By: Dr. Ragheb Sirjani
Banyak dari kaum muslimin yang memberi
peluang kepada perasaan (baca: simpati) mereka untuk menghukumi berbagai
perkara, tokoh, organisasi, dan negara. Mereka tidak meneliti apa yang ada di
balik itu semua, tidak membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan tidak
menelusuri asal-usulnya. Hal ini menjerumuskan mereka dalam berbagai kekeliruan
dan salah persepsi yang berakibat fatal, yang baru disadari setelah musibah dan
bencana yang diakibatkannya terjadi… dan ketika itu, penyesalan mungkin tiada
berguna lagi.
Benang merah panjang yang mengawali
lahirnya Hizbullah Syi’ah telah dibahas dalam ‘Kisah Hizbullah bag. 1′. Di sana
telah kami paparkan tentang Lebanon, dan kali ini akan kami lanjutkan. Saya
(penulis) percaya bahwa saya sedang menelusuri jalan penuh duri. Usaha saya
untuk memberikan gambaran yang benar bagi kaum muslimin ini, pasti menghadapkan
saya kepada gelombang penolakan dan kritikan dari kaum muslimin yang bersimpati
kepada tokoh mana saja yang dianggap sukses di masa-masa yang sensitif dalam
tarikh umat ini; meskipun tokoh tersebut adalah pengikut Syi’ah yang bobrok,
yang meyakini kebebasan berpendapat dalam mengritik, mencela, menentang dan
bahkan menjatuhkan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa saya akan menghadapi
perlawanan buas dari pihak Syi’ah sendiri, yang mendorong media-media massa
Sunni agar menyerukan supaya ‘file ini’ ditutup dan jangan dibicarakan sama
sekali, sembari memalingkan mereka kepada Zionis Israel dan Amerika saja.
Padahal di saat yang sama Syi’ah terus melanjutkan skenario mereka dengan
mantap. Kaum muslimin baru akan bangun dari tidurnya, saat Syi’ah berhasil
mendirikan sebuah Daulah besar, yang setara dengan Daulah Buwaihiyyah tempo
dulu, atau lebih besar lagi!!
Perpecahan Harakah AMAL Pasca Ash Shadr
Setibanya Musa Ash Shadr dari Qum (Iran)
dan Najaf (Irak), ia berusaha merekrut orang-orang Syi’ah Lebanon menjadi
sebuah eksistensi yang saling melengkapi, yang bisa diajak mendirikan sebuah
daulah (negara) di masa depan. Ia begitu perhatian dengan sisi religius dan
madzhabiyah kelompok ini, hingga pada tahun 1969, ia mendirikan Majelis Tinggi
Syi’ah. Ia juga perhatian dengan sisi militer mereka, hingga mendirikan Harakah
AMAL, yang merupakan singkata dari Afwaajul Muqaawamah Al Lubnaaniyyah
(Gelombang Perlawanan Lebanon). Ia juga menjalin hubungan erat dengan pihak
Nasrani Maronit, demikian pula dengan Amerika Serikat dan Suriah, di samping
tentunya dengan pihak-pihak yang mengirimkannya ke Lebanon, yang tokoh dari itu
semua adalah Khomeini, yang saat itu masih berada di Irak.
Abdul Amir Qublan
Musa Ash Shadr meninggalkan kekosongan
besar, dan kaum Syi’ah berusaha menertibkan kembali administrasi mereka, hingga
jabatan Majelis Tinggi Syi’ah akhirnya diambil alih oleh Abdul Amir Qublan,
yang tadnya adalah wakil Musa Ash Shadr.
erus menjabat sebagai wakil ketua
Majelis, padahal jabatan ketua sampai kini masing vakum! Sedangkan tokoh-tokoh
Syi’ah di Lebanon merujuk kepada salah seorang syaikh mereka, yaitu Husein
Fazhlullah, dan si saat yang sama kondisi sayap militer Syi’ah yang terkenal
sebagai Harakah AMAL makin ricuh, hingga anggota-anggotanya terpecah menjadi
dua kelompok:
Kelompok pertama, ialah Syi’ah Sekuler
yang ingin mengatur jalannya permainan tanpa merujuk ke kaidah-kaidah madzhab
Itsna Asyariyah. Mereka tidak ingin terikat dengan tokoh-tokoh rujukan agama di
luar Lebanon, alias ingin menempuh jalur nasionalisme. Kelompok ini dipimpin
oleh Nabieh Barrie, salah satu pemimpin Lebanon terkenal. Sedangkan kelompok
kedua, ialah mereka yang ingin melanjutkan khittah Musa Ash Shadr, alias ingin mendirikan Negara bermadzhab
Syi’ah yang menetapkan seluruh keyakinan dan kesesatan kaum Syi’ah dengan
kekuatan senjata, sekaligus melebarkan kekuasaan mereka sekuat kemampuan.
Kelompok ini bekerja sama dengan tokoh-tokoh revolusi Iran yang merencanakan
kudeta di Iran, akan tetapi kelompok ini masih membutuhkan seorang pemimpin
yang mengarahkan mereka.
Al Musawi, Nasrallah, dan Strategi Iran
Di masa-masa yang sulit tadi, ada dua
orang yang datang dari Najaf, Irak. Keduanya telah mendalami akidah Syi’ah di
sana, dan keduanya yang paling berpengaruh dalam mempertahankan eksistensi
khittah madzhabiyyah-nya Musa Ash Shadr. Kedua orang tersebut adalah: Abbas Al
Musawi dan Hasan Nasrallah.
Mereka berdua menyusup dengan cepat ke
barisan Harakah AMAL, dan dapat menduduki pusat-pusat kepemimpinan di sana,
padahal umur Hasan Nasrallah kala itu baru 18 tahun!
Pada tahun 1979, tercetuslah revolusi
Iran dan Shah berhasil digulingkan. Khomeini pun kembali dari Paris (setelah
diusir dari Irak tahun 1978) dan memegang tampuk kekuasaan di Teheran. Ia mulai
‘menertibkan keadaan’ di sana, dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya. Ia
berbalik kepada pihak-pihak yang dahulu mendukungnya dari ormas-ormas Iran
lainnya. Khomeini berhasil memantapkan dirinya dengan sempurna dan tidak
bergerak ke kota suci Qumm seperti yang diramalkan banyak orang, namun justeru
menetap di ibukota Teheran.
Setelah pulihnya berbagai masalahnya di
Iran, Khomeini mulaimemperhatikan Lebanon dan Irak. Keduanya merupakan
kantong-kantong yang memiliki massa Syiah cukup besar, dan di saat yang sama,
keduanya merupakan bagian dari skenario Syi’ah untuk mendirikan Negara Syi’ah
Raya di wilayah tersebut.
Kondisi di Irak saat itu masih sangat
sulit. Saddam Hussein konon menerapkan tangan besi dalam memerintah. Khomeini
sendiri merasakan hal tersebut, sebab ia pernah tinggal selama 14 tahun penuh
di Irak, yang berakhir dengan melarikan diri secara terpaksa ke Paris. Dari
sini, Khomeini tahu persis bahwa Organisasi Syi’ah di Irak tidak mampu
menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Sebab itulah Khomeini memilih solusi
militer, dan segera memulai perang total terhadap pemerintah Irak pada tahun
1980, sebelum revolusi genap berumur satu tahun! Ini semua karena ambisinya
untuk menjatuhkan pemerintahan Irak dan menyerahkan roda pemerintahan kepada
Syi’ah, yang dengan begitu, Irak akan tergabung dalam Negara Syi’ah Raya yang diimpikan
Khoemini.
Adapun di Lebanon yang jauh, yang sarat
dengan berbagai kelompok dan sekte agama, di sana masih perlu persiapan dan
sejumlah tokoh dengan loyalitas penuh kepada Khomeini dan pemerintahannya.
Sebab itulah, Khomeini terus mengontak kedua orang tadi, yang notabene
bermadzhab Syi’ah Itsna Asyariyah, yang keduanya beriman dengan ajaran
Wilayatul Faqieh[1], yang berhasil menghantarkan Khomeini ke
kursi pemerintahan. Kedua orang tersebut adalah Abbas Al Musawi dan Hasan
Nasrallah, dan dari sinilah Iran mulai memberi dukungan langsung kepada mereka,
meski kepemimpinan Harakah AMAL masih di tangan Nabieh Barrie yang berpaham
sekuler.
Pada tahun 1981, diadakan muktamar
Harakah AMAL yang keempat untuk memberikan solusi atas perselisihan internal
mereka, yang masing-masing selama ini berusaha menguasai daerah selatan.
Muktamar tersebut berakhir dengan tetap dipilihnya Nabieh Barrie sebagai
pemimpin Harakah AMAL, dan Abbas Al Musawi menjadi wakilnya. Ini merupakan
langkah penting untuk mengendalikan kondisi di selatan Lebanon.
Invasi Israel dan Sikap Syi’ah
Akan tetapi pada tahun 1982, tepatnya
tanggal 6 Juni tahun itu, terjadilah peristiwa yang mengacaukan semua skenario
mereka. Mereka semua dikejutkan oleh invasi Zionis Israel atas seluruh Lebanon
Selatan, bahkan Israel sempat mengepung Beirut untuk mengusir Yasir Arafat
beserta segenap pemimpin Fatah dan milisi-milisi Palestina agar keluar dari
selatan Lebanon. Jelaslah bahwa kesepakatan antara militer Israel dan pihak
Nasrani Maronit telah terjadi dalam rangka mengusir orang-orang Palestina yang
telah menjadi suatu kekuatan penekan dalam masyarakat Lebanon. Terjadilah
berbagai pembataian atas warga Palestina, dan yang paling besar di antaranya
adalah Pembantaian Shabra dan Shatila, yang menewaskan 3000 orang Palestina,
dan Zionis Israel –atas bantuan Nasrani Maronit- pun berhasil mengusir
orang-orang Palestina dari selatan Lebanon dan Beirut.
Peristiwa ini mulanya selaras dengan
keinginan Syi’ah. Sebab mereka sejak dahulu menuntut agar orang-orang Palestina
dikeluarkan dari selatan Lebanon, sebagai langkah awal pendirian negara mereka
di sana. Akan tetapi pihak Zionis tidak lantas kembali ke markas mereka setelah
mengusir orang-orang Palestina, namun tetap bercokol di Lebanon dan melakukan
pendudukan militer atas seluruh wilayah selatan.
Kejadian ini mengkandaskan seluruh
impian kaum Syi’ah untuk mendirikan negara mereka. Lebih-lebih mengingat bahwa
mereka kala itu masih terpecah menjadi kelompok sekuler dan konservatif
(agamis). Maka kelompok konservatif akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri
dari Harakah AMAL, dan melanjutkan kontak mereka dengan para pemimpin di Iran
untuk mendapat dukungan mereka. Mereka lantas membentuk sebuah lajnah yang
terdiri dari 9 orang untuk berangkat ke Teheran dan berjumpa dengan Khomeini.
Mereka menyatakan keimanan mereka terhadap ajaran wilayatul faqieh, yang
konsekuensinya mengimani kekuasaan Khomeini sebagai ‘faqieh’ yang dimaksud,
yang akan mengurus masalah kaum Syi’ah di Lebanon. Khomeini menyetujui lajnah
tersebut dan mereka kembali lagi ke Lebanon untuk berpisah total dengan Harakah
AMAL, dan membentuk harakah baru yang dikenal saat itu dengan nama Harakah AMAL
al Islamiyyah, dibawah kepemimpinan Abbas Al Musawi.
Iran memiliki campur tangan kuat dalam
berdirinya harakah baru ini. Bahkan Iran sempat mengirim 1500 orang dari
tentara revolusinya ke Suriah, lalu dari Suriah ke lembah Bikkaa di Lebanon.
Mereka semua dikirim untuk melatih Harakah AMAL al Islamiyyah secara
militer,dan memberikan bantuan finansial dan militer yang cukup kepada mereka.
Dengan demikian, harakah yang baru ini telah mendapat dukungan dari dua negara
besar di kawasan tersebut, yaitu Iran dan Suriah, dan di saat yang sama Suriah
tetap mendukung Harakah AMAL yang nasionalis.
Berdirinya Hizbullah dan Penguasaan atas
wilayah selatan
Perang saudara masih berkecamuk di
Lebanon, dan kekuatan Harakah AMAL al Islamiyyah terus bertambah hingga Abbas
Al Musawi mengumumkan berdirinya Hizbullah pada bulan Februari tahun 1985,
sebagai ganti dari Harakah AMAL al Islamiyyah. Selang tiga bulan kemudian,
tepatnya bulan Mei 1985, Harakah AMAL yang dipimpin oleh Nabieh Barrie
melakukan pembantaian terhadap warga Palestina yang menewaskan ratusan orang,
dalam rangka membersihkan sisa-sisa orang Palestina yang masih ada di selatan
Lebanon dan Bikkaa. Dari situ, mulailah terjadi perselisihan di antara harakah
AMAL dan Hizbullah, yang berakhir dengan perang besar di antara mereka, dan
Hizbullah berhasil menumpas Harakah AMAL tahun 1988. Hasilnya, 90% anggota
Harakah AMAL beralih ke Hizbullah yang dibawah kendali Iran, sesuai dengan
aturan wilayatul faqieh dan didukung dengan kekuatan Suriah. Bersamaan dengan
itu, Harakah AMAL keluar dari sayap militer, dan hanya menjadi gerakan politik
saja.
Meski medan telah dikuasai oleh
Hizbullah semata, hanya saja ia mendapati bahwa markaz kekuatan pusatnya –yang
berada di selatan Lebanon- masih dikuasai oleh Yahudi. Inilah yang mendorong
Hizbullah untuk menguasai sebagian wilayah di Beirut, agar memiliki markaz
sebagai titik tolak setiap gerakan. Hizbullah tidak bergerak ke Beirut timur
tempat komunitas Nasrani, akan tetapi ke Beirut barat, terutama bagian
selatannya. Hizbullah mulai menduduki tempat-tempat tersebut dengan kekuatan
senjata, dan seluruh tempat itu adalah kantong-kantong Ahlussunnah.
Hizbullah kadang membangun
fasilitas-fasilitasnya di tempat umum, dan kadang di tanah milik Ahlussunnah,
akan tetapi Pemerintah Lebanon hanya berpangku tangan melihat itu semua, sampai
wilayah selatan Beirut menjadi Syi’ah tulen, dan dikuasai sepenuhnya oleh
Hizbullah.
Pada tahun 1989, Khomeini wafat, dan
menyerahkan jabatan pimpinan revolusi kepada Ali Khamenei. Kondisi Hizbullah
sendiri tidak mengalami perubahan, sebab ia masih terikat dengan aturan
wilayatul faqieh yang baru, yaitu Ali Khamenei. Pada tahun yang sama, pihak-pihak
yang bertikai di Lebanon atas perantara Saudi bertemu di Thaif, untuk membikin
kesepakatan dalam rangka menghentikan perang saudara di Lebanon. Di tahun yang
sama pula, terjadi pembunuhan terhadap tokoh Sunni terbesar di Lebanon, yaitu
Syaikh Hasan Khalid rahimahullah, selaku mufti Lebanon dari kalangan Sunni
sejak tahun 1966. Ini dimaksudkan agar Ahlussunnah kehilangan kepemimpinan
mereka, dan di waktu yang sama, Hizbullah muncul sebagai markas Islam di
Lebanon.
Perang Melawan Yahudi dan Berubah Sikap
Terhadap Ahlussunnah
Hizbullah mulai menyiapkan rencana untuk
menggempur Yahudi demi membebaskan wilayah-wilayah mereka yang diduduki, dan
direncanakan sebagai tempat berdirinya Negara Syi’ah Raya. Kucuran dana pun
mengalir deras dari Iran untuk tujuan tersebut, di samping bantuan dari Suriah.
Hal ini mengkhawatirkan Israel hingga mereka melakukan pembunuhan terhadap
Abbas Al Musawi yang menjadi Sekjen Hizbullah pada tahun 1992. Jabatan Sekjen
akhirnya diambil alih oleh Hasan Nasrallah.
Di tahun yang sama, muncullah tokoh
Sunni baru, dan Ahlussunnah Lebanon pun mulai berkumpul di sekitarnya. Dialah
Rafiq Al Hariri yang menjabat sebagai PM Lebanon tahun 1992 hingga 1996. Ia
mulai membangun kembali Lebanon, dan mendapat dukungan dari banyak warga Lebanon.
Pada tahun 1996, Zionis Israel melakukan
agresi brutal atas Lebanon, yang dikenal dengan operasi ‘Grapes of
Wrath’(Anggur Kemarahan). Sejak itu, jiwa patriotisme warga Lebanon mulai
berkobar untuk melepaskan diri dari penjajahan Israel. Hizbullah pun
mengumumkan pembentukan pasukan-pasukan Lebanon untuk melawan musuh Zionis.
Pasukan tersebut adalah gabungan dari berbagai kelompok Lebanon yang
bermacam-macam, akan tetapi mayoritas anggotanya adalah dari Ahlussunnah yang
mencapai 38%, sedangkan Syi’ah 25%, lalu Druz 20% dan Nasrani 17%.
Serangan-serangan pasukan Lebanon
mengakibatkan ditarik mundurnya pasukan Zionis dari sebagian besar wilayah
selatan Lebanon pada tahun 2000, kecuali daerah pertanian Shebaa.
Hizbullah akhirnya menduduki seluruh wilayah tersebut, dan menolak keinginan
Tentara Nasional Lebanon untuk menyebarkan pasukannya di wilayah tersebut.
Bahkan Hizbullah mulai merampas fasilitas-fasilitas milik Ahlussunnah di
wilayah selatan dan di pegunungan Lebanon. Tidak sampai di situ, Hizbullah juga
berani mengganggu sejumlah masjid, seperti Masjid Nabi Yunus, dan tanah-tanah
wakaf milik masjid tersebut yang terdapat di daerah Al Jeyah.
Rafiq Al Hariri dan Gerakan Syi’ah
Di tahun yang sama dengan keluarnya
Yahudi dari Lebanon, Rafiq Al Hariri dilantik kembali menjadi PM Lebanon. Ini
merupakan kesempatan baginya untuk menampakkan diri dan keluarganya, dan
menjadi simbol Sunni terkenal yang menjadi pesaing kuat sesungguhnya bagi
gerakan Syi’ah di Lebanon.
Kekuatan Hizbullah terus bertambah, dan
ia masih mencari kesempatan untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya yang didukung
oleh Iran dan Suriah. Akan tetapi meningginya pamor Rafiq Al Hariri menjadikan
masalahnya sama kuat di mata rakyat Lebanon.
Pada tahun 2004, Al Hariri mengundurkan
diri dari jabatan PM akibat perselisihan antara dia dengan orang-orang Suriah
yang jumlahnya cukup banyak di tubuh tentara Lebanon. Kemudian terjadilah
kejutan berdarah pada 14 Februari 2005 dengan terbunuhnya Rafiq Al Hariri
ketika berada dalam kendaraannya di Beirut, di tengah tersebarnya berbagai agen
intelijen internasional yang beroperasi di Lebanon, seperti CIA, Perancis,
Suriah, Iran dan Lebanon sendiri. Dengan demikian, Ahlussunnah Lebanon kembali
kehilangan salah satu tokoh besar mereka.
Lebanon goncang pasca terbunuhnya Rafiq
Al Hariri, dan jari-jari tuduhan internasional mengarah kepada Suriah. Lalu
dari situ masyarakat internasional menuntut agar Suriah menarik diri dari
Lebanon. Maka Hizbullah melakukan demonstrasi besar-besaran pada 8 Maret 2005
untuk mempertahankan keberadaan Suriah di Lebanon. Hal ini mendapat respon
balik dari gerakan Al Mustaqbal (Future Movement), yang merupakan gerakan
keluarga Al Hariri di bawah pimpinan Sa’ad Al Hariri. Ia mendapat dukungan dari
Democratic Gathering Bloc pimpinan seorang Druz: Walid Jumblat, dan Hizbul
Quwwah Al Lubnaniyyah yang mewakili kaum Maronit pimpinan Sameer Ja’ja’.
Ketiganya melakukan demonstrasi besar pada tanggal 14 Maret 2005 dengan
tuntutan keluarnya Suriah dari Lebanon. Sebab itulah demonstrasi tersebut
disebut demonstrasi 14 Maret, dan berhasil mengeluarkan Suriah dari Lebanon di
bulan yang sama.
و
|
Dilema Hizbullah dan Perang tahun 2006
Pasca keluarnya Suriah, Hizbullah
menghadapi dilema di Lebanon, lebih-lebih dengan makin kuatnya persaingan antar
golongan pasca terbunuhnya Al Hariri. Sebab itulah Hizbullah memilih untuk
beraliansi secara politik bersama kekuatan-kekuatan lain untuk ikut serta dalam
pemilu parlemen Lebanon bulan Mei 2005. Ia bergabung dengan ketiga kelompok
lain yaitu: Gerakan Al Mustaqbal yang Sunni, Gerakan Jumblat yang Druz –meski
sangat memusuhi kedua gerakan ini-, di samping juga bergabung dengan Gerakan
politik Harakah AMAL. Aliansi ini dikenal dengan aliansi kwartet, dan secara
keseluruhan mereka berhasil meraih 72 kursi di Parlemen dari total 128 kursi.
Dengan demikian, mereka menjadi mayoritas di parlemen, yang akhirnya menjadi
bagian dari pemerintah Lebanon yang dipimpin oleh Fuad Seniora.
Hizbullah telah menekan dirinya sendiri,
dan beraliansi dengan kelompok Sunni meski mereka berseberangan. Ini semua demi
menampakkan bahwa Hizbullah ikut serta dalam kepentingan Nasional. Padahal
Hasan Nasrallah sendiri tidak pernah hadir dalam sidang-sidang parlemen maupun
muktamar umum mereka. Ia hanya mengirim utusannya dan bersikap kepada semua
pihak sebagai atasan, sebagai persiapan untuk menjadi pemimpin masa depan atas
mereka semuanya.
Bukti paling besar atas asumsi ini ialah
terlibatnya Hizbullah pada tanggal 12 Juli 2006 dalam melakukan operasi militer
melawan Zionis Israel. Hizbullah berhasil menawan dua tentara Israel dan
menewaskan delapan lainnya. Semua itu ia lakukan tanpa konsultasi sedikit pun
dengan negara yang ia menjadi bagian dalam pemerintahannya; dan juga tidak
berkonsultasi dengan faksi-faksi lain yang menjadi sekutunya dalam parlemen.
Padahal operasi militer inilah yang menyeret negara seluruhnya –dan bukan hanya
Hizbullah- dalam perang melawan Israel.
Akhirnya meledaklah perang besar yang
terkenal pada bulan Juli 2006. Israel menggempur Lebanon terus-menerus selama
33 hari penuh, dengan target menghancurkan bungker-bungker Hizbullah sekaligus
Lebanon. Hizbullah melakukan serangan balik kepada Israel dengan menembakkan
roket-roket, dan banyak korban yang tewas dari rakyat Lebanon dalam perang ini.
Pihak Israel tidak berhasil menghentikan
serangan roket Hizbullah, dan ini dianggap sebagai ‘kemenangan besar’ untuk
Hizbullah, sebab Yahudi telah menghentikan serangan udara mereka tanpa berhasil
melumpuhkan sistem kekuatan roket Hizbullah, maupun membebaskan dua orang
pasukannya yang ditawan Hizbullah.
Perang pun berakhir seiring dengan
kehancuran besar yang dialami oleh rakyat Lebanon atas negerinya. Kehancuran
tersebut merata di setiap daerah di Lebanon. Di samping itu, rakyat Lebanon
merasakan eksistensi Syi’ah yang semakin kuat, yang tercermin melalui Hizbullah
yang tetap memegang senjata canggih produk Iran-nya, dan didukung penuh oleh
Suriah. Hal ini sengaja diciptakan agar semua orang merasa bahwa negara mereka
sedang mengarah ke seorang tokoh Syi’ah tertentu, seiring dengan banyaknya
simpati dari umat Islam secara umum atas Hizbullah dalam melawan Israel.
Menurut Anda, apakah yang terjadi di
Lebanon setelah itu? Apakah langkah-langkah yang ditempuh oleh Syi’ah dalam
skenario mereka? Bagaimana visi Hasan Nasrallah tentang masa depan Lebanon?
Mengapa Hizbullah kalah dalam pemilu parlemen bulan Juni 2009 padahal ia
semakin kuat? Dan apakah yang seharusnya dilakukan oleh segenap umat Islam
dalam menyikapi ini semua?
Inilah sederet pertanyaan yang perlu
penjelasan dan perincian, dan inilah yang menjadi topik artikel kita berikutnya
insya Allah, semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
[1] Yaitu ajaran yang dicetuskan Khomeini untuk merubah
sikap kaum syi’ah yang semula tidak meyakini adanya perang sebelum munculnya
Imam Mahdi mereka (yakni Imam ke-12 yang diyakini masih ghaib sejak 12 abad
lalu). Dengan wilayatul faqieh, Khomeini mengatakan bahwa posisi Imam Mahdi
untuk sementara diambil alih oleh seorang faqieh (ahli agama) -yang dalam hal
ini adalah dirinya-, untuk memimpin kaum Syi’ah. Nah, dengan jabatan tersebut
Khomeini bertindak layaknya Imam Mahdi dan berhasil merubah kaum Syi’ah menjadi
kaum radikal dan revolusioner hingga mau berperang demi ambisi pribadinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar