Ada berita heboh tentang video habib curhat di kuburan. Beredar dan hebohnya itu di tengah gencar-gencarnya berita aliran sesat syi’ah karena ada peristiwa bentrok di sampang Madura jilid dua antara aliran sesat syiah melawan warga Sunni (Ahlus Sunnah), Ahad 26 Agustus 2012.Voaislam.com memberitakan, Belum diketahui, siapa yang pertama kali meng-upload video berdurasi 3.12 detik itu. Yang pasti, ada beberapa judul yang tersebar dalam video tersebut, yakni: Video ziarah Curhat oleh Habib!!, Habib Curhat di Kuburan, Habib Curhat kepada kuburan, HEBOH! Habib Berbuat Syirik Minta Ke Kuburan.Jika disimak dari video tersebut, sang habib beberapa kali menyebut ahli kubur (tidak jelas identitasnya) dengan nama walid. Sedangkan habib tersebut terdengar menyebut dirinya Alwi. Inilah interaksi antara Alwi dengan Walid (ahli kubur). Di tengah habib yang berjubah putih itu dikelilingi oleh beberapa anggota majelis taklimnya, sebagian besar anak muda.
Belum diketahui persis, di kuburan mana habib itu berziarah dan minta didoakan oleh ahli kubur. Kabarnya, makam itu ada di bilangan Bogor. Berikut ini salah satu ucapan sang habib yang heboh itu:“Doain ye. Do’ain anak-anak biar rezekinya makmur, doain angota (majelis taklim) biar sabar, tidak terpengaruh komunis, dan jadi orag baik semua….Jangan doa’in anak-anak biar cepet kawin, nanti (ngajinya) berhenti, kurang ajar. Mau kawin minjem duit ama guru, orang (gini) separuh setan…Juga, doain saya mau umrah lagi. Jangan tanya duitnya dari mana…..” dan seterusnya.”Inilah beberapa point obrolan Habib pada penghuni kubur :1. Habib minta di do`akan Ahli Kubur2. Habib minta yang baik-baik, juga yang tidak baik, seperti jangan mendoakan murid-muridnya agar kawin, karena kalau sudah kawin akan kurang ajar.3. Habib menghina murid-muridnya sebagai orang-orang separuh setan (dan nampaknya murid-muridnya pada senang di bilang setengah setan yang ahli neraka).4. Membeberkan aib Ahli kubur, yang manggil si alwi ini mirip setan. (Desastian/ voaislam.com, Sabtu, 08 Sep 2012)
***
Sebagian yang terlibat dalam aliran sesat syi’ah ataupun pembelanya dan kadang tidak mengaku sebagai orang syi’ah adalah dari kalangan habaib. Ternyata kalau disinggung tentang syiah, walaupun yang mengungkapkan itu seorang professor ahli serta pernah tinggal di wilayah negeri syiah pun, di antara kalangan habaib ada yang marah-marah. Kemarahannya itu dapat dibaca di buku Bila Kyai Dipertuhankan, karya Hartono Ahmad Jaiz.
Karena kemungkinan rangkaian heboh video habib curhat di kuburan yang sedang memasyarakat itu ada secercah kaitan dengan peristiwa oerhabibab dan syiah, sedang momennya juga sedang berlangsung, maka mari kita nikmati petikan dari buku Bila Kyai Dipertuhankan di bawah judulKiyai Itu Apa? Julukan Kiyai untuk Ulama Perlu Dihapus Oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz berikut ini.
…bahwa sebutan Kiyai untuk ulama sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang membudaya. Hanya saja dalam perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat pula sejak pemerintahan Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya Jawa terutama yang berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung DPR/MPR pun diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan Sansekerta dari India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai untuk sebutan ulama pun yang asalnya hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi istilah nasional. Dan tampaknya budayamunduk-munduk(sangat hormat bahkan takut) terhadap Kiyai yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular pula kepada masyarakat selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan Kiyai itu tidak ditolak oleh ulama yang dijulukinya.
Setelah julukan Kiyai itu memasyarakat pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula Betawi, lalu tumbuh gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid atau apalagi memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika bapaknya dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai muda, tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
Adapun ulama ataupun da’i yang dari keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang sering dijamakkan (bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada istilah “ulama dan habaib”. Ulama dalam hal ini untuk para alim, guru agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di dalamnya, Kiyai), namun bukan orang Arab “keturunan” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedang habib atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim agama atau bahkan ulama dan “keturunan” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja di kampung-kampung, asal dia bisa membaca sepotong do’a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau “keturunan” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka disebut Habib, dan kalau bersalaman dengan mereka maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.
(Menurut Habib Abdurrahman Bukit Duri Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya itu juga pakai modal, yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang mencium tangannya itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habib itu sudah mengeluarkan modal berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib Abdurrahman Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam. Ucapan itu dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum, wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi’ah, dalam pertemuan di Pesantren As-Syafi’iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur’an Kiyai Haji Abdullah Syafi’i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan Habib Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena tampaknya Sang Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib dengan cara menghantam Syi’ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato singkat Dr HA Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam Syi’ah itu untuk menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini Syafi’iyah. Akibatnya pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara perasaan. Wajah-wajah para ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai menjelang wafatnya pun Prof Rasjidi masih terkenang dan mengaku kepada penulis bahwa dirinyadiplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh tuan rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu).
Tampaknya tradisi munduk-munduk(sangat hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di Betawi/ Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau masyarakat kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an sebagian ulamanya tampaknya ridho’ untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk para habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang “keturunan” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang ‘ajam (non Arab). Sedang tradisi cium tangan dan munduk-munduknya tetap “dikukuhkan”. (Petikan dari buku Bila Kyai Dipertuhankan di bawah judul Kiyai Itu Apa? Julukan Kiyai untuk Ulama Perlu Dihapus Oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz)
(nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar