Selamat datang di Blog ini

Menebar Dakwah Salafiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamma'ah

Kamis, 04 Agustus 2011

BAI'AT Antara Sunnah Dan Bid'ah

البيعة

 بين السنة والبدعة عند الجماعة الاسلامية

BAI'AT
Antara Sunnah Dan Bid'ah


Oleh
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid 

Publication : 1428, Rabi’ul Awwal 22 / 2007, April 10
البيعة بين السنة والبدعة عند الجماعة الاسلامية
Bai'at Antara Sunnah Dan Bid'ah
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi
Penterjemah : Arif Mufid MF
Penerbit : Yayasan Al-Madinah
© Copyright bagi ummat Islam.
Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content  dan makna serta tidak untuk tujuan komersial.
Artikel ini didownload dari Markaz Download Abu Salma (http://dear.to/abusalma
MUKADIMAH

Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan minta tolong kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya, amma ba'du.

Inilah tulisan singkat yang dilengkapi dengan dalil-dalil ilmiah baik dalil naqli maupun aqli tentang masalah ba'iat yang syar'i[[1]] serta hukumnya menurut Al-Kitab dan As-Sunah. Apakah bai'at itu hanya boleh untuk khalifah saja atau untuk semua manusia? Disertai penjelasan pendapat yang benar tentang bai'at agar menjadi terang dan gamblang bagi pencari kebenaran (al-haq). Terungkap sebagian penyimpangan-penyimpangan yang menjerumuskan kepada aliran-aliran yang sesat dan menyesatkan.

Saya tulis risalah ini, setelah saya yakin bahwa ketika amalan Islam menjadi jauh dari fitrahnya di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka terjadilah kemorosotan moral, kehidupan rohani menjadi lemah, ilmupun kian sedikit. Begitupula semakin hilang keteguhan ketika menghadapi fenomena-fenomena yang mengerikan dan menyedihkan, dan jarak antara syi'ar dan kenyataan semakin lebar, serta semakin hilang jejak-jejak Nabi pada para juru dakwah (da'i), sebagai gantinya muncul jejak (jalan) yang dipenuhi oleh pemikiran aneh.[[2]]

Maka saya berkeinginan untuk menulis pembahasan ini dengan tujuan menyebarkan ilmu dan menampakkan al-haq. Mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan menunjukkan jalan yang lurus kepada kita. Sesungguhnya Allah Maha mampu atas segala sesuatu.




PENGANTAR

Karakter suatu pembahasan dan alurnya akan berbeda menurut perbedaan kondisi yang ada, motivasi dan hasil-hasil yang mau dicapai, serta hal-hal lainnya yang tidak samar lagi bagi penuntut ilmu dan ahlinya.

Pembahasan kita dengan kekuatan yang diberikan Allah kepada kami bukanlah pembahasan yang didasari oleh perasaan dan semangat dengan cara menampakkan ungkapan-ungkapan yang indah. Tetapi pembahasan ini merupakan bahasan yang ilmiah (insya Allah), karena menuntut ilmu merupakan salah satu bentuk jihad yang wajib bagi kita untuk berkorban di dalam menempuhnya, meskipun berat dan mahal.[[3]]

Jika hasil pembahasan nampak dengan jelas dan terang, maka wajib bagi pembaca  tulisan ini untuk kembali kepada kebenaran (al-haq). Sehingga tertutuplah jalan bagi setan untuk memasuki jiwa-jiwa, dikarenakan jiwa, jika ditempati hawa nafsu pada salah satu lubuknya, maka akan dibutakan dari kebaikan dan akan ditulikan telinganya dari al-haq.[[4]] Tertutup pula was-was setan bahwa rujuknya dia dari kesalahan (kepada kebenaran -ed) akan meruntuhkan  reputasi dan menurunkan kedudukannya ! Padahal yang meghilangkan kedudukan adalah : masa bodoh dengan kesalahan, pindahnya dai dari hari kemarin kepada hari ini, kemudian kepada hari esoknya (semakin jelek amalnya -ed), merasa terjaga dari kesalahan dan menutup mata dari keadaan masyarakat yang komplek.[[5]]

Barangkali ada orang yang membantah dengan mengatakan :
Yang menjadi kewajiban kita sekarang ini ialah mengajak kaum muslimin kepada masalah-masalah yang tidak ada perselisihan di dalamnya dan menjauhi sisi yang terdapat perselisihan di dalamnya[[6]] Tidak sepantasnya bagi kita untuk berbicara seputar perselisihan demi menjaga kemaslahatan, sehingga musuh-musuh kita tidak tahu masalah ini! Atau ada yang mengatakan : Kewajiban yang paling penting ialah mengarahkan keinginan kaum musimin kepada persatuan barisan dan menyatukan kalimat semampu kita[[7]].

Perkataan ini menyelisihi kebenaran, karena bersembunyi di atas kesalahan dengan dalih demi menjaga kemaslahatan bersama, Begitu pula anggapan bahwa koreksi di dalam beragama merupakan penyebab perpecahan dan pertikaian serta perkara yang berbahaya dan kerusakan yang nyata yang akan ditebus oleh umat dengan darah yang mengalir. Bukan itu saja, bahkan akan menimbulkan hilangnya kekuatan dan yang paling mendasar adalah hilangnya eksitensi. Padahal umat jika tanpa adanya koreksi dan saling menasehati akan hidup dalam warna lain : 'berupa kesendirian sampai pada batasan yang sangat menyedihkan dan menyakitkan'. Dari sini diketahui bahwa sosok seorang muslim yang benar ialah  yang tidak terkungkung (terkurung) dan terpaku oleh satu sosok bagaimanapun karakternya. Tetapi sosok yang selalu siap untuk berpindah dari yang bermanfaat kepada yang  lebih bermanfaat lagi, dari yang baik kepada yang lebih baik lagi, selalu menerima al-haq jika sudah terang dan menerima dalil jika sudah gamblang (jelas), serta tidak terjerumus kedalam hizbiyyah yang mematikan dan ashabiyyah yang membinasakan.[[8]]

Adapun anggapan bahwa diam dalam masalah tersebut (nasehat-menasehati) bisa menyatukan barisan, maka hal ini telah dijawab oleh al-Ustadz Sayyid Qutb rahimahullah "Dengan ayat tersebut (Al-Maidah : 48 -pent) Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menutup semua pintu bagi setan, berupa kamuflase yang kelihatan baik dan bisa meluluhkan hati serta bisa menyatukan barisan tetapi dengan meremehkan sebagian dari syariat Allah demi memperoleh keridhaan dari semua pihak atau demi persatuan shaf (barisan)[[9]]

Yang lainpun akan mengatakan dengan memberikan jalan keluar yang "obyektif" dengan berkata : "Kita saling menolong pada masalah-masalah yang kita sepakati dan saling memberi 'udzur' (maaf) sebagian atas sebagian yang lain pada masalah-masalah yang kita berselisih di dalamnya".[[10]]

Maka kami jawab : "Benar, wajib bagi kita untuk saling menolong pada permasalahan yang kita bersepakat di dalamnya, seperti membela al-haq dan mendakwahkannya, serta mengingatkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-nya, Adapun saling memberi ma'af sebagian kita kepada sebagian yang lain pada masalah yang kita berbeda pendapat di dalamnya, tidaklah secara mutlak, tetapi perlu dirinci lagi. Kalau permasalahannya termasuk dari masalah-masalah  ijtihad yang samar dalilnya, maka wajib untuk tidak mengingkari sebagian kita atas sebagian  yang lain. Adapun pada permasalahan yang menyelisihi nash baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengingkari orang yang menyelisihinya, akan tetapi dengan hikmah dan nasehat yang baik serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik ...." [[11]]

Sebenarnya sebagian penulis-penulis harakiyyin (gerakan Islam) telah merasakan salahnya pemutlakan kalimat tersebut di atas, sehingga membatasinya dengan batasan yang halus guna menghilangkan kesalahan dan kekeliruan kalimat tersebut. Maka, diapun menyatakan setelah membawakan kalimat tersebut dengan mengatakan : "....pada masalah-masalah yang ada bagian untuk ijtihad di dalamnya".[[12]]

Kemudian penulis yang lainpun memberi batasan dengan mengatakan : "...dengan ketentuan adanya kemungkinan ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) di dalamnya dan dengan landasan-landasan manhaj (metode) yang membolehkan adanya ikhtilaf seperti ini"[[13]] Perlu diketahui bahwa keduanya berasal dari sekolah yang sama yang mengucapkan kalimat ini.

Saya berkata, "Di bawah ini adalah manhaj yang ilmiah dan benar yang wajib untuk diikuti, dan menapakinya agar terwujud kesatuan wawasan di antara kaum muslimin. Bukan manhaj tambal sulam, karena yang demikian itu tidak terdapat dalam agama Allah sedikitpun!".

Barangkali kritik dan koreksi ini akan dibantah/ditentang oleh para penulis Islam, lebih-lebih yang lainnya. Bahkan dianggap sebagai pengrusakan dan penghancuran. Kemudian mengatakan : "Adapun orang-orang yang ambisi pada diri-diri mereka sendiri untuk memperbaiki langkah disela-sela pengrusakan terhadap (akidah, -ed) jama'ah, yaitu memulai dari titik nol, maka kami katakan kepada mereka : "Sungguh kalian telah ketinggalan kereta, karena titik permulaan telah ada sejak lima puluh tahun sebelum ditulisnya tulisan ini. Memperbaiki langkah adalah dari dalam, dengan maksud membangun bukan menghancurkan!"[[14]]

Benarkan perbaikan itu tidak akan bisa kecuali dari dalam ?
 Apakah ucapan ini dari dalil-dalil petunjuk ? Atau hanya sekedar hasil eksperimen seseorang saja ?
 Yang lain berkata dengan menjelaskan penyebab timbulnya orang yang berguguran di jalan dakwah menurut persangkaannya. Dia mengatakan :"Sebab keempat : Tekanan gerakan-gerakan bawah tanah.

Di antara hal-hal yang menyebabkan gugurnya kebanyakan orang di jalan Islam dan dakwah ialah berkaitan dengan gerakan-gerakan bawah tanah yang disaksikan oleh perjalanan Islam. Gerakan ini pekerjaannya tidak lain hanyalah memberi keraguan dan kritik. Seakan-akan dia diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk menghancurkan gerakan-gerakan Islam dengan menggunakan nama Islam. Maka di setiap penjuru, dari masa ke masa akan muncul kelompok-kelompok yang berbeda dengan nama Islam merusak kemampuan intelektual para pemuda, meniadakan peran  serta mereka dan meracuni udara-udara mereka.... Betapa banyaknya fenomena ini merusak akal yang sebelumnya sehat dan memadamkan cahaya yang sebelumnya menyala serta menghilangkan kekuatan yang sebelumnya bisa menghasilkan (produktif).[[15]]

Kemudian apa sebab utama bagi pandangan yang gelap seperti ini terhadap masalah kritik, perbaikan dan membongkar kesalahan-kesalahan ?

Menurut keyakinan sebab utamanya ialah karena gerakan Islam terpengaruh -sampai batas tertentu- dengan suasana kehidupan partai yang ada di negara-negara Arab pada masa sekarang ini. Sehingga karakter gerakan Islam dan metodenya -hampir sama sebagian waktu [[16]] - terkotori dengan ruh hizbiyyah yang sempit, yang tidak sesuai dengan keadaan dan suasana keterbukaan dan kemanusiaan dalam Islam.[[17]]

Bahkan termasuk malapetaka bagi gerakan Islam, serta kemunduran dan kekacauan cara kerjanya ialah adanya pemikiran hizbi. Sehingga jika suatu tanzhim (kelompok/organisasi) ingin merekrut anggotanya akan menggunakan dalih ketaatan, tidak boleh membantah dan harus mengikuti perintah-perintah. Menurut mereka inilah yang dinamakan dengan loyal. Demikian pula sebaliknya.

Dari hasil  metode pengajaran semacam ini ialah munculnya suatu generasi atau sekelompok besar dari para pemuda yang hanya menunggu perintah saja, sehingga terhalang dari pembaharuan dan kedinamisan. Padahal pembaharuan merupakan rahasia yang akan mengangkat dakwah. Sebaliknya akan rugi sebagian kelompok yang unsur terpenting dari dominannya adalah mengadakan pembaharuan.[[18]]

Perkataan kami tentang ketaatan (di dalam harakah -ed) bukanlah suatu perkataan yang baru, bahkan merupakan realita yang bisa disaksikan. Ditulis serta dibukukan. Sehingga kita bisa temukan pada tulisan mereka bahwa aturan dakwah pada tahap pembentukan adalah sufi  murni dan segi ruh dan militer murni dari segi pergerakan. Dan syiar bagi kedua segi ini adalah perintah dan taat, tidak boleh membantah dan ragu, serta tidak boleh beralasan. Bahkan ide yang pertama kali muncul pada tahap persiapan ini ialah ketaatan yang sempurna. Tidak menjamin keberhasilan pada tahap ini kecuali sempurnanya ketaatan. Atas dasar inilah barisan yang pertama mengambil bai'at dari ....." [[19]]

Padahal taat yang wajib dan terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mukminin) atau yang mewakilinya. Bukan ketaatan kepada segolongan manusia ata salah satu kelompok dari jama'ah-jama'ah yang ada. Walaupun demikian, tidak mungkin untuk disyaratkan dengan kata-kata "Tidak boleh membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan" lebih-lebih dengan "taat yang sempurna"[[20]] yang semestinya hanya diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan agama ini ialah bahwa taat itu hendaknya pada hal-hal yang sudah jelas dan ukuran standardnya-pun tepat. Dan ini bukan termasuk bid'ah serta perkara yang diada-adakan, bahkan merupakan jejak langkah generasi terbaik (salafus ash-shalih). Abu Bakar ash-Shiddiq, -salah satu khalifah yang lurus, dan orang yang bersama Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika di gua, serta Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti sunnahnya - beliau berkata di awal pidatonya dari atas mimbar pertanggungjawaban : "Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Jika aku maksiat kepada-Nya maka tidak ada kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku" [[21]]

Ini adalah merupakan pelajaran bagi orang yang bertanggung jawab dipusat kepemimpinan dan pemerintah, yaitu tidak mewajibkan untuk taat kepadanya kecuali jika dia mentaati perintah-perintah Allah dan berpegang teguh dengan manhaj (Ahlus Sunnah wal-Jama'ah). Merupakan pelajaran pula bagi orang awam agar semua inderanya selalu waspada dan hendaknya diapun memiliki ilmu yang sempurna tentang manhaj, serta tidak ada kewajiban baginya untuk taat kecuali pada hal-hal yang ma'ruf.[[22]]

Kalau begitu, permasalahannya sekarang bukan karena berprasangka, menuduh, atau mengada-ada, tetapi  merupakan hakekat yang nyata dan bisa dirasakan, yaitu pada saat dua orang yang berbeda kelompoknya saling berjumpa kemudian saling mengemukakan pandangan-pandangannya pasti akan timbul perselisihan. Sebab ruh hizbiyyah dan ta'ashub bisa memunculkan suasana yang aneh tatkala bertemu. Sehingga dia tidak melihat keadaan sekitarnya kecuali dengan warnanya. Pada gilirannya dia tidak melihat adanya kemungkinan salah padanya, diserta perasaan benar terhadap yang dia bawa. Bahkan merasa bahwa kebenaran mutlak ada padanya dan kesalahan mutlak ada pada orang lain [[23]]

Sebetulnya, pertemuan semacam ini mustahil dapat terjadi, karena seorang hizbi pasti bersikukuh memegangi pendapatnya (walaupun terbatas), serta bersikeras untuk mengamalkan pendapatnya. Mengingat kelompok-kelompok kajian yang bersifat intern selalu melakukan pengkhususan dan pendalaman terhadap pendapat-pendapat tersebut, membelanya dan berusaha untuk melumpuhkan pendapat yang menyelisihinya. Karena akal pikiran seorang hizbi dibentuk untuk mempunyai satu pandangan saja, bukan karakter akal yang berkesinambungan. Demikian pula, bagi seorang hizbi, cenderung berkumpul bersama teman-teman almamaternya, artinya teman-teman satu sekolahan untuk melakukan pembentukan pribadi (bukan dengan ilmu, -ed). Sehingga ketika dia berkumpul dengan orang-orang di luar kelompoknya, maka diapun akan terisolir dari mereka dan diapun menjaga jarak dengan mereka dengan menahan diri sebelumnya. Ketika sudah dimulai pembahasan, ia merasa menderita dan tertekan. Jika berkembang pada perdebatan dia pun akan menghindar. Karena itulah suasana pertemuan penuh dengan basa-basi, dan hanya sekedar menghabiskan waktu. Atau penuh pergulatan dan tarik menarik, sehingga ada kalanya seorang hizbi tersebut tetap sebagai unsur pelaksana murni yang tidak mau berfikir banyak atau jatuh pada tarikan yang terus menerus (kalah dalam berdebat), lalu kembali (ruju'). Atau berhenti aktif dan meninggalkan kelompoknya secara praktik (artinya secara kenyataan tidak dengan pengumuman resmi) atau terus berkembang secara lambat laun sehingga melewati tangga hizbiyyah, baik dalam keadaan tetap memegangi pemikiran hizbiyyah atau meninggalkan hizb tersebut menuju tempat yang jauh dan suasana baru, khususnya berkaitan dengan orang-orang yang mempelajari masalah kemanusiaan. Dan dalam medan berfikir ini, yang berkumpul kebanyakan berasal dari kalangan penulis yang sebelumnya mempunyai latar belakang hizbiyyah, lalu melewati tangga hizbiyyah tersebut [[24]] . Ini bukan berarti kekalahan, "gugur" atau tenggelam atau istilah-istilah lain yang diberikan kepada orang yang keluar dari hizb tertentu, karena istilah tersebut menyelisihi pemikiran yang bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena itu, maka apabila seorang muslim mendapati jalan yang salah, lalu dia bermaksud (setelah memberikan keterangan dan ditolak ucapannya) untuk meninggalkan kesalahan tersebut, maka ini adalah haknya. Akan tetapi tidak dikatakan keluar dari bai'at, tidak pula terlepas dari agama atau kembali pada masa jahiliyyah dan seterusnya dari ungkapan-ungkapan semisalnya.[[25]]

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen harus dengan manhaj Islam, fikrah dan syari'at Allah. Bahkan terhadap individu, tanzhim-tanzhim, jama'ah-jama'ah atau pemerintah-pemerintah yang semuanya sebagai tempat salah dan benar. Karena bencana, kesenjangan, penyakit dan wabah akan menyusup dalam kehidupan Islam dari celah penyimpangan terhadap barometer ini atau usaha merampasnya dari tangan seorang muslim.

Dari sana dapat dipahami bahwa kemaksuman semu diberikan atas sebagian orang, rekomendasi-rekomendasi yang menggelikan yang dibuat untuk berbuat semaunya adalah awal keruntuhan. Karena, ini adalah permulaan praktik penggunaan tujuan-tujuan dan bukan mengemban tanggung jawab. Kadang-kadang  hal ini merupakan sifat manusia tatkala dikuasai masa-masa tak berdaya atau menimpa kepada mereka keadaan-keadaan genting, intimidasi pemikiran secara terus menerus, atau rusaknya suasana politik, sehingga hukum dibeda-bedakan menurut orangnya, dan dibentuk penipuan terhadap syariat dalam bentuk sesuatu yang diada-adakan. Serta menumbuh tingkatkan ahli fikih penguasa, baik penguasa harta, pemerintah atau jabatan. Lalu ditakwilkan hadits-hadits dan ayat-ayat menurut kemauan hawa nafsunya. Akibatnya seseorang tidak boleh mengetahui bahwa mengajak untuk komitmen dengan manhaj merupakan barometer dan standard kebenaran dan kebatilan. Sedang tidak iltizam (komitment) dengan seseorang dituduh sebagai sikap ragu terhadap pribadi, merusak perjuangan dan menjauhkan diri dari jama'ah kaum muslimin secara keseluruhan.

Hal ini bukan perkara yang seorang muslim boleh memilihnya. Tetapi pada hakekatnya merupakan pembenaran terhadap langkah kehidupan kaum muslimin dalam berjama'ah dan menghilangkan terisolirnya seseorang dari kehidupan manusia serta upaya berpegang teguh dengan Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya.
"Artinya : Dan dua orang yang saling bercinta karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah di atas keadaan yang demikian" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah]
Maka persatuan harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Berpisahpun harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Kecuali dalam keadaan hilang akal, dan tidak mampu menlihat kebenaran (al-haq) dengan benar disebabkan fanatik golongan, pribadi, ikatan dan kaum. Atau pada keadaan tidak adanya kemauan yang kuat untuk ber-iltizam dengan agama ini. [[26]]

Ringkasnya ialah : Termasuk  pandangan yang salah adalah keyakinan bahwa praktik mengkritik, saling menasehati, amar ma'ruf dan nahi mungkar akan menimbulkan kekacauan di barisan Islam dan kegoncangan dalam beramal. Padahal suatu barisan atau jama'ah yang takut untuk berdialog dengan pobhi untuk saling memberi nasehat, apalagi setan memberi kerancuan kepada sebagian anggotanya bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar akan merusak keberdayaannya adalah jamaah yang tidak dapat dipercaya, tidak berhak untuk langgeng dan tidak punya keahlian untuk mengemban risalah Islam yang tuntunan utamanya adalah amar ma'ruf dan nahi mungkar. Maka orang yang tidak punya sesuatu, tidak mungkin akan memberikan sesuatu tersebut.

Sesungguhnya membuang praktik saling menasehati, menahannya dan menghempaskannya, akan menimbulkan bahaya besar yang akan menimpa pada permasalahan pokok bagi keberlangsungan bentuk amalan dan dakwah. Karena sarana (yaitu saling menolong di dalam perjalanan suatu jama'ah untuk sampai kepada kebaikan yang lebih besar) berubah menjadi tujuan menurut batasan jama'ah tersebut. Sesungguhnya sifat egois dan intimidasi pemikiran yang ada pada sebagian aktifis Islam, merupakan akibat dari hilangnya medan perbuatan keimanan yang kokoh yang dapat melahirkan sifat tawadhu', lemah lembut dan akhlak yang mulia. Pada akhirnya muncul kelompok-kelompok kecil, semacam sekte-sekte baru, sehingga terpecahlah kemampuan berpikir, timbul golongan-golongan dan hilang persatuan, menjadi goncang tangga menuju keutamaan, hilang tempat menghimpun permasalahan-permasalahan, berhenti pekerjaan yang menghasilkan. Sarana-sarana berubah menjadi tujuan (sebagaimana kami telah jelaskan). Gambaran Islam hanya berkisar pada figur-figur yang permasalahan Islam tidak dilihat kecuali dari mereka. Kesungguhan beramal berubah menjadi pekerjaan untuk mendapatkan rekomendasi, lalu pekerjaan memperoleh rekomendasi ini menjadi dominan pada saat memahami studi sebab-sebab terjadinya kemunduran.

Permasalahan ini tidak akan bisa diobati kecuali dengan cara membiasakan berfikir, berdialog dan berpegang teguh dengan adab berselisih yang Islami. Menjadikan amalan yang disyari'atkan sebagai prinsip-prinsip, sedang pemikiran-pemikiran bukan untuk sarana bagi figur-figur tertentu. Karena akidah tempatnya adalah di hati. Tidak ada kekuasaan bagi seorangpun kecuali kekuasaan dalil. Dan menerima sesuatu dengan apa adanya hendaknya dibiasakannya (berhenti pada dalil). Allah subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa tujuan diutusnya beliau adalah memberikan rahmat kepada alam semesta. Allah berfirman.
"Artinya : Tidaklah engkau diutus kecuali sebagai rahmat bagi semua alam" [Al-Anbiya' : 107]
Dan berfirman.
"Artinya : Engkau bukanlah sebagai penguasa bagi mereka" [Al-Ghasyiyah : 22]
Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya juga.
"Artinya : Apakah kamu memaksa manusia agar mereka menjadi orang yang beriman ?" [Yunus : 99]
Dan berfirman.
"Artinya : Seandainya engkau kasar dan keras hati, niscaya mereka lari darimu" [Ali-Imran : 159]
Inilah sebagian langkah-langkah utama dalam berdakwah kepada Allah dan menyebarkan rahmat bagi semua alam. [[27]]



BAIAT

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat merupakan pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan tentang pengertian baiat  menurut istilah yang biasa dikenal, berapa macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang terkandung dengan meletakkannya di atas manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa baiat diwajibkan, syarat-syarat sempurnanya baiat, serta dengan apa baiat itu rusak.[[28]]

Karena pembahasannya besar dan pelik sekali, maka kami akan meringkasnya pada dua permasalahan penting yang menjadikan kebingungan dan perselisihan yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu : "Kepada siapakah baiat itu wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada setiap individu?". Adapun masalah-masalah yang lain bukan di sini tempatnya untuk membahasnya.

Kami mulai pembahasan ini dengan definisi baiat secara etimologi maupun terminologi. Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa ya'uu 'ala al-amri" seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : "shofaquu 'alaihi" (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata "baaya'tahu" berasal dari kata  "al-baiy'u" dan "al-baiy'atu" demikian pula kata "al-tabaaya'u". Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
'ala tubaa yi'uunii 'ala al-islami'

"Maukah kalian membaiatku di atas Islam"
Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.[[29]]

Bai'at Secara Istilah (Terminologi)
"Berjanji untuk taat". Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.

Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa 'a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari'at.[[30]]

Dan ba'iat itu secara syar'i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala negara[[31]]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi. Sedang baiat selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti baiat mereka [[32]]

Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.[[33]] Berupa hadits-hadits yang sulit untuk menghitung maupun menelitinya. Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [[34]]

Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang baiat secara ringkas.

[I].    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bejanji setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar" [Al-Fath : 10]
[II]    Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)" [Al-Fath : 18]

Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
 [I] "Artinya : Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari lehernya" [Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar]
[II] "Artinya : Barangsiapa berjanji setia kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang orang lain untuk menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut"  [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
[III] "Artinya : Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya" [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Sa'id]
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.

Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama'ah ditanya tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab :"Tahukah kamu, apakah imam itu ? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan : "Inilah imam", maka inilah makna imam"[[35]]

Al-Imam Al-Qurthubi berkata [[36]] :"Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam satu masa dan dalam satu negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma"

Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid mengatakan : "Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :

1.    Kelompok Pertama
Mengatakan : "Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[[37]], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat.

2.    Kelompok Kedua
Mengatakan :"Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa". Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar [[38]]

3.    Kelompok ketiga adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun
Mereka mengatakan : "Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya tidak ada di masa sekarang". Menurut keyakinanku, kelompok ketiga inilah yang berada di atas kebenaran" [[39]]

Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi seorang yang memenuhi syarat-syaratnya [[40]]




KESIMPULAN DAN TARJIH

Jadi yang dimaksud dengan baiat ialah, pemberian janji dari pihak pembaiat untuk mendengar dan taat kepada amir, baik di kala senang atau terpaksa di masa mudah atau sulit, tidak menentang perintahnya dan menyerahkan segala urusan kepadanya. [[41]]


PERINGATAN

Dari keterangan yang telah lewat, kita mendapatkan dua perkara yang penting, yaitu :
  1. Baiat tidak ada kecuali kepada Amirul Mukminin saja.
  2. Ketaatan (kepada Amirul Mukminin) muncul dari baiat yang hanya diberikan kepadanya saja.
Oleh karena itu batal-lah[[42]] semua baiat yang diberikan kepada seseorang (bukan Amirul Mukminin) bagaimanapun bentuknya, baik ketika ada imam atau tidak ada, ada seorang atau lebih.

Pada hakekatnya dasar pemikiran baiat  yang dimiliki sebagian jama'ah-jama'ah Islam pada prinsipnya sesuai dengan syari'at Islam, karena mereka mengatakan di dalamnya : "Hendaknya kita berjanji setia kepada Allah untuk menjadi tentara dalam berdakwah kepada Islam dan di dalam baiat tersebut terdapat kehidupan negeri dan umat"[[43]] Padahal ini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atas semua kaum muslimin.

Kemudian terjadilah sedikit "perkembangan" pemikiran dan organisasi pada orang-orang yang memberlakukan baiat terhadap diri-diri mereka, sehingga terjadilah kelompok/jamaah ikhwan membaiat pemimpin umum (al-mursid al-aam) sebagai orang yang dipercaya penuh dan didengar serta ditaati ketika suka atau terpaksa, sampai Allah memenangkan dakwahnya dan mengembalikan kemualiaan Islam.[[44]] Kalau demikian terjadi keterjungkil balikan dan kesalahan.

Sebagai buktinya diantara sistem kerja anggota baiat adalah taat baik di kala susah atau mudah, terpaksa atau suka kepada kepemimpinan yang muncul dari aturan-aturan yang dipegangi oleh jama'ah.[[45]]

Dua keterangan terakhir ini menjelaskan dengan gamblang bahwa baiat istitsnaiyyah yang tanpa dalil tersebut, tidak berbeda sedikitpun dengan baiat terhadap Amirul Mukminin. Tidak sebagaimana yang disangka oleh "sebagian orang" bahwa baiat tersebut hanya "sekedar janji"[[46]] belaka !

Sebagai penambah keautentikan penjelasan tersebut ialah bahwa para pengikut Asy-Syaikh Hasan Al-Bana Rahimahullah menamainya dengan "Al-Imam". Padahal penamaan ini [[47]] hanya bisa diperuntukkan bagi orang yang benar-benar imam. Karena diketahui bahwa al-ustadz Hasan Al-Banna tidak menyukai kepemimpinan dan mengetahui pula bahwa cinta kepada kepemimpinan dengan tujuan mencari kekuasaan mengakibatkan kejelekan bagi kaum muslimin pada sejarah mereka yang panjang, maka dia (Hasan Al-Banna -ed) menamai dirinya dengan mursyid dan tidak suka untuk menjadi pemimpin atau amir[[48]]

Karena semua itulah sebagian penulis mengatakan : "Sesungguhnya baiat yang diberikan kepada suatu jama'ah, tidaklah sama dengan baiat yang diberikan kepada Amirul Mukminin ketika tegak khilafah atau penguasa muslim. Karena dengan baiat tersebut perintah seorang penguasa menjadi wajib untuk ditaati, sampai pada masalah-masalah yang mudah jika terdapat kemaslahatan di dalamnya. Adapun baiat yang terdapat pada Ikhwan al-Muslimin (dan katakan seperti itu juga pada jama'ah-jama'ah Islam lainnya), maka tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat, -ed) dari sisi fikih" [[49]]

Untuk menjawab perkataan ini dari beberapa sisi.
  1. Tidak terdapat dalil atas pemisahan (baiat) ini dalam Al-Kitab dan As-Sunah.
  2. Sebelumnya telah saya nukilkan teks-teks dari ucapan Asy-Syaikh Hasan Al-Banna dan lainnya, dan tidak terdapat isyarat yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan di dalamnya terdapat isyarat kepada khilafah, tatkala menyebutkan "ketaatan yang mutlak"!!
  3. Penelitian terhadap keberadaan jama'ah-jama'ah Islam dan tingkah para pemimpin serta anggotanya, berlawanan dengan pernyataan di atas. [[50]]
Jika anda heran wahai saudaraku pembaca, maka lebih mengherankan lagi ucapan orang yang membantah ini yang menyatakan bahwa baiat tersebut tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat). Maka ucapan ini berarti membatalkan semua baiat dari akarnya. Hal ini diketahui dengan menjawab dua pertanyaan berikut ini.
  1. Jika baiat tidak membuat adanya suatu kewajiban (untuk taat), lalu apa faedahnya ?
  2. Apakah di dalam syariat Islam ada amalan yang tidak ada faedahnya?
Orang yang mencari dan memperhatikan, kritis dan jeli akan mengetahui jawabannya !




KESIMPULAN PEMBAHASAN DAN BEBERAPA TAMBAHAN
1.     Baiat dengan berbagai macamnya tidak diberikan kecuali kepada khalifah kaum muslimin yang melaksananakan hukum-hukum dan menetapkan hukum had.
2.     Mendengar dan taat tidak ada kecuali bagi orang yang Allah memberikan perintah untuk mentaatinya. Dan yang menjadi fokus pembahasan kita di sini adalah Amirul Mukmin saja! [[51]]
3.     Disebabkan oleh perbedaan kaum muslimin sekarang ini dalam memahami baiat dan tidak sepakatnya mereka di atas pemahaman yang syar'i dan benar tentang baiat, maka mereka saling bermusuhan, berpecah belah dan bersilang pendapat. Suatu kondisi yang akan menimbulkan penyimpangan di dalam beramal bersama hukum-hukum fikih. Begitu pula anggapan bahwa mereka adalah jama'atul muslimin, dapat menimbulkan kerusakan dan menghukumi kaum muslimin di luar lingkup mereka dengan hukum-hukum yang justru akan menjauhkan mereka dengan risalah yang sesungguhnya, karena celah-celah dakwah kepada Allah telah terkunci.[[52]] Bukti semua itu (sebagai contoh) bahwa di New York saja terdapat lebih dari empat puluh kelompok yang menyeru kepada Islam, akan tetapi setiap jama'ah menyeru kepada Islam yang berbeda seruan Islamnya dengan yang lain.[[53]]
Atas dasar itulah, wajib bagi kita untuk benar-benar meyakini bahwa gejala munculnya banyak kelompok di dalam pergerakan Islam tidak mungkin dianggap sebagai gejala yang sehat, karena efeknya bagi perkembangan Islam negatif dan buruk. Sedang akibatnya akan menimbulkan kesulitan di antara para aktifis serta menyibukkan mereka sendiri yaitu ketika menghadapi gugurnya sebagian anggota dakwah dan beban-beban yang lainnya.[[54]] Maka kenyataan yang dapat disaksikan bahwa keadaan para da'i pada masa sekarang ini adalah hasil dari perpecahan yang tajam dan menyakitkan ini, suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Bahkan suatu keadaan yang sangat menyedihkan yang tidak boleh terus berlarut-larut keadaannya. Dan setiap muslim bertanggung jawab untuk mengobati gejala ini, agar kaum muslimin kembali sebagaimana sebelumnya yaitu sebagai umat terbaik yang dikeluarkan bagi mausia dan agar agama ini semuanya hanya untuk Allah.[[55]]

Tidak hanya dalam satu ayat saja dari kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala terdapat perintah untuk bersatu dan bermufakat serta larangan untuk berselisih dan berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." [Ali-Imran : 105]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa" [Al-An'am : 153]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesunguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" [Al-Anfal : 46]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tipa golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka" [Al-Mukminun : 53]



Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mulia[[56]], yang menerangkan dengan tegas tentang tidak bolehnya kaum muslimin berpecah belah di dalam agama mereka menjadi kelompok-kelompok dan hizb-hizb yang saling melaknat sebagian atas sebagian yang lain dan saling memerangi sebagian atas sebagian yang lain. Karena sesungguhnya perpecahan ini adalah termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan Allah mencela orang yang mengada-adakannya atau mengikuti ahlinya, serta memberi ancaman bagi pelakunya dengan siksa yang pedih.... [[57]]



BEBERAPA SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

Barangkali sebagian para da'i ada yang membantah hasil yang telah kita capai yaitu bahwa bai'at umum di dalam syari'at Islam tidak mungkin diberikan kecuali hanya kepada Amirul Mukminin saja. Seorang Amirul Mukminin yang memiliki kepantasan dan tanggung jawab, yang mampu untuk menegakkan agama dan melaksanakan hukum-hukumnya, menjalankan hukum sesuai syari'at, mengumumkan perang, cenderung kepada perdamaian dan lain sebagainya dari tugas-tugas yang khusus bagi Amirul Mukminin menurut pandangan Islam. Adapun celaan-celaan ditujukan pada siapa saja yang memberontak dan memisahkan diri dari jama'ah[[58]] dan lain sebagainya tidak lain terjadi pada keadaan seperti ini (adanya Amirul Mukminin -ed) [[59]]

Sebagai penguat lagi bahwa baiat yang umum tidak mungkin diberikan kecuali hanya kepada pemimpin kaum muslimin, yang mampu mengumumkan perang, mengikat perdamaian dan menegakkan hukum-hukum had[[60]]

Jadi, bahwa permasalahan ini adalah permasalahan yang pasti dan tegas tidak menerima basa-basi. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menerima dalam masalah tersebut kecuali kesungguhan yang sangat, suatu kesungguhan yang selayaknya ada pada seorang muslim dalam masalah agama[[61]]. Dan perkara ini diambil dari karakter agama ini. Dikarenakan masalah baiat adalah masalah yang jelas yang tidak mengandung kerancuan, tegas tidak menerima basa-basi.[[62]]

Sedang penentangan-penentangan sebagian orang, terbatas pada beberapa syubhat. Akan kami sebutkan dan kami jawab, dengan daya dan kekuatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.



SYUBHAT PERTAMA
"Tidak ada dalil yang melarang bai'at".

Kami jawab dari beberapa sisi.
1.     Sesungguhnya semua pembicaraan orang-orang terdahulu dari kalangan ahli ilmu dan fikih berkisar pada baiat kepada seorang khalifah muslim. Tidak seorangpun dari mereka (sesuai penelitianku) berpendapat kepada baiat-baiat istitsnaiyyah yang diberikan kepada bukan pemimpin kaum muslimin! Barangsiapa yang berpendapat selain ini, maka wajib baginya untuk menunjukkan dalil!
2.     Jika kami mengatakan (dalam rangka membantah), bolehnya baiat semacam ini, maka apakah baiat itu khusus untuk golongan tertentu dari manusia ? Atau boleh untuk seluruh golongan umat dan individu-individunya ? Jika kami jawab pertanyaan yang pertama dengan "ya", maka yang demikian berarti batil, dan membuat-buat syari'at yang tidak diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena tidak ada wahyu yang mengkhususkan sekelompok manusia dengan suatu perkara, tanpa memberikan kepada kelompok yang lain setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam! Dan jika kami jawab pertanyaan yang kedua dengan "ya", berarti kami telah memporak porandakan urusan kaum muslimin, mencerai beraikan urusan mereka, dan memecah belah kedigdayaan mereka, serta menjadikan mereka berkelompok-kelompok dan bergolongan-golongan. Dari sana, maka terbuka pintu yang tidak bisa ditutup bagi beribu-ribu ba'iat, sehingga seorang mendatangi orang yang ia kehendaki kemudian membaiatnya kapan saja yang ia mau. Ini adalah sebatil-batilnya perkara!
3.     Dimana pendahulu umat ini dari baiat-baiat semacam ini ? Apakah akal dan hawa nafsu kita bisa sampai kepada suatu kebaikan sedang kita lepas dari orang-orang terbaik dari umat ini dari kalangan salaf dan para imam Ridhwanullah 'alaihim ajma'in ? Maka benarlah Nabi yang terpilih Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersabda. "Artinya : Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami yang tidak ada (contoh) kami di atasnya, maka amalan tersebut ditolak" [Hadits Riwayat Bukhari-Muslim dari 'Aisyah]. Maka baiat-baiat istitsnaiyyah seperti ini yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits atau tidak terdapat pada perbuatan salah seorang dari salaf as-shalih[[63]], adalah bid'ah dan perkara yang diada-adakan. Yang dibuat untuk menghianati orang awam dan kalangan orang-orang yang berilmu dari kaum muslimin, agar terpengaruh dengan tujuan merendahkan dan bertindak sesuka hatinya terhadap mereka [[64]]. Dilakukan dibawah syiar al-wala' (loyalitas), al-intima' (kecenderungan), as-sam'u wa ath-tha'ah (mendengar dan taat), taubah dan lain sebagainya dari ungkapan-ungkapan yang dikemas dengan indah, kata-kata yang manis dan lafazh-lafazh yang mempesona.

SYUBHAT KEDUA
"Baiat Aqabah yang pertama dan ke dua terjadi sebelum tegaknya negara Islam".

Jawaban dari beberapa segi.
1.     Kami katakan : "Ini adalah perbuatan yang tidak etis terhadap Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam. Tidak sepantasnya diucapkan teradap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau mengajak baiat sesudah atau sebelum tegaknya daulah. Karena ini adalah kebenaran yang diberikan dan dikhususkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan dikhususkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaiat sahabat-sahabatnya untuk tidak melarikan diri dari peperangan dan kadang memba'iat mereka untuk mati dan untuk berjihad sebagaimana membaiat mereka atas Islam. Dan beliau-pun membaiat mereka untuk hijrah sebelum fathu Mekkah, membaiat mereka untuk bertauhid, komitmen dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan beliaupun pernah memba'iat sekelompok dari para sahabat ridhwanullah 'alaihim ajma'in untuk tidak minta-minta sesuatupun terhadap manusia[[65]]. Maka tidak sepantasnya bagi seorangpun dari manusia -bagaimanapun sesatnya orang tersebut- untuk mengkiaskan semua ini untuk dirinya saja, sebagaimana sudah jelas dan gamblang
2.     Bahwa baiat tersebut diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedang beliau adalah orang yang  dipersiapkan oleh Rabb semesta alam untuk menjadi amir bagi orang-orang mukmin. Dan tidak seorangpun setelah tegaknya daulah diberi bai'at secara umum selain beliau, sampai beliau menemui Tuhannya. Maka jadilah beliau amirul mukminin dan melaksanakan hukum had dan hukuman-hukuman lainnya. Kalau begitu siapakah di jaman sekarang ini orang yang seperti beliau di dalam persiapan Allah Subhanahu wa Ta'ala ?
3.     Bahwa baiat yang pertama, adalah baiat untuk beriman kepada Allah saja, berpegang teguh dengan amalan-amalan yang utama dan mejauhi amalan-amalan yang mungkar[[66]]. Dan engkau tidak mendapatkan pada panji-panji pembaitan ini suatu panji yang berkaitan dengan jihad[[67]] atau yang menyerupainya. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa baiat ini tidak diberikan kepada seorangpun (sebagaimana telah dijelaskan dengan rinci), tetapi hanya diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah dipersiapkan untuk menjadi imam dan pemimpin bagi kaum mukminin.
4.     Sebagai penguat jawaban yang telah lewat, bahwa baiat Aqabah yang kedua merupakan kebulatan tekad untuk berhijrah dan pengukuhan pendirian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar serta kesanggupan mereka untuk memberikan kedamaian dengan suasana yang cerah di Madinah[[68]]. Baiat tersebut juga merupakan janji militer saja. Tidak dibahas di tengah-tengah perundingan tersebut suatu masalah kecuali tentang kesanggupan tempat perlindungan ke Madinah. Serta untuk memerangi musuh-musuh beliau dan musuh agamanya. Maka baiat Aqabah lebih dari sekedar perjanjian untuk membela dari serangan. Sesungguhnya baiat tersebut adalah merupakan janji militer[[69]]
Bait Aqabah yang kedua ini merupakan suatu landasan pijak bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk hijrah ke Madinah. Oleh karena itulah baiat tersebut mencakup dasar-dasar yang sempurna pensyariaatannya setelah hijrah, dan yang paling utama adalah jihad dan membela dakwah dengan kekuatan. Dan baiat Aqabah ini telah menjadi salah satu hukum -walaupun Allah belum memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa hal itu akan disyariatkan di masa yang akan datang [[70]]

Maka berdalih dengan ke dua baiat tersebut atas baiat-baiat istitsnaiyyah seperti ini adalah alasan yang batil, sebagaimana tidak samar lagi setelah penjelasan ini.

Oleh karena itu tidak boleh dikatakan bahwa baiat itu terjadi sebelum adanya daulah! Akan tetapi baiat itu adalah kunci pertama dan pendahuluan yang pokok untuk tegaknya daulah!


SYUBHAT KETIGA
Baiat tersebut adalah baiat untuk amalan yang disyariatkan, seperti taubat, shalat dan lain sebagainya, maka hal itu menyerupai akad jual beli.

Jawab.
1.     Jawabannya pada nomor (3),  pada bantahan syubhat yang pertama.
2.     Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam Majmu' Fatawa (28/18) bahwa jika maksud mereka dengan kesepakatan, loyalitas dan baiat ini adalah untuk tolong menolong atas kebenaran dan takwa, maka hal itu telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baginya dan bagi orang lain tanpa kesepakatan tersebut. Dan jika yang dimaksud adalah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan, maka hal itu telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga suatu kesepakatan yang dimaksudkan dengannya berupa kebaikan yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka tidak perlu adanya kesepakatan tersebut. Dan suatu kesepakatan yang dimaksudkan dengannya berupa kejelekan, maka hal tersebut telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3.     Adapun menyerupakan baiat ini dengan akad jual-beli (dari sisi ini), maka hal itu adalah batil, bahkan membatalkan baiat mereka sendiri. Karena sifat jual beli berbeda dengan perbedaan yang mendasar dengan sifat baiat sebagaimana akad[[71]]. Maka akad jual beli memberikan faedah bagi seorang pembeli untuk memiliki barangnya yang dijual dan pemilikan seorang penjual akan harganya, kemudian putus hubungan keduanya setelah itu. Maka bagi penjual boleh untuk menggunakan harga jualnya tersebut dengan bebas. Sedangkan pembeli tidak berhak untuk menghalanginya atau membatasi kebebasannya dalam menggunakan uang tersebut.[[72]]
Adapun baiat yang syar'i, maka boleh bahkan wajib untuk menentang orang yang dibaiat jika menyelisihi perintah-perintah syari'at dan hukum-hukumnya, sebagaimana dijelaskan dengan rinci pada tempatnya. Karena tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil perjanjian atas seorang yang lain guna menyetujui atas apa yang dia inginkan, mencintai orang yang dia cintai dan memusuhi orang yang dia musuhi. Bahkan orang yang berlaku demikian termasuk jenisnya Jengis Khan dan orang yang semodel dengan dia, yang menjadikan orang yang setuju dengan mereka sebagai teman dan kawan serta menjadikan orang yang menyelisihi mereka sebagai musuh dan lawan.[[73]]


SYUBHAT KEEMPAT
Bahwa baiat tersebut serta hukum-hukum sumpah dari segi adanya kafarat (denda), hanya saja baiat itu untuk taat.

Jawaban dari dua segi.
1.     Bahwa baiat semacam itu tidak ada di jaman salaf ash-shalih, padahal ada pendorong untuk melakukan hal tersebut.
2.     Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan baiat ini dengan sumpah, maka masing-masing orang bisa berbuat sekehedak dirinya. Sewaktu-waktu dapat keluar dari baiat. Sebab sumpah dapat dijadikan baginya adanya kafarat-kafarat. Maka jika seseorang yang berbaiat ingin membatalkan baiatnya, dia tinggal membayar kafarat sumpahnya, sehingga hilanglah dosa darinya. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan baiat sebagai suatu perjanjian serta menyerupakannya dengan jual beli sebagaimana yang telah kami sebutkan. Karena orang yang berbaiat dan dibaiat tidak mempunyai pilihan. Sedang janji ('ahd) tidak ada pengecualian (dispensasi) dan kafarat. Maka dijadikan baiat dengan dua model yang keras ini sebagai dorongan untuk menjaga kemaslahatan khusus dan umum bagi kaum mukminin [[74]]
Maka menyamakan baiat dengan hukum-hukum sumpah (setelah penjelasan ini), terdapat kezhaliman yang nyata yang menjerumuskan kepada pengabaian manhaj dan penyelewengan di dalam pengeterapannya !!


SYUBHAT KELIMA
Jika mengangkat amir di waktu safar itu wajib, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Jika tiga orang di dalam safar, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir"
Maka mengangkat amir untuk berdakwah dengan tujuan mengembalikan agama Allah di muka bumi itu lebih wajib dan janji serta baiat untuk taat itu lebih utama ?

Jawabannya dari enam segi.
1.     Mengangkat amir dalam safar terdapat nash yang jelas dan shahih. Adapun mengangkat amir yang tersebut ini tidak terdapat nash di dalamnya. Pengkiasannya terlalu jauh, karena tidak adannya 'illah (alasan). Adapun kiyas tidak dilakukan kecuali oleh seorang mujtahid, sebagaimana disebutkan oleh ahli ushul.
2.     Keamiran dalam safar berakhir dengan berakhirnya safar. Adapun keamiran-keamiran istitsnaiyyah mempunyai "ketaatan yang sempurna".
3.     Keamiran di dalam safar semuanya adalah maslahat. Adapun keamiran-keamiran istitsnaiyyah adalah memecah-belah dan merusak[[75]]. Maka kiyasnya jelas-jelas batil.
4.     Seandainya sekelompok manusia bersepakat diantara mereka untuk menegakkan hukum had atas peminum khamr, pezina dan lain sebagainya, apakah hal itu diterima ? Ini adalah batil menurut Ijma' ummat dari orang yang setuju atau yang menentangnya. Maka kiyas ini membatalkan kiyas sebelumnya.
5.     Keamiran safar terbatas pada beberapa perkara saja dan fungsinya adalah untuk ketertiban bukan untuk mendengar dan taat secara mutlak.
6.     Karena baiat itu sebagai "janji" ('ahd), maka hal ini (kiyas di atas) bukanlah manhaj salaf ash-shalih ridwanullah ta'ala 'alaihim. Bahkan kenyataan mereka berbeda sama sekali dengan pemahaman salaf. Al-Hafizh Abu Nu'aim Al-Ashbihani meriwayatkan di dalam Hilyatul-Auliya (II/204) dengan sanadnya yang shahih dari Mutharrif bin Abdillah bin Asy-Syikhkhir[[76]] beliau berkata : "Kami mendatangai Zaid bin Shuhan dan beliau berkata : 'Wahai hamba-hamaba Allah, berbuat mulialah kalian dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya wasilah (perantara) para hamba kepada Allah adalah dengan dua sifat, yaitu khauf (takut) dan tamak (dalam beramal)'. Maka pada suatu hari aku mendatanginya dan mereka menulis suatu tulisan dan menyusun suatu ucapan seperti ini : "Sesungguhnya Allah adalah Rabb kami, Muhammad adalah nabi kami, dan Al-Qur'an adalah imam kami. Barangsiapa yang bersama kami, maka dia termasuk kami dan kami akan melindunginya. Dan barangsiapa menyelisihi kami, tangan kamilah yang akan menentangnya, dan kami ..... dan kami ..... Perawi berkata : "Maka mulailah beliau (Zaid) memperlihatkan tulisan tersebut kepada mereka seorang demi seorang, sambil bertanya : 'Apakah engkau setuju wahai fulan ?' Sehingga sampailah padaku, dan bertanya : 'Apakah engkau setuju wahai anak muda ?' Aku menjawab : 'Tidak'. Zaid berkata : 'Kalian jangan tergesa-gesa untuk bertindak terhadap anak muda itu, apa yang akan kau katakan wahai anak muda ? (Rawi) berkata : 'Aku menjawab : 'Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian atasku di dalam Kitab-Nya. Maka aku tidak akan membuat suatu perjanjian selain perjanjian yang telah diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atasku!' Rawi berkata : 'Maka rujuklah kaum tersebut pada akhirnya. Tidak seorangpun dari mereka yang menyetujui tulisan tersebut". Rawi berkata : 'Aku tanyakan kepada Mutharrif : 'Berapa jumlah kalian pada waktu itu ? 'Beliau menjawab : 'Sekitar tiga puluh orang'. Maka lihatlah -semoga Allah merahmatimu- kepada realita dan keadaan hati mereka di dalam menerima kebenaran serta tunduk kepadanya. Dan lihatlah penolakan mereka terhadap perkara apapun (walaupun zhahirnya benar, haq dan tidak menyimpang). Apapun, jika tidak terdapat (sifatnya) di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala atau tetap (tsabit) dalam sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dapat memecah belah umat, bagaimanapun bentuk perpecahan tersebut, walaupun kecil.
Karena semua inilah, sering kali kita mendapati diri-diri kita di hadapan gejala yang mengerikan, yaitu bahwa gerakan Islam menjadi lebih dekat kepada model dan ilustrasi belaka serta lebih dekat kepada formalitas atau hizbiyyah[[77]]





PENUTUP

Semoga pembahasan ini -walaupun ringkas- dapat dipakai sebagai rujukan bagi para da'i untuk ingat setelah lalai dan terjaga setelah mereka terbuai. Agar mereka tidak mendahulukan amalan dan ucapan apapun kecuali setelah berilmu, mendapatkan kejelasan serta pengetahuan dan ketetapan.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada al-Imam al-Bukhari yang mengatakan : "Tidaklah aku menetapkan sesuatu dengan tanpa ilmu sama sekali semenjak aku berakal" [[78]]

Pembahasan ini pula para aktifis Islam dapat instropeksi untuk berhenti dari tahazzub (berkelompok-kelompok), menolak al-haq dari ahlinya dan saling melibas/menggilas diantara mereka. Agar mereka dapat melihat kembali kepentingan dirinya, yaitu sebagai pembawa dakwah yang paling mulia dan beramal demi tujuan yang utama (ridha Allah, -ed). Sehingga pribadi-pribadi mereka menjadi kokoh dan komitmen ketika membuat perjanjian dengan Allah agar mereka berada pada puncak ke-Islaman dan masa mereka. Maka amalannya dalam Islam bersih dari pembicaraan sekitar pribadi dan berputar-putar di sekitar dzat seseorang. Dan apa-apa yang di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal.

Serta merupakan peringatan bagi orang-orang yang berusaha mengangkat Islam demi kepentingan pribadi, menjual jiwa-jiwa dan Islam mereka pada pasaran politik yang murah serta menjadi boneka-boneka yang digerakkan, dan tidak ada campur tangannya sedikitpun dalam perkara tersebut. Pada akhirnya mereka paham bahwa disyariatkannya sarana (wasilah) tergantung dari disyariatkannya tujuan (ghayah). Sehingga merekapun hidup untuk akhirat. Maka ketika mereka berusaha memperbaiki perangainya di hadapan manusia, mereka yakin bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengawasi mereka dan akan menghentikan (mematikan) serta menanyai mereka. Dan sesungguhnya agama ini tetap terjaga dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta akan hilang kejelekan dari padanya, seperti ububan (alat pandai besi) menghilangkan (karat) besi.

Merupakan kesempatan pula bagi para dai kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, agar mereka meninjau kembali sarana dan metode (dakwah) mereka. Yang demikian, karena menyeru manusia kepada Islam tidak lain harus dengan hikmah dan nasehat yang baik, tidak dengan paksaan. Maka barangsiapa yang memerintahkan kepada yang ma'ruf, harus dengan cara yang ma'ruf pula. Dengarlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu"  [Ali Imran : 159]
Merupakan kesempatan pula bagi pribadi muslim untuk melihat menatap pada posisinya yang ada sekarang, faedah apa yang diberikan kepada Islam pada posisinya. Dan agar tahu bahwa taat dalam menjalani Islam akan memberikan kejelasan. Sesungguhnya tanggung jawab itu ditanggung oleh pribadi masing-masing. Dan agar tidak terjerumus ke dalam pemahaman hizbi yang jahil atau sufi, sehingga dia akan menolong saudaranya, baik yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi.

Bahkan wajib baginya untuk komitmen dengan pemahaman yang Islami yaitu : menolong orang yang dizhalimi dengan mengembalikan sesuatu yang diambil dengan zhalim dan menolong orang yang berbuat zhalim dengan merintangi kehendaknya. Maka tolong menolong harus atas dasar kebenaran dan takwa, bukan atas dasar berbuat dosa dan bermusuh-musuhan, sehingga sikap saling mensehati akan mendominasi barisan kaum muslimin yang akan menang dengan mendapatkan pertolongan di dunia dan pahala di akhirat.

Dan merupakan kesempatan pula bagi setiap muslim untuk mengetahui bahwa meremehkan dosa-dosa kecil akan menimbulkan dosa-dosa besar, sehingga diapun akan menghentikan perbuatan ghibah (menggunjing), adu domba dan buruk sangka. Inilah penyakit-penyakit yang menimpa jiwa yang sering dianggap remeh. Dan agar dia dapat menerapkan manhaj yang dia berpegang kepadanya dan melatih diri dengan makna Islami agar menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari. Dengan demikian terbentuklah pribadi rabbani[[79]] yang perangainya terwarnai dengan Islam, sehingga dia mempunyai tangan, kaki, mata dan telinga yang tunduk (pada syariat Islam). Dan bergeraklah semua anggota badannya dengan gerakan-gerakan Islam yang disyariatkan oleh Allah bagi orang yang Dia cintai[[80]]

Dan akhir seruan kami bahwa segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta alam.



☼☼☼☼☼☼









[1] Dalam kitab ini ada risalah yang ditulis oleh Doktor Mahmud al-Khalidi dengan judul : "Al-Bai'ah fi al-Fikras-Siyasi al-Islami"
[2] Ihya'ar-Rabbaniyyah, hal. 11, Said Hawa
[3] Mudzakkirat ad-Da'wah wa-ad-Da'iyyah, hal.39, Hasan al-Banna
[4] Idem, hal.116
[5] Dari mukadimahnya Syaikh Muhammad al-Ghazali terhadap kitab Nazharat fi Masiirah al-'Amal al-Islami,hal 11, Umar Ubaid Hasanah
[6] Al-Ikhwan al-Muslimin Ahdats Shana'at al-Tarikh (I/138) Mahmud Abdul Halim
[7] Majmu'ah ar-Rasa'il, hal.331, Hasan al-Banna
[8] Nadzarat fi masiirah al-Amal al-Islami, hal.21 Umar Ubaid Hasanah
[9] Fi Zhilal al-Qur'an (2/749), Sayyid Qutb
[10] Dari ucapan Syaikh Hasan al-Banna
[11] Tanbihaat Haammah 'ala ma katabahu al-Shabuni fi Shifat Allah 'azza wa Jalla, hal.41 Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
[12] Ucapaan Sa'id Hawa di dalam Ihya' ar-Rabbaniyyah, hal.8
[13] Dari pembahasan Doktor Rajih al-Kurdi pada awal buku Nadwah Ittijaahaat al-fikr al-Islami al-Mu'ashar, pada sub al-Ittijah as-Salafi. Di dalamnya terdapat banyak kesalahan. Dan aku telah membantahnya dengan suatu bahasan yang aku beri judul Ar-Radd al-Majdi 'ala Rajih al-Kurdi.
[14] Al-Madkhal ila Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin, hal.30, Sa'id Hawa
[15] Al-Mustaqitun 'ala Thariq al-Da'wah, hal.124-128, Fathi Yakan
[16] Bahkan pada umumnya
[17] Musykilat ad-Da'wah wa ad-Da'iyah, hal.132, Fathi Yakan
[18] Fi an-Naqdi al-Dzati, hal.228, Khalis Jalbi
[19] Majmu'ah Rasa'il al-Syaikh Hasan al-Banna, hal.274
[20] Dan Ahmad Abdul Mun'im al-Badri di dalam bukunya At-Tanzhim al-Haraki fi al-Islam, berdalil atas semua itu dengan ucapan yang dinisbatkan kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Dan banyak para da'i jama'ah-jama'ah yang menukil perkataan tersebut di dalam khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah mereka, yaitu : "Tidak ada Islam dengan jama'ah, dan tidak ada jama'ah kecuali dengan adanya keamiran dan tidak ada keamiran kecuali dengan taat" Dia (Ahmad Abdul Mun'im) menyebutkan pada halaman 3 awal dari kalimat ini, yaitu : "Marsu'ah al-Hadharah al-Islamiyyah" Padahal atsar tersebut diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (I/79), dan tidak shahih dari Umar. Karena di dalam sanadnya ada Shafwan bin Rustum. Imam Dzahabi berkata di dalam al-Mizan (II/316) :"(Shofwan) tidak dikenal (majhul). " Dan al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Lisan (III/191) menukil dari al-Azdi : "Bahwa dia (Shofwan) munkarul hadits". Aku berkata : "Seandainya atsar itu shahih, maka dibawa (sebagai dalil) -dengan mengumpulkan semua nash-nash- atas keamiran kaum mukminin. Sayang atsar tersebut tidak shahih.
[21] Lihat Kanzul 'umul (5/601)
[22] Nadzarat fi Masirah ...hal.22-23, Umar Ubaid Hasanah
[23] Fi an-naqd al-Dzati, hal.35 Khalish Jalbi
[24] Fi an-Naqd al-Dzati, hal.247-248, Khalish Jalbi
[25] Fiqh al-Dakwah al-Islamiyyah wa Musykillah ad-Du'at, hal.34, Muhammad Ghazali
[26] Nadzarat fi Masirah al-Amal al-Islami, hal. 21-22, Umar Ubaid Hasanah
[27] Idem, hal. 36-37, Umar Ubaid Hasanah
[28] Bahjah an-Nufus Syarh Mukhtashar al-Bukhari (I/28), Ibnu Abi Jamrah
[29] Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174)
[30] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
[31] Al-Ushul Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-Hukmi (262), keduanya tulisan al-Kahlidi
[32] Al-Khilafah ... hal.13. Rasyid Ridha
[33] Lihat Hayah as-Shahabah (I/28-239) dan Miftah Kunuz al-Sunnah, hal. 80-86, dan lain-lain
[34] Al-Furqan baina al-Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid
[35] Masa'il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani'
[36] Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (I/273). Dan lihat syarh an-Nawawi atas shahih al-Bukhari (12/231)
[37] Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al-Abqari min Muhadharat al-Khudhari (I/198) karya Al-Syaikh Muhammad al-Arabi al-Tibyani
[38] Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagaimana dalam kitab Syarh 'Aqidah al-Thahawiyyah, hal.379
[39] Al-Furqan Baina al-Kufri wa al-Iman, hal.64, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid
[40] Maatsirul Anafah fi Ma'alim al-Khilafah (I/39) al-Qalqasynadi
[41] An-Nizham as-Siyasi fi al-Islam, hal.299-300, Abdul Qadir Ani Haris
[42] Maka wajib bagi orang yang terkungkung dengan baiat-baiat bid'ah seperti ini untuk meninggalkan dan mebatalkannya. Karena baiat tersebut batil. Selain demi menjaga agama dan untuk mengikutinya.
[43] Mudzakirat al-Da'wah wa al-Daiyyah, hal, 72 Hasan al-Banna. Dan lihat pembahasan selanjutnya, hal.35
[44] Idem, hal.194. Doktor Zakariya Sulaiman Biyumi berkata di dalam kitabnya AL-Ikhwan al-Muslimin wa al-Jama'at al-Islamiyah hal.75 : "Dan al-Banna pada masalah tersebut terpengaruh pada kitab-kitab Thariqah al-Hashafiyyah yang pada tahapan-tahapannya akan memindahkan seorang pengikut menjadi pemabiat ..." dan seterusnya. Dan lihat penagruh Thariqat al-Hashafiyyah pada pribadi Hasan al-Banna dan dakwahnya di dalam At-Tafsir as-Siyasi li al-Islam, hal.130 oleh An-Nadwi
[45] Al-Madkhal ila Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin, hal.123. Sa'id Hawa
[46] Akan datang bantahannya disertai penjelasan pertentangan orang yang mengucapkan perkataan tersebut, Inys Allah Ta'ala.
[47] Jangan sampai ada orang yang mengatakan : 'Tidak lain yang dimaksud oleh mereka adalah imam di bidang ilmu, dengan bukti kualitas keilmuannya di dalam karangan-karangan dan kitab-kitabnya. Dan apa yang diucapkan sendiri tentang pribadinya di dalam Al-Mudzakkirat, hal.65.
[48] Fiqh al-Da'wah al-Islamiyah ..." hal, 23. oleh Al-Ghazali. Dan lihat apa yang diceritakan sendiri oleh Hasan al-Banna di dalam Al-Mudzakkirat, hal. 114-115, tentang apa yang dilakukan oleh ornag yang mempunyai kedudukan dan keamiran.
[49] Al-Ijabaat, hal.87. Sa'id Hawwa. Padanya banyak sekali pertentangan di dalam masalah baiat bila dibandingkan karangannya Tarbiyatuna al-Ruhiyyah, hal.243-245
[50] Lihat al-Jama'at al-Islamiyyah fi Dhaul al-Kitab wa al-Sunnah, hal.100-108, Salim Al-Hilali
[51] Didalamnya terdapat isyarat untuk taat kepada kedua orang tua, ulama dan lain sebagainya. Dan bukan disini pembahasannya.
[52] Fiqh al-Da'wah al-Islamiyyah, hal.22 Muhammad al-Ghozali
[53] Al-Syura fi Dzili Nidzom al-Hukmu al-Islami, hal.33 Abdurrahman Abdul Khaliq
[54] Al-Mustaqitun fi Thariq al-Da'wah, hal.126 Fathi Yakan. Di dalamnya banyak sekali kesalahan, terutama judulnya
[55] Manhaj al-Anbiya fi al-Dakwah Ilallah (I/128) Muhammad Surur Zaenal Abidin
[56] Lihat al-Dustur al-Qur'ani wa al-Sunnah al-Nabwiyyah fi syu'uni al-Hayah (2/26, 314), Muhammad Izzah Druzah
[57] Fatwa nomor 1674, Lajnah Ad-Da'imah li al-Buhuts al-Ilmiyya wa al-ifta, dengan ketua al-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang haramnya berpecah belah dan hizbiyyah.
[58] Tidak seperti yang dikatakan oleh Ahmad Abdul Mun'im Al-Badri di dalam Al-Tanhim Al-Haraki, hal 37-38, ketika membawakan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka matinya adalah jahiliyyah". Dia (Ahmad Abdul Mun'im) berkata : "Maka hadits ini menunjukkan tentang wajibnya seorang mukmin yang mukallaf (sudah terkean beban syari'at) untuk memba'iat imam atau pemimpin. Kalau tidak maka dia berdosa dan mati sebagaimana matinya ahli jahiliyyah karena tidak adanya kepemimpinan dan keamiran yang mengatur ikatan mereka.." Dia (Ahmad Abdul Mun'im) menukil perkataan tersebut dari al-Nizham as-Siayasi... hal.159. Hanya saja dia melakukan tahrif (perubahan kata) yang merusak makna. Untuk mengetahuinya maka lihatlah buku tersebut. Akan tetapi hati-hati.
[59] Nazharat fi Masiirah ...., hal.77, Umar Ubaid Hasanah
[60] Fiqh al-Da'wah al-Islamiyyah .... hal.22
[61] Fi Dzilal al-Qur'an (II/782)
[62] Idem (3/687)
[63] Para ulama mempunyai kaidah :"Asal di dalam semua ibadah adalah batil, sehingga ada dalil". Dan baiat adalah ibadah, karena seorang hamba ber-taqarub kepada Rabbnya Tabaraka wa Ta'ala dengan baiat tersebut, sebagaimana tidak samar lagi !!
[64] Ila al-Tshawwuf yaa ibadallah ...hal.23, Abu Bakar Jabir Al-Jazairy. Dan Fadhilatu al-Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Mufti negeri Saudi telah berfatwa tentang batilnya semua baiat istitsnaiyyah
[65] Zaad al-Ma'ad (3/95), Ibnu Qayyim, cet.ar-Risalah
[66] Fiqh al-Shirah, hal.154, Muhammad al-Ghazali
[67] Fiqh al-Shirah, hal.128, Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi
[68] Nizham al-Hukmi fi al-Syari'ah wa al-Tarikh (I/254), Zhafir al-Qasim
[69] Idem, dan lihat nash baiat di dalam Musnad Imam Ahmad (3/322, 323-339), Mustadzrak (2/624-625), Al-Bidayah wa al-Nihayah (3/159-160), agar anda tahu batilnya kiyas tersebutز
[70] Fiqh al-Sirah, hal.132, al-Buthi
[71] Kalau itu maknanya secara bahasa (etimologi), maka maknanya secara istilah (terminologi) adalah sebaliknya. Karena adanya hubungan antara si pemba'iat dan yang di baiat tersebut secara terus menerus, sebagaimana yang telah saya jelaskan.
[72] An-Nizham al-Siyasi, hal. 312, Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
[73] Majmu al-Fatawa (28/16) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[74] Bahjah al-Nufus Syarh Mukhtashar al-Bukhari (I/31) Ibnu Abi Jamrah
[75] Lihatlah sebagai contoh di dalam Mudzakirat al-Da'wah wa al-Da'iyyah, hal. 112-116!!
[76] Beliau adalah dari tokoh tabiin yang tsiqah, ada enam orang yang membawakan riwayatnya. Riwayat hidupnya terdapat di dalam Thabaqat Ibnu Sa'd (7/141), Al-Ma'rifah wa al-Tarikh 92/80), Tarikh al-Islam (4/56) Tadzkirah al-Huffazh (I/60), al-Ishabah, nomor 8324 dan lain-lain
[77] Ihya' al-Rabbaniyyah, hal.13, Sa'id Hawa
[78] Maa Tamassu ilaihi Haajatul Qori li Shahih al-Bukhari, hal.58. yang telah saya tahqiq
[79] Al-Rabbani ialah orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang ringan-ringan sebelum ilmu yang berat-berat, sebagai mana di dalam Shahih al-Bukhari (Fathul Bari I/160). Ibnu al-'Arabi mengatakan : "Jika seorang alim lalu beramal dan mengajarkannya, maka orang tersebut dikatakan rabbani. Tetapi jika kosong salah satu dari sifat-sifat tersebut, tidak dikatakan rabbani. seperti di dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih, hal. 51 oleh al-Khatib
[80] Nazharat fi Masiirah ....hal. 171-172 dengan ringkas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar