Dalam dua artikel sebelumnya, kita telah
membahas sejarah berdirinya Hizbullah sekaligus pendirinya. Kita juga membahas
tentang hubungan Hizbullah-Iran dan Hizbullah-Suriah, serta megaproyek mereka
untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya di Lebanon. Pembahasan kita berakhir pada
meletusnya perang Lebanon tahun 2006 di mana Zionis Israel gagal menghancurkan
kekuatan Hizbullah, dan gagal membidik pemimpinnya. Hal ini mengakibatkan
kegembiraan luar biasa di dunia Islam, dan kebanggaan besar bagi pemuda-pemuda
Islam. Lebih-lebih mengingat mereka belum pernah menyaksikan kemenangan hakiki
melawan Yahudi dalam suatu peperangan sejak tahun 1973, alias sejak lebih dari
30 tahun! Orang-orang pun saling memberikan selamat kepada Hizbullah dan
pemimpinnya, Hasan Nasrallah. Bahkan sebagian mengira bahwa Hasan Nasrallah
adalah pemimpin gerakan seluruh umat Islam. Mereka seakan lupa akan
background-nya yang Syi’ah Itsna Asyariah itu; yang konsekuensinya ialah
permusuhan abadi terhadap Ahlussunnah, baik ia nampakkan hal tersebut ataupun
ia sembunyikan.
Hizbullah dan Kudeta Pemerintahan
Hizbullah keluar dari perang Lebanon
2006 dengan harapan bisa memanfaatkan momentum besar tersebut. Ia segera
memutuskan untuk mengkudeta pemerintah Lebanon yang tidak lain adalah
sekutunya. Pada tanggal 30 Desember 2006, Hizbullah menggalang aksi duduk besar-besaran
di sekitar istana pemerintahan. Mereka mendirikan lebih dari 600 tenda agar
mosi duduk tersebut bertahan lebih lama. Mereka menuntut agar PM Sunni Fuad
Seniora mengundurkan diri, padahal menurut undang-undang Lebanon, penggantinya
juga harus Sunni; akan tetapi keinginan Hizbullah tadi menandakan bahwa mereka
mampu merubah-rubah keadaan semau mereka, dan siapa saja yang akan menggantikan
PM harus ‘manut’ kepada seluruh instruksi ‘pemimpin masa depan’ Lebanon, yang
dilambangkan oleh Hasan Nasrallah. Akan tetapi pemerintah tidak menggubris
‘instruksi’ Hasan Nasrallah tersebut, hingga aksi berkemah tadi berlangsung
hingga 18 bulan berturut-turut!
Kondisi semakin kacau saat Hizbullah
melakukan operasi militer anarkis, yaitu dengan mengerahkan pasukan bersenjatanya
untuk mengepung Beirut barat secara total, yang merupakan wilayah kediaman
Ahlussunnah. Mereka mengancam akan menduduki wilayah tersebut, atau tidak akan
melonggarkan kepungan sampai PM yang dimaksud mengundurkan diri. Hal itu
terjadi pada 9 Mei 2008.
Rupanya masalah ini tidak lagi sekedar
‘bisikan hati’. Ia telah menjadi percobaan nyata di lapangan dengan bergeraknya
milisi-milisi untuk menguasai titik-titik utama di ibukota Beirut. Bahkan ini
sangat menarik perhatian, tatkala Waleed Jumblat mengungkap apa yang terjadi
enam hari sebelum pengepungan, tepatnya tanggal 3 Mei 2008. Ia mengatakan dalam
sebuah konferensi pers bahwa dirinya menemukan dokumen surat-menyurat antara
menteri pertahanan Lebanon Ilyas Almur dengan pihak intelijen tentara nasional
Lebanon. Dokumen tersebut melaporkan adanya sejumlah kamera milik Hizbullah
yang dipasang di airport Beirut. Jumblat juga menyebutkan bahwa di saat yang
sama ketika persenjataan dilarang masuk ke Lebanon, ternyata arus pengiriman
senjata mengalir deras dari Iran kepada Hizbullah. Artinya, tidak lama lagi
Hizbullah akan menjadi satu-satunya kelompok bersenjata di lebanon yang
persenjataannya jauh melebihi tentara nasional Lebanon.
Kesepakatan Doha dan kesalahan Nasrallah
Pengepungan Beirut barat berlanjut
selama 13 hari, hingga ditandatanganinya kesepakatan di Doha (Qatar), untuk
mengakhiri perang dan menyudahi aksi duduk massal. Akan tetapi, seiring
dengannya bubar pula aliansi kwartet yang terbentuk antara gerakan Al Mustaqbal
yang Sunni, Hizbullah dan Harakah AMAL yang Syi’ah, serta Partai Demokratik
yang Druz. Mereka semua mendapati bahwa aliansi semacam ini adalah sangat sulit
dipertahankan, dan berbagai kepentingan Ahlussunnah dan Syi’ah pasti akan
saling bertabrakan. Dari sini, mulai lah kedua belah pihak saling melempar
tuduhan dan bersaing ketat. Gerakan Al Mustaqbal atau Aliansi 14 Maret, kini
meyakini bahwa Syi’ah sangat mungkin mengambil alih kekuasaan secara total di
Lebanon. Hizbullah pun mulai menuduh Gerakan Al Mustaqbal sebagai kaki tangan
Amerika dengan maksud menurunkan pamor mereka di mata rakyat Lebanon dan
gerakan-gerakan Nasionalis lainnya. Tuduh-menuduh terus berlanjut antara kedua
belah pihak, dan semakin menguat dari waktu ke waktu seiring dengan makin
dekatnya Pemilihan anggota parlemen baru pada bulan Juni 2009. Akhirnya,
Gerakan Al Mustaqbal yang dipimpin oleh Sa’ad Al Hariri ikut serta dalam Pemilu
melawan Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nasrallah. Masing-masing pihak mulai
memamerkan kapabilitasnya untuk memimpin sekaligus menjatuhkan lawan
politiknya.
Hasan Nasrallah lalu membuat kekeliruan
besar yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang politikus ahli sepertinya.
Akan tetapi Allah berkehendak untuk menyingkap apa yang ada di balik tabir… Ia
mengumumkan dalam pidatonya menjelang Pemilu pada tanggal 29 Mei 2009, – yang
teks pidatonya ada dalam situs resmi Hizbullah di internet-, bahwa jika
kelompoknya menang dalam Pemilu, maka ia akan memasukkan persenjataan ke
Lebanon dari Suriah dan Iran. Ia telah menampakkan bahasa Syi’ahnya yang
kental, bahkan mengatakan: “Yang saya tahu ialah bahwa Republik Islam Iran,
khususnya Imam pemimpin Revolusi yang mulia: Sayyid Al Khamenei tidak akan
pelit untuk memberikan segalanya bagi Lebanon”.[1]
Ia telah berterus terang tanpa tedeng
aling-aling kepada rakyat Lebanon, bahwa pendanaan yang akan menjamin
stabilitas dan kejayaan mereka akan datang dari pihak Syi’ah, dan ini adalah
bujukan sekaligus ancaman, plus suatu hal yang menarik perhatian akan kuantitas
Hizbullah dan relasinya.
“Pesan” tersebut sampai ke rakyat
Lebanon, namun dalam bentuk yang berlawanan dari yang diharapkan Hasan
Nasrallah. Rakyat Lebanon akhirnya sadar akan bahaya Syi’ah. Mereka tahu bahwa
naiknya kelompok Hizbullah ke kursi pemerintahan, berarti bertambahnya kekuatan
bagi Hizbullah, bukan bagi Lebanon. Di samping itu, kemungkinan berdirinya
sebuah negara Syi’ah yang loyal kepada Iran dan Suriah menjadi dekat sekali. Dari
sinilah rakyat Lebanon takut terhadap arah Hizbullah, dan ketakutan tersebut
nampak di kotak-kotak suara saat Pemilu hingga mereka memberikan suaranya ke
Aliansi 14 Maret, padahal Sa’ad Al Hariri tidaklah secakap bapaknya, mendiang
Rafiq Al Hariri. Akan tetapi rakyat Lebanon telah menyadari sendiri akan bahaya
momen ini, dan tidak ada lagi waktu untuk mengatakan bahwa Pemilu ini akibat
tekanan Amerika, sebab ternyata Pemilu ini adalah pemilu yang bersih dan tidak
ada satu pihak pun yang mengritik ketransparanannya.
Akhirnya Aliansi 14 Maret menang dalam
Pemilu dengan merebut 14 kursi lebih banyak dari Hizbullah. Ini adalah angka
yang besar dalam pemilu Lebanon, dan ini berarti bahwa masalah-masalah akan
semakin jelas.
Sikap kita terhadap Hizbullah
Setelah memaparkan kisah yang panjang
ini, saya mengajak pembaca sekalian untuk merenung dan memberi catatan atas
beberapa hal, yang nanti akan menjawab sejumlah pertanyaan membingungkan yang
terlintas di benak setiap muslim saat menyaksikan peristiwa-peristiwa tadi.
Mungkin ada di antara pembaca yang setuju dengan pandangan saya, namun mungkin
juga tidak; akan tetapi saya sampaikan kepada semuanya bahwa saat kita
memberikan catatan, hendaknya kita menyingkirkan perasaan kita, dan memutuskan
dengan akal kita. Jika kita ingin memberi analisa yang tepat, kita harus
menelusuri akar masalah, mempelajari sejarah baik yang dahulu maupun sekarang,
mengaitkan hal-hal satu sama lain, membaca apa yang tertulis dalam buku-buku,
dan meneliti tujuan masing-masing golongan serta latar belakang dan akidah
mereka. Ketika itulah berbagai asumsi yang dahulu kita yakini kebenarannya akan
berubah, dan boleh jadi kita menyerang apa yang dahulu kita bela, atau membela
apa yang dahulu kita serang!!
Pertama: Berdirinya sebuah
negara Syi’ah di Lebanon adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi bahkan
mungkin segera terjadi, mengingat fasilitas yang dimiliki Hizbullah bukanlah
fasilitas suatu kelompok atau golongan kecil, akan tetapi fasilitas suatu
negara. Apalagi dukungan Suriah dan Iran atas berdirinya suatu negara Syi’ah
yang loyal kepada keduanya sangatlah besar. Negara ini kelak meliputi Lebanon
selatan, lembah Bikkaa yang berada di timur laut Lebanon. Wilayahnya bisa jadi
meluas hingga mencakup Lebanon utara yang Sunni, termasuk menguasai Beirut
barat dan selatan. Adapun wilayah-wilayah Nasrani, maka masih diperselisihkan,
dan tidak menutup kemungkinan jika Hizbullah menerima berdirinya dua negara di
bumi Lebanon: Negara Syi’ah dan Negara Nasrani.
Bahkan seribu tahun sebelum itu, Syi’ah
Isma’iliyyah pernah menawarkan kepada pasukan salibis saat memasuki Syam, agar
mereka membagi-bagi wilayah Ahlussunnah di antara mereka: pasukan salibis
menguasai Suriah dan Lebanon, sedangkan Syi’ah menguasai Palestina dan
Yordania; akan tetapi pasukan salib menolak, sebab mereka ingin menguasai Syam
seluruhnya!
Berdirinya sebuah negara Syi’ah di
Lebanon bukanlah masalah sepele bagi Ahlussunnah. Silakan baca kembali kisah
Ahlussunnah di Iran dan Irak, dan telaah kembali sikap Harakah AMAL yang lalu
berganti menjadi Hizbullah terhadap Ahlussunnah di Lebanon. Baca pula tarikh
daulah Buwaihiyyah, Hamdaniyyah, dan Ubeidiyyah –yang menamakan dirinya dengan
dusta sebagai Fathimiyyah-, serta Shafawiyyah… pelajarilah sejarah mereka agar
Anda tahu bahwa berdirinya sebuah negara Syi’ah yang kuat, berarti penindasan
terhadap Ahlussunnah di barisan yang pertama, sebab masalahnya adalah masalah
akidah, dan semua fakta yang ada mengarah kesana.
Perang Demi Sejumlah Kepentingan
Kedua, perang Hizbullah
melawan Yahudi adalah perang demi sejumlah kepentingan, bukan perang atas dasar
akidah. Sebab Yahudi memasuki wilayah Lebanon selatan tahun 1982, yang mulanya
hendak dijadikan cikal bakal Negara Syi’ah Raya. Maka, mau tidak mau harus ada
perlawanan demi eksistensi, sebagaimana peperangan pada umumnya yang terjadi di
dunia. Perang ini bukanlah perang demi meninggikan kalimat Allah, sebab kalimat
Allah (baca: agama) yang diyakini kaum Syi’ah adalah kalimat yang batil dan
menyimpang. Mereka meyakini bahwa imam-imam mereka ma’shum, dan kedudukannya
lebih tinggi dari para rasul, lantas kebaikan apa yang diharapkan dari akidah
semacam ini?!!
Cobalah kita bikin perumpamaan bahwa
Syi’ah memiliki markas di Lebanon Utara, sedangkan Ahlussunnah di selatannya.
Apakah Anda mengira bahwa Syi’ah akan berperang demi menyelamatkan wilayah
Lebanon yang ditempati Ahlussunnah? Ini sesuatu yang mustahil bin tidak
mungkin… bahkan boleh jadi akan terjadi kesepakatan untuk membagi bumi Lebanon
secara damai dengan Yahudi, dan ini bukan sekedar omong kosong tanpa bukti;
sebab Syi’ah telah mendiami Lebanon sejak puluhan tahun, namun adakah mereka
tergerak untuk memerangi Yahudi di Palestina? Padahal dalam syair-syair mereka
katakan bahwa Palestina adalah bumi yang dijajah Zionis Israel.
Al ‘Allamah DR. Musthafa As Siba’I
–rahimahullah- yang merupakan muraqib Ikhwanul Muslimin di Suriah pernah
berusaha mengadakan pendekatan Sunnah-Syi’ah ketika meletus perang Arab-Israel
tahun 1948. Ia berusaha mendorong Syi’ah agar bersekutu dengan Ahlussunnah
untuk membebaskan Palestina, akan tetapi mereka menolak dan enggan, hingga DR.
Musthafa kecewa berat, lalu menulis dalam kitabnya yang berjudul (السنة
ومكانتها في التشريع الإسلامي) “Kedudukan Sunnah dalam Syariat Islam”, bahwa
pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah adalah sesuatu yang tidak ada
hakikatnya, sebab mereka memahaminya sebagai pengalihan Ahlussunnah menjadi
Syi’ah, bukan untuk bertemu di tanah yang dimiliki bersama.[2]
Kemudian saat meletusnya perang tahun
1967, Syi’ah yang ada di Palestina Utara tidak bergerak sedikit pun. Bahkan
Musa Ash Shadr mengelu-elukan slogannya yang terkenal pada bulan Maret 1973
bahwa: “Senjata adalah perhiasan kaum lelaki”, namun saat meletus perang di
bulan Oktober 1973, yakni 6 bulan setelah Musa mengucapkan slogan tersebut,
tidak ada seorag Syi’ah pun yang ikut serta dalam memerangi Yahudi di
Palestina!
Kita semua menyaksikan bagaimana perang
Gaza tahun 2009 yang lalu. Sebenarnya rudal-rudal Hizbullah bisa saja
ditembakkan untuk menahan serbuan brutal Yahudi atas Gaza, akan tetapi kita
tidak mendengar selain ucapan saja, dan tidak ada satu rudal pun yang
ditembakkan untuk menyerang kaum Zionis. Dari sinilah kaum Zionis tahu bahwa
bahaya Hizbullah hanya sebatas daerah yang dikuasainya saja, dan untuk periode
ini, baik Hizbullah maupun Iran tidak punya kepentingan dengan Palestina.
Sebagaimana yang diketahui Amerika bahwa slogan-slogan anti-AS yang diserukan
Iran tidak ada hakikatnya, namun sekedar mencari simpati kaum muslimin lewat
media massa. Jika tidak percaya, silakan perhatikan bagaimana proyek Syi’ah di
Irak yang berjalan mulus dengan dukungan murni Amerika… bahkan Amerika
sesungguhnya tidak menentang rencana pendirian Negara Syi’ah Raya yang meliputi
Iran, Irak, Lebanon dan Suriah, sebab negara ini akan mewujudkan keseimbangan
bagi sejumlah kekuatan yang ada di wilayah Islam, dan otomatis akan menghadang
kekuatan Islam Sunni yang berupa kebangkitan Islam di sejumlah negara kawasan
itu, terutama Mesir, Arab Saudi, dan Yordania. Itulah negara-negara yang
Amerika selalu berusaha menekan kekuatannya, baik secara politik, militer,
maupun ekonomi.
Antara Kemenangan & Kebenaran Manhaj
Ketiga, kemenangan tidak
berarti kebenaran suatu manhaj (ajaran), dan pengorbanan besar belum tidak
selalu menandakan keikhlasan! Betapa banyak pihak yang menang sedangkan mereka
adalah pelaku bid’ah. Bahkan Syi’ah Qaramithah pernah berkuasa di muka bumi
selama seabad atau lebih, padahal mereka yang membantai jama’ah haji,
mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya, dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Bangsa Persia dan Romawi juga pernah berkuasa di muka bumi, demikian pula
Tartar (Mongol), Inggris, dan Amerika; padahal manhaj mereka semuanya rusak.
Termasuk para penguasa muslim yang kejam dan bengis, yang melenceng dari
ajaran Islam yang lurus, juga pernah menguasai rakyat mereka selama puluhan
tahun.
Setiap kemenangan dan kekuasaan suatu
kaum, tidak harus menunjukkan bahwa yang bersangkutan menganut manhaj (ajaran)
yang benar. Namun kaum muslimin harus melihat ucapan dan perbuatan yang
bersangkutan, apakah itu semua sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, atau tidak
seperti itu. Berapa banyak orang yang berkorban dalam peperangan, tabah laksana
pahlawan, akan tetapi menjadi penghuni Neraka? Ya, sebab ia tidak melakukan
semua itu karena Allah. Bahkan di zaman Rasulullah e para sahabat menyaksikan
ada seorang lelaki yang demikian hebat mengobrak-abrik barisan musyrikin,
hingga orang-orang mengiranya sebagai orang Islam terhebat, akan tetapi Nabi
mengabarkan kepada merek bahwa lelaki itu adalah penghuni Neraka! Lantas saat
para sahabat menguntitnya, mereka mendapatinya dalam sakaratul maut dan ia
mengatakan: “Sesungguhnya aku berperang demi kaumku”[3]. Jadi, dia tidak berperang demi Allah ‘Azza
wa Jalla, alias ia berperang demi kepentingan, dan kemenangan serta ketabahannya
di medan perang berangkat dari asas yang batil.
Kita bukannya sok tahu akan niat
Hizbullah, sebab hanya Allah yang tahu isi hati mereka. Akan tetapi kita
berbicara tentang akidah yang mereka nyatakan, dan bid’ah yang mereka tampakan.
Silakan merujuk kembali artikel yang berjudul: “Hegemoni Syi’ah”, niscaya Anda
akan dapatkan bagaimana Syi’ah menang dan berkuasa, akan tetapi sama sekali
bukan menang dalam ajaran, namun semuanya adalah penyimpangan dari jalan yang
lurus.
Sikap Ahlussunnah
Keempat, meski perang yang
terjadi antara Hizbullah dan Zionis Israel adalah perang demi kepentingan,
tidak berarti bahwa muslimin Ahlussunnah tidak perlu mengambil sikap tertentu
dalam masalah ini. Bahkan dalam hal ini saya berbeda pendapat dengan banyak
senior saya dalam masalah ilmu dan dakwah, yang memandang agar masalah ini
dibiarkan saja tanpa campur tangan, sebab kedua belah pihak adalah kaum yang
sesat. Seorang muslim hendaknya berperan positif dan dapat menilai antara
maslahat dan mudharat. Perang ini terjadi antara Zionis Israel yang benar-benar
menjajah bumi Palestina, dan Hizbullah yang hidup di bumi yang sebagiannya
dijajah oleh pihak Zionis. Dari sini, melemahkan kaum Zionis pada dasarnya
adalah suatu tujuan, mengingat jelasnya permusuhan kaum Zionis, dan membebaskan
bumi Lebanon dari cengkeraman Zionis adalah suatu keharusan.
Nah setelah itu, hendaknya kaum muslimin
mengatur masalah mereka dengan strategi yang bisa menjaga hak-hak mereka tanpa
terseret kepada Yahudi maupun Hizbullah.
Dahulu saya pernah menganggap luar biasa
sikap Ahlussunnah di Lebanon tahun 1997 saat mereka bergabung dalam jumlah
besar ke pasukan perlawanan Lebanon yang berusaha mengusir Yahudi dari Lebanon.
Padahal komandonya dipegang oleh Hizbullah, dan Hizbullah banyak memanfaatkan
perjuangan Ahlussunnah setelah itu dan tidak mau mengakuinya; akan tetapi tetap
saja pandangan kaum muslimin jelas dalam hal ini.
Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah meladeni seorang lelaki musyrik yang datang kepadanya untuk
menuntut haknya yang dirampas Abu Jahal. Nabi saat itu tidak mengatakan:
“Lelaki ini kelak akan menggunakan harta yang dirampas tadi untuk bertaqarrub
kepada Latta dan ‘Uzza”, namun Nabi membantunya dalam hal ini, kemudian di
kesempatan lain beliau mendakwahinya ke jalan Allah.[4]
Kita tidak akan mencampur susu dengan
nila, kita tahu bahwa proyek Syi’ah Hizbullah di Lebanon sangat berbahaya,
namun di saat yang sama kita juga sadar akan bahaya proyek Zionis di wilayah
tersebut.
Kelima, Hasan Nasrallah
adalah tokoh kharismatik. Artinya, ia seorang yang punya karakter khusus dapat
mempengaruhi orang di sekitarnya, dapat memimpin massa, dan menggelorakan
semangat. Dia termasuk politikus nomor wahid, sangat cerdas dan pandai
berbicara… Menurut saya (DR. Ragheb As Sirjani), boleh-boleh saja ia dikagumi
sebagai politikus dan ahli strategi. Saya tidak takut jika ada orang yang
mengagumi cara berpidatonya, atau caranya mempermainkan neraca politik… ini
semua tidak mengapa bagiku untuk dirasakan oleh kaum muslimin. Bahkan kalau pun
mereka (kaum muslimin) menirunya dalam sebagian hal tersebut, itu juga tidak
mengapa.
TAPI, yang tidak bisa diterima ialah
bila kita mengaguminya sebagai pemimpin Islam yang mengobarkan jihad sesuai
perintah Allah. Sebab untuk menjadi pemimpin model ini syaratnya harus memiliki
akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Ia harus mengikuti Sunnah Nabi dan
tunduk pada ayat-ayat Allah, dan semua syarat ini tidak dimiliki oleh Hasan
Nasrallah!
Di antara Akidah Hasan Nasrallah
Hasan Nasrallah adalah penganut Syi’ah
Itsna ‘Asyariah. Artinya, ia mempercayai semua keyakinan madzhab tersebut. Dia
percaya bahwa para sahabat semuanya bersekongkol untuk merebut khilafah dari
tangan ‘Ali bin Abi Thalib, dan menyerahkannya kepada Abu Bakar, Umar, kemudian
Utsman –semoga Allah meridhai mereka semua-. Dia juga meyakini bahwa Nabi telah
memberi wasiat kepada imam-imam mereka yang dua belas dan menyebut nama-nama
mereka secara jelas. Dia meyakini bahwa para imam tadi ma’shum, dan imam yang kedua
belas telah masuk gua Sirdab –di Samurra, Irak- dan masih hidup (sejak 12 abad
lalu) hingga saat ini, dan akan keluar suatu hari nanti. Dia juga mengimani
taqiyyah[5] sebagai sembilan persepuluh (90%)
agama Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa Ahlussunnah adalah golongan yang memusuhi
Ahlul Bait, padahal Ahlussunnah lah yang lebih menghargai Ahlul Bait dari pada
Syi’ah, namun caranya sesuai sunnah Rasul. Dia juga meyakini bahwa imam-imam
yang besar berhak mengambil seperlima dari penghasilan pribadi setiap penganut
Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa nikah mut’ah adalah halal; artinya, boleh saja
baginya bila seorang pemuda mendatangi pacarnya, atau gadis lain lalu menikahinya
selama sehari atau satu jam, demi melampiaskan syahwatnya kepada si wanita lalu
mencerainya. Dia juga meyakini teori wilayatul faqih, dan berangkat dari sini,
haram baginya untuk menyelisihi pemimpin revolusi Iran: Ali Khamenei dalam
perintah apa pun, demikian seterusnya…
Semua yang saya sebutkan tadi adalah
bagian dari keyakinan (akidah) Hasan Nasrallah yang telah mengakar. Kalau ada
yang protes dan mengatakan: “Lho, kita kan tidak pernah mendengar dia
mencaci-maki sahabat, atau menuduh isteri-isteri Nabi dengan tuduhan keji?”,
maka saya katakan kepada orang-orang lugu tersebut: “Bukan suatu keharusan bagi
kita untuk mendengar semua itu darinya agar kita yakin bahwa dia memang
mengatakan seperti itu, sebab semua hal tadi merupakan KONSEKUENSI dari ajaran Syi’ah
Itsna ‘Asyariyah”. Anda sendiri mungkin tidak pernah mendengar tetangga anda
yang muslim mengatakan: laa ilaaha illallaah muhammadun rasulullah, akan tetapi
anda tahu bahwa tetangga anda meyakini ucapan tersebut, karena dia seorang
muslim. Demikian pula seorang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, ia mau tidak mau harus
mengimani semua yang saya sebutkan tadi, sebab kalau tidak, dia akan berada di
luar Syi’ah. Kalau Hasan Nasrallah harus menghargai dan menghormati para
sahabat, maka ia tidak mungkin bisa membenarkan pokok-pokok ajaran Syi’ah Itsna
‘Asyariyah, demikian pula dengan jabatan Khalifah yang dipegang oleh Ali,
Hasan, Husein, dan imam-imam lainnya.
Jadi, seorang tokoh yang menganut
berbagai kesesatan dan bid’ah tadi, sama sekali tidak layak untuk kita kagumi,
maupun kita jadikan sebagai pemimpin Islam teladan. Kita hanya boleh mengambil
sedikit hal darinya, sebagaimana kita ambil dari orang lain; bukan karena dia
itu Islami, tapi karena dia adalah manusia yang memiliki potensi dan keahlian.
Sejarah Islam telah menyaksikan
bagaimana kaum Salibis menjajah Palestina dan Syam sebelum ini, dan hal itu
terjadi di depan mata daulah Syi’ah yang kuat, yaitu Daulah ‘Ubeidiyyah yang
saat itu menguasai Mesir. Pun demikian, kaum muslimin yang sejati di zaman itu
tidak menjadikan para pemimpin Daulah Ubeidiyyah sebagai teladan mereka, sebab
para pemimpin tadi adalah orang yang rusak akidahnya, meskipun mereka adalah
jago-jago politik, dan ahli strategi perang. Kaum muslimin hanya melahirkan
teladan-teladan mereka yang sejati, hingga muncullah tokoh-tokoh seperti
Imaduddien Zanky, Nuruddien Mahmud, dan Shalahuddien Al Ayyubi.
Inilah yang harus menyibukkan kita
sekarang… jika kita telah menyaksikan megaproyek Syi’ah, dan telah matang dan
berhasil di Iran, Irak serta Lebanon. Lantas di manakah megaproyek Sunni yang
menyamai megaproyek Syi’ah, agar kemudian bisa mengunggulinya?!
Kita mengharap kepada salah satu dari
sekian banyak pemimpin negara Islam agar merancang megaproyek Sunni tadi, yang
berpijak kepada Al Qur’an dan Sunnah, dan berjalan di atas manhaj As Salafus
Shalih. Inilah proyek yang akan melindungi hak-hak kaum muslimin di muka bumi,
dan mendukung Ahlussunnah yang tertindas di Iran, Irak, Lebanon, dan Suriah;
dan yang akan tegar menghadapi proyek-proyek Yahudi dan penjajahan mereka atas
negara-negara Islam.
Namun kalau tidak ada seorang pemimpin
pun yang mau memikul tanggung jawab ini, maka kita mengajak seluruh rakyat
merek untuk merevisi kembali manhaj mereka dan mengintrospeksi diri agar
kembali dengan pasrah dan taat kepada Allah. Sebab Allah tidak akan membiarkan
umat tanpa seorang pemimpin yang mukhlis, kecuali karena umat itu sendiri yang
menerlantarkan dan menyia-nyiakan agama Allah. Jadi, sebagaimana kalian,
demikianlah penguasa kalian, dan Allah tidaklah berbuat zhalim sedikit pun…
maka bela lah agama Allah, agar Allah membela kalian, dan tolonglah ajaran-Nya
agar Dia menolong kalian, serta kembalilah kepadanya, agar Dia menerima kalian,
mengampuni dosa kalian, dan membimbing kalian ke jalan yang lurus…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum
muslimin… [tamat].
[1] Silakan lihat teks Arabnya di: http://www.moqawama.org/essaydetails.php?eid=15008&cid=210
[2] Lihat dalam kitab yang dimaksud, hal
24 cet. Darul Warraq-Al Maktabul Islami.
[3] Lihat: Sirah Nabawiyah tulisan Ibnu
Hisyam, 1/524-525. Lelaki tersebut bernama Quzman yang merupakan sekutu Bani
Dhafar.
[4] Idem, 1/389-390.
[5] Taqiyyah artinya menampakkan ucapan/perbuatan
yang berbeda dengan keyakinan demi kemaslahatan pribadi, yang dahulu dikenal
dengan istilah nifaq (kemunafikan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar