Telah kita sebutkan di awal pembahasan kitab thaharah, bahwa thaharah adalah perbuatan menghilangkan hadats dan amalan yang semakna dengannya atau hilangnya najis. Dan kita juga telah mengetahui bahwa hadats terbagi menjadi dua: Akbar (besar) dan ashghar (kecil), dimana hadats akbar adalah hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi, sementara hadats kecil adalah hadats yang cukup diangkat dengan wudhu, dan pada keduanya jika tidak ada air maka diganti dengan tayammum.
Contoh hadats akbar adalah kekafiran, junub, serta haid dan nifas, sementara contoh hadats kecil adalah tidur, buang angin, dan buang air.
Adapun kali ini kami akan membahas mengenai hukum-hukum berkenaan dengan orang yang terkena hadats, baik akbar maupun ashghar. Ada banyak hukum berkenaan dengan mereka, akan tetapi di sini kami hanya akan membahas hukum yang sering dipertanyakan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu:
1. Hukum berzikir.
2. Hukum membaca Al-Qur`an.
3. Hukum menyentuh mushaf Al-Qur`an.
4. Hukum masuk masjid.
5. Hukum sujud syukur dan tilawah.
Bolehkah kelima amalan ini dilakukan oleh orang yang belum berwudhu setelah hadats kecil, atau orang junub, atau wanita haid dan nifas? Berikut uraiannya secara berurut:
1. Hukum berzikir.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa wanita yang haid atau orang yang junub atau selainnya dari kalangan orang yang berhadats, boleh bagi mereka untuk berzikir kepada Allah walaupun zikir tersebut mengandung ayat Al-Qur`an kalau memang zikir tersebut juga terdapat dalam Al-Qur`an, selama dia tidak meniatkan kalau yang dibaca itu adalah Al-Qur`an akan tetapi zikir yang bersifat umum, seperti: Basmalah, hamdalah, dan zikir-zikir lainnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (1/200), “Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka (para ulama) bahwa mereka (orang-orang yang berhadats) boleh berzikir kepada Allah Ta’ala, karena mereka butuh untuk membaca basmalah ketika mereka akan mandi (junub) dan tidak mungkin mereka menghindar dari hal ini.”
Nukilan ijma’ juga dinukil oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/163) dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (1/77)
2. Hukum membaca Al-Qur`an.
Yang dimaksud dengan membaca di sini adalah bacaan yang disertai dengan bergeraknya lidah. Adapun melihat ke mushaf (tanpa menyentuhnya) lalu dia membacanya dalam hati tanpa menggerakkan lidahnya, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama akan bolehnya. Demikian yang diterangkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/163)
Adapun hadats ashghar, maka Imam An-Nawawi berkata, “Kaum muslimin bersepakat akan bolehnya membaca AL-Qur`an bagi orang yang berhadats dengan hadats ashghar, tapi lebih utama jika dia berwudhu dahulu.” (Al-Majmu’: 2/163)
Adapun hukum membaca Al-Qur`an bagi orang yang berhadats akbar, maka ada tiga pendapat di kalangan ulama:
1. Tidak boleh bagi yang berhadats besar untuk membaca Al-Qur`an. Ini adalah mazhab Al-Hanafiah, Imam Malik -dalam salah satu riwayat-, Asy-Syafi’iyah, dan Ahmad -dalam sebuah riwayat-. Ini juga adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakhai, Az-Zuhri, Qatadah, Atha`, Said bin Jubair, dan merupakan pendapat mayoritas ulama.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits berikut:
a. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Wanita yang haid dan juga orang yang junub tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.” (HR. At-Tirmizi: 1/236 dan Ibnu Majah: 1/195)
Hadits ini berasal dari dua jalan:
Pertama: Dari riwayat Ismail bin Ayyasy dari Musa bin Uqbah Al-Qurasyi dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sementara riwayat Ismail dari para perawi Hijaz adalah riwayat yang lemah, dan ini di antaranya.
Kedua: Dari jalan seorang lelaki dari Abui Ma’syar Najih dari Musa bin Uqbah dan seterusnya. Sisi kelemahannya jelas, karena adanya rawi yang mubham (tidak tersebut namanya) dan Abu Ma’syar telah dinyatakan lemah oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib.
Karenanya Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (1/409), “Hadits Ibnu Umar lemah dari seluruh jalan-jalannya.” Lihat juga Ilal Ibnu Abi Hatim (1/49)
Lafazh ini juga diriwayatkan dari Jabir secara marfu’ (dari Nabi) akan tetapi di dalam sanadnya ada Muhammad bin Al-Fadhl seorang rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya), dan juga diriwayatkan darinya secara mauquf (dari ucapannya) akan tetapi di dalam sanadnya ada Yahya bin Abi Unaisah dan dia adalah seorang pendusta. Demikian disebutkan dalam At-Talkhish Al-Habir karya Ibnu Hajar (1/138), dan lihat juga Al-Irwa` hadits no. 192
b. Dari Ali -radhiallahu anhu- secara marfu’:
لَمْ يَكُنْ يُحْجِبُهُ عَنِ الْقُرْآنِ إِلاَّ الْجَنَابَةُ
“Tidak ada sesuatu pun yang memisahkan beliau (Nabi) -shallallahu alaihi wasallam- dari Al-Qur`an kecuali junub.” (HR. Abu Daud: 1/155, At-Tirmizi: 1/98,99, An-Nasai: 1/157, dan Ibnu Majah: 1/195)
Dan dalan sebuah lafazh, “Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- biasa membacakan Al-Qur`an kepada kami dalam keadaan apapun, selama beliau tidak dalam keadaan junub.” (HR. At-Tirmizi: 1/98)
Hadits ini juga berlaku bagi wanita yang haid karena keduanya adalah hadats akbar.
Ini juga adalah hadits yang lemah karena berasal dari riwayat Abdullah bin Salamah, seorang rawi yang rusak hafalannya di akhir hidupnya, dan ini adalah riwayatnya setelah hafalannya berubah, sebagaimana yang dikatakan oleh Syu’bah bin Al-Hajaj –rahimahullah- dan didukung oleh Al-Baihaqi. Al-Khaththabi berkata -sebagaimana dalam At-Talkhish (1/139)-, “Ahmad menyatakan lemahnya hadits ini.”
c. Juga dari Ali beliau berkata, “Saya melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- berwudhu kemudian beliau membaca beberapa ayat Al-Qur`an. Kemudian beliau bersabda:
هَكَذَا لِمَنْ لَيْسَ جُنُبًا. فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلاَ وَلاَ آيَةٌ
“Demikianlah sepantasnya bagi orang yang tidak junub, adapun orang yang junub maka dia tidak boleh membaca walaupun satu ayat.” (HR. Ahmad: 1/110)
Hadits ini berasal dari riwayat Abu Al-Gharif dari Ali, sementara Abu Al-Gharif adalah rawi yang majhul. Selain itu, hadits ini diperselisihkan apakah dia marfu’ dari Nabi ataukah mauquf atas Ali. Yang kuat dalam masalah ini bahwa hadits ini mauquf dari perkataan Ali bin Abi Thalib. Lihat keterangannya dalam Al-Ahkam Al-Mutarattibah alal Haidh wan Nifas hal. 23-24
d. Dari Abdullah bin Malik Al-Ghafiqi bahwa dia mendengar Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Jika saya berwudhu dalam keadaan junub maka saya makan dan minum, tapi saya tidak akan membaca (Al-Qur`an) sampai saya mandi.” (HR. Al-Baihaqi: 1/308)
Hadits ini dinyatakan lemah oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/180).
e. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ
“Sesungguhnya saya tidak senang berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan thaharah.”
Akan tetapi hadits ini tidak menunjukkan tidak bolehnya membaca Al-Qur`an, karena paling tinggi kita katakan ketidaksenangan beliau ini hanya mempunyai hukum makruh. Dengan dalil ucapan Aisyah -radhiallahu anha-, “Nabi -alaihishshalatu wassalam- selalu berzikir kepada Allah dalam setiap keadaan.”
f. Dari Abdullah bin Rawahah dia berkata:
قَدْ نَهَى النَّبِيُّ أَنْ يَقْرَأَ أَحَدُنَا الْقُرْآنَ وَهُوَ جُنُبٌ
“Sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah melarang kami untuk membaca Al-Qur`an dalam keadaan junub.”
Sanad hadits ini terputus karenanya dia adalah hadits yang lemah, sebagaimana yang dinyatakan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/180)
2. Boleh bagi orang yang berhadats besar untuk membaca Al-Qur`an. Ini adalah pendapat Malik -dalam riwayat yang paling masyhur darinya- dan merupakan mazhab Al-Malikiah, juga merupakan salah satu pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad -dalam satu riwayat darinya-, dan juga merupakan mazhab Azh-Zhahiriah dan juga pendapat dari Said bin Al-Musayyab. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah dan Ibnu Al-Mundzir.
Dalil-dalil mereka sebagai berikut:
a. Sudah masyhur dalam riwayat-riwayat yang shahih bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mengirim surat yang di dalamnya tertulis beberapa ayat Al-Qur`an kepada para pembesar orang kafir sementara kekafiran adalah hadats besar. Ini menunjukkan bolehnya orang yang haid dan junub untuk menyentuh dan membaca Al-Qur`an.
b. Dari Aisyah beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَذْكُرُ اللهَ فِي كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- selalu berzikir kepada Allah pada setiap keadaannya.” (HR. Muslim: 1/282)
c. Dari Aisyah bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda kepada dirinya tatkala dia haid saat perjalanan menuju haji:
اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ
“Lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali tawaf di Ka’bah sampai kamu suci.” (HR. Al-Bukhari: 1/77 dan Muslim: 2/873)
d. Ibnu Hazm meriwayatkan dalam Al-Muhalla (1/105) dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- bahwa beliau membaca Al-Qur`an dalam keadaan junub.
e. Membaca Al-Qur`an adalah termasuk zikir kepada Allah dan dia senantiasa dianjurkan, karenanya barangsiapa yang mengklaim terlarangnya dalam keadaan hadats akbar maka hendaknya dia mendatangkan dalil, dan tidak ada satu pun dalil shahih dalam masalah ini sebagaimana yang telah diterangkan.
3. Membaca Al-Qur`an dibolehkan bagi wanita haid dan nifas tapi tidak dibolehkan bagi orang yang junub. Ini adalah salah satu pendapat dari Imam Malik dan salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah.
Hal itu karena hadats mereka (haid dan nifas) timbul bukan karena kehendak mereka akan tetapi sudah ketentuan dari Allah, berbeda halnya dengan junub yang biasanya timbul karena kehendak dirinya.
Waktu haid dan nifas juga lebih lama dibandingkan junub. Jika para wanita yang haid dan nifas dilarang membaca Al-Qur`an maka akan menyulitkan mereka dan bisa saja hafalan mereka hilang jika tidak diulangi dalam jangka waktu yang lama, terlebih dalam nifas yang lamanya 40 hari. Adapun junub, maka dia bisa dihilangkan pada saat itu juga dengan segera mandi.
Tarjih:
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat kedua yang menyatakan bolehnya orang yang berhadats akbar untuk membaca Al-Qur`an. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani -rahimahullah-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar