Selamat datang di Blog ini

Menebar Dakwah Salafiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamma'ah

Kamis, 18 November 2010

LDII: Paham Warisan Kaum Imperialis (6)

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat dan seluruh orang muslim yang senantiasa mengagungkan sunnahnya hingga akhir masa.

Membaca komentar saudara Usman bin Ahmad pada artikel “Runtuhnya Dinasti LDII”, saya menjadi teringat kepada pepatah klasik dalam bahasa arab:


رمتني بدائها وانسلت

“Ia menuduhku dengan penyakit yang sedang ia derita sendiri, dan ia berpura-pura terbebas darinya.” [Pepatah ini memiliki kisah perseteruan unik yang dialami oleh seorang wanita beserta wanita-wanita sepermaduannya, bagi yang ingin mengetahuinya silahkan baca di kitab: Jamharatul Amsal, 1/475].

Saudara Usman berusaha menjelaskan paham warisan yang ia anut, yaitu doktrin usang LDII yang bertujuan menutup rapat-rapat mata pengikutnya, sambil ongkang-ongkang menikmati setoran upeti pengikutnya. Saya harap pembaca sekalian membandingkan komentar saudara Usman ini dengan pengakuan mantan anggota LDII, yaitu saudara Luqman Taufik yang dimuat pada artikel seputar LDII sebelumnya, yang berkata: “dikatakan Bahwa Presiden bukanlah seorang imam, krn presiden hanya mengurusi masalah dunia aja, tidak pernah mengajak rakyatnya, meramut rakyatnya utk mengaji qur’an hadist (hal ini beda dgn imam kami).” Setelah membandingkan antara keduanya, saya berkeyakinan bahwa penjabaran saudara Usman bersumberkan dari sumber yang sama dengan pengakuan saudara Luqman Taufik, yaitu doktrin Imam Madegol atau Imam Bithonah.

Untuk menjelaskan duduk permasalahan ini, maka saya akan sedikit menyebutkan penafsiran para ulama’ salaf tentang kata “Ulil Amri” yang disebutkan dalam ayat berikut:

يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

“Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah olehmu Allah dan ta’atilah Rasulullah, dan juga ulil amri diantara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)

Ulama’ ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari kata “Ulil Amri”, sebagaimana berikut:

1. Yang dimaksud dengan ulil amri ialah para ulama’ atau yang disebut dengan ahli fiqih. Pendapat ini merupakan pendapat yang disampaikan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas rodiallahu’anhu, Mujahid, Atha’ bin Saib dll.
2. Yang dimaksud dari Ulil Amri ialah para penguasa dari umat islam, atau kholifah atau umara’. Pendapat ini disampaikan oleh sahabat Abu Hurairah rodiallahu’anhu, Maimun bin Mahran, Ibnu Zaid, As Suddy, dll. Pendapat kedua ini juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodiallahu’anhu. [Pendapat-pendapat mereka semua ini dapat dibaca lengkap dengan sanadnya (jalur periwayatannya) di kitab: Tafsir At Thobary 5/147 dst, Tafsir Qurthuby 5/259, & Tafsir Ibnu Katsir 1/517-518].

Kedua pendapat ini sebenarnya tidaklah saling bertentangan, akan tetapi justru malah saling melengkapi, karena masing-masing ulama’ yang berbeda ucapannya ini tidak saling manafikan kebenaran pendapat yang lain. Yang mereka lakukan hanyalah memberikan penafsiran dengan menyebutkan salah satu contoh kongkrit dari kata “Ulil Amri”. Oleh karena itu Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

والظاهر والله أعلم أنها عامة في كل أولي الأمر من الأمراء والعلماء.

“Pendapat yang lebih kuat, -wallahu a’alam- yang kata “ulil amri” bersifat umum, mencakup ulil amri dari kalangan umara’ (pemimpin/penguasa) dan juga ulama’.” [Tafsir Ibnu Katsir 1/518].

Diantara yang menguatkan pendapat Ibnu katsir ini ialah sikap dan pendapat Ibnu ‘Abbas rodiallahu’anhu, dimana kedua pendapat ini adalah pendapat beliau. Ini membuktikan bahwa perbedaan ucapan mereka itu hanyalah sebatas perbedaan contoh dan bukan perbedaan makna atau maksud yang sebenarnya, sebab termasuk tradisi ulama’ salaf dalam menafsirkan ayat atau hadits, mereka menafsirkannya dengan cara menyebutkan contoh nyata dari penerapan ayat atau hadits tersebut.

Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya ulama’ salaf (terdahulu) sering sekali menyebutkan salah satu bentuk penerapan/contoh kongkrit dari makna suatu ayat, sehingga mungkin saja ada orang yang menduga bahwa itulah makna/penafsiran ayat tersebut.” [I'ilamul Muwaqi'in oleh Ibnul Qayyim 1/161&168].

Oleh karena itu bagi orang yang hendak membaca kitab tafsir atau syarah hadits, hendaknya memahami macam-macam khilaf, agar tidak salah faham ketika membaca perbedaan ungkapan mereka tentang suatu makna.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menyebutkan bahwa kebanyakan perbedaan penafsiran para sahabat merupakan khilaf tanawwu’, beliau berkata: “Khilaf tanawwu’ jenis kedua ialah: bila mereka menjelaskan suatu istilah/kata yang bersifat umum dengan menyebutkan salah satu bagiannya, sebagai percontohan, dan sekedar mengingatkan orang lain yang mendengarnya akan contoh tersebut, dan bukan untuk mendefinisikan istilah/kata tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus. Permisalannya bila ada orang non arab yang bertanya tentang arti kata “al khubzu” (roti), kemudian ia ditunjukkan kepada sepotong roti, maka penunjukkan ini bermaknakan bahwa makanan jenis inilah yang disebut roti, dan bukan berati bahwa roti hanya sepotong roti yang ditunjuk tersebut saja.” [Muqaddimah Tafsir oleh Ibnu Taimiyyah bersama syarahnya oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin 41].

Bila penjelasan tidak juga dapat diterima oleh saudara Utsman, maka saya juga siap untuk berpindah diskusi yaitu dengan cara men-tarjih/memilih salah satu dari kedua pendapat tersebut.

Bila kita pelajari sebab turunnya ayat ini, maka kita dapatkan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan ketaatan kepada seorang pemimpin, dan bukan kepada seorang ulama’ sebagaimana yang didakwakan oleh saudara Usman. Sebagai buktinya, adalah penjelasan sahabat Ibnu ‘Abbas rodiallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

عن ابن عباس رضي الله عنهما: (أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم) قال: نزلت في عبد الله بن حذافة بن قيس بن عدي إذ بعثه النبي صلى الله عليه و سلم في سرية.

“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma: Ayat (Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan juga ulil amri dari kalian) diturunkan tentang kisah Abdullah bin Huzafah bin Qais bin ‘Adi tatkala ia diutus oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam memimpin suatu pasukan.”

Kisah sahabat Abdullah bin Huzafah yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas diriwayatkan dengan lebih lengkap oleh Imam Bukhari dan Muslim pada bab lain:

عن علي رضي الله عنه قال: بعث النبي صلى الله عليه و سلم سرية فاستعمل عليها رجلا من الأنصار، وأمرهم أن يطيعوه، فغضب فقال: أليس أمركم النبي صلى الله عليه و سلم أن تطيعوني؟ قالوا: بلى، قال: فاجمعوا لي حطبا، فجمعوا، فقال: أوقدوا نارا، فأوقدوها، فقال: ادخلوها. فهموا، وجعل بعضهم يمسك بعضا، ويقولون: فررنا إلى النبي صلى الله عليه و سلم من النار، فما زالوا، حتى خمدت النار، فسكن غضبه، فبلغ النبي صلى الله عليه و سلم فقال: لو دخلوها ما خرجوا منها إلى يوم القيامة، إنما الطاعة في المعروف.

“Dari sahabat Ali rodiallahu’anhu ia mengisahkan: Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengutus suatu pasukan, dan beliau menunjuk sebagai pemimpinnya salah seorang dari Anshar, dan beliau berpesan kepada mereka agar mentaatinya, kemudian pemimpin pasukan tersebut pada suatu saat marah, dan berkata kepada mereka: ‘Bukankah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah memerintahkan kalian agar menta’atiku?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Ia kembali berkata: ‘(bila demikian) Kumpulkanlah untukku kayu bakar, maka mereka pun mengumpulkannya,’ kemudian ia berkata lagi: ‘Nyalakanlah api.’ Maka mereka pun menyalakannya. Kemudian ia berkata: ‘Masuklah kalian ke dalamnya (api).’ Maka merekapun hendak masuk ke dalamnya, sebagian dari mereka saling berpegangan dengan sebagian yang lain, sambil berkata: ‘Bukankah kita mengikuti Nabi shollallahu’alaihiwasallam karena melarikan diri dari api neraka?’ Mereka terus dirundung keraguan hingga akhirnya apinya padam dan kemarahan pemimpin tersebut mereda. Kemudian kisah itu sampai kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam, maka beliau bersabda: ‘Seandainya mereka jadi masuk ke dalamnya, niscaya mereka tidak akan pernah keluar darinya hingga hari qiyamat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebenaran)’.”

Imam Bukhary rahimahullah menyebutkan hadits ini beberapa bab dari kitabnya, dan salah satunya beliau beri judul:

باب: سرية عبد الله بن حذافة السهمي وعلقمة بن مجزز المدلجي، ويقال: إنها سرية الأنصاري.

“Bab: Pasukan Abdullah bin Huzafah As Sahmy dan ‘Alqamah bin Mujazziz Al Mudlijy, dan dikatakan: Pasukan inilah yang disebut dengan pasukan di bawah kepemimpinan salah seorang dari Anshar.”

Inilah sebab turunnya ayat tersebut, nah setelah mengetahui sebab turunnya ayat ini, masihkah ada keraguan bahwa ketaatan kepada “penguasa/pemimpin” tercakup oleh ayat 59 dari surat An Nisa’ di atas?

Bahkan dengan berdasarkan sebab turunnya ayat ini dan juga hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya, Imam Ibnu Jarir At Thabary merajihkan/mengatakan pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “Ulil Amri” ialah:

وأولي الأقوال في ذلك بالصواب قول من قال: هم الأمراء والولاة، لصحة الأخبار عن رسول الله بالأمر بطاعة الأئمة والولاة، فيما كان طاعة وللمسلمين مصلحة.

“Pendapat yang paling mendekati kebenaran ialah pendapat ulama’ yang mengatakan: Ulul Amri ialah para pemimpin dan penguasa, dikarenakan ada dalil-dalil yang shahih dari Rasuliullah shollallahu’alaihiwasallam yang memerintahkan kita untuk taat kepada para imam dan penguasa, dalam urusan ketaatan dan yang mendatangkan kemaslahatan umat islam.” [Tafsir Ibnu Jarir At Thobary 5/150].

Adapun ucapan saudara Usman:

“yang dimaksud Uliamri dalam ayat tersebut adalah pemimpin agama (Imam) yg hanya mengatur mengajak umat untuk beribadah kejalan Allah sesuai Quran dan Hadis dan dgn cara berjamaah(musyawarah,mupakat semata utk akhirat). Karena Islam bukan bentuk negara tapi Islam tumbuh berawal dalam bentuk jamaah yg politiknya mengajak ibadah berbuat kebaikan sesuai Quran dan Hadis dan mencegah pada kemaksiatan,……”

Ucapan saudara Usman ini benar-benar paham sekuler murni yang berusaha memisahkan islam dari dunia kehidupan nyata umat Islam. Saudara Usman, saya ingin bertanya:

1. Bukankah anda pernah membaca ayat atau hadits yang menjelaskan akan berbagai hukum-hukum duniawi atau hukum pidana, perdata, hukum warisan, hukum yang berkaitan dengan hubungan suami istri, jihad, pembagian harta rampasan dll?
2. Bukankah anda tahu atau minimal pernah mendengar bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menegakkan hukum pidana, misalnya hukuman cambuk bagi perjaka yang berzina, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi orang yang pernah menikah dan berzina dst? Bukankah ini adalah termasuk wewenang dan kekuasaan penguasa/khalifah/amir/pemerintah? Oleh karenanya Imam Madegol anda tidak berani dan tidak mampu menegakkan hukum islam ini kepada pengikutnya apalagi kepada selain mereka. Mungkinkah Imam Madegol benar-benar hidup di negeri bawah tanah, negeri antah berantah yang di sana tidak ada prostitusi, perjudian, khomer, panti pijat dll? Bukankah Imam Madegol anda hidup di negeri Indonesia yang di dalamnya terdapat semua hal tersebut?! Mengapa Imam Madegol tidak menerapkan hukum-hukum itu? Ini membuktikan bahwa Imam Madegol tidaklah memiliki kemampuan atau kekuasan untuk menerapkannya, dan bila tidak punya itu semua, apa gunanya anda membai’atnya?
3. Mungkinkah anda tidak tahu atau dibai’at untuk tidak tahu bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pernah mengutus sahabat ‘Attab bin Usaid rodiallahu’anhu sebagai gubernurnya/walinya atas kota Makkah?
4. Bukankah anda juga tahu bahwa Khulafa’ Rasyidin semuanya menegakkan hukum-hukum pidana dan juga menjalankan berbagai tugas seorang penguasa, misalnya mengatur urusan jihad, menarik upeti dari ahlu zimmah, menunjuk perwakilannya (amir-amir) atau gubernur yang mewakilinya memimpin wilayah-wilayah negri Islam yang jauh letaknya dari pusat kenegaraan/khilafah dst?

Bila anda mengetahui ini semua, maka mengapa anda berkata bahwa:

“Islam bukan bentuk negara tapi Islam tumbuh berawal dalam bentuk jamaah yg politiknya mengajak ibadah berbuat kebaikan sesuai Quran dan Hadis dan mencegah pada kemaksiatan,”

Menurut anda adakah paham sekuler yang lebih ekstrim dibanding ucapan anda ini? Paham seperti inilah yang diinginkan dan digemari oleh kaum imperalis sepanjang masa. Mereka meninabobokkan umat islam agar tidak berusaha dan berjuang menegakkan pemerintahan atau negara yang menerapkan syari’at Islam, menegakkan tauhid dan membumihanguskan segala bid’ah, sikap fanatik golongan, kemaksiatan dan imam-imam palsu atau gadungan.

Kemudian saudara Usman berusaha menutupi identitasnya sebagai salah satu anggota dan da’i LDII dengan berkata:

“kaum penjajah (feodal)menginginkan agar pemerintahan mereka dianggap uliamri(amirulmukmini), apabila ada keimaman tanpa pemerintahan dianggap sesat,inilah kesalahan pemikir Islam yg sdh teracuni paham Imperialis barat yg tidak ingin kalau umat Islam besar dan kuat dan bersatu,mereka suka menghasut,mempitnah,membakar emosi org Islam yg lemah agar untuk saling menghancurkan.”

Weleh-weleh saudara Usman! Inikah bagaikan tangisan buaya, siapakah yang selama ini mengkafirkan setiap orang muslim yang tidak berbai’at kepada Imam Madegol? Bukankah anda dan kelompok anda yang melakukan kejahatan ini?! Waduh, Saudara Usman ini kok pura-pura tidak tahu perjalanan dan berbagai perkembangan yang dilakukan oleh LDII. Bukankah dahulu LDII bergabung dan mendukung partai GOLKAR alias ORBA? Dan kemudian… kemudian… Bila demikian, siapakah sebenarnya yang menjadi pengikut paham Imperialis, yang berusaha menjadi legitimasi bagi setiap penguasa??!!

Adapun keumuman umat Islam, dan terutama Ahlus Sunnah, maka prinsip mereka dalam ketaatankepada penguasa ialah hadits sahabat Ali rodiallahu’anhu di atas dan dan yang semakna dengannya, yaitu ketaatan hanya berlaku pada hal yang ma’ruf dan yang mendatangkan kemaslahatan bagi umat islam secara umum. Dan sebagaimana yang dijelaskan pada hadits berikut:

عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي : السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة. رواه البخاري ومسلم

“Dari sahabat Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menaati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menaati.” (HR Bukhori dan Muslim)

Agar anda sedikit mengetahui dan memahami prinsip syari’at Islam dalam hal keta’atan kepada sesama manusia, baik kepada pemimpin, atau orang tua, atau guru ngaji atau lainnya, silahkan baca artikel yang pernah di muat di situs ini dengan judul: “Sepercik Dari Metode Dakwah Salafiyyah” dan “Anda Salah Paham Tentang manhaj Salaf”.

Saudara Usman kembali meneteskan air mata anda, meratapi persatuan umat Islam yang tercabik-cabik oleh perpecahan dan bid’ah, padahal anda tahu dengan yakin bahwa anda dan kelompok anda tidak beriman adanya umat Islam selain kelompok anda. Bukankah fenomena ini adalah petaka besar yang sedang anda dan Imam Madegol anda timpakan kepada umat Islam di dunia?!

Siapakah yang sebenarnya sedang menghancurkan umat Islam: LDII yang mengklaim bahwa selain kelompoknya adalah kafir, ataukah orang-orang yang berjuang mengajak umat islam kembali memurnikan agamanya dengan cara mengamalkan Al Qur’an dan hadits dengan sempurna tanpa dinodai oleh fanatis golongan, ambisi mengeruk upeti/iuran wajib, dan tanpa membai’at imam bawah tanah?

Kemudian saudara Usman berkata:

“Sementara umat Islam yang kaya hidupnya bagai borjuis, haji berkali-kali ingin masuk sorga sendiri,sementara banyak mesjid tapi tak ada yang mengurusi.”

Anda mengklaim selain kelompok anda ingin masuk surga sendiri?!!! Subhanallah… Bukankah kelompok anda yang telah mengklaim bahwa surga hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang sepaham dengan anda yaitu dengan membai’at Imam Madegol atau pewaris tahtanya yang berada di bithonah (pedalamam)??!!

Adapun masjid-masjid umat Islam, walaupun banyak yang kurang terurus, akan tetapi yang terurus pun juga tidak diakui oleh LDII, karena LDII berkeyakinan masjid-masjid tersebut dalam keadaan najis, karena pernah diduduki atau dibuat shalat oleh orang-orang non LDII, sehingga harus dibasuh dahulu, makanya tidak heran bila anda berkata: “tidak ada yang mengurusi.”

Saudara Usman berkata:

“mana umat Islam yang katanya Rahmatan lilalamin? mana pengamalan sunnah?”

Ya, bagaimana bisa menjadi “rahmatan lilalamin” bila yang muslim hanya anggota LDII??!!

Ucapan saudara Usman ini juga menunjukkan bahwa saudara Usman tidak atau kurang paham atau mungkin salah bai’at. Hal dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Tidaklah Aku mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan sebagai kerahmatan untuk alam semesta.” (QS. Al Haj: 107)

Jadi ayatnya dengan tegas yang dinyatakan sebagai “rahmatan lil’alamin” ialah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, bukan umat islam. Dengan demikian jelaslah bahwa yang akan dapat mewarisi sifat ini adalah orang-orang yang menjalankan syari’at Rasulullah shollallahu’ alaihi wasallam dengan sempurna dan benar. Adapun ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran yang beliau amalkan, maka jelas tidak akan terwujud padanya kriteria ini. Apalagi paham yang senantiasa mengkafirkan selain kelompoknya, yang tidak berbai’at kepada Imam Madegol.

Wahai saudara Usman, “kerahmatan” yang telah dienyam dan hingga sekarang masih dirasakan oleh umat manusia dari diutusnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka tidaklah ada yang dapat mengingkarinya, selain orang yang telah buta mata hatinya, oleh karena itu saya tidak perlu menyebutkan berbagai buktinya.

Saudara Usman kemudian berkata:

“Sudah berapa ribu sarjana agama Islam,doktor,professor tapi tidak mampu menjadi solusi untuk mengangkat umat dari kelemahan dan kebodohan malah mereka membuat umat bingung dan menjauhi Quran dan Hadis,karena kalau seandainya mereka sarjana2Islam itu betul-betul memahami Islam mereka pasti telah membawa bangsa ini maju dan sejahtera sesuai dengan sunnah.”

Rupa-rupanya saudara Usman ini orangnya pelupa, pada awal ucapannya ia mengingkari bila Islam mengatur urusan ketatanegaraan dan kemasyarakatan, sebagaimana Islam juga mengatur urusan akhirat, sehingga saudara Utsman berkata:

“Islam bukan bentuk negara tapi Islam tumbuh berawal dalam bentuk jamaah yg politiknya mengajak ibadah berbuat kebaikan sesuai Quran dan Hadis dan mencegah pada kemaksiatan.”

Akan tetapi di akhir komentarnya ia meruntuhkan sendiri ucapannya dengan berkata:

“Seandainya mereka sarjana2Islam itu betul-betul memahami Islam mereka pasti telah membawa bangsa ini maju dan sejahtera sesuai dengan sunnah.”

Aduuuh saudara Usman! ya gimana bangsa ini akan maju dan sejahtera bila islam tidak mengurusi negara dan kemasyarakatan, islam hanya mengajak beribadah, berbuat kebaikan?! Bagaimana kok anda begitu menyesal ketika melihat banyak generasi umat islam yang tidak memperjuangkan agama Islam di dunia politik, perniagaan, sosial, perekonoimian dll, padahal menurut anda Islam bukanlah bentuk negara Islam??!! Inilah nasib setiap orang yang berbicara tanpa dikendalikan oleh dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits, sehingga ucapan yang hanya satu lembar saja sudah saling bertentangan. Sungguh benar firman Allah Ta’ala:

َفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيراً

“Maka apakah meeka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa’: 82)

Selanjutnya saudara Usman mengajak kita belajar sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia dengan berkata:

“Kalau kita mau belajar dr sejarah tegaknya islam di Indonesia tidak lepas dari tekanan penguasa dr jaman penjajah hingga jaman merdeka,kaum imperialis sangat tau sekali kalau islam bersatu maka akan menjadi sesuatu kekuatan yang besar yang akan mengalahkan kekuatan imperialis(kaum penjajah)tapi penjajahpun tau kalau Islam tidak mungkin dihilangkan dari permukaan bumi,salah satu cara adalah dgn memperlemah Islam dgn memecah belah Islam (khusus Islam indonesia )dari jaman kesultanan2 Islam,kesultanan Aceh,kesultanan banten,kesultanan Palembang semua dibumi hanguskan dengan diadu domba sesama islam.”

Waah rupa-rupanya saudara Usman juga tidak tahu sejarah Indonesia. Islam masuk ke Indonesia jauh-jauh hari sebelum datangnya kaum salib penjajah. Islam memasuki bumi Nusantara dengan perdamaian dan diterima oleh masyarakat Indonesia dengan mudah dan tanpa paksaan, sehingga yang sebelumnya Indonesia di kuasai dan menganut agama Hindu dan Budha, dalam waktu yang amat pendek berubah total menjai masyarakat muslim sampai-sampai agama hindu dan budha menjadi agama minoritas bagi masyarakat Indonesia. Bukankah demikian?!

Adapun Imperialis dengan berbagai bangsanya, maka mereka datang dengan membawa agama Nasrani dengan berbagai kesesatannya, hal ini tidak heran sebab sebenarnya penjajahan yang terjadi adalah kelanjutan dari perang salib yang mereka kobarkan terhadap umat Islam.

Oleh karena itu setiap orang yang mempelajari sejarah umat Islam di Indonesia dengan hati terbuka dan obyektifitas tinggi akan sadar bahwa kaum Imperialis senantiasa mendapatkan perlawanan dari umat islam. Karena itulah mereka berusaha mematahkan perlawanan tersebut dengan cara merusak ajaran dan pemahaman umat islam terhadap agamanya, diantaranya dengan cara menyusupkan kaum orientalis, menyebarkan paham sufisme, ahmadiyah, sekuler, dan setiap paham yang memisahkan agama dari urusan negara, dan mengabaikan syari’at ingkarul mungkar termasuk jihad fi sabilillah. Untuk sedikit mendapatkan bukti tentang hal ini, silahkan baca buku: Bila Kyai Dipertuhankan, oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha hal: 265.

Kemudian Saudara Usman berkata:

“Dengan berbagai taktik untuk melemahkan islam dalam era orde baru, masih membekas dihati kita siapa yg kehidupkan beragamanya agak toat lalu dicurigai sebagai opposisi dan extremis lebih aniaya lagi dipitnah GPK (gerakan pengacau keamanan),lalu dikantor diasingkan,keluarganya dijauhi.sementara ormas2 Islam tak berdaya dan diperalat tokoh-tokohnya disuap dengan kedudukan sebagai anggota legislatif.”

Walaupun saudara Usman berusaha untuk berbahasa dengan gaya bahasa selain kelompoknya, akan tetapi -alhamdulillah- kita tidak terkecoh. Lha bau dan aroma LDII tercium kuat, sehingga tidak ada gunanya anda mengesankan bahwa anda dan kelompok anda bersih dari noda-noda ORBA.

Sudara Usman berkata:

“kalau kita ingin merenung apakah demokrasi yg kita miliki ini adalah sesuai dengan demokrasi Islam ?”

Manakah dalilnya bahwa Islam mengajarkan demokrasi??!! Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, islam mengajarkan sistem syura (permusyawaratan). Jadi Ucapan saudara Usman ini menjadikan saya berkesimpulan bahwa saudara Usman hanya membeo dan tidak paham ilmu agama dengan benar.

Untuk sedikit membuktikan perbedaan antara sistem demokrasi dan sistem syura yang diajarkan oleh Islam, berikut saya sebutkan sebagian dari perbedaan antara keduanya:

Prinsip pertama: Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

عن ميمون بن مهران قال: كان أبو بكر إذا ورد عليه الخصم نظر في كتاب الله، فإن وجد فيه ما يقضي به بينهم قضى به، وإن لم يكن في الكتاب وعلم من رسول الله صلى الله عليه و سلم في ذلك الأمر سنةً قضى به. فإن أعياه خرج فسأل المسلمين، وقال: أتاني كذا وكذا، فهل علمتم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قضى في ذلك بقضاء؟ فربما اجتمع إليه النفر كلهم يذكر من رسول الله صلى الله عليه و سلم فيه قضاءا، فيقول أبو بكر الحمد لله الذي جعل فينا من يحفظ عن نبينا صلى الله عليه و سلم. فإن أعياه أن يجد فيه سنة من رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع رؤوس الناس وخيارهم فاستشارهم، فإذا اجتمع رأيهم على أمر قضى به. وكذلك فعل عمر الخطاب من بعده. رواه الدارمي والبيهقي وصحح الحافظ إسناده في الفتح.

“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan?’ Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, sehingga Abu bakar berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita shollallahu ‘alaihi wasallam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satu pun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.

Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang, bahkan sampai pun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.

Prinsip kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya.

Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.

عن أبي هريرة قال: لما توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم واستخلف أبو بكر بعده، وكفر من كفر من العرب، قال عمر بن الخطاب لأبي بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمن قال: لا إله إلا الله، فقد عصم منى ماله ونفسه إلا بحقه، وحسابه على الله) فقال أبو بكر: والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة، فإن الزكاة حق المال، والله لو منعوني عقالا كانوا يؤدونه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم لقاتلتهم على منعه. فقال عمر بن الخطاب: فوالله ما هو إلا أن رأيت الله عز وجل قد شرح صدر أبي بكر للقتال، فعرفت أنه الحق ) متفق عليه

“Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia mengisahkan: Setelah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar: Bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar rodiallahu’anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid rodiallahu’anhu yang sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam. Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang keputusan beliau:

والله لا أحل عقدة عقدها رسول الله صلى الله عليه و سلم، ولو أن الطير تخطفنا والسباع من حول المدينة، ولو أن الكلاب جرت بأرجل أمهات المؤمنين، لأجهزن جيش أسامة، وآمر الحرس يكونون حول المدينة.

“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam), aku tetap akan meneruskan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342].

Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:

وما اختلفتم من شيء فحكمه إلى الله

“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kepada Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.

Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.

Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing. Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia -tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek kemaksiatannya.

Kemudian saudara Usman berkata:

“ada seklompok yg mudah menganggap sesat sebuah ormas islam,dan main hasut lewat buku-buku dan majalah-majalah atau yang terhasut main serang dan hancurkan,ini lah islam budak imperialis yang mereka merasa bahwa ulil amri mrk adalah pemerintah (yg tdk klop dgn Q,s An Nisa 59 tsb).”

Wah, tak henti-hentinya saudara Usman meneteskan air mata buaya, lha wong kelompoknya yang senantiasa mengklaim kafir selain anggotanya, kok malah orang lain yang dituduh. Lha, kelompoknya yang mengekor dan bahkan menjadi unsur resmi dari partai pengusung ORBA, kok malah sekarang saudara Usman berusaha menuduh orang lain. La haula wala quwwata illa billah.

Pada akhirnya saya hanya bisa berkata: semoga Allah senantiasa menunjukkan kepada kita dan membukakan pintu jiwa kita untuk menerima kebenaran.

اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan limpahkan kepada kami (nikmat) mengikutinya (kebenaran tersebut) dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan, dan limpahkanlah kepada kami (nikmat) menjauhinya.

***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

Sumber : WWW.MANHAJ.OR.ID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar