Oleh: Asy-Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi hafizhohullaahu ta’ala
Putri saya
Rima, sebagaimana jamaknya anak-anak usia enam tahun, banyak bertanya tentang
apa saja. Pada suatu ketika dia menghampiri saya kemudian bertanya, “Mengapa
Abi membaca surah Al-Ikhlash berulang-ulang?”
“Supaya Allah
membangunkan rumah untuk abimu di dalam surga.”
“Apakah jika
Rima membacanya berulang-ulang juga, akan dibangunkan rumah oleh Allah di
surga?”
“Oh, tentu,
tetapi Rima harus membacanya sepuluh kali berturut-turut.”
“Mengapa harus
sepuluh kali?”
“Karena Nabi
shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam bersabda, “Siapa yang membaca qul
huwallaahu ahad sepuluh kali, (niscaya) Allah membangunkan untuknya sebuah
rumah di surga.”
“Baiklah
sepuluh kali!”
Saat itu juga,
Rima mulai membaca surah Al-Ikhlash dan saya pun mengikuti bacaannya itu. Begitu
melihat saya ikut membaca, Rima berkata, “Abi jangan ikut membaca, nanti di
surga Abi tinggalnya di rumah Rima saja!”
“Tidak
apa-apa, lebih baik jika kita punya dua rumah.”
“Jangan Abi,
Rima maunya Abi tinggal satu rumah dengan Rima!”
Saya pun
tertawa lebar mendengarkan pikirannya yang masih polos. kebetulan saat itu
‘Abdurrohman yang masih berusia tiga tahun tiga bulan juga berada dekat kami
berdua. Maka saya pun mengambil hatinya dengan mengajaknya ngobrol. Pertanyaan
standar yang biasa diajukan kepada anak-anak saya pilih untuk memuqodimahi
obrolan kami, “Apa cita-citanya kalau sudah besar kelak?” Saya juga
membayangkan jawaban standar yang akan saya dengar, “Jadi dokter, jadi guru,
atau jadi pilot.” Tak disangka-tak dinyana, ternyata ‘Abdurrohman memberikan
jawaban yang menderaikan air mata saya, dia berkata, “‘Abdurrohman mau jadi
Sahabat!”
Saya
menariknya ke dada dan mendekapnya. Bukan hanya karena terharu, tetapi juga
berusaha menyurutkan derai air mata, sementara hati ini berkata-kata, “Duhai anakku,
ayahmu hanya orang biasa, bahkan akan lebih baik jika ayahmu ini hanya
butir-butir pasir yang dipijak-pijak oleh para Sahabat itu..”
Seketika saya
pun teringat kisah Umar bin Al-Khoththob yang tertawa tetapi sekaligus menangis
dalam satu ketika.
Semoga Allah
subhanahu wata’ala mengampuni kita semua, dan menjadikan kita sebagai qudwah
yang sholeh untuk anak-anak kita.
[Dikutip dari
Majalah Qiblati edisi 2 tahun VIII.] via Status Facebook Abu Abdillah Huda
Artikel: www.KisahIslam.net
Facebook Fans
Page: Kisah Teladan
& Sejarah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar