المبالغة في تقصير الثياب
قال المصنف : وفي الصوفية من يبالغ في تقصير ثوبه وذلك شهرة أيضا
قال المصنف : وفي الصوفية من يبالغ في تقصير ثوبه وذلك شهرة أيضا
Ibnul Jauzi membuat judul dalam bukunya Talbis Iblis sebagai berikut, “Over dosis dalam Meninggikan Pakaian- agar tidak isbal, pent-”.
Setelah itu beliau mengatakan, “Di antara orang-orang sufi ada yang berlebih-lebihan dalam meninggikan pakaiannya. Itu juga masuk dalam kategori pakaian syuhroh atau pakaian yang menimbulkan buah bibir yang terlarang dalam agama”.
Setelah itu beliau mengatakan, “Di antara orang-orang sufi ada yang berlebih-lebihan dalam meninggikan pakaiannya. Itu juga masuk dalam kategori pakaian syuhroh atau pakaian yang menimbulkan buah bibir yang terlarang dalam agama”.
أخبرنا ابن الحصين نا ابن النذهب ثنا أحمد بن جعفر ثنا عبد الله بن أحمد ثني أبي ثنا محمد بن أبي عدي عن العلاء عن أبيه أنه سمع أبا سعيد سئل عن الإزار فقال : سمعت رسول الله صلي الله عليه و سلم يقول : [ إزار المسلم إلى إنصاف الساقين لا جناح أو لا حرج عليه ما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو النار ]
Ibnul Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Sahabat Nabi yang bernama Abu Said ditanya tentang ukuran izar (sejenis sarung). Jawaban beliau, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kain seorang muslim itu panjangnya hanya sampai pertengahan betis. Namun boleh jika dijulurkan lebih rendah lagi selama dalam batas antara pertengahan betis hingga mata kaki. Yang lebih panjang dari mata kaki itu di neraka”.
أخبرنا المحمدان بن ناصر وابن عبد الباقي قالا نا حمد بن أحمد نا أبو نعيم أحمد بن عبد الله ثنا أبو حامد بن جبلة ثنا محمد بن إسحاق ثنا إبراهيم بن سعيد الجوهري قال : كتب إلي عبد الرزاق عن معمر قال : كان في قميص أيوب بعض التذييل فقيل له فقال : الشهرة اليوم في التشمير
Dari Ibrahim bin Said al Jauhari, Abdurrazaq berkirim surat kepadaku menceritakan perkataan Ma’mar. Ma’mar mengatakan bahwa gamis atau jubah yang dikenakan oleh Ayub as Sikhtiyani itu agak panjang (namun tentu belum sampai menutupi mata kaki, pent). Ada yang bertanya kepada Ayub perihal perkara itu. Jawaban beliau, “Pakaian buah bibir saat ini adalah pakaian yang terlalu ditinggikan”.
وقد روى إسحاق بن إبراهيم بن هانئ قال : دخلت يوما على أبي عبد الله أحمد بن حنبل وعلي قميص أسفل من الركبة وفوق الساق فقال : أي شيء هذا ؟ وأنكره وقال : هذا بالمرة لا ينبغي
Dari Ishaq bin Ibrahim bin Hani, beliau bercerita bahwa pada suatu hari beliau menemui Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal dalam keadaan panjang jubah beliau itu tepat di bawah lutut dan di atas pertengahan betis. Melihat hal tersebut Imam Ahmad berkomentar, “Apa-apaan ini?”. Beliau menyalahkan cara berpakaian seperti itu. Beliau mengatakan, “Hal ini sama sekali tidak sepatutnya dilakukan”. [Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi takhrij Hilmi bin Ismail al Rasyidi hal 236-237, cetakan Darul Aqidah].
Di hal 223 dalam buku yang sama, Ibnul Jauzi membawakan kutipan sebagai berikut:
وقال معمر : عاتبت أيوب على طول قميصه فقال : إن الشهرة فيما مضى كانت في طوله وهي اليوم في تشميره
Ma’mar mengatakan, “Aku menegur Ayub as Sikhtiyani karena gamis atau jubahnya yang terlalu panjang (yaitu dibawah pertengahan betis, pent)”. Jawaban Ayub itu sebagai berikut, “Zaman dulu pakaian buah bibir yang terlarang adalah pakaian yang terlalu panjang (sehingga melebihi mata kaki, pent). Sedangkan pakaian buah bibir yang terlarang pada saat ini adalah pakaian yang terlalu tinggi (baca: di atas pertengahan betis)”.
Pelajaran dari kutipan di atas:
1. Pakaian yang pada asalnya mubah semisal celana yang berada di atas pertengahan betis itu bisa terlarang bila menjadi pakaian buah bibir (baca:libas syuhroh) pada suatu zaman atau masyarakat tertentu.
2. Pakaian yang dikategorikan sebagai pakaian buah bibir itu bisa berubah-ubah tergantung zaman dan masyarakatnya. Dengan kata lain, tolak ukur libas syuhroh adalah ‘urf atau pandangan umum masyarakat.
3. Orang yang memakai pakaian syuhroh itu bisa ditegur sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Imam Ahmad.
Semoga bisa direnungkan.
1. Pakaian yang pada asalnya mubah semisal celana yang berada di atas pertengahan betis itu bisa terlarang bila menjadi pakaian buah bibir (baca:libas syuhroh) pada suatu zaman atau masyarakat tertentu.
2. Pakaian yang dikategorikan sebagai pakaian buah bibir itu bisa berubah-ubah tergantung zaman dan masyarakatnya. Dengan kata lain, tolak ukur libas syuhroh adalah ‘urf atau pandangan umum masyarakat.
3. Orang yang memakai pakaian syuhroh itu bisa ditegur sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Imam Ahmad.
Semoga bisa direnungkan.
Artikel www.ustadzaris.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar