Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sudah dimaklumi bersama bahkan sudah jadi berita di seantero dunia, selama sebulan penuh di benua hitam Afrika diadakan event akbar empat tahunan yaitu Piala Dunia. Dari kota, pedesaan bahkan sampai di pelosok negeri, kalangan muda bahkan sampai yang sudah “sepuh” sekali pun tidak ingin menghilangkan event yang jarang-jarang ini. Acara nonton bareng pun diadakan sambil minum kopi, juga bersorak-sorak mendukung tim kesayangan. Namun acara nonton piala dunia ini kadang melalaikan dari yang wajib-wajib, bahkan inilah yang sering terjadi. Tulisan ini nantinya akan membuktikan sebagian di antaranya. Kelalaian dari yang wajib ini terjadi karena piala dunia biasa ditayangkan di atas jam 9 malam, maka sudah barang tentu banyak penonton yang begadang. Dari sinilah banyak yang akhirnya lalai dari kewajiban shalat dan lainnya.
Kewajiban Shalat Dilalaikan
Tidak jarang kita melihat saudara kita yang begadang hingga tengah malam bahkan hingga jelang waktu shubuh karena menonton bergulirnya bola selama 2×45 menit. Setelah nonton, ia bukanlah memperhatikan kewajiban shalat. Namun karena rasa kantuk yang begitu berat, shalat shubuh yang merupakan kewajiban setiap harinya dilalaikan begitu saja karena badannya butuh istirahat selepas begadang. Shalat pun ditinggalkan tanpa rasa bersalah, tanpa ada rasa berdosa. Jika seseorang tahu bahaya meninggalkan shalat, maka tentu ia tidak akan meninggalkannya. Ia tidak akan meninggalkannya meskipun satu shalat saja.
Perlu kita ketahui bahwa meninggalkan satu shalat saja itu tergolong melakukan dosa besar. Bahkan dosa besarnya bukan seperti dosa besar lainnya karena yang ditinggalkan adalah rukun islam, yang merupakan penegak bangunan islam. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam golongkan dosa orang yang meninggalkan shalat –secara total- sebagai dosa kekafiran. Coba kita perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257). Ini berarti orang yang meninggalkan shalat secara total telah melakukan dosa kesyirikan dan kekufuran.
Sahabat yang mulia, ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada keislaman bagi orang yang meninggalkan shalat.”[1]
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa dosa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja termasuk kekafiran sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan seseorang kafir kecuali shalat.”[2]
Adapun jika seseorang meninggalkan satu shalat atau shalatnya bolong-bolong (kadang shalat, kadang tida), maka ia terjerumus dalam dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat. Inilah yang jadi konsensus (ijma’) para ulama. Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[3]
Bagi orang-orang yang sering melalaikan shalat, kadang shalat dan kadang tidak, Syaihul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pun telah memberikan nasehat berharga yang patut direnungkan yaitu, “Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat yang lima waktu. Mereka tidak meninggalkan shalat secara total, namun mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini berarti ada pada diri mereka keimanan dan kemunafikan sekaligus. Orang semacam itu tetap diperlakukan sebagai muslim secara lahiriyah seperti mereka masih tetap mendapat warisan. Hukum warisan bisa berlaku bagi orang munafik tulen, maka tentu saja lebih pantas berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.”[4]
Orang yang begadang (seperti karena nonton bola) sehingga lalai shalat shubuh sehingga bangun pagi kesiangan, bukanlah orang yang mendapat udzur. Berbeda halnya dengan orang yang sudah terbiasa shalat shubuh, lalu suatu saat ia ketiduran karena kecapekan atau alasan lainnya, maka inilah yang benar mendapat udzur. Ia tetap diperintahkan untuk shalat ketika ia ingat atau ketika ia bangun dari tidurnya. Meskipun ketika matahari sedang terbit atau matahari sudah meninggi, maka ia kerjakan shalat saat itu juga. Dalam sebuah hadits dari Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا فَإِذَا كَانَ الْغَدُ فَلْيُصَلِّهَا عِنْدَ وَقْتِهَا
“Jika seseorang ketiduran, itu bukanlah berarti ia lalai dari shalat. Yang disebut lalai adalah jika seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya. Jika ketiduran, hendaklah seseorang shalat ketika ia terbangun. Jika tiba esok hari, hendaklah ia shalat tepat pada waktunya (jangan sampai telat lagi).” (HR. Muslim no. 681). Hadits ini jelas menunjukkan bahwa yang dimaksudkan seseorang boleh mengerjakan shalat ketika ia bangun tidur karena ketiduran, itu disebabkan suatu udzur. Berbeda halnya jika sudah jadi kebiasaan lembur atau begadang setiap harinya (disebabkan nonton bola atau lainnya), maka ini tentu saja bukan orang yang mendapati udzur. Wallahu a’lam.
Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya sebagai berikut.
Pertanyaan pertama: Ada seseorang mengerjakan shalat shubuh setelah matahari terbit dan ini sudah jadi kebiasaannya setiap paginya dan hal ini sudah berlangsung selama dua tahun. Dia mengaku bahwa tidur telah mengalahkannya karena dia sering lembur. Dia mengisi waktu malamnya dengan menikmati hiburan-hiburan. Apakah sah shalat yang dilakukan oleh orang semacam ini?
Pertanyaan kedua: Apakah boleh kita bermajelis dan tinggal satu atap dengan orang semacam ini? Kami sudah menasehatinya namun dia tidak menghiraukan.
Jawab:
Diharamkan bagi seseorang mengakhirkan shalat sampai ke luar waktunya. Wajib bagi setiap muslim yang telah dibebani syari’at untuk menjaga shalat di waktunya –termasuk shalat shubuh dan shalat yang lainnya-. Dia bisa menjadikan alat-alat pengingat (seperti alarm) untuk membangunkannya (di waktu shubuh).
Kita diharamkan lembur di malam hari untuk menikmati hiburan dan semacam itu. Lembur (begadang) di malam hari telah Allah haramkan bagi kita jika hal ini melalaikan dari mengerjakan shalat shubuh di waktunya atau melalaikan dari shalat shubuh secara jama’ah. Hal ini terlarang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang begadang setelah waktu Isya’ jika tidak ada manfaat syar’i sama sekali.
(Perlu diketahui pula bahwa) setiap amalan yang dapat menyebabkan kita mengakhirkan shalat dari waktunya, maka amalan tersebut haram untuk dilakukan kecuali jika amalan tersebut dikecualikan oleh syari’at yang mulia ini.
Jika memang keadaan orang yang engkau sebutkan tadi adalah seperti itu, maka nasehatilah dia. Jika dia tidak menghiraukan, tinggalkan dan jauhilah dia.[5]
Pekerjaan Kantor pun Terabaikan
Orang yang sengaja begadang untuk nonton bola kadang juga kurang maksimal dalam mengemban tugas wajib di kantor. Gara-gara bola, ia harus memikul kantuk berat sehingga pekerjaan kantor atau dari atasan kurang maksimal ia kerjakan. Sebaik-baik orang beriman tentu saja selalu menjaga amanat yang dibebankan padanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu dan tidak perlu engkau membalas dengan mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud no. 3534, At Tirmidzi no. 1264, Ad Darimi no. 2597, Ahmad 3/414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Mata Bermaksiat dengan Melihat Aurat Orang Lain
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan dari aurat yang haram untuk dipandang. Di antara aurat yang tidak boleh dipandang adalah aurat sesama lelaki. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Seorang laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya. Begitu pula seorang wanita janganlah melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim no. 338)
Lalu manakah aurat laki-laki? Perlu diketahui, mayoritas ulama berpendapat bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan)
Jika sudah paham demikian, maka tentu saja melihat aurat pemain bola di TV yang memakai celana di atas lutut adalah suatu yang terlarang. Renungkanlah!
Waktu Jadi Begitu Sia-sia
Yang satu ini juga sudah pasti, waktu begitu sia-sia dengan menonton bola. Waktu menonton adalah 2×45 menit, ditambah lagi extra time untuk istirahat. Bagaimana lagi jika tontonan ini dilihat hampir sebulan penuh sebagaimana pada piala dunia? Coba bayangkan berapa waktu yang terbuang sia-sia dalam sebulan. Bukankah waktu luang itu adalah nikmat? Nikmat ini pun akan ditanyakan oleh Allah di manakan dimanfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang nikmat (yang dianugerahkan untukmu).” (QS. At Takatsur: 8). ‘Ikrimah mengatakan bahwa nikmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah nikmat sehat dan waktu luang.[6] Ini berarti nikmat waktu luang pun akan ditanyakan di manakah nikmat tersebut dihabiskan.
Dari sini kita dituntut untuk memanfaatkan waktu dalam kebajikan dan bukan dalam hal yang sia-sia, tidak bermanfaat apa-apa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2318, shahih lighoirihi)
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian. Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[7]
Perlu diketahui bahwa begadang tanpa ada kepentingan dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568)
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[8] Apalagi dengan begadang dapat melalaikan dari kewajiban shalat wajib dan kewajiban pekerjaan di kantor tidak bisa maksimal. Renungkanlah dengan hati yang dalam!
Musuh Allah Jadi Idola
Yang juga penyakit parah yang menimpa para pecandu bola adalah kecintaan pada non muslim yang merupakan musuh Allah. Cobalah dilihat, manakah yang dibela ketika di antara dua klub atau negara yang bertanding, apakah yang didukung agamanya? Tidak sama sekali, yang didukung bukanlah agama. Pokoknya siapa yang lebih mahir dan lebih cantik dalam bermain itulah yang didukung. Walaupun itu musuh Allah sekalipun, itulah yang didukung, bahkan itulah yang jadi idola. Jika non muslim-lah yang dibela dan jadi idola, maka agamanya lama kelamaan pun bisa turut dibela. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al Mujadilah: 22).
Tidakkah kita renungkan bahwa seseorang akan dikumpulkan dengan orang yang ia cintai dan yang dijadikan idola. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُحِبّ أَحَد قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْم الْقِيَامَة
“Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum melainkan dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat nanti.”[9] Bagaimana jika yang dicintai dan diidolakan adalah pemain bola dan itu non muslim?! Semoga bisa jadi renungan! Cintailah para Nabi, para sahabat dan orang sholih, maka engkau akan bahagia berkumpul bersama mereka.
Ini hanyalah nasehat bagi siapa yang mau menerimanya. Tentunya yang kami inginkan hanyalah kebaikan bagi saudara-saudara kami. Karena kaum muslimin satu dan lainnya punya kewajiban untuk saling menasehati. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah” (QS. Hud: 88).
Hanya Allah yang beri taufik. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Panggang-GK, 28 Jumadits Tsani 1431 H (11/06/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209.
[2] Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 52, Girosu linnasyr wat Tawji’
[3] Ash Sholah wa Hukmu Taarikiha, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Qayyim Al Jauziyah, hal. 7, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 7/617, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, no. 8371, 69/90. Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota.
[6] Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 9/222, Al Maktab Al Islami.
[7] Al Fawa’id, Ibnul Qayyim, hal. 33, Darul ‘Aqidah.
[8] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[9] HR. Thobroni dalam Ash Shogir dan Al Awsath. Perowinya adalah perowi yang shahih kecuali Muhammad bin Maimun Al Khiyath, namun ia ditsiqohkan. Lihat Majma’ Az Zawaid no. 18021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar