+kepada+beliau+berita%2C+kalau+suku+Hawazin+bermaksud+memerangi+beliau.+Akhirnya+beliau+mendatangi+dan+memerangi+mereka.+Ghanimah+dibagi+di+daerah+Ji%E2%80%99ranah.+Setelah+itu%2C+beliau+ingin+mengerjakan+umrah+dari+Ji%E2%80%99ranah.%0D%0A%0D%0ADalam+hal+ini+beliau+tidak+keluar+dari+Mekkah+ke+Ji%E2%80%99ranah+secara+khusus.+Namun%2C+ada+perkara+lain+yang+membuat+beliau+keluar+dari+Mekkah.+Jadi%2C+semata-mata+bukan+untuk+mengerjakan+umrah.%5B10%5D%0D%0A%0D%0AKeempat.+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam%2C+juga+para+sahabat+-kecuali+%E2%80%98Aisyah-+tidak+pernah+mengerjakan+satu+umrah+pun+dari+Mekkah%2C+meski+setelah+Mekkah+ditaklukkan.+Begitu+pula%2C+tidak+ada+seorang+pun+yang+keluar+dari+tanah+Haram+menuju+tanah+yang+halal+untuk+mengerjakan+umrah+dari+sana+sebelum+Mekkah+ditaklukkan+dan+menjadi+Darul+Islam.%0D%0A%0D%0APadahal+thawaf+di+Ka%E2%80%99bah+sudah+masyru%E2%80%99+%28disyariatkan%29+sejak+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+diutus%2C+dan+bahkan+sejak+Nabi+Ibrahim+%27alaihissalam.+Mereka+mengerjakan+thawaf+tanpa+umrah+terlebih+dahulu.+Hal+ini+mengantarkan+kepada+sebuah+ketetapan+yang+pasti%2C+bahwa+perkara+yang+disyariatkan+bagi+penduduk+Mekkah+%28orang+yang+berada+di+Mekkah%29+adalah+thawaf.+Itulah+yang+lebih+utama+bagi+mereka+dari+pada+keluar+dari+tanah+Haram+untuk+mengerjakan+umrah.%0D%0A%0D%0ATidak+mungkin+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+dan+para+sahabat+lebih+mengutamakan+amalan+mafdhul+%28yang+nilainya+kurang%29+dibandingkan+amalan+yang+lebih+afdhal+%28nilainya+lebih+utama%29+dan+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+tidak+pernah+memerintahkan+umat+Islam+untuk+melakukan+umrah+berulang-ulang+saat+berada+di+Mekkah.%5B11%5D%0D%0A%0D%0AIbnul+Qayyim+rahimahull%C3%A2h+berkata%2C%0D%0A%0D%0A%E2%80%9DTidak+ada+umrah+yang+beliau+lakukan+dengan+cara+keluar+dari+Mekkah+sebagaimana+dilakukan+oleh+kebanyakan+orang+sekarang+ini.+Seluruh+umrah+beliau%2C+dilangsungkan+dari+luar+kota+Mekkah+menuju+Mekkah+%28tidak+keluar+dahulu+baru+masuk+kota+Mekkah%29.+Nabi+pernah+tinggal+di+Mekkah+selama+13+tahun.+Namun+tidak+ada+riwayat+yang+menjelaskan+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+keluar+kota+Mekkah+untuk+mengerjakan+umrah.+Jadi+umrah+yang+beliau+kerjakan+dan+yang+disyariatkan+adalah%2C+umrah+orang+yang+memasuki+kota+Mekkah+%28berasal+dari+luar+Mekkah%29%2C+bukan+umrah+orang+yang+berada+di+dalamnya+%28Mekkah%29%2C+dengan+menuju+daerah+yang+halal+%28di+luar+batas+tanah+haram%29+untuk+mengerjakan+umrah+dari+sana.+Tidak+ada+yang+melakukannya+di+masa+beliau%2C+kecuali+%E2%80%98Aisyah+semata%E2%80%A6%22%5B12%5+sangat.%5B13%5D%0D%0A%0D%0AKisahnya%2C+pada+waktu+menunaikan+ibadah+haji+bersama+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam%2C+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+mendapatkan+haidh.+Karena+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+meD%0D%0A%0D%0AKelima.+Tentang+umrah+yang+dilakukan+oleh+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+pada+haji+Wada%E2%80%99+bukanlah+berdasarkan+perintah+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam.+Beliau+mengizinkannya+setelah+%E2%80%98Aisyah+memohon+dengannyangka%2C+bahwa+umrah+yang+ia+lakukan+bersamaan+dengan+haji+%28haji+qiran%29+batal%2C+ia+menangis.+Kemudian+untuk+menenangkannya%2C+maka+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+mengijinkan+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+melakukan+umrah+lagi+dan+memerintahkan+saudara+%E2%80%98Aisyah+yang+bernama+%E2%80%98Abdurrahman+bin+Abu+Bakar+mengantar+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+ke+daerah+Tan%E2%80%99im%2C+agar+ia+memulai+ihram+untuk+umrah+di+sana.%0D%0A%0D%0AUmrah+yang+dilakukan+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anhaini+sebagai+pengkhususan+baginya.+Sebab%2C+belum+didapati+satu+pun+dalil+dari+seorang+sahabat+laki-laki+ataupun+perempuan+yang+menerangkan+bahwa+ia+pernah+melakukan+umrah+usai+melaksanakan+ibadah+haji%2C+dengan+memulai+ihram+dari+kawasan+Tan%E2%80%99im%2C+sebagaiamana+yang+telah+dilakukan+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha.+Andaikata+para+sahabat+mengetahui+perbuatan+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+tersebut+disyumrah+dari+Mekkah.+Dan+tidak+ada+dalil+bagi+orang+yang+menilainya+%28umrah+berulang-ulang%29+masyru%E2%80%99+%28disyari%27atkan%29+selain+riwayat+tersebut.+Sesungguhnya+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+dan+sahabat+yang+bersama+beliau+dalam+hajiariatkan+juga+buat+mereka+pasca+menunaikan+ibadah+haji%2C+niscaya+banyak+riwayat+dari+mereka+yang+menjelaskan+hal+itu.%0D%0A%0D%0AIbnul+Qayyim+rahimahull%C3%A2h+mengatakan%2C+%28Umrah+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha%29+dijadikan+dasar+tentang++%28Wada%E2%80%99%29+tidak+ada+yang+keluar+dari+Mekkah%2C+kecuali+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+saja.+Kemudian+orang-orang+yang+mendukung+umrah+dari+Mekkah%2C+menjadikan+riwayat+tersebut+sebagai+dasar+pendapat+mereka.+Tetapi%2C+kandungan+riwayat+tersebut+tidak+ada+yang+menunjukkan+dukungan+terhadap+pendapat+mereka.%5B14%5D%0D%0A%0D%0AImam+asy-Syaukani+rahimahull%C3%A2h+berkata%2C%0D%0A%0D%0A%E2%80%9DNabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+tidak+pernah+berumrah+dengan+cara+keluar+dari+daerah+Mekkah+ke+tanah+halal%2C+kemudian+masuk+Mekkah+lagi+dengan+niat+umrah%2C+sebagaimana+layaknya+yang+dilakukan+kebanyakan+orang+sekarang.+Dan+tidak+ada+riwayat%2C+yang+menerangkan+sahabat+Nabi+melakukan+yang+demikian+itu%E2%80%9D.%5B15%5D%0D%0A%0D%0AKeenam.+Kaum+Muslimin+bersilang+pendapat+tentang+hukum+umrah%2C+apakah+wajib+ataukah+tidak.+Para+ulama+yang+memandang+umrah+itu+wajib+seperti+layaknya+haji%2C+mereka+tidak+mewajibkannya+atas+penduduk+Mekkah.%0D%0A%0D%0AImam+Ahmad+rahimahull%C3%A2h+pernah+menukil+perkataan+Ibnu+%E2%80%98Abbas%3A%0D%0A%0D%0A%E2%80%9CWahai+penduduk+Mekkah%2C+tidak+ada+kewajiban+umrah+atas+kalian.+Umrah+kalian+adalah+thawaf+di+Ka%E2%80%99bah%E2%80%9D.%0D%0A%0D%0A%E2%80%98Atha+bin+Abi+Rabah+rahimahull%C3%A2h%5B16%5D+%E2%80%93ulama+yang+paling+menguasai+manasik+haji+dan+panutan+penduduk+Mekkah%E2%80%93+berkata+%3A%0D%0A%0D%0A%E2%80%9CTidak+ada+manusia+ciptaan+All%C3%A2h+kecuali+wajib+atas+dirinya+haji+dan+umrah.+Dua+kewajiban+yang+harus+dilaksanakan+bagi+orang+yang+mampu%2C+kecuali+penghuni+Mekkah.+Mereka+wajib+mengerjakan+haji%2C+tetapi+tidak+wajib+umrah%2C+karena+mereka+sudah+mengerjakan+thawaf.+Dan+itu+sudah+mencukupi%E2%80%9D.%0D%0A%0D%0AThawus+rahimahull%C3%A2h%5B17%5D+berkata%3A%0D%0A%0D%0A%E2%80%9CTidak+ada+kewajiban+umrah+bagi+orang+yang+berada+di+Mekkah%E2%80%9D.+%28Riwayat+Ibnu+Abi+Syaibah%29%0D%0A%0D%0ABerdasarkan+beberapa+keterangan+para+ulama+Salaf+tersebut%2C+menunjukkan+bahwa+bagi+penduduk+Mekkah%2C+mereka+tidak+menilai+sunnah%2C+apalagi+sampai+mewajibkannya.+Seandainya+wajib%2C+maka+sudah+pasti+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+memerintahkannya+atas+diri+mereka+dan+mereka+akan+mematuhinya.+Tetapi%2C+tidak+ada+riwayat+yang+menjelaskan+tentang+orang+yang+berumrah+dari+Mekkah+di+masa+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+masih+hidup%2C+kecuali+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+saja+%28Kisah+ini+sudah+dijelaskan+di+atas%29.%0D%0A%0D%0AKarenanya%2C+para+ulama+hadits%2C+bila+ingin+menulis+tentang+umrah+dari+Mekkah%2C+mereka+hanya+menyinggung+tentang+kejadian+%E2%80%98Aisyah+radhiyall%C3%A2hu%27anha+saja.+Tidak+ada+yang+lain.+Seandainya+ada%2C+pasti+sudah+sampai+kepada+kita.%5B18%5D%0D%0A%0D%0AKetujuh.+Intisari+umrah+adalah+thawaf.+Adapun+sa%E2%80%99i+antara+Shafa+dan+Marwah+bersifat+menyertai+saja.+Bukti+yang+menunjukkannya+sebagai+penyerta+adalah%2C+sa%E2%80%99i+tidak+dikerjakan+kecuali+setelah+thawaf.+Dan+ibadah+thawaf+ini+bisa+dikerjakan+oleh+penduduk+Mekkah%2C+tanpa+harus+keluar+dari+batas+tanah+suci+Mekkah+terlebih+dahulu.+Barangsiapa+yang+sudah+mampu+mengerjakan+perkara+yang+inti%2C+ia+tidak+diperintahkan+untuk+menempuh+wasilah+%28perantara+yang+mengantarkan+kepada+tujuan%29.%5B19%5D%0D%0A%0D%0AKedelapan.+Berkeliling+di+Ka%E2%80%99bah+adalah+ibadah+yang+dituntut.+Adapun+menempuh+perjalanan+menuju+tempat+halal+untuk+berniat+umrah+dari+sana+merupakan+sarana+menjalankan+ibadah+yang+diminta.+Orang+yang+menyibukkan+diri+dengan+sarana+%28menuju+tempat+yang+halal+untuk+berumrah+dari+sana%29+sehingga+meninggalkan+tujuan+inti+%28thawaf%29%2C+orang+ini+telah+salah+jalan%2C+tidak+paham+tentang+agama.+Lebih+buruk+dari+orang+yang+berdiam+di+dekat+masjid+pada+hari+Jum%E2%80%99at%2C+sehingga+memungkinkannya+bersegera+menuju+masjid+untuk+shalat%2C+tetapi+ia+justru+menuju+tempat+yang+jauh+untuk+mengawali+perjalanan+menuju+masjid+itu.+Akibatnya%2C+ia+meninggalkan+perkara+yang+menjadi+tuntutan%2C+yaitu+shalat+di+dalam+masjid+tersebut.%0D%0A%0D%0AKesembilan.+Mereka+mengetahui+dengan+yakin%2C+bahwa+thawaf+di+sekeliling+Baitullah+jauh+lebih+utama+daripada+sa%E2%80%99i.+Maka+daripada+mereka+menyibukkan+diri+dengan+pergi+keluar+ke+daerah+Tan%E2%80%99im+dan+sibuk+dengan+amalan-amalan+umrah+yang+baru+sebagai+tambahan+bagi+umrah+sebelumnya%2C+lebih+baik+mereka+melakukan+thawaf+di+sekeliling+Ka%E2%80%99bah.%0D%0A%0D%0ADan+sudah+dimaklumi%2C+bahwa+waktu+yang+tersita+untuk+pergi+ke+Tan%E2%80%99im+karena+ingin+memulai+ihram+untuk+umrah+yang+baru%2C+dapat+dimanfaatkan+untuk+mengerjakan+thawaf+ratusan+kali+keliling+Ka%E2%80%99bah.+Bahkan+Syaikhul+Islam+Ibnu+Taimiyah+rahimahull%C3%A2h+menilainya+sebagai+bid%E2%80%99ah%2C+%28sebuah+perkara+yang%29+belum+pernah+dikerjakan+oleh+generasi+Salaf%2C+tidak+diperintahkan+oleh+al-Kitab+dan+as+Sunnah.+Juga+tidak+ada+dalil+syar%E2%80%99i+yang+menunjukkan+status+sunnahnya.+Apabila+demikian+adanya%2C+berarti+termasuk+bid%E2%80%99ah+yang+dibenci+berdasarkan+kesepakatan+para+ulama.%5B20%5D%0D%0A%0D%0AOleh+karenanya%2C+para+generasi+Salaf+dan+para+imam+melarangnya.+Sa%E2%80%99id+bin+Manshur+rahimahull%C3%A2h+meriwayatkan+dalam+Sunan-nya+dari+Thawus+rahimahull%C3%A2h%2C+salah+seorang+murid+Ibnu+%E2%80%98Abbas+radhiyall%C3%A2hu%27anhu+mengatakan+%3A%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0A%E2%80%9CAku+tidak+tahu%2C+orang-orang+yang+mengerjakan+umrah+dari+kawasan+Tan%E2%80%99im%2C+apakah+mereka+diberi+pahala+atau+justru+disiksa%E2%80%9D.+%0D%0AAda+yang+bertanya+%3A+%E2%80%9CMengapa+mereka+disiksa%3F%E2%80%9D+%0D%0ABeliau+menjawab+%3A+%E2%80%9CKarena+meninggalkan+thawaf+di+Ka%E2%80%99bah.+Untuk+keluar+menempuh+jarak+empat+mil+dan+pulang+%28pun+demikian%29.+Sampai+ia+pulang+dari+menempuh+jarak+empat+mil+tersebut%2C+ia+bisa+berkeliling+Ka%E2%80%99bah+sebanyak+dua+ratus+kali.+Setiap+kali+ia+berthawaf+di+Ka%E2%80%99bah%2C+itulah+yang+utama+daripada+menempuh+perjalanan+tanpa+tujuan+apapun%E2%80%9D.%5B21%5D%0D%0A%0D%0A%E2%80%98Atha%60+pernah+berkata+%3A%0D%0A%0D%0A%E2%80%9CThawaf+di+Ka%E2%80%99bah+lebih+aku+sukai+daripada+keluar+%28dari+Mekkah%29+untuk+umrah%E2%80%9D.%5B22%5D%0D%0A%0D%0AKesepuluh.+Setelah+memaparkan+kejadian+orang+yang+berumrah+berulang-ulang%2C+misalnya+melakukannya+dua+kali+dalam+sehari%2C+Syaikhul+Islam+Ibnu+Taimiyah+rahimahull%C3%A2h+semakin+memantapkan+pendapatnya%2C+bahwa+umrah+yang+demikian+tersebut+makruh%2C+berdasarkan+kesepakatan+para+imam.%0D%0A%0D%0ASelanjutnya+beliau+menambahkan%2C+meskipun+ada+sejumlah+ulama+dari+kalangan+Syafi%E2%80%99iyyah+dan+ulama+Hanabilah+yang+menilai+umrah+berulang+kali+sebagai+amalan+yang+sunnah%2C+namun+pada+dasarnya+mereka+tidak+mempunyai+hujjah+khusus%2C+kecuali+hanya+qiyas+umum.+Yakni%2C+untuk+memperbanyak+ibadah+atau+berpegangan+dengan+dalil-dalil+yang+umum.+%5B23%5D%0D%0A%0D%0ADi+antara+dalil+yang+umum%2C+hadits+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam%3A%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0AAntara+umrah+menuju+umrah+berikutnya+menjadi+penghapus+%28dosa%29+di+antara+keduanya.%5B24%5D%0D%0A%0D%0ATentang+hadits+ini%2C+Syaikh+al+%E2%80%98Utsaimin+rahimahull%C3%A2h+mendudukkan+bahwa+hadits+ini%2C+mutlak+harus+dikaitkan+dengan+apa+yang+diperbuat+oleh+generasi+Salaf+ridhwanullah+%E2%80%98alaihim.%5B25%5D%0D%0A%0D%0APenjelasannya+sudah+disampaikan+pada+point-point+sebelumnya.+Ringkasnya%2C+tidak+ada+contoh+dari+kalangan+generasi+Salaf+dalam+melaksanakan+umrah+yang+berulang-ulang.%0D%0A%0D%0AKesebelas.+Pada+penaklukan+kota+Mekkah%2C+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+berada+di+Mekkah+selama+sembilan+belas+hari.+Tetapi%2C+tidak+ada+riwayat+bahwa+beliau+keluar+ke+daerah+halal+untuk+melangsungkan+umrah+dari+sana.+Apakah+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+tidak+tahu+bahwa+itu+masyru%E2%80%99+%28disyariatkan%29%3F+Tentu+saja+tidak+mungkin%21%5B26%5D%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0ALEBIH+BAIK+MEMPERBANYAK+THAWAF%0D%0A%0D%0ABerdasarkan+alasan-alasan+di+atas%2C+menjadi+jelas+bahwa+thawaf+lebih+utama.+Adapun+berumrah+dari+Mekkah+dan+meninggalkan+thawaf+tidak+mustahab.+Ibadah+yang+disunnahkan+adalah+thawaf%2C+bukan+umrah.+Syaikhul+Islam+Ibnu+Taimiyah+rahimahull%C3%A2h+menambahkan+%3A%0D%0A%0D%0A%E2%80%9CThawaf+mengelilingi+Ka%E2%80%99bah+lebih+utama+daripada+umrah+bagi+orang+yang+berada+di+Mekkah%2C+merupakan+perkara+yang+tidak+diragukan+lagi+oleh+orang-orang+yang+memahami+Sunnah+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+dan+Sunnah+Khalifah+pengganti+beliau+dan+para+sahabat%2C+serta+generasi+Salaf+dan+tokoh-tokohnya%E2%80%9D.%0D%0A%0D%0AAlasannya%2C+kata+beliau+rahimahull%C3%A2h%2C+karena+thawaf+di+Baitullah+merupakan+ibadah+dan+qurbah+%28cara+untuk+mendekatkan+diri+kepada+All%C3%A2h%29+yang+paling+afdhal+yang+telah+All%C3%A2h+tetapkan+di+dalam+Kitab-Nya%2C+berdasarkan+keterangan+Nabi-Nya.%0D%0A%0D%0AThawaf+termasuk+ibadah+paling+utama+bagi+penduduk+Mekkah.+Maksudnya%2C+yaitu+orang-orang+yang+berada+di+Mekkah%2C+baik+penduduk+asli+maupun+pendatang.+Thawaf+juga+termasuk+ibadah+istimewa+yang+tidak+bisa+dilakukan+oleh+orang-orang+yang+berada+di+kota+lainnya.+Orang-orang+yang+berada+di+Mekkah+sejak+masa+Ras%C3%BBlull%C3%A2h+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+dan+masa+para+khulafa+senantiasa+menjalankan+thawaf+setiap+saat.+Dan+lagi%2C+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+memerintahkan+kepada+pihak+yang+bertanggung+jawab+atas+Baitullah%2C+agar+tidak+menghalangi+siapapun+yang+ingin+mengerjakan+thawaf+pada+setiap+waktu.%0D%0A%0D%0ABeliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+bersabda%3A%0D%0A%0D%0A%22Wahai+Bani+Abdi+Manaf%2C+%0D%0Ajanganlah+kalian+menghalangi+seorang+pun+untuk+melakukan+thawaf+di+Ka%E2%80%99bah+%0D%0Adan+mengerjakan+shalat+pada+saat+kapan+pun%2C+baik+malam+maupun+siang.+%5B27%5D%0D%0A%0D%0A%0D%0AAll%C3%A2h+Ta%27ala+memerintahkan+Nabi+Ibrahim+%27alaihissalam+dan+Nabi+Ismail+%27alaihissalam+dengan+berfirman+%3A%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0ADan+bersihkanlah+rumahKu+untuk+orang-orang+yang+thawaf%2C+%0D%0Ayang+i%E2%80%99tikaf%2C+yang+ruku%E2%80%99%2C+dan+yang+sujud.+%0D%0A%28QS+al+Baqarah%2F2%3A125%29%0D%0A%0D%0ADalam+ayat+yang+lain%3A%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0ADan+sucikanlah+rumahKu+ini+bagi+orang-orang+yang+thawaf%2C+%0D%0Adan+orang-orang+yang+beribadah+dan+orangorang+yang+ruku%E2%80%99+dan+sujud.+%0D%0A%28QS+al+Hajj%2F22%3A26%29%0D%0A%0D%0APada+dua+ayat+di+atas%2C+All%C3%A2h+Ta%27ala+menyebutkan+tiga+ibadah+di+Baitullah%2C+yaitu+%3A+thawaf%2C+i%E2%80%99tikaf+dan+ruku%E2%80%99+bersama+sujud%2C+dengan+mengedepankan+yang+paling+istimewa+terlebih+dahulu%2C+yaitu+thawaf.+Karena+sesungguhnya%2C+thawaf+tidak+disyariatkan+kecuali+di+Baitil+%E2%80%98Atiq+%28rumah+tua%2C+Ka%E2%80%99bah%29+berdasarkan+kesepakatan+para+ulama.+Begitu+juga+para+ulama+bersepakat%2C+thawaf+tidak+boleh+dilakukan+di+tempat+selain+Ka%E2%80%99bah.+Adapun+i%E2%80%99tikaf%2C+bisa+dilaksanakan+di+masjid-masjid+lain.+Begitu+pula+ruku%E2%80%99+dan+sujud%2C+dapat+dikerjakan+di+mana+saja.%0D%0A%0D%0ANabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallambersabda%3A%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0ADijadikan+tanah+sebagai+masjid+dan+tempat+penyuci+bagi+diriku.+%0D%0A%28HR.+al+Bukhari-Muslim%29%0D%0A%0D%0AMaksudnya%2C+All%C3%A2h+Ta%27ala+mengutamakan+perkara+yang+paling+khusus+dengan+tempat+tersebut.+Sehingga+mendahulukan+penyebutan+thawaf.+Karena+ibadah+thawaf+hanya+berlaku+khusus+di+Masjidil+Haram.+Baru+kemudian+disebutkan+i%E2%80%99tikaf.+Sebab+bisa+dikerjakan+di+Masjidil+Haram+dan+masjid-masjid+lainnya+yang+dipakai+kaum+Muslimin+untuk+mengerjakan+shalat+lima+waktu.%0D%0A%0D%0ASelanjutnya%2C+disebutkan+ibadah+shalat+yang+tempat+pelaksanaannya+lebih+umum.+Selain+itu%2C+thawaf+merupakan+rangkaian+manasik+yang+lebih+sering+terulang.+Disyariatkan+thawaf+Qudum+bagi+orang+yang+baru+sampai+di+kota+Mekkah.+Dan+disyariatkan+thawaf+Wada%E2%80%99+bagi+orang+yang+akan+meninggalkan+kota+Mekkah+usai+pelaksanaan+manasik+haji.+Disamping+keberadaan+thawaf+ifadhah+yang+menjadi+salah+satu+rukun+haji.%5B28%5D+Secara+khusus%2C+tentang+keutamaan+thawaf+di+Baitullah%2C+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+bersabda+%3A%0D%0A%0D%0A%0D%0A%0D%0ABarangsiapa+mengelilingi+rumah+ini+%28Ka%E2%80%99bah%29+tujuh+kali%2C+%0D%0Aseperti+membebaskan+satu+budak+belian.%5B29%5D%0D%0A%0D%0AKesimpulannya%2C+memperbanyak+thawaf+merupakan+ibadah+sunnah%2C+lagi+diperintahkan.+Terutama+bagi+orang+yang+datang+ke+Mekkah.+Jumhur+ulama+berpendapat%2C+thawaf+di+Ka%E2%80%99bah+lebih+utama+dibandingkan+shalat+di+Masjidil+Haram%2C+meskipun+shalat+di+sana+sangat+besar+keutamaannya.%5B30%5D%0D%0A%0D%0APendapat+yang+mengatakan+tidak+disyari%E2%80%99atkan+melakukan+umrah+berulangkali+saat+berada+di+Mekah%2C+inilah+yang+ditunjukkan+oleh+Sunnah+Nabawiyah+yang+bersifat+%E2%80%98amaliyah%2C+dan+didukung+oleh+fi%E2%80%99il+%28perbuatan%29+para+sahabat+radhiyall%C3%A2hu%27anhum.+Dan+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+telah+memerintahkan+kita+agar+mengikuti+Sunnah+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+dan+sunnah+para+khalifahnya+sepeninggal+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam.%0D%0A%0D%0AYaitu+dalam+sabda+beliau+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam%3A%0D%0A%0D%0A%22Hendaklah+kalian+berpegang+teguh+dengan+Sunnahku+dan+sunnah+para+khalifah+yang+mendapat+petunjuk+dan+terbimbing+sepeninggalku.+Hendaklah+kalian+menggigitnya+dengan+gigi+gerahammu.%22%0D%0A%28Sunan+Abu+Dawud%2C+II%2F398%2C+no.+4607%3B+Ibnu+Majah%2C+I%2F16%2C+no.+42+dan+43%3B+Tirmidzi%2C+V%2F43%2C+no.+2673%3B+Ahmad%2C+IV%2F26.%29%E2%80%99.+31%0D%0A%0D%0AOleh+karena+itu%2C+ketika+berada+di+Mekkah+sebelum+atau+sesudah+pelaksanaan+haji%2C+yang+paling+baik+bagi+kita+ialah+memperbanyak+thawaf%2C+daripada+melakukan+perbuatan+yang+tidak+ada+contohnya.+Wall%C3%A2hu+a%E2%80%99lam+bish-shawab.%0D%0A%0D%0AMaraji+%3A%0D%0A%0D%0AAl+Wajiz+fi+Fiqhis+Sunnah+wal+Kitabil+%E2%80%98Aziz%2C+Dr+Abdul+%E2%80%98Azhim+Badawi+Dar+Ibni+Rajab%2C+Cet.+III%2C+Th.+1421+H+%E2%80%93+2001+M.%0D%0AFatawa+li+Ahlil+Haram%2C+susunan+Dakhil+bin+Bukhait+al+Mutharrifi.%0D%0ASyarhul+Mumti%E2%80%99+%E2%80%98ala+Zadil+Mustaqni%E2%80%99%2C+Syaikh+Muhammad+bin+Shalih+al+%E2%80%98Utsaimin%2C+Muassasah+A-sam%2C+Cet.+I%2C+Th.+1416+H+%E2%80%93+1996+M.%0D%0AMajmu+al+Fatawa%2C+Syaikhul+Islam+Ibnu+Taimiyah%2C+Cet.+I%2C+Th.+1423+H.+Tanpa+penerbit.%0D%0AZadul+Ma%E2%80%99ad+fi+Hadyi+Khairil+%E2%80%98Ibad%2C+Muhammad+bin+Abi+Bakr+Ibnul+Qayyim.+Tahqiq+Syu%E2%80%99aib+al+Arnauth+dan+%E2%80%98Abdul+Qadir+al+Arnauth%2C+Muassasah+ar+Risalah%2C+Cet.+III%2C+Th.+1421+H+%E2%80%93+2001+M.%0D%0AShahih+Sunan+an+Nasaa-i%2C+Muhammad+Nashiruddin+al+Albani%2C+Maktabah+Ma%E2%80%99arif%2C+Cet.+I%2C+Th.+1419H+%E2%80%931998M.%0D%0AShahih+Sunan+at+Tirmidzi%2C+Muhammad+Nashiruddin+al+Albani%2C+Maktabah+Ma%E2%80%99arif+Cet.+I%2C+Th.+1419H+%E2%80%93+1998M.%0D%0AShahih+Sunan+Ibni+Majah%2C+Muhammad+Nashiruddin+al+Albani%2C+Maktabah+Ma%E2%80%99arif%2C+Cet.+I%2C+Th.+1419H+%E2%80%93+1998M.%0D%0A%0D%0A%0D%0A%5B1%5D+%0D%0AFatawa+al+%E2%80%98Utsaimin%2C+2%2F668.%0D%0A%5B2%5D+%0D%0ALihat+penjelasan+Dr.+Muhammad+bin+Abdir+Rahman+al-Khumayyis+dalam+adz-Dzikril+Jama%E2%80%99i+Bainal+Ittiba%E2%80%99+wal+Ibtida%E2%80%99%2C+halaman+7-8.%0D%0A%5B3%5D+%0D%0AShahih.+Lihat+Shahih+Sunan+at-Tirmidzi%2C+no.+816%3B+Shahih+Sunan+Ibni+Majah%2C+no.+2450.%0D%0A%5B4%5D+%0D%0AZadul+Ma%E2%80%99ad%2C+2%2F89.%0D%0A%5B5%5D+%0D%0AUmrah+ini+dikenal+dengan+nama+umrah+Qadha%E2%80%98+atau+Qadhiyah%2C+karena+kaum+muslimin+telah+mengikat+perjanjian+dengan+kaum+Quraisy.+Bukan+untuk+meng-qadha+%28menggantikan%29+umrah+tahun+sebelumnya+yang+dihalangi+oleh+kaum+Quraisy.+Karena+umrah+tersebut+tidak+rusak+sehingga+tidak+perlu+diganti.+Buktinya%2C+Nabi+Shallall%C3%A2hu+%27Alaihi+Wasallam+tidak+memerintahkan+para+sahabat+yang+ikut+serta+dalam+umrah+pertama+untuk+mengulanginya+kembali+pada+umrah+ini.+Oleh+sebab+itu%2C+para+ulama+menghitung+jumlah+umrah+Nabi+sebanyak+empat+kali+saja.+Demikian+penjelasan+as-Suhaili+rahimahull%C3%A2h.+Pendapat+inilah+yang+dirajihkan+oleh+Ibnul+Qayyim+rahimahull%C3%A2h+dalam+Zadul+Ma%E2%80%99ad%2C+2%2F86.%0D%0A%5B6%5D+%0D%0AMajmu+al+Fatawa%2C+26%2F253-254%3B+Zadul+Ma%E2%80%99ad%2C+2%2F86.%0D%0A%5B7%5D+%0D%0AMajmu+%E2%80%98+al+Fatawa%2C+jilid+26.+Pembahasan+tentang+umrah+bagi+orang-orang+yang+berada+di+Mekkah+terdapat+di+halaman+248-290%3B+asy+-Syarhul+Mumti%E2%80%99%2C+7%2F407.%0D%0A%5B8%5D+%0D%0AFatawa+al-%E2%80%98Utsaimin%2C+2%2F668%2C+dikutip+dari+Fatawa+li+Ahlil+Haram.%0D%0A%5B9%5D+%0D%0AMajmu%E2%80%99+al+Fatawa%2C+26%2F252.%0D%0A%5B10%5D+%0D%0AMajmu%E2%80%99+al+Fatawa%2C+26%2F254.%0D%0A%5B11%5D+%0D%0ALihat+Majmu%E2%80%99+al+Fatawa%2C+26%2F256.+273.%0D%0A%5B12%5D+%0D%0AZaadul+Ma%E2%80%99ad%2C+2%2F89.%0D%0A%5B13%5D+%0D%0AMajmu%E2%80%99+al+Fatawa%2C+26%2F252.%0D%0A%5B14%5D+%0D%0AZaadul+Ma%E2%80%99ad%2C+2%2F163.%0D%0A%5B15%5D+%0D%0ADikutip+dari+al+Wajiz%2C+halaman+268.%0D%0A%5B16%5D+%0D%0AAtha+bin+Abi+Rabah+Aslam+al+Qurasyi+al+Fihri+rahimahull%C3%A2h%2C+dari+kalangan+generasi+Tabi%27in.+Berguru+kepada+sejumlah+sahabat+Nabi.+Di+antara+mereka%2C+Jabir+bin+Abdillah%2C+Ibnu+Abbas%2C+Abu+Hurairah%2C+Abu+Sa%27id+al+Khudri%2C+%27Abdullah+bin+%27Amr+bin+al+%27Ash+dan+Abdullah+bin+Zubair+radhiyall%C3%A2hu%27anhum.+Seorang+mufti+Mekah+di+zamannya+dan+dikenal+sebagai+orang+yang+paling+tahu+tentang+manasik+haji.+Wafat+tahun+114+H.%0D%0A%5B17%5D+%0D%0AThawus+bin+Kaisan+al+Yamani+rahimahull%C3%A2h%2C+berdarah+Persia%2C+dari+kalangan+generasi+Tabi%27in.+berguru+kepada+sejumlah+sahabat.+misalnya%2C+Ibnu+Abbas%2C+Jabir+bin+Abdillah%2C+Zaid+bin+Tsabit%2C+Abdullah+bin+Zubair+dan+Muad+bin+Jabal+radhiyall%C3%A2hu%27anhum.+Seorang+ahli+fiqh+di+zamannya.+Wafat+tahun+106+H.%0D%0A%5B18%5D+%0D%0AMajmu%E2%80%99+al+Fatawa%2C+26%2F256-258.%0D%0A%5B19%5D+%0D%0AIbid%2C+26%2F262.%0D%0A%5B20%5D+%0D%0AIbid%2C+2%2F264.%0D%0A%5B21%5D+%0D%0AIbid%2C+26%2F264.%0D%0A%5B22%5D+%0D%0AIbid%2C+26%2F266.%0D%0A%5B23%5D+%0D%0AIbid%2C+26%2F270.%0D%0A%5B24%5D+%0D%0AHR+al+Bukhari%2C+no.+1773+dan+Muslim%2C+no.+1349.%0D%0A%5B25%5D+%0D%0AAsy+Syarhul+Mumti%E2%80%99%2C+7%2F408.%0D%0A%5B26%5D+%0D%0AFatawa+al+%E2%80%98Utsaimin%2C+2%2F668%2C+dikutip+dari+Fatawa+li+Ahlil+Haram.%0D%0A%5B27%5D+%0D%0AShahih%2C+hadits+riwayat+at+Tirmidzi%2C+869%3B+an+Nasaa-i%2C+1%2F284%3B+Ibnu+Majah%2C+1254.%0D%0A%5B28%5D+%0D%0AMajmu%E2%80%99+al+Fatawa%2C+26%2F250-252+secara+ringkas.%0D%0A%5B29%5D+%0D%0AShahih.+Lihat+Shahih+Sunan+an+Nasaa-i%2C+no.+2919.%0D%0A%5B30%5D+%0D%0AMajmu%E2%80%99+al+Fatawa%2C+26%2F290.%0D%0A%5B31%5D+%0D%0AAl+Wajiz%2C+halaman+268.
Telah Datangkah Zamannya Banyaknya Khuthabaa’ (Penceramah) dan Sedikitnya Ulama ?
Dari Abu Dzar radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Innakumul yauma fii zamanin katsiirin ‘ulamaa-uHu qaliilin khuthabaa-uHu, ma taraka ‘usyra maa ya’rifu faqad Hawa wa ya’tii min ba’du zamaanun katsiirun khuthabaa-uHu qaliilun ‘ulamaa-uHu manis tamsaka bi’usyri maa ya’rifu faqad najaa”
yang artinya,
“Sesungguhnya kamu pada hari ini berada pada zaman dimana banyak sekali ulamanya dan sedikit sekali khuthabaa’nya, barangsiapa yang meninggalkan sepersepuluh dari apa yang ia ketahui (dari urusan agamanya) maka sesungguhnya ia telah mengikuti hawa nafsu.
Dan akan datang nanti satu zaman dimana banyak sekali khuthabaa’nya dan sedikit sekali ulamanya, barangsiapa yang berpegang dengan sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui dari (dari urusan agamanya), maka sesungguhnya ia telah selamat” (HR. Ahmad dalam al Musnad 5/155 dan al Harawiy dalam Kitab Dzammul Kalaam 1/14-15 dan ini lafazhnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash Shahihah no. 2510)
Maraji’ :
Telah Datang Zamannya, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pustaka Imam Muslim, Cetakan Pertama, Jumadits Tsaniyah 1426 H/Juli 2005 M, halaman 86-87.
Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" (QS. An Nisaa' : 48)
Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jibril berkata kepadaku, 'Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga'" (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]
“Innakumul yauma fii zamanin katsiirin ‘ulamaa-uHu qaliilin khuthabaa-uHu, ma taraka ‘usyra maa ya’rifu faqad Hawa wa ya’tii min ba’du zamaanun katsiirun khuthabaa-uHu qaliilun ‘ulamaa-uHu manis tamsaka bi’usyri maa ya’rifu faqad najaa”
yang artinya,
“Sesungguhnya kamu pada hari ini berada pada zaman dimana banyak sekali ulamanya dan sedikit sekali khuthabaa’nya, barangsiapa yang meninggalkan sepersepuluh dari apa yang ia ketahui (dari urusan agamanya) maka sesungguhnya ia telah mengikuti hawa nafsu.
Dan akan datang nanti satu zaman dimana banyak sekali khuthabaa’nya dan sedikit sekali ulamanya, barangsiapa yang berpegang dengan sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui dari (dari urusan agamanya), maka sesungguhnya ia telah selamat” (HR. Ahmad dalam al Musnad 5/155 dan al Harawiy dalam Kitab Dzammul Kalaam 1/14-15 dan ini lafazhnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash Shahihah no. 2510)
Maraji’ :
Telah Datang Zamannya, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pustaka Imam Muslim, Cetakan Pertama, Jumadits Tsaniyah 1426 H/Juli 2005 M, halaman 86-87.
Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" (QS. An Nisaa' : 48)
Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jibril berkata kepadaku, 'Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga'" (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]
Sudah Saatnya Menyadari Hakekat Ajaran Sufi
(Oleh: Ustadz Abul Hasan Abdullah Taslim)
PENDAHULUAN
Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allâh Ta'ala.
Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur‘ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh Salafush-Shalih.
Imam al-Barbahâri rahimahullâh mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau:
“Perhatikan dan cermatilah –semoga Allâh Ta'ala merahmatimu– semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah radhiyallâhu'anhum atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka, (maka) berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf ini.
LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF
Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidama Budha”.[4]
�at radhiyallâhu'anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]
Pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (Islam) lainnya.[3]
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullâh berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar (hlm. 28):
“Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al-Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau radhiyallâhu'anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allâh Ta'ala. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan zuhud model agama Budha”.[4]
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.
PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASHAWWUF
YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR‘ÂN DAN SUNNAH[5]
Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al- Qur‘ân dan Sunnah, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan arraja‘ (pengharapan), sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf:
“Aku beribadah kepada Allâh Ta'ala, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. (!?)
Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja‘, adz-dzull (penghinaan diri), al-khudhû‘ (ketundukkan), do’a, dan aspek-aspek lainnya.
Salah seorang ulama Salaf berkata:
“Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq (kafir). Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Harûriyyah (Khawarij). Dan barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.
Oleh karena itu, Allâh Ta'ala memuji sifat para nabi dan rasul-Nya yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]
2.
Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur‘ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka.
Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala, (mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/ pembuat syari’at agama bagi mereka”.
3.
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka. Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala dengan selalu membacanya.
Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur‘ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur‘ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”.
Kalimat thayyibah (lâ ilaha illallah), menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal (الله) dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata (هُوَ/Dia), mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallâh adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal (الله), serta dzikirnya orang- orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (هُوَ/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.
4.
Sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrim) orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan ‘wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al--Qur‘ân.
Wali (kekasih) Allâh Ta'ala adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh Ta'ala). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Perlu ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang- orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali (kekasih) Allâh Ta'ala.
Kedudukan sebagai wali Allâh Ta'ala juga tidak menjadikan diri seseorang terpelihara dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Adapun makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah) dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut.
Bahkan, tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh Ta'ala, melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar kebiasaan.
Kita dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya.
Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan halhal yang ghaib (tidak nampak), dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allâh Ta'ala.
Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan menjauhi larangannya?
Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin.
Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allâh.[7]
Kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allâh Ta'ala.
5.
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allâh Ta'ala (?!).
Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash- Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan:
“Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.
6.
Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka.
Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allâh Ta'ala, meyakini janji dan ancaman-Nya.
Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama Islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allâh Ta'ala secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama.
Mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allâh Ta'ala. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allâh Ta'ala berikut ini:
Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian).
(Qs. al-Hijr/15 : 99)
Kata mereka :
“Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabb-mu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu …”.
Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka.
Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullâh:
“Sesungguhnya Allâh Ta'ala tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,”
Kemudian Hasan al-Bashri rahimahullâh membaca ayat di atas.
Jadi, ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli tashawwuf.
PENUTUP
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur‘ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allâh Ta'ala, tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.
Kemudian, jika muncul pertanyaan:
“Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?”
Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya:
“Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Qs. Ali ‘Imrân/3 ayat 164)
Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur‘an dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allâh Ta'ala. Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allâh Ta'ala ialah (kekotoran) jiwanya.[9]
[1]
Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri (hlm. 61), Tahqiq: Syaikh Khâlid ar-Raddâdi.
[2]
Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14.
[3]
Majmu’ al-Fatâwa, 11/6.
[4] Ibid., hlm. 14.
[5]
Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al ‘Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan.
[6]
Lihat, misalnya firman Allâh Ta'ala dalam surat al-Anbiyâ‘/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya.
[7]
Majmu’ al-Fatâwa, 11/215.
[8]
Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ‘ fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini.
[9]
Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam kitabnya, Ighatsatul-Lahafân dan al-Fawâ’id.
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (06-07)/Tahun XII)
PENDAHULUAN
Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allâh Ta'ala.
Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur‘ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh Salafush-Shalih.
Imam al-Barbahâri rahimahullâh mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau:
“Perhatikan dan cermatilah –semoga Allâh Ta'ala merahmatimu– semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah radhiyallâhu'anhum atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka, (maka) berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf ini.
LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF
Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidama Budha”.[4]
�at radhiyallâhu'anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]
Pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (Islam) lainnya.[3]
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullâh berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar (hlm. 28):
“Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al-Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau radhiyallâhu'anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allâh Ta'ala. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan zuhud model agama Budha”.[4]
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.
PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASHAWWUF
YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR‘ÂN DAN SUNNAH[5]
Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al- Qur‘ân dan Sunnah, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan arraja‘ (pengharapan), sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf:
“Aku beribadah kepada Allâh Ta'ala, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. (!?)
Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja‘, adz-dzull (penghinaan diri), al-khudhû‘ (ketundukkan), do’a, dan aspek-aspek lainnya.
Salah seorang ulama Salaf berkata:
“Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq (kafir). Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Harûriyyah (Khawarij). Dan barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.
Oleh karena itu, Allâh Ta'ala memuji sifat para nabi dan rasul-Nya yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]
2.
Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur‘ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka.
Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala, (mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/ pembuat syari’at agama bagi mereka”.
3.
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka. Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala dengan selalu membacanya.
Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur‘ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur‘ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”.
Kalimat thayyibah (lâ ilaha illallah), menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal (الله) dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata (هُوَ/Dia), mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallâh adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal (الله), serta dzikirnya orang- orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (هُوَ/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.
4.
Sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrim) orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan ‘wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al--Qur‘ân.
Wali (kekasih) Allâh Ta'ala adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh Ta'ala). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Perlu ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang- orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali (kekasih) Allâh Ta'ala.
Kedudukan sebagai wali Allâh Ta'ala juga tidak menjadikan diri seseorang terpelihara dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Adapun makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah) dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut.
Bahkan, tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh Ta'ala, melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar kebiasaan.
Kita dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya.
Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan halhal yang ghaib (tidak nampak), dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allâh Ta'ala.
Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan menjauhi larangannya?
Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin.
Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allâh.[7]
Kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allâh Ta'ala.
5.
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allâh Ta'ala (?!).
Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash- Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan:
“Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.
6.
Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka.
Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allâh Ta'ala, meyakini janji dan ancaman-Nya.
Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama Islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allâh Ta'ala secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama.
Mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allâh Ta'ala. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allâh Ta'ala berikut ini:
Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian).
(Qs. al-Hijr/15 : 99)
Kata mereka :
“Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabb-mu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu …”.
Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka.
Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullâh:
“Sesungguhnya Allâh Ta'ala tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,”
Kemudian Hasan al-Bashri rahimahullâh membaca ayat di atas.
Jadi, ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli tashawwuf.
PENUTUP
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur‘ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allâh Ta'ala, tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.
Kemudian, jika muncul pertanyaan:
“Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?”
Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya:
“Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Qs. Ali ‘Imrân/3 ayat 164)
Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur‘an dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allâh Ta'ala. Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allâh Ta'ala ialah (kekotoran) jiwanya.[9]
[1]
Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri (hlm. 61), Tahqiq: Syaikh Khâlid ar-Raddâdi.
[2]
Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14.
[3]
Majmu’ al-Fatâwa, 11/6.
[4] Ibid., hlm. 14.
[5]
Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al ‘Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan.
[6]
Lihat, misalnya firman Allâh Ta'ala dalam surat al-Anbiyâ‘/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya.
[7]
Majmu’ al-Fatâwa, 11/215.
[8]
Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ‘ fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini.
[9]
Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam kitabnya, Ighatsatul-Lahafân dan al-Fawâ’id.
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (06-07)/Tahun XII)
Langganan:
Postingan (Atom)