Selamat datang di Blog ini

Menebar Dakwah Salafiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamma'ah

Rabu, 17 November 2010

Benarkah Ar Rifa’i rahimahullah Mencium Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam[1]

Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf hafidzahullah

Alkisah

Di dunia sufi ada sebuah kisah yang sangat terkenal. Kisahnya, konon pada tahun 550H, Syaikh Ahmad Ar Rifa’i [2] menunaikan ibadah haji dan beliau berziarah ke Masjid Nabawi lalu berdiri menghadap kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Assalamu’alaykum wahai kakekku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Wa’alaykumussalam wahai anakku.” Kejadian ini didengar oleh semua orang yang berada di Masjid yang saat itu mencapai sembilan puluh ribu orang.



Seketika itu tubuh Syaikh ar Rifa’i bergetar, wajahnya pucat, dan kedua kakinya pun langsung lemah lunglai. Saat beliau sudah bisa menguasai diri, beliau pun berdiri lali berkata, “Duh, wahai kakekku.” Lalu beliau menyenandungkan sebuah bait syair:

Dari jauh kukirimkan rohku

‘Tuk mencium tanah sebagai pengganti diriku

Inilah diriku sekarang hadir

Maka julurkanlah tanganmu agar bibirku mampu meraihnya

Sebuah keajaiban terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjulurkan tangan beliau nan mulia dari dalam kubur. Syaikh ar Rifa’i pun mencium tangan beliau. Kejadian ini disaksikan oleh semua yang hadir saat itu. Mereka semua melihat tangan beliau nan mulia. Saat itu yang juga hadir dan menyaksikan kejadian tersebut adalah Syaikh Abdul Qodir Jailani, Syaikh Hayat bin Qois al Harroni, Syaikh Khomis, Syaikh Adi bin Musafir asy Syami, serta masih banyak lagi masyayikh lainnya.

Kemasyhuran Kisah Ini

Kisah ini sangat masyhur dalam dunia sufi, terutama terekat Rifa’iyyah. Hampir tidak ditemukan satu pun kitab yang membahas tentang keutamaan tokoh-tokoh sufi – yang ditulis para tokoh sufi belakangan – melainkan pasti menyebutkan kejadian ini. Di antara mereka yang menyebutkannya adalah:

1. Muhammad Abul-Huda ar Rifa’i ash-Shoyyadi dalam banyak kitabnya. Bahkan dia menulis kitab yang khusus membahas masalah ini.
2. Al Hafidh Jalaluddin as Suyuthi dalam Tanwirul Halak Fi Imkani Ru’yatin Nabi wal Malak
3. Ahmad al Farutsi, dan masih banyak lainnya.

Bahkan sebagian tokoh tarekat Rifa’iyyah mengancam orang yang tidak mempercayai kisah ini. Ancaman mereka sangat keterlaluan. Lihatlah apa yang dikatakan oleh ash Shoyyadi dalam Qiladatul Jauhar Hal.104, “Keluarnya tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dari kuburnya) untuk Sayyid Ahmad Rifa’i adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Tidak ada yang meragukannya kecuali orang yang menyimpang lagi sesat atau bahkan munafik yang hatinya telah ditutupi oleh Allah ta’ala. Dan mengingkarinya akan mengakibatkan su’ul khotimah.” Dia juga berkata, “Mengingkari karomah ini sebuah kekufuran.”

Sisi Kebathilan Kisah Ini

Kisah ini sama sekali tidak ada asal usulnya. Hal ini bisa dilihat dari banyak sisi:

1. Para penulis biografi tokoh sufi yang pertama seperti as Subki, as Sya’roni, Ibnul Mulaqqin dan lainnya tidak ada satupun yang menyebutkan kisah ini, padahal masa hidup mereka lebih dekat kepada masa hidup Ar Rifa’i dibandingkan dengan para tokoh sufi belakangan seperti asy Shoyyadi. Dan sama sekali tidak masuk akal kalau para ulama tadi yang telah menyebutkan semua yang terjadi pada ar Rifa’i – hingga kisah tentang belalang dan lalat – tetapi tidak menyebutkan kejadian besar ini.

2. Para pencatat sejarah yang bukan dari kalangan suffiyah seperti Imam adz Dzahabi, Ibnu Katsir dan Ibnu Kholikan pun tidak ada yang menyebutkan kejadian ini. Seandainya ini benar-benar terjadi pastilah mereka akan menyebutkannya. Kenyataanya, mereka tidak menyebutkannya padahal banyak kejadian lainnya yang mereka sebutkan, seperti bermain-main dengan ular, menunggangi binatang buas, ataupun lainnya. Sebab itu, hampir mustahil kalau kisah ini benar-benar terjadi lalu mereka menyepelekannya.

3. Para tokoh sufi belakangan yang meriwayatkan kisah tersebut juga meriwayatkan bahwa Rifa’i pada tahun berikutnya kembali menunaikan haji dan menziarahi kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu dia menyenandungkan satu bait syair:

“Jika kukatakan: kalian berziarah dengan apa yang kalian bawa pulang

Lalu apa yang kami katakan wahai Rasul yang paling mulia.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dari alam kubur dan didengar oleh semua yang hadir pada saat itu:

“Katakanlah: Kami pulang dengan membawa segala kebaikan

Maka berkumpullah cabang dengan pokoknya.”

Dalam kisah ini dan lainnya ditunjukkan bahwa ar Rifa’i selalu berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebuah bait syair, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawabnya dengan syair. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidup, bahkan tidak layak bagi beliau untuk melantunkan bait syair. Allah ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan tidaklah Kami mengajarkan kepadanya (Nabi Muhammad) syair dan itupun tidak layak baginya…” [QS.Yasin/36:69]

4. Jika hal ini benar-benar terjadi bahwa ar Rifa’i berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mencium tangan beliau dalam keadaan terjaga bukan hanya di alam mimpi, maka hal ini berkonsekuensi bahwa beliau seorang sahabat. Ini mustahil terjadi.

5. Diceritakan dalam kisah tersebut bahwa saat itu di Masjid terdapat sekitar sembilan puluh ribu orang, semua menyaksikan keluarnya tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dicium oleh ar Rifa’i.

Mungkinkah ini terjadi? Dengan jumlah sebanyak itu, tidak mungkin mereka melihatnya pada satu waktu melainkan harus antri untuk bisa mengetahuinya. Ataukah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menjulurkan tangannya seharian atau bahkan beberapa hari (agar seluruh orang yang hadir bisa melihatnya)?

6. Ash Shoyyadi menyebutkan bahwa salah satu orang yang menyaksikan ini adalah Syaikh Abdul Qodir al Jailani. Lalu mengapa beliau tidak pernah menyebutkan peristiwa agung tersebut dalam kitab-kitab beliau, tidak dalam al Ghunayah dan tidak pula terdapat dalam al Fathur Robbani? Juga para ulama menceritakan riwayat hidup al Jailani tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa beliau pernah menyaksikan kejadian hebat yang di alami oleh ar Rifa’i tersebut.

7. Kedua bait syair yang katanya dilantunkan oleh ar Rifa’i tadi ternyata juga dinisbahkan kepada selain beliau. Al Alusi berkata,”Kebanyakan para ulama dan sastrawan arab menisbahkan kedua bait syair ini kepada selain ar Rifa’i.”

8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan hal ini terhadap anak istri, anak keturunan, dan para sahabat beliau. Padahal, sepeninggal beliau mereka banyak mengalami kejadian-kejadian besar. Fathimah pernah mengalami kesedihan mendalam, Aisyah pernah pergi ke Bashrah yang berakhir dengan perang Jamal, terjadi fitnah berkepanjangan antara kaum muslimin pada saat perang Shiffin. Lalu mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar dari kuburnya? Apakah ar Rifa’i lebih mulia daripada mereka semua?

Tidak diragukan lagi bahwa ar Rifa’i adalah seorang Imam dan berjalan di atas sunnah karena memang begitulah yang diriwayatkan oleh para ulama[3] tentang beliau, namun keimaman beliau tidak akan bisa mengalahkan keutamaan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

9. Ar Rifa’i sendiri melarang menampakkan karomah. Beliau memandang bahwa hal tersebut akan membawa fitnah. Beliau pernah berkata,”Wahai saudaraku, saya khawatir terhadapmu kalau engkau bangga dan menampakkan karomah. Para wali Allah menyembunyikan karomah sebagaimana seorang wanita menyembunyikan darah haid.”

Sedangkan menurut kisah di atas ar Rifa’i sengaja membawa jama’ah yang sangat banyak ke Masjid Nabawi untuk memperlihatkan karomahnya.

Dan masih ada beberapa hal lain yang makin menguatkan bahwa kisah tersebut adalah sebuah kedustaan yang dibuat-buat atas nama Imam ar Rifa’i rahimahullah.

Faedah

Mungkinkah seseorang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga setelah wafatnya beliau? Orang-orang yang menganggap mungkin bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafatnya beliau sama sekali tidak bisa mendatangkan dalil walau satu saja baik yang shohih, lemah sampaipun palsu. Hanya ada beberapa kisah dari tokoh sufi yang mengaku pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi semuanya sama sekali tidak punya sandaran yang kuat.

Satu-satunya dalil yang bisa dan sering mereka gunakan untuk menyatakan kemungkinan ini adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga karena setan tidak bisa menyerupakan diri denganku.” [HR.al Bukhari dan Muslim]

Namun hadits ini mempunyai banyak kemungkinan makna yang diperselisihan para ulama menjadi tujuh pendapat, sebagaimana yang disyaratkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Secara global pendapat-pendapat ini adalah:

1. Barangsiapa yang bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau masih hidup dan dia belum pernah melihat beliau, maka mimpinya ini adalah berita gembira baginya bahwa dia akan bertemu dengan beliau sebelum meninggal dunia. Ini dikatakan oleh Ibnu Tin.

2. Barangsiapa yang mimpi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya akan melihat takwil mimpi tersebut dan akan menjadi kenyataan. Ini dikatakan oleh Ibnu Bathol.

3. Hadits ini berarti penyerupaan, sebagaimana dalam sebagian riwayat lainnya dengan lafazh: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi maka seakan-akan dia melihatku saat terjaga.”

4. Siapa saja yang bermimpi melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya dia akan melihatnya dalam cermin yang pernah dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bercermin. Ini dikatakan oleh Ibnu Abi Jamroh namun pendapat ini sangat lemah.

5. Barangsiapa yang mimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya akan melihat beliau di akhirat nanti. Berdasarkan makna ini, hadits ini merupakan berita gembira bagi yang mimpi melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia akan wafat dalam keadaan iman lalu nantinya dia akan masuk ke dalam surga dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Insya Allah, inilah pendapat yang paling kuat tentang makna hadits ini.

6. Bisa jadi maksud dari mimpi tersebut adalah makna bentuk yang dilihatnya, yaitu tentang agama dan syari’at beliau.

7. Barangsiapa yang mimpi melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya akan melihat beliau dalam keadaan terjaga dialam dunia ini. Pendapat yang ketujuh inilah yang banyak dijadikan sandaran para tokoh sufi dalam klaim mereka bahwa mereka bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga. Namun, kebenaran pendapat ini sangat diragukan bila dilihat dari banyak sisi.

Pertama: Jika memungkinkan bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga, niscaya siapa pun yang bertemu dengan beliau akan menjadi sahabat yang berkonsekuensi bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetap ada sampai hari kiamat.

Kedua: Banyak sekali orang yang mimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak semuanya bercerita bahwa dia bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat terjaga. Padahal kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin salah.

Ketiga: Para ulama sangat keras pengingkaran nya atas klaim ini. Di antaranya ialah apa yang dikatakan oleh Imam al Qurthubi yang dinukil oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: “Pendapat ini berkonsekuensi bahwa semua yang pernah melihat beliau itu mesti dalam bentuk saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Tidak mungkin pula beliau dilihat oleh dua orang atau lebih di tempat yang berbeda dalam satu waktu. Juga, ini berkonsekuensi bahwa sekarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup sehingga bisa mendatangi dan berbicara dengan mereka. Selain itu, kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan kosong dari jasad beliau sehingga orang-orang yang berziarah hanya menziarahi tanahnya saja karena tidak ada beliau. Pendapat-pendapat ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang pun yang akalnya masih sehat.”

Karomah Para Wali Allah Benar-Benar Ada

Kami berharap, setelah keterangan di atas, jangan ada seorang pun yang menuduh bahwa kami mengingkari karomah para wali Allah. Kebenaran akan adanya karomah bagi mereka tidak diingkari oleh seorang pun Ahlus Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Aqidah Wasithiyyah-Nya: “Di antara pokok-pokok Ahlus Sunnah adalah mempercayai adanya karomah bagi para wali dan apa yang Allah anugerahkan pada mereka yang berupa perkara luar biasa baik yang berupa ilmu, mukasyafah, kemampuan, maupun pengaruh. Dan ini pernah terjadi pada umat sebelum kita sebagaimana yang terdapat dalam Surah al Kahfi, juga pada generasi pertama umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in dan juga lainnya. Dan ia akan terus ada sampai hari kiamat.”

Yang kami ingkari adalah cerita yang berkembang di dunia sufi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjulurkan tangannya dari dalam kubur lalu dicium oleh ar Rifa’i. inilah yang perlu ditegaskan. Wallahu A’lam.

Note:

[1] Disarikan dari Qoshoshun La Tatsbut kar.Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman: 3/171-247

[2] Beliau adalah imam, panutan ahli ibadah, seorang ahli zuhud, syaikh ahli ma’rifat kepada Allah. (nama beliau) Abul Abbas Ahmad bin Abul Hasan Ali bin Ahmad ar Rifa’i al Maghribi. Lahir awal tahun 500H dan wafat 578H. (Lihat Siyar A’lamin Nubala’: 21/77)

[3] Ini adalah salah satu bukti di antara sekian bukti lainnya, bahwa memang harus dibedakan antara pengikut dan yang diikuti. Harus dibedakan antara tarekat Rifa’iyyah dengan Syaikh Ahmad ar Rifa’i, antara tarekat Qodiriyyah dengan Imam Abdul Abdul Qodir al Jailani, sebagaimana kita membedakan antara orang Nasrani dengan Nabi Isa bin Maryam ‘alaihissalam.

Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 06, Tahun Kedelapan, Muharrom 1430H / Jan 2009 Hal.57-59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar