Assalammu’alaikum ustad, sebagai penulis yang sering mengkritisi kegiatan yang berbau2 bidah, syirik, takhyul dan sebagainya. Mohon kiranya bisa dijelaskan ke saya perihal ceramahnya ustad M. Nur Maulana (dari Makasar) yang tayang setiap pagi di acara “Islam itu Indah” di salah satu stasiun TV swasta dimana menurut saya materi ceramahnya banyak yang kurang sesuai dengan syariat islam. diantaranya :
1. Gaya berceramah yang terlihat seperti kebanci2an.
2. Beliau selalu membuka ceramahnya dengan membacakan shalawat nariyah.
3. ada beberapa hal yang aneh mengenai mudahnya dia menjawab pertanyaan yang seolah cenderung seperti berfatwa dengan ilmunya sendiri (sebab beliau tidak pernah menukilkan pendapat ulama ataupun menggunakan dalil baik Al-quran atau pun hadist). seperti jawabannya mengenai bolehnya memakai jimat dan memandikan benda2 pusaka pada waktu2 tertentu.
4. Seringkali saya melihat beliau mudah untuk berjabat tangan dengan jamaah wanitanya dan juga kalo kebetulan bintang tamunya adalah penyanyi beliau juga tidak segan untuk menyuruh bintang tamunya bernyanyi.
Mohon jawabnnya ustad, mengingat bahwa keluarga saya suka sekali menonton ceramahnya beliau meskipun sering saya ingtakan bahwa ada yang “aneh” dengan materinya beliau.
jikalau memang menurut analisa ustad, beliau ini ceramahnya tidak ada masalah maka saya memohon ampun kepada Allah karena telah berburuk sangka kepada beliau. dan jikalau kegalauan saya benar maka setidaknya saya bisa terus berupaya meyakinkan keluarga saya untuk tidak mendengarkan ceramah beliau.
sekedar tambahan ustad, bahwa sebelum acara ini dulu pernah ada acara yang memiliki judul serupa yaitu indahnya islam yang diisi oleh prof musdah mulia namun tidak bertahan lama karena diprotes oleh pemirsa yang mengetahui siapa musdah mulia itu. saya khawatir, bahwa acara ini sebenarnya perpanjangan dari acara yang sama yang hanya berubah tampilannya padahal tujuannya sama untuk merusak agama islam.
demikian ustad, sebelumnya saya ucapkan jazakallohu khoir.
wahyu :
Date: June 16, 2011 @ 12:08 am
***
Wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh.
Sebenarnya tidak ada rubric untuk jawaban-jawaban di nahimunkar.com, namun karena masalah da’wah di televisi banyak dikeluhkan Ummat Islam karena berbagai persoalan terutama bila dicocokkan dengan ajaran Islam yang benar, maka keluhan yang ini bolehlah ditanggapi.
1. Gaya berceramah yang terlihat seperti kebanci-bancian. Masalah penampilan banci ataupun kebanci-bancian itu sudah ada fatwa dari MUI.
MUI telah memfatwakan tentang kedudukan waria.
Berikut ini kutipan fatwa MUI tentang kedudukan waria:
Mengingat:
Hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa laki-laki berperilaku dan berpenampilan seperti wanita (dengan sengaja), demikian juga sebaliknya, hukumnya adalah haramdan dilarang agama.
Hadits menegaskan;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang berpenampilan perempuan dan perempuan yang berpenampilan laki-laki. (HR Al-Bukhari).
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka dengan memohon taufiq dan hidayah kepada Allah SWT
Memutuskan
1. Memfatwakan:
a. Waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri.
b. Segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula.
2. Menghimbau kepada:
a. Departemen Kesehatan dan Departemen social RI untuk membimbing para waria agar menjadi orang yang normal, dengan menyertakan para psikolog.
b. Departemen Dalam Negeri RI dan instansi terkait lainnya untuk membubarkan organisasi waria.
3. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di:
Jakarta Pada tanggal: 1 Nopember 1997
Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia
Ketua Komisi Fatwa MUI Ketua Umum Sekretaris Umum
Prof. KH. Ibrahim Hosen KH. Hasan Basri Drs. HA. Nazri Adlani
Jadi, sudah ada fatwa MUI yang mengharamkannya, menyatakan penyimpangannya itu haram, agar Depertemen Kesehatan dan Departemen social mendandani mereka supaya jadi normal. Sedang Departemen Dalam Negeri agar membubarkan organisasi waria.
Nabi perintahkan menghukum banci maka mereka diasingkan.
Dalam hadits-hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir banci, demikian pula Umar bin Khatthab pun mengusir banci. Pengusiran pun diperintahkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga banci-banci diasingkan ke Naqi’ satu tempat di pinggiran Madinah, mereka tidak boleh bergaul dengan masyarakat.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ وَأَخْرِجُوا فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْنِي الْمُخَنَّثِينَ (رواه أبو داود,قال الشيخ الألباني : صحيح)
(ABUDAUD – 4282) : Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai wanita dan kaum wanita yang menyerupai laki-laki.” Beliau bersabda: “Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian, dan keluarkanlah si fulan dan si fulan -yaitu para banci-.” (HR Abu Dawud, kata Syaikh Al-Albani, Shahih).
Dalam riwayat lain,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا
Dari Ibnu ‘Abbas; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang meniru wanita (banci) dan wanita yang meniru laki-laki, beliau bersabda:“Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkan fulan, dan Umar juga mengeluarkan fulan. (HR Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ahmad, - 2016, dishahihkan Al-Albani)
Rasulullah memerintahkan untuk menghukum orang banci lalu diasingkan ke Naqi’:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِمُخَنَّثٍ قَدْ خَضَّبَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ بِالْحِنَّاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ هَذَا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَمَرَ بِهِ فَنُفِيَ إِلَى النَّقِيعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ فَقَالَ إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ
قَالَ أَبُو أُسَامَةَ وَالنَّقِيعُ نَاحِيَةٌ عَنْ الْمَدِينَةِ وَلَيْسَ بِالْبَقِيعِ
تحقيق الألباني : صحيح ، المشكاة ( 4481 / التحقيق الثاني )
Dari Abu Hurairah berkata, “Pernah didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seorang banci yang mewarnai kuku tangan dan kakinya dengan inai. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya: “Ada apa dengan orang ini?” para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini menyerupai wanita.” Beliau kemudian memerintahkan agar orang tersebut dihukum, maka orang itu diasingkan ke suatu tempat yang bernama Naqi’. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita membunuhnya saja?” beliau menjawab: “Aku dilarang untuk membunuh orang yang shalat.” Abu Usamah berkata, “Naqi’ adalah sebuah tempat di pinggiran Kota Madinah, dan bukan Baqi’.” (HR Abu Daud, 4280)
Berlandaskan hadits-hadits tentang pengusiran (pengasingan) orang banci, Imam Ibnu Taimiyyah mengutip pernyataan Imam As-Syafi’I dan Ahmad menyebutkan bahwa pengasingan (orang dibuang/ diasingkan atau diisolir tidak boleh bergaul dengan masyarakat karena kesalahannya) itu dalam sunnah datang pada dua tempat. Yang satu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata mengenai orang yang zina ketika tidak muhshon (belum pernah nikah):
{ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ }
Dijilid (dicambuk) seratus kali dan dibuang/ diasingkan setahun.
Yang kedua, pengusiran (pengasingan) orang-orang banci, (berdasarkan hadits-hadits yang shahih seperti tersebut di atas). (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, juz 3 halaman 362)
Ketika orang kebanci-bancian malah diberi kesempatan berdakwah di televisi, maka apapun alasannya, itu adalah melanggar Islam, bahkan merusak Islam.
2. beliau selalu membuka ceramahnya dengan membacakan shalawat nariyah.
Shalawat nariyah itu rawan kemusyrikan. Inilah uraiannya:
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[i] menjelaskan bahaya Shalawat Nariyah itu dalam kitabnya Minhajul Firqah An-Najiyah sebagai berikut:
Shalawat Nariyah telah dikenal oleh banyak orang. Mereka beranggapan, barangsiapa membacanya sebanyak 4.444 kali dengan niat agar kesusahan dihilangkan, niscaya akan terpenuhi.
Ini adalah anggapan batil yang tidak berdasar sama sekali. Apalagi jika kita mengetahui lafadh bacaannya, serta kandungan syirik yang ada di dalamnya. Secara lengkap, lafadh Shalawat Nariyah itu adalah sebagai berikut:
“اللهم صلِّ صلاة كاملة، وسلِّم سلاماً تامّاً على سيدنا محمد، الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب، وتقضى به الحوائج، وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم، و يُستسقى الغمام بوجهه الكريم، وعلى آله وصحبه وسلم في كل لمحه ونفس بعدد كل معلوم لك.”
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan/pungkasan yang baik, dan diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga dan sahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
1. Aqidah tauhid yang diserukan Al-Qur’anul karim dan diajarkan RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam kepada kita menegaskan kepada setiap muslim agar meyakini bahwa hanya Allah semata yang kuasa menguraikan segala ikatan. Yang menghilangkan segala kesedihan. Yang memenuhi segala kebutuhan dan memberi apa yang diminta oleh manusia ketika berdo’a.
Setiap muslim tidak boleh berdo’a dan memohon kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya, bahkan meski yang dimintanya adalah seorang malaikat yang diutus atau nabi yang dekat (kepada Allah).
Al-Qur’an mengingkari berdo’a kepada selain Allah, baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا(56)أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا(57)
“Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra’: 56-57)
Para ahli tafsir mengatakan, ayat di atas turun sehubungan dengan sekelompok orang yang berdo’a dan meminta kepada Isa Al-Masih, malaikat dan hamba-hamba Allah yang shalih dari jenis makhluk jin.
2. Bagaimana mungkin Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam akan rela, jika dikatakan bahwa beliau kuasa menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan. Padahal Al-Qur’an menyeru kepada beliau untuk memaklumkan:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ(188)
“Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
ُ وجاء رَجُلإلى الرسول فقال لهٌ : مَا شَاءَ اللَّهُ , وَشِئْت , فَقَالَ : أَجَعَلْتنِي لِلَّهِ نِدًّا ؟ , قل مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ . (رواه النسائي بسند حسن)
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu ia berkata kepada beliau, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’. Maka Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau menjadikan aku sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah? Katakanlah, ‘Hanya atas kehendak Allah sendiri.’” (HR. An-Nasa’i dengan sanad hasan).
Di samping itu, di akhir lafadh Shalawat Nariyah tersebut, terdapat pembatasan dalam masalah ilmu-ilmu Allah. Ini adalah suatu kesalahan besar.
Kenapa kita membaca shalawat-shalawat bid’ah yang merupakan perkataan manusia, kemudian kita meninggalkan shalawat Ibrahimiyah yang merupakan ajaran Al-Ma’shum (Muhammad) Shallallahu Alaihi wa Sallam?[1]
3. ada beberapa hal yang aneh mengenai mudahnya dia menjawab pertanyaan yang seolah cenderung seperti berfatwa dengan ilmunya sendiri (sebab beliau tidak pernah menukilkan pendapat ulama ataupun menggunakan dalil baik Al-quran atau pun hadist). seperti jawabannya mengenai bolehnya memakai jimat dan memandikan benda2 pusaka pada waktu2 tertentu.
Menanggapi hal itu, perlu diingat, Agama Islam itu dari Allah Ta’ala. Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam pun hanya menyampaikan dan mengikuti wahyu. Bahkan rasul-rasul sebelumnya pun hanya menyampaikan apa yang diterima dari Allah Ta’ala. Hingga dalam Al-Qur’an ada ayat:
وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ [يس/17]
17. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (QS Yasin: 17)
إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ [الأنعام/50]
Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS Al-An’am: 50)
Muballigh atau orang yang berda’wah, mestinya hanya menyampaikan apa-apa yang dari Allah Ta’ala yaitu wahyu. Penjelasan-penjelasan pun berdasarkan wahyu, yakni Al-Qyur’an dan As-Sunnah, tidak boleh menyelisihi.
Apabila berda’wah tanpa landasan wahyu, berarti yang dijadikan landasan hanya pikirannya sendiri atau pikiran lain-lain. Seandainya isinya tidak bertentangan dengan Islam, maka cara itu sudah tidak benar, karena tidak melandasinya dengan dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Apalagi bertentangan dengan dalil, seperti yang anda sebutkan, jawabannya mengenai bolehnya memakai jimat dan memandikan benda2 pusaka pada waktu2 tertentu.
Itu atas nama da’wah namun sejatinya merusak Islam dan sangat membahayakan Islam, karena bertentangan dengan Islam.
4. seringkali saya melihat beliau mudah untuk berjabat tangan dengan jamaah wanitanya dan juga kalo kebetulan bintang tamunya adalah penyanyi beliau juga tidak segan untuk menyuruh bintang tamunya bernyanyi.
Berjabat tangan dengan jamaah wanitanya, tentunya kebanyakan bukan mahram, jadi terlarang. Ada beberapa dalil tentang tidak bolehnya bersalaman antara lelaki dan wanita yang bukan mahramnya.
Dalil yang pertama:
Sabda Nabi:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Artinya: Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.( At-Thabrani [wafat tahu 360 H] meriwayatkan hadits ini dalam al-Mu’jam al-Kabir, oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/374, No Hadits: 5455, Ibnu Hajar mengatakan: sanadnya tsiqotun /terpercaya
Fiqh Hadits
1. Hadits ini mengharamkan seorang laki-laki menyentuh wanita non mahram
2. Yang dimaksud dengan menyentuh di dalam hadits ini adalah menyentuh hakiki, dan bukan bermakna jimak [hubungan intim].
3. Menyentuh wanita yanag bukan mahram termasuk dosa besar, hal ini bisa disimpulkan dari ancaman keras yang dikandung hadits di atas.
4. al-Munawi –rahimahullah- mengatakan: dikhususkan pasak dari besi, karena lebih kuat dari yang lainnya, dan lebih keras dalam menusuk, serta lebih parah sakitnya. (Faidul Qadir 5/258)
Dalil Kedua:
Diantara kebiasaan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah tidak menjabat tangan wanita ketika membai’at mereka, padahal sebenarnya momentum bai’at sangat layak untuk menjabat tangan orang yang membai’at demi mengukuhkan bai’at tersebut, namun Rasulullah meninggalkannya –jabat tangan dengan wanita-, hal ini menunjukan keharaman perbuatan tersebut.
Rasulullah bersabda:
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلُ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
Artinya: sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita, sesungguhnya perkataanku untuk seratus wanita sama dengan perkataanku untuk satu orang atau serupa dengan perkataanku untuk satu orang wanita. (diriwayatkan oleh Imam Malik [wafat tahun 179 H] dalam kitabnya Muwattha’ 1/346 No Hadits 897, Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya di kitabus Siyar Bab penjelasan tentang pembai’atan wanita, No Hadits: 1597, beliau mengatakan: hadits Hasan Shahih, dan Ibnu Majah [wafat tahun 273 H] dalam Sunan-nya, kitabul Jihad Bab tentang pembai’atan wanita No Hadits: 2874, Ibnu Majah [wafat tahun 273 H] dalam Sunan-nya, kitabul Jihad Bab tentang pembai’atan wanita No Hadits: 2874).
Fiqh Hadits:
Larangan berjabat tangan laki-laki dengan wanita asing [non maharam].
Berkata Ibnu ‘Abdilbarr [wafat tahun 463 H] –rahimahullah-: Dalam sabda Rasulullah “sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita”, merupakan dalil yang melarang laki-laki untuk berdekatan [al-Mubasyarah] dengan wanita yang tidak halal baginya, dan larangan untuk menyentuhnya dengan tangannya, serta larangan untuk berjabat tangan. (at-Tamhid 5/44)
Berkata al-Hafidz al-’Iraqiy [wafat tahun 826 H] –rahimahullah-: jika saja beliau tidak melakukannya [jabat tangan], padahal beliau seorang yang ma’shum [terjaga dari dosa] dan terangkatnya kecurigaan [untuk melakukan dosa] atasnya, maka manusia selain beliau lebih layak untuk tidak melakukan [jabat tangan]. (Tharhu Tatsrib 7/44).
Dalil Ketiga:
Bahkan Aisyah –radhiyallahu anha- bersumpah bahwa Nabi tidak pernah menyentuh tangan seorangpun ketika proses bai’at, beliau berkata:
وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِى الْمُبَايَعَةِ ، مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ « قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ »
ولا والله !! ما مست يد امرأة قط في المبايعة, ما يبايعهنّ إلاّ بقوله قد بايعتك علي ذلك
Artinya: Demi Allah, [tangan Rasulullah] tidak menyentuh tangan seorang wanitapun ketika proses bai’at, beliau tidak membai’at para wanita kecuali dengan berkata: saya telah membai’at kamu atas hal itu [yang diucapkan ketika proses bai'at]. (al-Bukhari dalam kitab Tafsir Bab: jika datang kepada kalian wanita mukmin yang berhijrah No Hadits: 4891, dan di Kitab at-Thalaq Bab: jika telah masuk ke dalam islam wanita muyrik atau nasrani yang menjadi istri kafir dzimmi atau harbiy No Hadits 5288, dan dalam Kitab Ahkam Bab Bai’at para wanita No Hadits: 7214 diriwayatkan dengan ringkas, dan dalam redaksi hadits tersebut ada lafadz: “dan tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang wanitapun, kecuali wanita yang dimilikinya [para istri dan hamba sahaya,pent.]“.
v Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah Bab: cara membai’at wanita No Hadits: 1866
v Al-Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits di atas dalam Kitab Tafsir Bab: dan dari surat al-Mumtahanah No Hadits: 3306
v Sedangkan al-Imam Ibnu Majah meriwayatkan hadits di atas dalam Kitab al-Jihad Bab tentang bai’at wanita No Hadits: 2875
v Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Musnad-nya halaman 1944 No Hadits: 26857).
Fiqh Hadits:
v Penegasan pengharaman jabat tangan laki-laki dengan wanita asing [non mahram], hal ini disimpulkan dari sumpah yang lafadzkan Aisyah –radhiyallahu ‘anha-.
Inilah pemaparan ringkas tentang haramnya menyentuh dan menjabat tangan wanita non mahram dalam tinjauan Islam, beserta beberapa dalil dari hadits-hadits Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam- yang dihiasi perkataan-perkataan para ulama kita, kesimpulan yang bisa kita petik dari pembahasan diatas adalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah menyentuh dan menjabat tangan seorang wanitapun, dan hal ini juga ditegaskan oleh Aisyah –radhiyallahu ‘anha-dengan sumpah beliau. (disingkat dari artikel MENYENTUH WANITA NON MAHRAM DALAM TINJAUAN ISLAM
KAJIAN FIQH HADITS . Sumber dari artikel ini adalah tesis master di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud karya Nabilah binti Zaid bin Sa’ad al-Haliibah dengan judul tesis at-Ta’aamul al-Masyruu’ lil Mar’ah Ma’ar Rajul al-Ajnabii, Diterjemahkan dan disusun oleh : Abu Shafa Luqmanul Hakim,http://www.markazassunnah.com/2011/05/hukum-menyentuh-wanita-non-mahram-dalam.html).
Masih ada satu masalah, kalo kebetulan bintang tamunya adalah penyanyi beliau juga tidak segan untuk menyuruh bintang tamunya bernyanyi.
Inilah pernyataan para ulama berdasarkan ayat dan hadits:
Haramnya Musik dan Profesi Penyanyi
Hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا…
… dan wanita-wanita yang kasiyat ‘ariyat mailat mumilat, kepala mereka bagaikan punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan merasakan baunya surga…(HR Muslim) itu menurut sebagian ahli ilmu, maksudnya adalah wanita-wanita penyanyi/ al-mughonniyyaat. (Ashbahani, Dalailun Nubuwwah, juz 1 hlm 224).
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, khathib Masjid Nabawi Madinah menulis satu buku berjudul Pengumuman bahwa musik dan nyanyian itu haram (al-I’laam bi annal ‘azfa wal ghina’a haroom).
Allah menyatakan kepada Iblis musuh seluruh manusia:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ.
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu…(QS Al-Israa’: 64).
Mujahid, seorang Imam Tafsir menyatakan, dari Ibnu Abbas ra dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “suaramu” (suara syaitan) adalah lagu, musik, dan senda gurau. Sementara itu Ad-Dhahhak menjelasakannya serupa: Suara syaitan yang dimaksud dalam ayat ini adalah suara musik. (Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi,Haramkah Musik dan Lagu, terjemahan Awfal ‘Ahdi, Wala’ Press, cetakan pertama, 1996, hlm 15).
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ(6).
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS Luqman: 6).
Mujahid mengatakan, “perkataan yang tidak berguna” (lahwal hadits) adalah mendengarkan lagu/ nyanyian dan kebatilan yang serupa”. Abdullah bin Mas’ud menyatakan, “Demi Allah yang tiada Ilah kecuali Dia, sesungguhnya lahwal hadits itu maksudnya adalah lagu-lagu/ nyanyian. (Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Haramkah Musik dan Lagu, terjemahan Awfal ‘Ahdi, Wala’ Press, cetakan pertama, 1996, hlm 16).
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ(59).
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?
وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ(60).
Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?
وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ(61).
Sedang kamu melengahkan (nya) (dengan bernyanyi-nyanyi)? (QS An-Najm/ 53: 59, 60, 61).
Riwayat dari Ibnu Abbas, Ikrimah berkata, As-sumud menurut bahasa Himyar (salah satu kabilah dari bangsa Arab) adalah lagu. Jika dikatakan, usmudi lana ya fulanah, artinya: Nyanyikanlah untuk kami wahai Fulanah. Dalam menafsiri ayat di atas, Ikrimah berkata, “apabila mereka (orang-orang kafir) mendengar Al-Qur’an (dibacakan), mereka bernyanyi-nyanyi dengan lagu-lagu untuk menghalangi manusia dari mendengarkan Al-Qur’an itu. Maka diturunkanlah ayat di atas.” Karenanya, para ulama salafus shalih (generasi pertama yang shalih) menyebut (nyanyian itu) dengan istilah Qur’annya syaithan, karena lagu-lagu itu digunakan syaitan untuk menentang dan menandingi Al-Qur’an serta menghalangi orang dari mengingat Allah dan mengingat al-Qur’an. Apakah celaan Allah terhadap kelakuan mereka yang menertawakan dan bernyanyi-nyanyi itu menunjukkan bahwa lagu tidak haram?
Ketiga ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas oleh para Imam tafsir, di antaranya Imam Al-Qurthubi, dikomentari dengan suatu keputusan:“Sesungguhnya ayat-ayat tersebut menunjukkan haramnya lagu/ nyanyian.” (Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Haramkah Musik dan Lagu,terjemahan Awfal ‘Ahdi, Wala’ Press, cetakan pertama, 1996, hlm 18).
Berbagai hal menyangkut da’I di televisi yang dikeluhkan itu ternyata memang tidak pantas didengarkan ataupun diperhatikan, karena banyak pelanggarannya yang merusak Islam.
Semoga Ummat Islam terhindar dari da’wah-da’wah yang model ini. (nahimunkar.com)
[1] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah An-Najiyah wat Thaifah Al-Manshurah,diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc, Jalan Golongan Selamat, Darul Haq, Jakarta, cet. I, 1419 H, hlm. 173-176. Lihat pula di buku Hartono Ahmad Jaiz,Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 7, 2004M, halaman 266-268.
[i] . المدرس في دار الحديث الخيرية بمكة المكرمة
Syeikh Muhammad Jamil Zainu Rahimahullah, pengajar di Darul Hadits Khairiyah, Makkah al-Mukarramah telah wafat pada hari Jumaat lalu, 8 Oktober 2010/29 Syawal 1431 H, setelah sholat Isya’, jenazah Syeikh Muhammad Jamil Zainu disholati oleh jama’ah di Masjidil Haram, Makkah.
Assalamualaikum..
BalasHapus1. Kita lupa ya kalau ghibah dan fitnah itu dosa besar.
2. Coba lebih seksama itu bukan gaya banci, ustad hanya melakukan mimik/gerakan/ekspresi di setiap kalimatnya, agar penonto terutama anka muda sekarang mana ada yang mau denger ceramah..
Mohon diperhatikan lagi, tidak sedikitpun saya melihat itu banci, banci itu meniru gaya wanita
Waalaikumsalam..
BalasHapusSyukron sudah komentar dan mampir ke blog saya.Perkenankan saya ingin menanggapi beberapa hal :
Pertama:
Ghibah yang Dibolehkan
dalilnya:
Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:
1.Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
2.'Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
3.Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
4.Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
5.Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
6.Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)
Oleh karena itu Artikel ini saya posting dalam rangka memperingatkan dan menasehati kaum muslimin dalam metode Dakwah.
Kedua:
Mimik/gerakan/eksperi itulah yg dibuat2, saya rasa tidak ada laki dalam kehidupan kesehariannya bertingkah seperti itu, meniru gaya wanita tdk identik meniru pakaiannya bisa jg nada bicaranya.
Alhamdulillah saya masih banyak menyaksikan anak2 muda yg dgn hikmat mendengarkan Kajian2 Agama, tanpa hrs sang Ustadz bertingkah yg aneh2.
kebetulan saya juga tidak suka gayanya. masih banyak kajian yang lebih baik untuk ditonton
BalasHapusSaya setuju dengan mas dedi, ko ga ada nukil ayat ato hadits dlm penyampaian tausiyahx, omongan tho layakx konsultasi umum, smtr ustad lain yg tampil bareng ama dia aja bisa ko nukil ayat ato hadits dgn bhs arab yg fasih.
BalasHapusMohon pihak televisi bs memilah mana ustadz/zah yg layak tampil n mana yg layak sbg biro konsultasi